BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya pembahasan tentang ikhlas adalah pembahasan yang sangat penting yang berkaitan dengan agama Islam yang hanif (lurus) ini, hal dikarenakan tauhid adalah inti dan poros dari agama dan Allah tidaklah menerima kecuali yang murni diserahkan untukNya sebagaimana firman Allah, “Hanyalah bagi Allah agama yang murni”. (QS. Az-Zumar : 3).
Maka perkara apa saja yang merupakan perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah meneriman amalan agama yang kholis (murni) untukNya. Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:
Allah berfirman “Aku adalah yang paling tidak butuh kepada syarikat, maka barangsiapa yang beramal suatu amalan untuku lantas ia mensyerikatkan amalannya tersebut (juga) kepada selainku maka Aku berlepas diri darinya dan ia untuk yang dia syarikatkan” (HR. Ibnu Majah 2/1405 no. 4202, dan ia adalah hadits yang shahih, sebagaimana perkataan Syaikh Abdul Malik Ar-Romadhoni, adapun lafal Imam Muslim (4/2289 no 2985) adalah, “aku tinggalkan dia dan ksyirikannya”).
Berkata Syaikh Sholeh Alu Syaikh, “Lafal ‘amalan’ disini adalah nakiroh dalam konteks kalimat syart maka memberi faedah keumuman sehingga mencakup seluruh jenis amalan kebaikan baik amalan badan, amalan harta. Maupun amalan yang mengandung amalan badan dan amalan harta (seperti haji dan jihad)”. (At-Tamhid hal. 401).
Sungguh benar sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia. (Tazkiyatun Nufus hal 15).
Berkata Abu ‘Abdillah Al-Anthoki, “Fudhail bin ‘Iyadh bertemu dengan Sufyan Ats-Tsauri lalu mereka berdua saling mengingat (Allah) maka luluhlah hati Sufyan atau ia menangis. Kemudian Sufyan berkata kepada Fudhail, “Wahai Abu ‘Ali sesungguhnya aku sangat berharap majelis (pertemuan) kita ini rahmat dan berkah bagi kita”, lalu Fudhail berkata kepadanya, “Namun aku, wahai Abu Abdillah, takut jangan sampai majelis kita ini adalah suatu mejelis yang mencelakakan kita “, Sufyan berkata, “Kenapa wahai Abu Ali?”, Fudhail berkata, “Bukankah engkau telah memilih perkataanmu yang terbaik lalu engkau menyampaikannya kepadaku, dan akupun telah memilih perkataanku yang terbaik lalu aku sampaikan kepadamu, berarti engkau telah berhias untuk aku dan aku pun telah berhias untukmu”, lalu Sufyan pun menangis dengan lebih keras daripada tangisannya yang pertama dan berkata, “Engkau telah menghidupkan aku semoga Allah menghidupkanmu”. (Tarikh Ad-Dimasyq 48/404).
B. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Agar mahasiswa tahu tentang hadits-hadits yang berkenaan dan niyat, keikhlasan dan bahaya riya dalam sebuah amal.
2. Agar para mahasiswa dapat memahami tentang betapa pentingnya arti sebuah niat dalam aspek kehidupan.
3. Agar mahasiswa dapat memahami tentang urgensi keikhlasan dalam sebuah amal dan dapat memotivasi diri agar beramal dengan ikhlas.
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui apa saja hal-hal yang dapat dilakukan agar menjadikan amalannya ikhlas dan menghindar dari sifat riya’.
BAB II
PEMBAHASAN
A. NIAT DAN MOTIVASI BERAMAL
1. Riwayat Hadits
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى . فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ .
)رواه إماما المحدثين أبو عبد الله محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبة البخاري وابو الحسين مسلم بن الحجاج بن مسلم القشيري النيسابوري في صحيحيهما اللذين هما أصح الكتب المصنفة(
Arti Hadits / ترجمة الحديث :
Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’”
(Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits).
2. Pendapat Para Ulama
- Berkata Imam Ibnu Rajab : ”Para ulama sepakat atas keshohihannya dan ummat telah bersepakat dalam menerimanya”.
- Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata dalam Syarh Arbain An-Nawawi hal 9 : “Ini adalah hadits shohih yang disepakati akan keshohihannya dan akan besarnya kedudukan dan keagungannya serta banyaknya faedahnya”.
- Berkata Abu Ubaid : ”Tidak ada satupun hadits Nabi Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam yang lebih luas, lebih mencukupi dan lebih banyak faedahnya dibandingkan hadits ini”.
- Dan telah bersepakat para imam seperti Abdurrahman bin Mahdi, Asy-Sy afi’iy, Ahmad bin Hanbal, ‘Ali Ibnul Madini, Abu Dawud As-Sijistani, At-Tirmidzy, Ad-Daraquthny dan Hamzah Al-Kinani bahwa hadist ini adalah sepertiga ilmu.
- Hal ini dikomentari oleh Imam Al-Baihaqi dengan perkataannya : ”Hal tersebut dikarenakan sesungguhnya amalan seorang hamba adalah dengan hatinya, lisannya dan anggota tubuhnya, sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian tersebut”. (Syarh Arbain hal 10)
- Abdurrahman bin Mahdiy berkata : ”Hadits niat ini bisa masuk ke dalam 30 bab ilmu”. Sedangkan Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwa hadits ini bisa masuk ke dalam 70 bab fiqhi.
3. Makna Kata dalam Hadits (mufrodat)
1. أَبِيْ حَفْصٍ | : | Bermakna Al-Asad (singa), sedang Abu Hafsh adalah julukan bagi ‘Umar bin Khathab. |
2. إِنَّمَا | : | (hanyalah) menunjukkan makna pengkhususan dan pembatasan yaitu penetapan hukum untuk yang tersebutkan dan peniadaan hukum tersebut dari selainnya. Lihat Syarh An-Nawawy (13/54) dan Al-‘Il am karya Ibnu Mulaqqin (1/168). |
3. اْلأَعْمَالُ | : | Yang diinginkan di sini adalah amalan-amalan yang disyariatkan (ibadah). |
4. لنِّيَّاتِ ا | : | Merupakan jama’ dari kata niyat. Niat secara bahasa adalah maksud dan kehendak |
5. امْرِئٍ | : | Artinya adalah manusia, baik laki-laki maupun perempuan |
6. هِجْرَتُهُ | : | Secara bahasa artinya meninggalkan sesuatu dan berpindah kepada selainnya. Adapun secara istilah yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam karena takut fitnah dan untuk menegakkan agama. Adapun hijrah dalam hadits ini adalah Hijrah dari Mekkah ke Madinah. |
7. إِلَى اللهِ | : | Maksudnya adalah menuju keridhaan Allah, baik dalam niat atupun tujuan. |
8. لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا | : | Artinya adalah demi tujuan duniawi yang ingin dicapainya. |
4. Asbabul Wurud Hadits
Berkata An-Nawawy dalam Syarh Muslim (13/81) : “Sesungguhnya telah datang bahwa sebab keluarnya hadits ini adalah tentang seorang lelaki yang berhijrah hanya untuk menikahi seorang wanita yang bernama Ummu Qois maka diapun dipanggil dengan sebutan Muhajir Ummu Qois (Orang yang berhijrah karena Ummu Qois)”.
Kisah Muhajir Ummu Qois ini diriwayatkan dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata :
مَنْ هَاجَرَ يَبْتَغِي شَيْئًا فَإِنَّمَا لَهُ ذَلِكَ, هَاجَرَ رَجُلٌُ لِيَتَزَوَّجَ امْرَأَةً يُقَالُ لَهَا أُمُّ قَيْسٍ, فَكَانَ يُقَالُ مُهَاجِرُ أُمُّ قَيْسٍ
”Barangsiapa yang berhijrah untuk mengharapkan sesuatu maka sesungguhnya bagi dia hanya sesuatu tersebut. Seorang lelaki telah hijrah untuk menikahi wanita yang bernama Ummu Qois, maka diapun dipanggil dengan nama Muhajir Ummu Qois”. (HR.Ath-Thobrani (9/102/ 8540) dan dari jalannya Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kam al (16/126) dan Adz-Dzahaby dalam As-Siyar (10/590) dan mereka berdua berkata : ”Sanadnya shohih”. Dan Al Hafizh berkata : “Sanadnya shohih di atas syarat Bukhary dan Muslim”).
5. Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary no. 1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689 dan 6953, Imam Muslim no. 3530 dan lain-lain dari jalan Yahya bin Sa’id Al-Anshory dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimy dari ‘Alqomah bin Waqqosh Al-Laitsy dari ‘Umar ibnul Khoththob radhiallahu ‘anhu.
Dari konteks sanadnya kita bisa melihat bahwa hadits ini adalah hadits ahad atau lebih tepatnyaghorib karena tidak ada yang meriwayatkan hadits ini –secara shohih- dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali ‘Umar, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari ‘Umar kecuali ‘Alqomah, tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Muhammad bin Ibrahim dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini darinya kecuali Yahya.
6. Kedudukan Hadits
Materi hadits pertama ini merupakan pokok agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).
7. Penjelasan (syarah) Hadits
Hadits ini adalah salah satu dalil dari kaidah yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “Al-Umuru bimaqoshidiha” (Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya :
اَلنِّيَةُ شَرْطٌ لِسَائِرِ الْعَمَلِ فِيْهَا الصَّلاَحُ وَالْفَسَادُ لِلْعَمَلِ
“Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada niatlah benar atau rusaknya amalan”.
a. Fungsi Niat
Niat memiliki 2 fungsi:
1) Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2) Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.
3) Niat Merupakan pembeda antara ibadah dengan adat. Sebagai contoh mandi dapat dilakukan untuk menghilangkan hadats, tetapi mandi juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan.
Menurut Hasbi AS-Shidiqi, niat itu terbagi 3 (tiga), yaitu :
1) Niat ibadah, yaitu menghinakan diri tunduk secara sangat sempurna, untuk menyatakan ketundukan serta kehinaan.
2) Niat ta’at, yaitu melaksanakan apa yang Allah kehendaki.
3) Niat qurbah, yaitu melaksanakan ibadah dengan maksud memperoleh pahala.
b. Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah
Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:
1) Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.
2) Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.
Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:
1) Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.
2) Jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:
- Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.
- Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.
3) Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal.
Allah Swt. Menggambarkan keikhlasan dalam beramal ini seperti dimuat keikhlasan dalam beramal ini seperti dimuat dalam Al-Qur an Surat Al-Baqarah (2) ayat 265 sebagai berikut :
وَمَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍ بِرَبْوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٌ فَآتَتْ أُكُلَهَا ضِعْفَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (Q.S. Al-Baqarah : 265)
c. Hijrah
Makna hijrah secara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.
Bentuk-bentuk Hijrah:
a) Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid.
b) meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.
c) Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan.
Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh dari makna hijrah.
d. Kandungan / Intisari Hadits
1) Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
2) Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
3) Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.
4) Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
5) Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
6) Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
7) Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.
B. MENJAUHI PERBUATAN RIYA’
1. Riwayat Hadits
Riya’ adalah syirik kecil; demikianlah ungkapan yang dikemukakan Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ، قَالُوْا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ الرِّيَاءُ، يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اذْهَبُوْا إِلَى الَّذِيْ تُرَاءُوْنَ فِي الدُّنْيَا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمُ الْجَزَاءَ (رواه أحمد)
“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah SAW?”, Beliau menjawab, “Riya.! Dan Allah akan berkata pada hari kiamat, terhadap mereka-meeka yang riya, ‘pergilah kalian kepada orang-orang yang dahulu di dunia kalian riya’, apakah kalian mendapatkan ganjaran dari mereka?” (HR. Ahmad)
2. Penjelasan (syarah) Hadits
a) Definisi Riya’
Riya adalah memaksudkan amalan yang dilakukan seseorang guna mendapatkan keridhoan manusia, baik berupa pujian, ketenaran, atau sesuatu yang diinginkannya selain Allah SWT. Dr. Sayid Muhammad Nuh, menggambarkan adanya tiga sebab yang memotori timbulnya riya: Pertama karena ingin mendapatkan pujian dan nama baik di masyarakat. Kedua, kekhawatiran mendapat celaan manusia, dan ketiga, menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain (tamak). Ketiga hal ini didasari dari hadits, yang diriwayatkan Imam Bukhari:
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ أَعْرَابِيًّا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهٌ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، الرَّجُلُ يُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ، وَالرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلذِّكْرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةَ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
“Dari Abu Musa al-Asyari ra, mengatakan bahwa seorang Badui bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah SAW, seseorang berperang karena kekesatriaaan, seseorang berperang supaya posisinya dilihat oleh orang, dan seseorang berperang karena ingin mendapatkan pujian? Rasulullah SAW menjawab “Barang siapa yang berperang karena ingin menegakkan kalimatullah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Bukhari)
b) Ciri-Ciri Riya’
Terdapat sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh seorang sahabat Rasulullah SAW yang sangat zuhud kehidupannya, beliau juga termasuk salah seorang dari empat khulafa’ rasydin, yang juga mendapatkan berita gembira untuk masuk dalam surga Allah kelak. Beliau adalah Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib mengemukakan, tentang ciri-ciri riya’ yang terdapat dalam jiwa seseorang:
قَالَ عَلِيٌّ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ، لِلْمُرَائِيْ عَلاَمَاتٌ، يَكْسُلُ إِذَا كَانَ وَحْدَهُ، وَيَنْشَطُ إِذَا كَانَ فِي النَّاسِ، وَيَزِيْدُ فِي الْعَمَلِ إِذَا أُثْنَى، وَيَنْقُصُ إِذَا ذُمَّ
“Orang yang riya, terdapat beberapa ciri, (1) malas, jika seorang diri, (2) giat jika di tengah-tengah orang banyak, (3) bertambah semangat beramal jika mendapatkan pujian, (4) berkurang frekwensi amalnya jika mendapatkan celaan.”
3. Cara Menghadirkan Keikhlasan dan Menghindari Riya’
Para ulama berupaya memberikan berbagai jalan guna menemukan kiat-kiat agar terhindar dari keriyaan serta mampu menghadirkan keikhlasan dalam jiwa. Diantara cara yang mereka tawarkan adalah:
a) Menghadirkan sikap muraqabatullah, yaitu sikap yang menghayati bahwa Allah senantiasa mengetahui segala gerak-gerik kita hingga yang sekecil-kecilnya, bahkan yang tergores dan terlintas dalam hati sekalipun yang tidak pernah diketahui oleh siapapun. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW mengungkapkan, “..dan sempurnakanlah amal, karena Sang Pengawas (Allah) Maha Melihat.,
وَأَتْقِنِ الْعَمَلَ فَإِنَّ النَّاقِدَ بَصِيْرٌ
b) Seseorang perlu menyadari dan meyakini, bahwa dengan riya, seluruh amalannya akan tidak memiliki arti sama sekali. Amalannya akan hilang sia-sia dan akan musnah. Serta dirinya tidak akan pernah mendapatkan apapun dari usahanya sendiri.
c) Dirinya pun perlu menyadari, bahwa lambat launpun manusia akan mengetahui apa yang terdapat di balik amalan-amalan baik yang dilakukannya, baik di dunia apalagi di akhirat kelak.
d) Dirinya juga perlu meyadari pula bahwa dengan riya, seseorang dapat diharamkan dari surga Allah. Dalam hadits digambarkan, bahwa Rasulullah SAW menangis, karena takut umatnya berbuat riya’. Kemudian beliau berkata, “Barang siapa yang belajar ilmu pengetahuan bukan kerena mencari keridhoan Allah tapi karena keinginan duniawi, maka dia tidak akan mencium baunya surga.”
e) Banyak berdzikir kapada Allah SWT, terutama manakala sedang menjalankan suatu amalan, yang tiba-tiba muncul pula niatan riya. Hal ini sebaiknya segera diterapi dengan dzikir.
4. Intisasri / Kandungan Hadits
a) Berbuat Syirik adalah tercela dan harus ditinggalkan.
b) Riya’ yaitu melaksanakan suatu perbuatan (amal) tidak untuk mengharapkan ridha Allah, melainkan untuk tujuan yang lain.
c) Setiap mukmin harus senantiasa menjauhi sikap riya’, karena riya’ dapat membatalkan sebuah amal kebaikan dan memalingkannya kepada keburukan.
d) Dari segi jenisnya, syirik itu terdapat 2 bagia, yaitu syirik kecil (riya’) dan syirik besar. Kedua syirik tersebut adalah berbahaya karena dapat menghanguskan keimanan kita kepada Allah Swt.
BAB III
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Pada intinya, keikhlasan menginginkan bagaimana seorang hamba mampu memberikan porsi ketawazunan (baca; keseimbangan) dalam amalannya antara yang dzahir dan bathin. Karena yang diinginkan dari ikhlas adalah adanya kesamaan dalam kedua amalan ini, baik yang dzhir (amalan yang terlihat oleh orang lain), maupun yang bathin (yang hanya diketahui sendiri oleh dirinya). Jika amalan dzahirnya melebihi amalan bathinnya, berarti terdapat indikasi keriyaan. Contoh amalan yang dilakukan secara bathin adalah senantiasa hati seseorang “basah” dengan dzikir kepada Allah, dimanapun dan kapanpun dia berada. Demikian juga dalam kesendirian-kesendiriannya, ia justru memperbanyak dzikir dan melakukan aktivitas ibadah, bukan malah merupakan kesempatan untuk berlaku maksiat.
Jika seseorang telah mampu menyeimbangkan antara kedua hal di atas, ini berarti telah terdapat indikasi keikhlasan dalam dirinya. Apalagi jika seseorang yang memiliki amalan bathin, jauh lebih banyak dan lebih besar frekwensinya daripada amalan dzahirnya, maka ia telah mencapai assidqu fil ikhlas (keikhlasan yang sebenar-benarnya).
B. SARAN
Semoga Allah mengaruniakan kepada kita hati yang ikhlas. karena betapapun kita melakukan sesuatu hingga bersimbah peluh berkuah keringat, habis tenaga dan terkuras pikiran, kalau tidak ikhlas melakukannya, tidak akan ada nilainya di hadapan Allah. Bertempur melawan musuh, tapi kalau hanya ingin disebut sebagai pahlawan, ia tidak memiliki nilai apapun. Menafkahkan seluruh harta kalau hanya ingin disebut sebagai dermawan, ia pun tidak akan memiliki nilai apapun. Mengumandangkan adzan setiap waktu shalat, tapi selama adzan bukan Allah yang dituju, hanya sekedar ingin memamerkan keindahan suara supaya menjadi juara adzan atau menggetarkan hati seseorang, maka itu hanya teriakan-teriakan yang tidak bernilai di hadapan Allah, tidak bernilai.
Ikhlas, terletak pada niat hati. Luar biasa sekali pentingnya niat ini, karena niat adalah pengikat amal. Orang-orang yang tidak pernah memperhatikan niat yang ada di dalam hatinya, siap-siaplah untuk membuang waktu, tenaga, dan harta dengan tiada arti. Keikhlasan seseorang benar-benar menjadi amat penting dan akan membuat hidup ini sangat mudah, indah, dan jauh lebih bermakna.
Apakah ikhlas itu? Orang yang ikhlas adalah orang yang tidak menyertakan kepentingan pribadi atau imbalan duniawi dari apa yang dapat ia lakukan. Konsentrasi orang yang ikhlas cuma satu, yaitu bagaimana agar apa yang dilakukannya diterima oleh Allah SWT. Jadi ketika sedang memasukan uang ke dalam kotak infaq, maka fokus pikiran kita tidak ke kiri dan ke kanan, tapi pikiran kita terfokus bagaimana agar uang yang dinafkahkan itu diterima di sisi Allah.
Apapun yang dilakukan kalau konsentrasi kita hanya kepada Allah, itulah ikhlas. Seperti yang dikatakan Imam Ali bahwa orang yang ikhlas adalah orang yang memusatkan pikirannya agar setiap amalnya diterima oleh Allah. Seorang pembicara yang tulus tidak perlu merekayasa kata-kata agar penuh pesona, tapi ia akan mengupayakan setiap kata yang diucapkan benar-benar menjadi kata yang disukai oleh Allah. Bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bisa dipertanggungjawabkan artinya. Selebihnya terserah Allah. Kalau ikhlas walaupun sederhana kata-kata kita, Allah-lah yang kuasa menghujamkannya kepada setiap qalbu.
Oleh karena itu, jangan terjebak oleh rekayasa-rekayasa. Allah sama sekali tidak membutuhkan rekayasa apapun dari manusia. Allah Mahatahu segala lintasan hati, Mahatahu segalanya! Makin bening, makin bersih, semuanya semata-mata karena Allah, maka kekuatan Allah yang akan menolong segalanya.
Inilah sekelumit hal mengenai keikhlasan, yang patut dihadirkan dan dijaga dalam diri tiap insan. Keikhlasan bukan hanya monopoli mereka-mereka yang pakar dalam ilmu keagamaan, atau mereka-mereka yang berkecimpung dalam keilmuan syar’iyah. Namun keikhlasan adalah potensi setiap insan dalam melakukan amalan ibadah kepada Allah. Bahkan tidak sedikit mereka-mereka yang dianggap biasa-biasa saja, ternyata memiliki keluarbiasaan dalam keimanannya kepada Allah.
Jika demikian halnya, marilah memulai dari diri pribadi masing-masing, untuk menghadirkan keikhlasan, meningkatkan kualitasnya dan menjaganya hingga ajal kelak menjemput kita.
Wallahu A’lam Bisshawab ...
Daftar Pustaka
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, dar As-Salam, Riyadh, cetakan pertama Tahun 2000 masehi
Al-Minhaj syarh Sohih Muslim, Imam Nawawi, Dar Al-Ma’rifah
Jami Al-‘Ulum wa Al-Hikam, Ibnu Rojab, tahqiq Al-Arnauth
Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, Syaikh Abdul Malik Romadhoni, maktabah Al-Asholah
Tafsir Ibnu Katsir, tahqiq Al-Banna, dar Ibnu Hazm, cetakan pertama
Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi
Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar An-Nafais
Silsilah Al-Ahadits As-Sohihah, Syaikh Al-Albani
Aina Nahnu min Akhlak As-Salaf, Abdul Aziz bin Nasir Al-Jalil, Dar Toibah
Waqofaat ma’a kalimaat li Ibni Mas’ud, transkrip dari ceramah Syaikh Sholeh Alu Syaikh
Tazkiyatun Nufus, Ahmad Farid
Materi Hadits Tentang Islam, Hukum, Ekonomi, Sosial dan Lingkungan., Dra. Oneng Nurul Badriyah M.Ag
Hadits Web: http://opi110mb.com/
1 komentar:
Terima kasih penjelasannya tentang niat yang cukup lengkap ini. Salam kenal...
Posting Komentar