Hidayat Nur Wahid dilahirkan pada 8 April 1960 M, bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah. Ia lahir di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Hidayat Nur Wahid berasal dari keluarga pemuka agama. Kakeknya dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya H. Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul Ulama, juga merupakan pengurus Muhammadiyah. Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah aktivis Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah.
Hidayat Nur Wahid adalah sulung dari tujuh bersaudara. Nama Hidayat Nur Wahid sendiri adalah pemberian ayahnya yang mengharapkan agar anak sulung ini kelak menjadi petunjuk dan cahaya nomor satu. Ibundanya bersyukur karena menilai Hidayat Nur Wahid bisa menjadi petunjuk dan cahaya bagi adik-adiknya. Lebih dari itu, Hidayat Nur Wahid bahkan kini menjadi pelopor hidup sederhana di kalangan pejabat di Indonesia.
Keluarga Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Keluarga Hidayat Nur Wahid adalah keluarga guru. Ayahnya adalah Sarjana Muda alumni Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Yogyakarta, yang mengawali karir mengajar dengan menjadi guru di SD, SMP, hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya sendiri berhenti mengajar sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Usai lulus Sekolah Dasar, Hidayat Nur Wahid melanjutkan pendidikan ke Pondok Pesantren Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Sebagaimana diketahui Pesantren Gontor menerapkan semboyan “berpikir bebas selain berbudi tinggi, berbadan sehat, dan berpengetahuan luas.” Semboyan ini tampak pada kehidupan Hidayat Nur Wahid hingga beranjak dewasa sampai kini yang menyukai buku, olahraga, dan mengutamakan etika moral dalam berpolitik dan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelum masuk Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid juga sempat mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Ngabar, Ponorogo. Sebuah pesantren yang didirikan oleh salah seorang alumni Gontor. Menurut Hidayat, apa yang tidak ia dapatkan di Gontor, justru ia dapatkan di Ngabar.
Di Pondok Modern Gontor, Hidayat Nur Wahid termasuk siswa yang cerdas dan menonjol. Ia duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi. Di kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama atau kedua. Menurut Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian menjadi rekannya di Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat Nur Wahid adalah satu-satunya dari 132 santri pada 1978 yang mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes.
Kecerdasan Hidayat Nur Wahid memang telah tampak ketika masih kanak-kanak. Di SD Kebon Dalem Kidul, ia selalu mendapat predikat juara. Sebagai anak guru, Hidayat mendapatkan pendidikan yang baik. ia sudah bisa membaca sebelum masuk sekolah. Hidayat kecil juga gemar membaca. Selain komik Ko Ping Ho kegemarannya, ia juga membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya dan keluarga. Kebiasaan dari kecil itu masih berlanjut sampai sekarang. Kini di ruang perpustakaannya, ada lebih dari lima lemari besar penuh buku, baik yang berbahasa Arab, Inggris, maupun Indonesia.
Selama menempuh pendidikan di Gontor, Hidayat Nur Wahid mengikuti banyak kegiatan. Selain kursus bahasa Arab dan Inggris, Hidayat juga mengikuti kajian sastra, hingga kursus menjahit. Hidayat Nur Wahid juga diangkat menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika duduk di kelas V Pondok Gontor. Hidayat Nur Wahid tercatat pula sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII).
Selepas dari Gontor tahun 1978, Hidayat Nur Wahid sebetulnya berkeinginan untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, rupanya ia terkesan pada jasa seorang mantri di PKU Muhammadiyah yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Namun akhirnya ia mendaftar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga. Di kampus ini Hidayat Nur Wahid sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setahun kemudian, berkat kecerdasannya ia diterima studi di Universitas Islam Madinah dengan program beasiswa. Karena idealismenya, sewaktu menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia di Madinah, Hidayat Nur Wahid pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Hidayat Nur Wahid menyelesaikan program S-1 dengan predikat cumlaude pada tahun 1983 dengan judul skripsi Mauqîf al-Yahud min Islam al-Ansar. Selesai S-1, awalnya ia tidak berpikir untuk melanjutkan S-2, hingga ia mendapatkan kabar bahwa namanya tercantum dalam nominasi untuk mengikuti ujian S-2. Pada hari terakhir ujian itulah Hidayat mengikuti tes dan akhirnya lulus. Hidayat menamatkan program S-2 pada tahun 1987, dengan tesis berjudul al-Batiniyyun fî Indonesia, Ard wa Dirasah.
Selepas S-2 sebetulnya Hidayat Nur Wahid sudah ingin kembali ke tanah air, namun kemudian ia melanjutkan pendidikan hingga jenjang S-3 atas desakan salah seorang dosennya. Pada 1992, Hidayat Nur Wahid menamatkan studi S-3 dengan judul disertasi Nawayid li al-Rawafid li al-Barzanjî, Tahqîq wa Dirasah.
Melihat seluruh riwayat pendidikan akademisnya, kecuali SDN Kebon Dalem Kidul, tampak Hidayat Nur Wahid tercermin sebagai seorang ahli dalam agama Islam.
Setelah ditinggal oleh istrinya, Kastrian Indriawati yang wafat pada 22 Januari 1998, Hidayat Nur Wahid menikah lagi melalui proses ta’aruf, dengan Diana Abbas Thalib, seorang dokter dan Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Aliyah, Pondok Indah, Jakarta.
Aktivitas Sosial dan Politik
Sebagai bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat memandang Islam sebagai sebuah konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi. Paradigma keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
Gerakan Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di Timur tengah, terutama al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.
Aktivis gerakan ini secara khusyu’ mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air. Gerakan ini mendapat kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur Tengah mulai tahun 1988, seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim.
Gerakan Tarbiyah inilah yang pada 1998 melahirkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai Keadilan (PK).
Selepas pulang ke tanah air setelah merampungkan program master dan doktornya, Hidayat Nur Wahid melibatkan diri dalam Yayasan Alumni Timur Tengah dan mendirikan yayasan-yayasan alumni Timur Tengah. Ia juga mendirikan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Yayasan al-Haramain sebagai bentuk baktinya terhadap pesantren. Yayasan al-Haramain ini pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat dimana ia menjabat sebagai dewan redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan sebagai counter terhadap Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema pembaharuan Islam Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian, sebagai seorang Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh rasa hormat kepada Cak Nur.
Dalam pandangannya yang objektif, Hidayat Nur Wahid memandang Cak Nur sebagai sosok yang ingin menghadirkan Islam dan Umat Islam yang bisa diterima secara elegan oleh semua masyarakat dunia, dimana Islam ditempatkan pada tempat yang tinggi, menginternasional, dan universal. Islam menjadi sesuatu yang membawa pada pencerahan, bukan Islam yang disalahpahami, anti budaya, dan sejenisnya. Meskipun pada beberapa hal, Hidayat mengakui bahwa merupakan hal yang wajar jika ia tidak selamanya sependapat dengan Cak Nur.
Hidayat Nur Wahid juga pernah menjabat sebagai Ketua Forum Da’wah Indonesia, peneliti di Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum (LKFKH) al-Khairat, dan juga sebagai salah satu pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.
Sebagai bagian dari Gerakan Tarbiyah, Hidayat memandang Islam sebagai sebuah konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi. Paradigma keislamannya ini kemudian diaktualisasikan melalui keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik.
Gerakan Tarbiyah, adalah gerakan dakwah Islam yang mulai marak di Indonesia pada era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di Timur tengah, terutama al-Ikhwan al-Muslimun. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.
Aktivis gerakan ini secara khusyu’ mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air. Gerakan ini mendapat kemajuan setelah pulangnya para pelajar dari Timur Tengah mulai tahun 1988, seperti Abdul Hasib Hassan, Salim Segaff al-Jufri, Yusuf Supendi, Hidayat Nur Wahid, dan Musyyaffa Abdul Rahim.
Gerakan Tarbiyah inilah yang pada 1998 melahirkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai Keadilan (PK).
Selepas pulang ke tanah air setelah merampungkan program master dan doktornya, Hidayat Nur Wahid melibatkan diri dalam Yayasan Alumni Timur Tengah dan mendirikan yayasan-yayasan alumni Timur Tengah. Ia juga mendirikan Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) Yayasan al-Haramain sebagai bentuk baktinya terhadap pesantren. Yayasan al-Haramain ini pernah menerbitkan Jurnal Ma’rifat dimana ia menjabat sebagai dewan redaksinya. Jurnal Ma’rifat ini diterbitkan sebagai counter terhadap Jurnal ‘Ulumul Qur’an yang berisikan tema-tema pembaharuan Islam Nurchalish Madjid atau Cak Nur. Sungguh pun demikian, sebagai seorang Muslim dan akademisi, Hidayat Nur Wahid tetap menaruh rasa hormat kepada Cak Nur.
Dalam pandangannya yang objektif, Hidayat Nur Wahid memandang Cak Nur sebagai sosok yang ingin menghadirkan Islam dan Umat Islam yang bisa diterima secara elegan oleh semua masyarakat dunia, dimana Islam ditempatkan pada tempat yang tinggi, menginternasional, dan universal. Islam menjadi sesuatu yang membawa pada pencerahan, bukan Islam yang disalahpahami, anti budaya, dan sejenisnya. Meskipun pada beberapa hal, Hidayat mengakui bahwa merupakan hal yang wajar jika ia tidak selamanya sependapat dengan Cak Nur.
Hidayat Nur Wahid juga pernah menjabat sebagai Ketua Forum Da’wah Indonesia, peneliti di Lembaga Kajian Fiqh dan Kajian Hukum (LKFKH) al-Khairat, dan juga sebagai salah satu pengurus Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.
Dalam bidang akademis, sebagai bentuk pengabdiannya kepada ilmu pengetahuan, Hidayat Nur Wahid juga melibatkan diri mengajar di sejumlah Perguruan Tinggi. Ia menjadi dosen pada Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam, dan Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Hidayat Nur Wahid juga menjabat sebagai dosen pasca sarjana di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, dan dosen pasca sarjana di Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta.
Karena perhatiannya terhadap problem sosial dan kemanusiaan, kemampuannya mengonsolidasi massa, dan integritas pribadinya yang dipandang baik, Hidayat Nur Wahid dipercaya oleh gabungan beberapa organisasi massa dan politik,[8] untuk memimpin demonstrasi terbesar di Indonesia yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Rakyat Irak (KISRA) pada 30 Maret 2003 dalam rangka menentang agresi Amerika Serikat ke Irak.
Sebelumnya Pada tahun 2000, atas permintaan dari Nurchalish Madjid, Imam B. Prasodjo, dan Emmy Hafidl, Hidayat Nur Wahid pernah pula menjabat sebagai ketua koordinator tim agama di Forum Indonesia Damai (FID), sebuah organisasi yang dibentuk oleh para aktivis, akademisi, dan tokoh lintas agama seperti Nurchalish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Frans Magnes Suseno, Bara Hasibuan, Asmara Nababan, Sa’id Agiel Siradj, dan Mar’ie Muhamad.
Dalam wawancara dengan Majalah Saksi, dapat disimpulkan bahwa keterlibatan Hidayat Nur Wahid dalam forum ini disebabkan oleh keprihatinannya terhadap teror bom yang marak terjadi pada waktu itu. Teror bom terjadi di gereja-gereja, di Masjid Istiqlal, di gedung Kejaksaan Agung, juga di gedung Kedutaan Malaysia dan Filipina. Hidayat Nur Wahid merasa khawatir budaya kekerasan dan pembunuhan tersebut dapat mengadu domba kerukunan bangsa Indonesia. Lebih jauh ia khawatir memang ada skenario pihak-pihak tertentu yang ingin mengail di air keruh agar terjadi konflik horizontal tersebut.
Sebagai seorang pemuka agama, keikutsertaannya dalam Forum Indonesia Damai juga didasari oleh perspektif religiusnya, seperti yang tercantum dalam surah al-Ma’idah/5:2 yakni “wa ta‘awanu ‘ala al-birri wa al-taqwa, wa la ta‘awanu ‘ala al-itsmi wa al‘-udwan” (“dan tolong-menolongah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam dosa dan pelanggaran”). Dari sudut pandang ini, Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa kita diperintahkan untuk merealisasikan al-birr dalam definisinya sebagai segala bentuk kebajikan, dengan siapapun, dan kita tidak boleh bekerjasama dengan siapapun dalam konteks dosa.
Dalam konteks politik, nama Hidayat Nur Wahid sebetulnya mulai dikenal ketika ia menjabat sebagai Presiden Partai Keadilan (PK) pada 21 Mei 2000, menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Tradisi melepas jabatan partai ini kemudian hari diikuti oleh Hidayat Nur Wahid yang melepas jabatannya sebagai Presiden Partai Keadilan Sejahtera setelah terpilih sebagai Ketua MPR pada tahun 2004.
Sebelum menjabat sebagai Presiden PK, Hidayat hanya dikenal di lingkungan internal Gerakan Tarbiyah. Di kalangan Partai Keadilan sendiri, Hidayat Nur Wahid dikenal sebagai dewan pendiri. Ketika Partai Keadilan dideklarasikan pada 20 Mei 1998, sebetulnya ia sudah diminta untuk menduduki kursi presiden partai, namun ia menolak dengan alasan konteks waktu yang belum tepat.
Hidayat menyadari bahwa ia memimpin sebuah partai yang sangat segmented. Menurut Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut Azyumardi Azra membuat Partai Keadilan dipandang cenderung eksklusif.[11] Padahal tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai politik untuk merebut sebanyak mungkin simpati publik. Untuk memudahkan partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, partai politik harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu. Dalam hal ini menarik apa yang diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PKS Anis Matta,
“Kalau basis organisasi bersifat elitis-eksklusif, maka basis sosial bersifat massif dan terbuka. Kalau basis organisasi berorientasi pada kualitas, maka basis sosial berorientasi kuantitas. Kalau organisasi meretas jalan, maka masyarakatlah yang akan melaluinya. Kalau para pemimpin melihat ke depan dengan pikiran-pikirannya yang jauh, maka massa menjangkau ke depan dengan tangan-tangannya yang banyak. Kalau pemimpin yang hebat mendapatkan dukungan publik yang luas, maka akan terbentuklah sebuah kekuatan dakwah yang dahsyat…begitulah menciptakan sinergi antara kualitas dengan kuantitas, keduanya mempunyai peran yang sama srategisnya.”
Keharusan melebarkan “sayap” pada segmentasi yang lebih luas ini pun disadari oleh Hidayat Nur Wahid. Dalam sambutannya setelah terpilih sebagai Presiden Partai Keadilan, Hidayat menyatakan bahwa jabatan itu sejatinya merupakan amanah yang tidak ringan. Hidayat Nur Wahid kemudian merinci tantangan-tantangan yang akan dihadapi partainya tersebut,
Pertama, masalah pencitraan partai yang sebagaimana diulas diatas, masih terbatas pada segmen tertentu. Menurut Hidayat, Meskipun citra ini positif karena memperjelas segmentasi pendukung, namun dalam konteks dakwah hal ini menjadi tidak tepat karena dasar dakwah adalah seruan pada seluruh segmen masyarakat apapun kondisinya. Menurut Hidayat, pencitraan tadi akan menghambat pelebaran dakwah karena nilai-nilai dakwah Partai Keadilan akan terkungkung pada segmen-segmen yang terbatas.
Kedua, faktor konsolidasi internal. Konsolidasi internal harus terus mengalami penguatan meskipun dalam tubuh PK sudah cukup solid.
Ketiga, adalah faktor komunikasi dan sosialisasi massa. Hidayat Nur Wahid berpandangan bahwa untuk meyakinkan masyarakat bahwa Partai Keadilan tidak mengalami stagnasi setelah ditinggal oleh Nur Mahmudi, maka jalinan komunikasi dengan media massa dan kalangan yang memiliki akses massa harus lebih mengalami peningkatan. Hidayat Nur Wahid paham bahwa peran media massa sangat besar dalam pembentukan opini yang menentukan aspirasi politik publik.
Keempat, Partai Keadilan harus dapat memenuhi pandangan masyarakat yang menuntut bahwa Partai Keadilan haruslah menjadi partai besar. Sehingga pengkaderan harus dilakukan secara massif dan terus menerus dengan target dominannya nilai-nilai dakwah di masyarakat.
Kelima, adalah masalah finansial, bagaimanapun Hidayat memahami bahwa kegiatan partai adalah kegiatan yang bersifat massal dan harus terprogram secara professional, sehingga diperlukan adanya terobosan agar kebutuhan finansial partai dapat terpenuhi secara mandiri.
Pada tahun 2003, Hidayat Nur Wahid kemudian memimpin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebetulnya merupakan metamorfosa dari Partai Keadilan. Di bawah kepemimpinannya, meskipun ini bukan merupakan satu-satunya faktor, Partai Keadilan Sejahtera berhasil melipatgandakan suaranya pada Pemilu 2004 sebesar 600%. Partai Keadilan yang pada Pemilu 1999 hanya memperoleh 1,4% suara nasional, meraih 7,34% pada pemilu 2004. Untuk partai yang baru dideklarasikan pada tahun 2003, perolehan tersebut merupakan sebuah prestasi yang menurut Saiful Mujani,[14] amat mengesankan. PKS bahkan mampu mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai yang lebih awal berdiri, dan dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais.
Lompatan suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat setelah mengalahkan Sucipto dengan selisih hanya dua suara dalam pemilihan yang berlangsung secara demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR tanggal 6 Oktober 2004. Setelah memimpin MPR itulah nama Hidayat Nur Wahid dikenal luas sebagai tokoh yang sederhana dan sebagai ikon anti KKN.
Menurut Azyumardi Azra fenomena kemunculan Hidayat Nur Wahid dan semua kiprah PKS diatas merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai mainstreaming of Islamic politics, pengarusutamaan politik Islam, sebagaimana dipahami dan ditampilkan PKS.
Dalam pengarusutamaan ini Hidayat Nur Wahid semakin ke tengah. Ia tidak lagi terpingir dan terpencil dari hiruk pikuk politik yang berlangsung. Sebaliknya, ia menjadi aktor dan pelaku yang cukup menentukan.
Hidayat Nur Wahid memang tidak menghasilkan banyak karya tulis, namun aktivitas sosial dan terutama politiknya yang mencerminkan ketinggian moral, telah menuai banyak simpati dan pujian.
Sumber : /www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar