“Pahlawan Yang Syahid di Kayu Salib”
Dan kini …
Lapangkanlah jalan kepada pahlawan ini, wahai para shahabat. Mari kemari, dari segenap penjuru dan tempat. Datanglah ke sini, secara mudah atau bersusah payah. Kemarilah bergegas dengan menundukkan hati. Menghadaplah untuk mendapatkan pelajaran dalam berkurban yang tak ada tandingannya. Mungkin anda sekalian akan berkata: “Apakah semua yang telah anda ceritakan kepada kami dulu bukan merupakan pelajaran-pelajaran tentang pengurbanan yang jarang tandingannya?”
Benar, semuanya pelajaran, dan kehebatannya tak ada tandingan dan imbangannya. Tapi kini kalian berada di muka seorang maha guru baru dalam mata pelajaran seni berqurban Seorang guru, seandainya anda ketinggalan menghadiri kuliahnya, anda akan kehilangan banyak kebaikan-kebaikan yang tidak terkira. Mari bersama kami, wahai penganut aqidah dari setiap ummat dan tempat. Mari bersama kami, wahai pengagum ketinggian dari segala masa dan zaman. Kamu juga, wahai orang-orang yang telah sarat oleh beban penipuan diri dan berprasangka buruk terhadap Agama dan iman.
Marilah datang dengan kebanggaan palsumu itu. Marilah, dan perhatikanlah bagaimana Agama Allah itu telah membentuk dan menempa tokoh-tokoh terkemuka. Marilah perhatikan oleh kalian! Kemuliaan yang tiada tara, kegagahan sikap, ketetapan pendirian, keteguhan hati, kepantang munduran … pengurbanan dan kecintaan yang tak ada duanya. Ringkasnya, kebesaran yang luar biasa dan mengagumkan, yang telah dikalungkan oleh keimanan yang sempurna ke leher pemiliknya yang tulus ikhlas Tampakkah oleh anda sekalian tubuh yang diaalib itu ? Nah, inilah dia judul pelajaran kita hari ini, wahai semua anak manusia! Benar, tubuh yang diaalib di hadapan kalian itulah sekarang yang jadi judul dan mata pelajaran, dan jadi contoh teladan dan sekaligus guru. Namanya Khubaib bin ‘Adi. Hafalkan benar dengan baik nama yang mulia ini!
Hafalkan dan dengungkan serta lagukanlah namanya, karena ia jadi kebanggaan dari setiap manusia, setiap agama, dari setiap aliran dan dari setiap bangsa di setiap zaman.
Ia seorang yang cukup dikenal di Madinah dan termasuk shahabat Anshar. Ia Sering bolak-balik kepada Rasulullah saw. sejak beliau hijrah kepada mereka, lalu beriman kepada Rabbul Alamin. Seorang yang berjiwa bersih, bersifat terbuka, beriman teguh dan berhati mulia. Ia adalah sebagai yang dilukiakan oleh Hassan bin Tsabit, penyair Ialam sebagai berikut:
“Seorang pahlawan yang kedudukannya sebagai teras orang-orang Anshar. Seorang yang lapang dada namun tegas dan keras tak dapat ditawar-tawar”.
Sewaktu bendera perang Badar dikibarkan orang, terdapatlah di sana seorang prajurit berani mati dan seorang pahlawan gagah perkasa yang tiada lain dari Khubaib bin ‘Adi ini. Salah seorang di antara orang-orang musyrik yang berdiri menghadang jalannya di perang Badar ini dan tewas di ujung pedangnya, ialah seorang pemimpin Quraiay yang bernama al-Harits bin ‘Amir bin Naufal. Setelah pertempuran selesai dan siaa-siaa pasukan Quraiay yang kalah kembali ke Mekah, tahulah Bani Harits siapa yang telah menewaskan bapak mereka. Mereka menghafalkan dengan baik nama orang Ialam yang telah menewaskan ayah mereka dalam pertempuran itu ialah Khubaib bin ‘Adi … !
Orang-orang Ialam telah kembali ke Madinah dari perang Badar. Mereka meneruskan pembinaan masyarakat mereka yang baru . Adapun Khubaib, ia adalah seorang yang taat beribadah, dan benar-benar membawakan sifat dan watak seorang ‘abid dan kerinduan seorang ‘asyik. Demikianlah ia beribadat menghadap Allah dengan sepenuh hatinya, berdiri shalat di waktu malam dan berpuasa di waktu siang serta memahasucikan Allah pagi dan petang.
Pada suatu hari Rasulullah saw. bermaksud hendak menyelidiki rahasia orang-orang Quraiay, hingga dapat mengetahui ke mana tujuan gerakan serta langkah persiapan mereka untuk suatu peperangan yang baru. Untuk itu beliau pilih sepuluh orang dari para shahabatnya, termasuklah di antaranya Khubaib dan sebagai pemimpin mereka diangkat oleh Nabi, ‘Ashim bin Tsabit.
Pasukan penyelidik ini pun berangkatlah ke tujuannya hingga sampai di suatu tempat antara Osfan dan Mekah. Rupanya gerakan mereka tercium oleh orang-orang dari kampung Hudzail yang didiami oleh suku Bani Haiyan, orang-orang ini segera berangkat dengan seratus orang pemanah mahir, menyusul orang-orang Ialam dan mengikuti jejak mereka dari belakang.
Pasukan bani Haiyan hampir Saja kehilangan jejak, kalau tidaklah salah seorang mereka melihat biji kurma berjatuhan di atas pasir. Biji-biji itu dipungut oleh sebagian di antara orang-orang ini, lalu mengamatinya berdasarkan firasat yang tajam yang biasa dimiliki oleh bangsa Arab, lalu berseru kepada teman-teman mereka: “Biji-biji itu berasal dari Yatsrib - nama lain dari Madinah - Ayo, kita ikuti, hingga dapat kita ketahui di mana mereka berada.
Dengan petunjuk biji-biji kurma yang berceceran di tanah, mereka terus berjalan, hingga akhirnya mereka melihat dari jauh rombongan Kaum Muslimin yang sedang mereka cari-cari itu. ‘Ashim, pemimpin penyelidik merasa bahwa mereka sedang dikejar musuh, lalu diperintahkannya kawan-kawannya untuk menaiki suatu puncak bukit yang tinggi. Para pemanah musuh yang seratus orang itu pun dekatlah sudah. Mereka mengelilingi Kaum Muslimin lalu mengepung mereka dengan ketat.
Para pengepung meminta agar Kaum Muslimin menyerahkan diri dengan jaminan bahwa mereka tidak akan dianiaya. Kesepuluh orang ini menoleh kepada pemimpin mereka ‘Achim bin Tsabit al-Anshan r.a. Rupanya ia menyatakan: “Adapun aku, demi Allah aku tak akan turun, mengemia perlindungan orang musyrik. Ya Allah, sampaikanlah keadaan kami ini kepada Nabi-Mu”
Dan segeralah para pemanah yang seratus orang itu menghujani mereka dengan anak panah. Pernimpin mereka ‘Achim beserta tujuh orang lainnya menjadi sasaran dan mereka pun gugurlah sebagai syahid. Mereka meminta agar yang lain turun dan tetap akan dijamin keselamatannya sebagai dijanjikan. Maka turunlah ketiga orang itu, yaitu Khubaib beserta dua orang shahabatnya.
Para pemanah mendekati Khubaib dan salah seorang temannya, mereka menguraikan tali-temali mereka dan mengikat keduanya. Teman mereka yang ketiga melihat hal ini sebagai awal pengkhianatan janji, lalu ia memutuskan mati secara nekad sebagaimana dilakukan ‘Achim dan teman-temannya, maka gugurlah ia pula menemui syahid seperti yang diinginkannya.
Dan demikianlah, kedelapan orang yang terbilang di antara orang-orang Mu’min yang paling tebal keimanannya, paling teguh menepati janji dan paling setia melaksanakan tugas kewajibannya terhadap Allah dan Rasul, telah menunaikan darma bakti mereka sampai mati.
Khubaib dan seorang temannya yang seorang lagi Zaid, berusaha melepaskan tali ikatan mereka, tapi tidak berhasil karena buhulnya yang sangat erat. Keduanya dibawa oleh para pemanah durhaka itu ke Mekah. Nama Khubaib menggema dan tersiar ke telinga orang banyak. Keluarga Harits bin ‘Amin yang tewas di perang Badar, cepat mengingat nama ini dengan baik, suatu nama yang menggerakkan dendam kebencian di dada mereka. Mereka pun segera membeli Khubaib sebagai budak, untuk melampiaskan seluruh dendam kebencian mereka kepadanya. Dalam hal ini mereka mendapat saingan dari penduduk Mekah lainnya yang juga kehilangan bapak dan pemimpin mereka di perang Badar. Terakhir mereka merundingkan semacam siksa yang akan ditimpakan kepada Khubaib untuk memuaskan dendam kemarahan mereka, bukan saja terhadapnya tetapi juga terhadap seluruh Kaum Muslimin! Dan sementara itu, golongan musyrik lainnya melakukan tindakan kejam pula terhadap teman Khubaib, Zaid bin Ditsinnah, yaitu dengan menyula atau menusuknya dari dubur hingga tembus ke bagian atas badannya.
Khubaib telah menyerahkan dirinya sepenuhnya, menyerahkan hatinya, pendeknya semua urusan dan akhir hidupnya kepada Allah Rabbul’alamin. Dihadapkannya perhatiannya kepada beribadat dengan jiwa yang teguh, keberanian yang tangguh disertai sakinah atau ketenteraman yang telah dilimpahkan Allah kepada yang dapat menghancurkan batu karang dan melebur ketakutan. Allah selalu besertanya sementara ia senantiasa beserta Allah. Kekuasaan Allah menyertainya, seakan-akan jari-jemari kekuasaan itu membalut dadanya hingga terasa sejuk dingin.
Pada suatu kali salah seorang puteri Harits datang menjenguk ke tempat tahanan Khubaib yang ada di sekitar rumahnya, tiba-tiba ia meninggalkan tempat itu sambil berteriak, memanggil dan mengajak orang Mekah menyaksikan keajaiban, katanya: “Demi Allah saya melihat Khubaib menggenggam setangkai besar anggur sambil memakannya, sedang ia terikat teguh pada besi, padahal di Mekah tak ada sebiji anggur pun. Saya kira itu adalah rizqi yang diberikan Allah kepada Khubaib.
Benarlah Itu adalah rizqi yang diberikan Allah kepada hambanya yang shaleh, sebagaimana dahulu pernah diberikanNya seperti itu kepada Maryam anak ‘Imran, yaitu di saat:
“Setiap kali Zakaria masuk ke dalam mihrabnya, dan ditemukannya rizqi di dekat Maryam. Katanya: Dari mana datangnya makanan ini hai Maryam? Jawabnya: Ia datang dari Allah, sesungguhnya Allah memberi rizqi kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan tidak terhingga”
(Q.S. Ali Imran [3] : 37)
Orang-orang musyrik menyampaikan berita kepada Khubaib tentang tewasnya serta penderitaan yang dialami shahabat dan saudaranya Zaid bin Ditsinnah. r.a. Mereka mengira dengan itu dapat merusakkan urat sarafnya, serta membayangkan dan merasakan derita dan siksa yang membawa kematian kawannya itu. Tetapi mereka tidak mengetahui bahwa Allah telah merangkulnya dengan menurunkan sakinah dan rahmat-Nya. Terus mereka menguji keimanannya dan membujuknya dengan janji pembebasan seandainya ia man mengingkari Muhammad dan sebelum itu Tuhannya yang telah diimaninya. Tetapi usaha mereka tak ubahnya seperti hendak mencopot matahari dengan memanahnya. Benar, keimanan Khubaib tak ubah bagai matahari, baik tentang kuatnya, jauhnya maupun tentang panasnya dan cahayanya. Ia akan bercahaya bagi orang-orang yang mencari cahayanya dan ia akan padam menggelap bagi orang yang menghendakinya gelap. Adapun orang yang menghampirinya dan menentangnya maka ia akan terbakar dan hangus.
Dan tatkala mereka telah berputus asa dari apa yang mereka harapkan, mereka seretlah pahlawan ini ke tempat kematiannya, mereka bawa ke suatu tempat yang bernama Tan’im, dan di sanalah ia menemui ajalnya.
Sebelum mereka melaksanakan itu, Khubaib minta izin kepada mereka untuk shalat dua rakaat. Mereka mengidzinkannya, dan menyangka bahwa rupanya sedang berlangsung tawar menawar dalam dirinya untuk menyerah kalah dan menyatakan keingkarannya kepada Allah, kepada Rasul dan kepada Agamanya. Khubaib pun shalatlah dua rakaat dengan khusu’, tenang, dan hati yang pasrah. Dan melimpahlah ke dalam rongga jiwanya, lemak manianya iman, maka ia menyatakan cintanya kiranya ia terus shalat, terus shalat dan shalat lagi. Tetapi kemudian ia berpaling ke arah algojonya, lalu katanya kepada mereka: “Demi Allah, kalau bukanlah nanti ada sangkaan kalian bahwa aku takut mati, niacaya akan kulanjutkan lagi shalatku … !”
Kemudian diangkatnya kedua pangkal lengannya ke arah langit lalu. mohonnya: “Ya Allah, susutkanlah bilangan mereka, musnahkan mereka sampai binasa” Kemudian diamat-amatinya wajah mereka, disertai suatu keteguhan tekad lalu berpantun:
Mati bagiku tak menjadi masalah.
Asalkan ada dalam ridla dan rahmat Allah Dengan jalan apapun kematian itu terjadi. Asalkan kerinduan kepada-Nya terpenuhi Ku berserah menyerah kepada-Nya. Sesuai dengan taqdir dan kehendak-Nya Semoga rahmat dan berkah Allah tercurah. pada setiap sobekan daging dan tetesan darah.
Dan mungkin inilah peristiwa pertama dalam sejarah bangsa Arab, di mana mereka menyalib seorang laki-laki, kemudian membunuhnya di atas salib.
Mereka telah menyiapkan pelepah-pelepah tamar untuk membuat sebuah salib besar, lalu. menyandarkan Khubaib di atasnya, dengan mengikat teguh setiap bagian ujung tubuhnya.
Orang-orang musyrik itu jadi buas dengan melakukan segala kekejaman yang menaikkan bulu. roma. Para pemanah bergantian melepaskan panah-panah mereka.
Kekejaman yang di luar batas ini sengaja dilakukan secara perlahan-lahan terhadap pahlawan yang tidak berdaya karena tersalib. Tapi ia tak memicingkan matanya, dan tak pernah kehilangan sakinah yang mena’ajubkan itu yang telah memberi cahaya kepada wajahnya. Anak-anak panah bertancapan ke tubuhnya dan pedang-pedang menyayat-nyayat dagingnya. Di kala itu salah seorang pemimpin Quraiay mendekatinya sambil berkata: “Sukakah engkau, Muhammad menggantikanmu, dan engkau sehat wal’afiat bersama keluargamu?” Tenaga Khubaib pulih kembali, dengan suara laksana angin kencang ia, berseru kepada para pembunuhnya: “Demi Allah tak sudi aku bersama anak istriku selamat meni’mati kesenangan dunia, sedang Rasulullah kena musibah walau oleh sepotong duri” Kalimat dan kata-kata hebat yang menggugah ini pulalah yang telah diucapkan oleh teman seperjuangannya Zaid bin Ditsinnah sewaktu mereka hendak membunuhnya. Kata-kata yang mempesona itu yang telah diucapkan oleh Zaid kemarin, dan diulangi oleh Khubaib sekarang, yang menyebabkan Abu Sofyan, yang waktu itu belum lagi masuk Ialam mempertepukkan kedua telapak tangannya sembari berkata kepada penganiaya itu: “Demi Allah, belum pernah kulihat manusia yang lebih mencintai manusia lain, seperti halnya shahabat-shahabat Muhammad terhadap Muhammad.
Kata-kata Khubaib ini bagaikan aba-aba yang memberi keleluasaan bagi anak-anak panah dan mata-mata pedang untuk mencapai sasarannya di tubuh pahlawan ini, yang menyakitinya dengan segala kekejaman dan kebuasan. Dekat ke tempat kejadian ini telah berterbangan burung-burung bangkai dan burung-burung buas lainnya, seolah-olah sedang menunggu selesainya para pembantai pulang meninggalkan tempat itu, hingga dapat mendekat dan mengerubungi tubuh yang sudah menjadi mayat itu sebagai santapan istimewa. Tetapi kemudian burung-burung tersebut berbunyi bersahut-sahutan lalu berkumpul dan saling mendekatkan paruhnya seakan-akan mereka sedang berbisik dan berbicara perlahan-lahan serta saling bertukar kata dan buah fikiran. Dan tiba-tiba mereka beterbangan membelah angkasa, dan pergi menjauh, jauh sekali. Seolah-olah burung ini dengan perasaan dan nalurinya tercium akan jasad seorang yang shaleh yang berdekat diri kepada Allah dan menyebarkan baunya yang harum dari tubuh yang tersalib itu, maka mereka segan dan malu akan menghampiri dan menyakitinya.
Demikianlah burung-burung itu berlalu terbang berbondong-bondonm melintasi angkasa dan menahan diri dari kerakusannya.
Orang-orang musyrik telah kembali ke Mekah, ke sarang kedengkian, setelah meluapkan dendam kesumat dan permusuhan. Dan tinggallah tubuh yang syahid itu dijaga oleh sekelompok para algojo bersenjata tombak dan pedang.
Dan Khubaib, ketika mereka menaruhnya di atas pelepah kurma yang mereka jadikan sebagai kayu salib tempat mereka mengikatkannya, telah menghadapkan mukanya ke arah langit sambil berdoa kepada Tuhannya Yang Maha Besar, Katanya: “Ya Allah kami telah menyampaikan tugas dari Rasul-Mu, maka mohon disampaikan pula kepadanya esok, tindakan orang-orang itu terhadap kami”
Doanya itu diperkenankan oleh Allah. Sewaktu Rasul di Madinah, tiba-tiba ia diliputi suatu perasaan yang kuat, memberitahukan bahwa para shahabatnya dalam bahaya, dan terbayanglah kepadanya tubuh salah seorang mereka sedang tergantung di awang-awang.
Dengan segera beliau saw. memerintahkan shahabatnya Miqdad bin Amar dan Zubair bin Awwam, yang segera menunggang kuda mereka dan memacunya dengan kencang. Dan dengan petunjuk Allah sampailah mereka ke tempat yang dimaksud. Maka mereka turunkanlah mayat shahabat mereka Khubaib, sementara tempat suci di bumi telah menunggunya untuk memeluk dan menutupinya dengan tanah yang lembab penuh berkah.
Tak ada yang mengetahui sampai sekarang di mana sesungguhnya makam Khubaib. Mungkin itu lebih pantas dan utama untuknya, sehingga senantiasalah ia menjadi kenangan dalam hati nurani kehidupan, sebagai seorang pahlawan yang mati syahid di atas kayu salib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar