17 Juli 2011

Rekonsiliasi, Jeda Cinta Yang Menepi

 “Dia,” kata Ammar bin Yasir kepada Utsman bin Affan, “Berwasiat agar engkau tidak menshalatkannya.” Kalimat menyesakkan tentang akhir kisah Abdullah bin Mas’ud itu ditulis dalam kitab Ansabul Asyraf jilid V halaman 36.
Ini tentang cinta manusia-manusia utama yang berjeda. Manusia-manusia yang belajar di sekolah rabbani bersama murabbi qur’ani. Manusia-manusia yang telah mendapat keridhaan Allah dan keadilannya diakui. Cinta di antara manusia-manusia ini begitu dalam dan senantiasa dinaungi keikhlasan, keimanan, dan ketakwaan, begitu indah.
Meski di antara manusia-manusia pilihan ini cinta dan ukhuwah telah menjadi napas kehidupannya, bukan berarti mereka senantiasa seiya sekata dalam urusan kehidupannya. Mereka adalah manusia seutuhnya dengan perbedaan karakter, pemikiran, dan pandangan. Oleh karena itu, kadangkala, di antara mereka pun muncul perselisihan dan perbedaan pendapat. Saat itulah, sang murabbi, Rasulullah Muhammad, akan memutuskan perkara mereka dengan keputusan langit ataupun pendapat hukumnya sendiri.

Itu terjadi tatkala Rasulullah masih berada di tengah-tengah mereka. Saat Rasulullah meninggalkan mereka menuju Rabbnya dan wahyu berhenti, perselisihan di antara mereka pun diselesaikan dengan dua pegangan utama mereka, Al Qur’an dan As Sunnah. Jika permasalahannya tidak didapati di kedua pegangan itu, mereka pun menyelesaikannya secara bersama-sama.
Tatkala fitnah mulai merambah bumi Islam seperti deburan angin yang membawa debu dan membawa gelapnya malam, peristiwa-peristiwa memilukan pun terjadi. Ini tentang salah seorang sahabat Rasulullah yang dimuliakan dan membuat malaikat malu kepadanya, Utsman bin Affan. Dialah manusia yang menurut Rasulullah adalah umatnya yang paling pemalu.
Di masa jabatannya sebagai khalifah, ia mengangkat beberapa orang kerabatnya dan orang-orang yang dekat dengannya sebagai pejabat pemerintahan. Di antaranya adalah Al Walid bin Uqbah. Dia adalah salah seorang Bani Aslam yang dibebaskan pada peristiwa Fathu Makkah. Rasulullah pernah mengangkatnya sebagai petugas pengumpul zakat dari Bani Musthaliq. Ayahnya adalah Uqbah bin Abdi Mu’ith yang sangat berperan menyiksa kaum mustadh’afin dan menyakiti Rasulullah di Makkah. Uqbah adalah salah seorang tawanan Perang Badar yang dihukum mati.
“Tahukah kalian atas apa yang dilakukan orang ini kepadaku?” kata Rasulullah setelah memutuskan hukuman mengenai Uqbah ini sebagaimana dicatat dalam Al Bidayah wa An Nihayah. “Saat aku sujud di belakang Maqam Ibrahim, dia datang lalu menginjakkan kakinya ke leherku. Aku mencubitnya, tetapi kakinya tidak juga diangkat. Aku merasa seolah-olah kedua mataku akan keluar.”
“Pada kali lain,” lanjutnya, “Dia membawa kotoran domba, lalu melemparkannya ke kepalaku saat aku sujud. Kemudian datanglah Fathimah yang membersihkannya dari kepalaku.”
Sementara itu, sebagaimana ditulis dalam Thabaqat Ibnu Sa’d, ibunda Al Walid bin Uqbah adalah Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah, yang tidak lain adalah ibunda Utsman bin Affan. Jadi, Al Walid bin Uqbah adalah saudara seibu dengan Utsman bin Affan.
Pasca pembebasan kota Makkah, Al Walid bin Uqbah menjadi seorang muslim yang baik dan taat. Oleh karena itu, suatu kali Rasulullah memilihnya sebagai petugas pengumpul zakat mal dari Bani Musthaliq. Maka, berangkatlah Al Walid sebagai petugas zakat. Di dekat perkampungan Bani Musthaliq, ia melihat kumpulan orang bersenjata. Dia pun mengkhawatirkan keselamatan dirinya dan mengira bahwa mereka bermaksud jahat kepadanya. “Bani Musthaliq,” katanya setelah kembali kepada Rasulullah, “Menolak membayar zakat mal. Bahkan mereka hendak membunuhku.”
Ucapan Al Walid pun menyebar di kalangan kaum muslimin. Mereka bersiaga untuk memerangi Bani Musthaliq. Rasulullah pun mengeluarkan instruksi supaya mengadakan persiapan untuk memerangi mereka. Beliau mengutus Khalid bin Al Walid untuk memimpin pasukan kavaleri guna mengetahui peristiwa sebenarnya ke perkampungan Bani Musthaliq. Dia menjumpai Bani Musthaliq sebagai pemeluk Islam. Mereka semua keluar rumah untuk menyambut utusan Rasulullah. Melihat kondisi demikian, Khalid pun kembali pulang.
Lalu, Allah menurunkan firmannya tentang peristiwa ini dalam Surat Hujurat ayat 6. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Yang dimaksud ‘orang fasik’ dalam ayat tersebut adalah Al Walid bin Uqbah. Namun, pada masa Khalifah Abu Bakar, Al Walid sempat diberi tugas menjadi petugas pengumpul zakat Bani Quzha’ah dan pasukan jihad di Irak. Pada masa pemerintahan Amirul Mu’minin Umar bin Khathab, Al Walid diangkat sebagai gubernur Arab Jazirah. Namun, setelah itu muncul perpecahan di kalangan masyarakat luas yang mengakibatkan Al Walid bersikap keras terhadap rakyat yang dipimpinnya. Sebagian di antara mereka kabur ke wilayah Romawi. Umar pun meminta dilakukan pengembalian pelarian. Heraklius memenuhi permintaan Umar. Setelah itu, sekelompok orang datang ke Madinah dan mengadukan Al Walid bin Uqbah kepada amirul mukminin. Umar pun memutuskan untuk memecat Al Walid untuk memulihkan keamanan dan menetapkan stabilitas di wilayah mereka. Setelah itu, ia hanya tinggal di rumah dan tidak mengikuti perang atau tugas untuk mengurusi kaum muslimin.
Pada masa Utsman bin Affan, Al Walid diangkat menjadi gubernur Kufah dengan terlebih dulu memecat Sa’ad bin Abi Waqqash. Ketika Sa’ad bertemu Al Walid yang datang ke Kufah sebagai gubernur, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu, apakah keadaan menjadi semakin baik setelah kami ataukah semakin buruk sesudah kamu.”
“Janganlah mencemaskan Abu Ishaq (Umar bin Khathab),” kata Al Walid seperti ditulis dalam Al Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, “Sebab dia adalah raja yang makan paginya dijamu oleh suatu kaum dan makan malamnya dijamu oleh kaum yang lain.”
“Demi Allah,” kata Sa’ad bin Abi Waqqash menimpali, “Aku melihat kalian akan menjadikan Kufah sebagai kerajaan.”
Sementara itu, Abdullah bin Mas’ud yang menjabat sebagai bendahara dan mufti di Kufah sangat kaget melihat kedatangan Al Walid bin Uqbah ke kantor pemerintahan. “Ada apa?”
“Demi Allah, aku datang sebagai gubernur,” jawab Al Walid.
Abdullah bin Mas’ud terheran-heran dengan adanya perubahan mendadak yang menimpa umat Islam pasca kematian Umar bin Khathab. Oleh karena itu, dia berkata, “Aku tidak tahu apakah setelah kami menjadi baik ataukah manusia menjadi rusak.”
Setelah memecat penguasa Azerbaijan, Utbah bin Farqad As Sulami, dan mengirimkan pasukan bantuan ke Syam, Al Walid tinggal di Kufah layaknya seorang raja. Ia tidak mau mengurusi rakyatnya, meninggalkan kegiatan memperdalam agama, semakin sibuk dengan taman-taman dan mata air yang melimpahi diri dan orang-orang sekitarnya. Hingga pada suatu hari terjadi suatu peristiwa yang memalukan. Ia mengimami shalat subuh dengan makmum penduduk Kufah. Ia melakukan shalat subuh dengan empat rakaat. Rupanya malam harinya ia dalam keadaan mabuk. Kemudian ia berpaling kepada mereka dan berkata, “Apakah aku melebihinya?”
“Sejak sekarang,” kata Abdullah bin Mas’ud, “Kami senantiasa menambah rakaat selama kami bermakmum kepadamu.”
Akhirnya kabar ini sampai ke telinga Utsman. Setelah dilakukan penyelidikan, hukuman had pun dijatuhkan kepada Al Walid dan ia pun dipecat dari jabatannya sebagai gubernur Kufah.
Pada masa sebelum dipecat, Al Walid meminjam uang dari kas negara. Saat itu bendahara Baitul Mal kota Kufah adalah Abdullah bin Mas’ud. Setelah jatuh tempo dan Al Walid tidak mengembalikan pinjamannya, Abdullah bin Mas’ud pun menagih utang itu. Namun, Al Walid tidak juga segera membayar utangnya ke Baitul Mal. Al Walid pun terusik oleh tugas Ibnu Mas’ud. Ia pun menulis surat kepada Khalifah Utsman bin Affan. Dia mengadukan Ibnu Mas’ud yang mendesak menagih pinjamannya dari Baitul Mal. “Kamu,” tulis Utsman pada Ibnu Mas’ud, “Hanyalah juru kunci gudang buat kami. Karena itu, janganlah mengganggu Al Walid karena harta yang telah diambilnya.”
“Saya mengira bahwa diriku sebagai penjaga gudang kekayaan milik kaum muslimin. Namun, jika aku menjadi penjaga gudang kekayaanmu, aku tidak memiliki kepentingan sedikit pun atas hal itu,” kata Ibnu Mas’ud sambil melemparkan kunci Baitul Mal.
Untuk sekian waktu, Ibnu Mas’ud tetap tinggal di Kufah. Namun, keberadaan Ibnu Mas’ud di dekat di dekatnya membuat Al Walid gerah. Ia menulis surat pada Utsman yang menerangkan bahwa Ibnu Mas’ud telah menjelek-jelekkan Utsman dan mencelanya. Maka, Utsman memerintahkan Al Walid untuk menyuruh Ibnu Mas’ud pulang ke Madinah. Penduduk Kufah pun berkumpul di rumah Ibnu Mas’ud. Mereka hendak menolak perintah itu. “Tetaplah tinggal di sini. Kami akan menjagamu dari perkara yang dapat mengganggumu.”
“Aku wajib patuh kepada Utsman,” kata Ibnu Mas’ud, “Aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu fitnah.”
Berangkatlah Ibnu Mas’ud meninggalkan Kufah menuju Madinah. Ketika tiba di Madinah, ia masuk ke Masjid Nabi. Saat itu, Utsman tengah berpidato di atas mimbar Rasulullah. Tatkala Utsman melihatnya, ia berkata, “Ketahuilah, telah datang kepada kalian serangga kecil yang jahat..!”
“Aku bukanlah orang yang seperti itu,” kata Ibnu Mas’ud, “Namun, aku adalah orang yang menyertai Rasulullah dalam Perang Badar dan Bai’atur Ridhwan,”
Aisyah yang berada di biliknya turut pula mendengar perkataan Utsman bin Affan itu. “Hai Utsman,” Aisyah berseru, “Mengapa kamu berkata demikian kepada sahabat Rasulullah?” Namun, Utsman seakan tidak mempedulikan semua itu. Ia menyuruh Abdullah bin Mas’ud keluar dari Masjid Nabi dan mengusirnya dengan sengit.
Ali bin Abi Thalib yang berada di tempat itu pun unjuk wicara. “Hai Utsman, mengapa kamu berbuat demikian kepada sahabat Rasulullah hanya karena pengaduan Al Walid bin Uqbah?”
“Aku berbuat demikian bukan karena pengaduan Al Walid, “ sahut Utsman, “Tapi berdasarkan laporan Zubaid bin Ash Shalt Al Kindi yang aku suruh ke Kufah. Dia melaporkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah berkata mengenaiku, ‘Darah Utsman itu halal!’”
“Apakah kehalalan darahmu itu hanya berdasarkan atas laporan Zubaid tanpa didukung bukti yang kuat?” tanya Ali membela Ibnu Mas’ud. Lalu Ali bermaksud untuk menyelesaikan masalah Ibnu Mas’ud. Dibawanya Ibnu Mas’ud ke rumahnya. Ia menyuruhnya untuk tinggal di Madinah. Dan Utsman pun ternyata tidak mengizinkan Ibnu Mas’ud untuk pergi ke mana pun. Dia ingin pergi berperang menjadi mujahid, tapi Utsman tidak mengizinkannya pergi berjihad.
“Ibnu Mas’ud telah menghancurkan Irak-mu,” kata Marwan bin Al Hakam memantapkan Utsman, “Apakah engkau ingin agar dia juga menghancurkan Syam-mu?” Marwan tidak menghendaki Ibnu Mas’ud pergi berjihad. Dan sejarah pun mencatat bahwa Ibnu Mas’ud tidak pernah meninggalkan kota Madinah lagi.
Ketika Ibnu Mas’ud sakit, Utsman datang menjenguknya. Sakit yang dideritanya adalah sakit yang membawanya ke hadapan maut.
“Apa yang kamu keluhkan?”
“Dosa-dosaku.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Rahmat Tuhanku.”
“Maukah aku panggilkan tabib?”
“Tabib itu akan membuatku tambah sakit.”
“Bolehkah aku menyuruh orang untuk membawakan hadiah bagimu?”
“Dulu ketika aku memerlukannya, kamu menolaknya. Sekarang, ketika aku tidak membutuhkannya, kamu memberinya.”
“Kalau begitu untuk anak-anakmu.”
“Allah yang akan memberi rezeki kepada mereka.”
“Hai Abu Abdurrahman, “pinta Utsman, “Mintakanlah ampunan untukku.”
“Aku memohon kepada Allah kiranya Dia memberikan hakku yang ada padamu.”
Dua lelaki yang pernah saling mencinta itu berada di jeda cintanya. Pergulatan fitnah yang demikian hebat menimpa keduanya dan menyeret mereka pada perselisihan. Hati mereka retak dan memberikan ruang kosong, lubang hati yang perih dan berlinang airmata. Lantas muncul pula lubang yang sama di hati kita tentang dua lelaki utama itu, kepedihan dan kesedihan.
Jeda cinta mereka tidak benar-benar menepi. Abdullah bin Mas’ud memberikan wasiat agar jenazahnya dishalatkan oleh Ammar bin Yasir dan jangan dishalatkan oleh Utsman bin Affan. Maka, tatkala Abdullah bin Mas’ud menyusul kekasih terkasihnya, Ammar bin Yasir lah yang menshalatkannya. Ia kemudian dikuburkan di kompleks pemakaman Baqi’ menemani sahabat-sahabatnya yang telah mendahuluinya di taman-taman cinta.
Tatkala Utsman bin Affan mengetahui hal itu, ia sangat marah dan berkata keras, “Kalian telah mendahuluiku!” Ammar bin Yasir pun memberikan alasan, “Dia berwasiat agar engkau tidak menshalatkannya.”
Ya Allah… Jika kekayaan bisa membeli cinta, tentu orang-orang akan rela mengeluarkannya untuk menebus cinta mereka yang menjeda. “…dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana.”
Ada pula jeda cinta yang menepi. Ini terjadi di masa kelam itu, masa fitnah yang demikian gelap. Pasca wafatnya Utsman di tangan para pemberontak secara zhalim, beberapa sahabat utama menuntut balas darah. Mereka adalah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Al ‘Awwam dan Aisyah. Bersama sejumlah besar pasukan bersenjata, mereka menuju ibukota pemerintahan yang baru di Kufah, menuntut Ali untuk menyerahkan para pembunuh Utsman yang sebagian besar kini menjadi pendukung pemerintahan Ali.
Dalam Perang Berunta, Waq’atul Jamal, yang dipimpin oleh Ummul Mu’minin Aisyah, Ali mengundang dua sahabatnya yang kini berada di front perang yang berlawanan dengannya, Thalhah dan Zubair. Di kamp Ali, mereka bertiga bersua. Berpelukan melepaskan rasa permusuhan. Ketiganya berada di situ dengan niat melakukan perbaikan dan perdamaian, hanya caranya yang berbeda. Bahkan kini suasananya pun berbeda. Dulu mereka sama-sama mengayunkan pedang ke arah kaum kafir musyrik, namun kini pedang mereka saling terhunus ke jantung sesamanya.
Sesudah menyeka air mata, tulis Salim A Fillah dalam Sebuah Kenangan Atas Cinta, Ali menggenggam jemari Thalhah dan menatap dalam ke wajahnya. Dengan menghela nafas, ‘Ali mencoba menyusun kata. “Ingatkah engkau hai Thalhah, mengapa Allah turunkan ayat tentang hijab bagi istri Nabi dan mengapa Dia melarang kita untuk menikahi janda beliau?”
Thalhah terisak. Dadanya bergemuruh oleh malu dan sesal. Bahu kekarnya bergeletar. ‘Ali menepuk bahu Thalhah. “Ya”, katanya sambil mengalihkan pandangan, tak sanggup melihat tercabiknya batin Thalhah oleh kata-katanya. Tapi demi perdamaian dan persatuan kembali kaum Muslimin, ‘Ali mau tak mau harus mengatakan ini. Ia menguatkan hati. “Ayat itu turun karena maksud hati dan ucapanmu untuk menikahi ‘Aisyah.”
‘Ali meraba reaksi Thalhah. Lalu Ia melanjutkan sambil menatap tajam pada sahabatnya itu. “Dan kini sesudah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam benar-benar wafat, mengapa engkau justru membawa ‘Aisyah keluar dari hijabnya dan mengajaknya mengendarai unta dan berperang di sisimu?”
Kemudian Ali berpaling kepada Zubair. “Hai Zubair, aku minta kau jawab karena Allah. Tidakkah engkau ingat, suatu hari Rasulullah lewat di depanmu. Sedang saat itu kita sedang berada di rumah Fulan. Beliau berkata kepadamu, ‘Wahai Zubair, tidakkah engkau mencintai Ali?’”
“Maka, jawabmu, ‘Masa aku tidak cinta pada saudara sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang yang seagama denganku?’” kata Ali melanjutkan. “Waktu itu beliau berkata lagi, ‘Hai Zubair, demi Allah, bila engkau memeranginya, jelas engkau berlaku zhalim kepadanya.’”
“Ya!” sahut Zubair, “Sekarang aku ingat. Hampir saja aku melupakannya. Demi Allah, aku tak akan memerangimu.”
Maka tiga lelaki yang saling mencinta itu bersepakat untuk berdamai. Menepikan jeda cinta yang menyapa jalan hidup mereka, jeda cinta yang terlalu berdarah dan bertajam pedang terhunus. Hari itu, Thalhah dan Zubair mengundurkan diri dari peperangan. Mereka berdua meninggalkan kamp pasukan Ali dengan jiwa yang lapang penuh cinta. Mereka memang tidak perlu membayar cinta yang menjeda itu dengan harta yang banyak, tapi mereka membayarnya dengan sesuatu yang lain: nyawa. Zubair bin Al ‘Awwam dibunuh oleh Amr bin Jarmuz saat ia sedang shalat. Sedangkan Thalhah bin Ubaidillah pun meregang nyawa ditembus panah Marwan bin Al Hakam, sebagaimana ditulis Khalid Muhammad Khalid dalam Rijal Haular Rasul.
Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang syahid dalam peperangan ini di medan laga, semua dishalatkannya, baik yang berada di pihaknya ataupun yang menentangnya, maka ia berdiri di pusara Thalhah dan Zubair. “Sesungguhnya,” kata Ali, “Aku sangat berharap agar aku bersama Thalhah, Zubair, dan Utsman, termasuk di antara orang-orang yang difirmankan Allah, ‘Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.’ (Al Hijr: 47)”
Kemudian disapunya pusara keduanya dengan pandangan kasih sayang, persaudaraan, dan cinta. “Kedua telingaku ini telah mendengar sendiri Rasulullah bersabda bahwa Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku di surga.” Jeda cinta Thalhah, Zubair, dan Ali telah menepi. Meski dibayar dengan nyawa, tapi bayaran itu sepadan dengan surga yang dijanjikan, dan kedekatan cinta mereka: bertetangga di surga.
Masih tentang Ali bin Abi Thalib. Kali ini setelah perseteruannya dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kala itu, Ali bin Abi Thalib telah menemui Rabb-nya dengan syahid dibunuh oleh para pembangkang. Bukan dari pihak Mu’awiyah, tapi dari mantan pendukungnya sendiri setelah kecewa dengan keputusan Ali melakukan dan menerima tahkim dengan Mu’awiyah.
Suatu hari Dharar bin Hamrah menjumpai Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah berkata kepadanya, “Sifatilah Ali untukku!” Ia berkata, “Maafkanlah aku untuk ini.”
Ia berkata, “Tidak! Engkau harus menyifatinya!” Dharar berkata, “Semoga Allah merahmati Ali. Ketika berada di antara kami, ia bagaikan salah seorang dari kami dan ketika kami datang menjumpainya, ia mendekatkan kami ke sisinya. Apabila kami bertanya, ia menjawab dan manakala kami menziarahinya, ia menerima kami dan tidak ada penghalang atau hijab di antara kami. Walaupun beliau menerima kami di sisinya, kami tidak berani berbicara karena saking berwibawanya beliau. Ia bagaikan mutiara yang teratur.”
Mu’awiyah berkata, “Lanjutkan lagi!” Dharar berkata, “Semoga Allah merahmati Ali. Demi Allah, malam harinya beliau banyak terjaga dan tidurnya sedikit. Siang dan malam, beliau membaca Al Quran. Beliau memasrahkan hatinya kepada Allah dan dengan cucuran air mata, beliau kembali kepada Allah. Tidak ada tirai antara dirinya dengan Allah dan beliau tidak pernah mencegah kami untuk menemuinya. Dalam pertemuan-pertemuan, beliau sangat enggan menyandarkan diri ke sandaran yang nyaman dan untuk tidak bersandar begitu, adalah mudah bagi beliau.”
“Wahai Mu’awiyah,” lanjutnya, “Seandainya engkau menyaksikan Ali di kegelapan malam, ketika beliau memegang janggutnya, dan seperti orang yang digigit ular, berputar, menangis dan berkata, ‘Wahai dunia, engkau mengejarku! Aku tidak memerlukan dirimu dan aku menalaq-mu tiga kali.’ Setelah itu, beliau mengatakan, ‘O, perjalanan yang jauh dan sedikitnya bekal serta sulitnya perjalanan.’”
Ashbagh bin Nabatah, salah seorang perawi, berkata, “Di saat itu, Muawiyah menangis dan berkata, “Cukup. Wahai Dhirar, demi Tuhan, Ali memang seperti itu. Semoga Tuhan merahmati Abal Hasan.”
Riwayat ini tercantum dalam Biharul Anwar jilid 41 dengan status dha’if. Ashbagh bin Nabatah adalah seorang yang ditinggalkan. Namun, kita tetap dapat mengambil hikmah dari kisah perseteruan dua orang yang pernah berseteru itu, saat cinta mereka menjeda: Mua’wiyah versus Ali. Meskipun Ali telah meninggal, dan merupakan rival politik Mu’awiyah, ia tetap mengakui keutamaan Ali. Bahkan ia sangat sedih tatkala mendengar berita kematian Ali.
Ketika Mu’awiyah sedang tidur bersama istrinya dan mendengar berita terbunuhnya Ali, ia terus bangun dan berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Mu’awiyah pun menangis. Sang istri yang saat itu berada di sampingnya sangat heran.“Kemarin engkau menyalahkannya dan hari ini engkau menangis untuknya?”
“Wahai istriku,” kata Mu’awiyah, “Aku menangis mengenang manusia akan kehilangan sikap penyantunnya, ilmunya, kelebihannya, awalnya dia dalam Islam dan juga kebaikannya”
Begitulah terkadang jalan kisah cinta manusia. Ali dan Mu’awiyah adalah dua orang yang sama-sama merupakan penulis wahyu Rasulullah. Keduanya pun memiliki kelebihan masing-masing. Ali kuat beragama, sedangkan Mu’awiyah adalah politikus yang ulung. Perseteruan mereka merenggangkan hati mereka. Ketika keduanya belum sempat merekonsiliasikan hati mereka, menepikan jeda cinta mereka, Ali terburu menyusul khalifah sebelumnya, Umar bin Khathab, yang syahid di tangan para pembunuh.
Perselisihan. Perdamaian. Perbaikan. Rekonsiliasi, menepikan cinta yang menjeda. Sebuah pilihan sadar untuk melakukan perbaikan atas cinta yang retak, atau bahkan cinta yang bertransformasi menjadi kebencian. Terlalu bodoh jika seseorang tidak menginginkan kebaikan dalam hidupnya, membiarkan dirinya tenggelam dalam jeda cinta yang pastinya sakit dan menyakitkan. Dan sungguh zhalim bagi seseorang yang menghalangi para pecinta untuk menepikan jeda cinta mereka. Meski bukan hal mudah, memilih rekonsiliasi adalah keputusan besar dengan segala konsekuensinya. Kadang nyawa menjadi taruhannya, seperti Thalhah dan Zubair. Atau kadang penyesalan atas keterlambatan, seperti Mu’awiyah. Atau bahkan jika tidak memilih rekonsiliasi apapun. Terkubur bersama kematian. Namun, sejarah akan mencatatnya dan mengabarkannya pada masa depan.
Lelaki ini takut, takut jika kita seperti Utsman dan Ibnu Mas’ud. Sangat takut. Lelaki ini ingin menepikan jeda cinta itu. Lelaki ini ingin, setidaknya bertetangga di surga, seperti yang dulu pernah diikrarkannya. Perlahan dibacanya ayat ilahi itu. Surat Hud ayat 88. “Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakal dan hanya kepadaNya-lah aku kembali.”

Tidak ada komentar: