23 Juli 2011

SA’AD BIN MU’ADZ


“Kebahagiaan Bagimu, Wahai Abu Amr!”

Pada usia 31 tahun ia masuk Islam. Dan dalam usia 37 tahun ia pergi menemui syahidnya. Dan antara hari keislamannya sampai saat wafatnya, telah diisi oleh Sa’ad bin Muadz dengan karya-karya gemilang dalam berbakti kepada Allah dan Rasul-Nya.
Lihatlah:  Gambarkanlah dalam ingatan kalian laki-laki yang anggun berwajah tampan berseri-seri, dengan tubuh tinggi jangkung dan badan gemuk gempal ? Nah, itulah dia.
Bagai hendak dilipatnya bumi dengan melompat dan berlari menuju rumah As’ad bin Zurarah, untuk melihat seorang pria dari Mekah bernama Mush’ab bin Umeir yang dikirim oleh Muhammad saw. sebagai utusan guna menyebarkan tauhid dan Agama Islam di Madinah.
Memang, ia pergi ke sana dengan tujuan hendak mengusir perantau ini ke luar perbatasan Madinah, agar ia membawa kembali Agamanya dan membiarkan penduduk Madinah dengan agama mereka.
Tetapi baru Saja ia bersama Useid bin Zurarah sampai ke dekat majlis Mush’ab di rumah sepupunya, tiba-tiba dadanya telah terhirup udara segar yang meniupkan rasa nyaman.

Dan belum lagi ia sampai kepada hadirin dan duduk di antara mereka memasang telinga terhadap uraian-uraian Mush’ab, maka petunjuk Allah telah menerangi jiwa dan ruhnya.
Demikianlah, dalam ketentuan taqdir yang mengagumkan, mempesona dan tidak terduga, pemimpin golongan Anshar itu melemparkan lembingnya jauh-jauh, lalu mengulurkan tangan kanannya mengangkat bai’at kepada utusan Rasulullah saw.
Dan dengan masuk Islamnya Sa’ad, bersinarlah pula di Madinah mata hari baru, yang pada garis edarnya akan berputar dan beriringan qalbu yang tidak sedikit jumlahnya, dan bersama Nabi Muhammad saw. menyerahkan diri mereka kepada Allah Robbul’alamin.
Sa’ad telah memeluk Islam, memikul tanggung jawab itu dengan keberanian dan kebesaran. Dan tatkala Rasulullah hijrah ke Madinah, maka rumah-rumah kediaman Bani Abdil Asyhal, yakni kabilah Sa’ad, pintunya terbuka lebar bagi golong­an Muhajirin, begitu pula semua harta kekayaan mereka dapat dimanfa’atkan tanpa batas, pemakainya tidak perlu rendah diri dan jangan takut akan disodori bon perhitungan.
Dan datanglah saat perang Badar. Rasulullah saw. me­ngumpulkan shahabat-shahabatnya dari golongan Muhajirin dan Anshar untuk bermusyawarah dengan mereka tentang urusan perang itu. Dihadapkannya wajahnya yang mulia ke arah orang-orang Anshar, seraya katanya: “Kemukakanlah buah fikiran kalian, wahai shahabat”
Maka bangkitlah Sa’ad bin Mu’adz tak ubah bagi bendera di atas tiang, katanya:
“Wahai Rasulullah. Kami telah beriman kepada anda, kami percaya dan mengakui bahwa apa yang anda bawa itu adalah hal yang benar, dan telah kami berikan pula ikrar dan janji-janji kami. Maka laksanakanlah terus, ya Rasul­allah apa yang anda inginkan, dan kami akan selalu bersama anda. Dan demi Allah yang telah mengutus anda mem­bawa kebenaran! Seandainya anda menghadapkan kami ke lautan ini lalu anda menceburkan diri ke dalamnya, pastilah kami akan ikut mencebur, tak seorang pun yang akan mundur, dan kami tidak keberatan untuk menghadapi musuh esok pagi! Sungguh, kami tabah dalam pertempuran dan teguh menghadapi perjuangan. Dan semoga Allah akan memperlihatkan kepada anda tindakan kami yang menyenangkan hati. Maka marilah kita berangkat dengan berkah Allah Ta’ala”
Kata-kata Sa’ad itu muncul tak ubah bagai berita gembira, dan wajah Rasul pun bersinar-sinar dipenuhi rasa ridla dan bangga serta bahagia, lalu katanya kepada Kaum Muslimin:
“Marilah kita berangkat dan besarkan hati kalian karena Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu di antara dua golongan! . . . Demi Allah, . .. sungguh seolah-olah tampak olehku kehancuran orang-orang itu … !” (al-Hadits)
Dan di waktu perang Uhud, yakni ketika Kaum Muslimin telah cerai-berai disebabkan serangan mendadak dari tentara musyrikin, maka takkan sulit bagi penglihatan mata untuk menemukan kedudukan Sa’ad bin Mu’adz.
Kedua kakinya seolah-olah telah dipakukannya ke bumi di dekat Rasulullah saw. mempertahankan dan membelanya mati­-matian, suatu hal yang agung, terpancar dari sikap hidupnya.
Kemudian datanglah pula saat perang Khandak, yang dengan jelas membuktikan kejantanan Sa’ad dan kepahlawanannya. Perang Khandak ini merupakan bukti nyata atas persekongkolan dan siasat licik yang dilancarkan kepada Kaum Muslimin tanpa ampun, yaitu dari orang-orang yang dalam pertentangan mereka, tidak kenal perjanjian atau keadilan.
Maka tatkala Rasulullah saw. bersama para shahabat hidup dengan sejahtera di Madinah mengabdikan diri kepada Allah Saling nasihat-menasihati agar mentaati-Nya serta mengharap agar orang-orang Quraisy menghentikan serangan dan peperang­an, kiranya segolongan pemimpin Yahudi secara diam-diam pergi ke Mekah lalu menghasut orang-orang Quraisy terhadap Rasulullah sambil memberikan janji dan ikrar akan berdiri di samping Quraisy bila terjadi peperangan dengan orang-orang Islam nanti.
Pendeknya mereka telah membuat perjanjian dengan orang-­orang musyrik itu, dan bersama-sama telah mengatur rencana dan siasat peperangan. Di samping itu dalam perjalanan pulang mereka ke Madinah, mereka berhasil pula menghasut suatu suku terbesar di antara suku-suku Arab yaitu kabilah Gathfan dan mencapai persetujuan untuk menggabungkan diri, dengan tentara Quraisy.
Siasat peperangan telah diatur dan tugas Serta peranan telah dibagi-bagi. Quraisy dan Gathfan akan menyerang Madinah dengan tentara besar, sementara orang-orang Yahudi, di waktu Kaum Muslimin mendapat serangan secara mendadak itu, akan melakukan penghancuran di dalam kota dan sekelilingnya.
Maka tatkala Nabi saw. mengetahui permufakatan jahat ini, beliau mengambil langkah-langkah pengamanan. Dititah­kannyalah menggali khandak atau parit perlindungan sekeliling Madinah untuk membendung serbuan musuh. Di samping itu diutusnya pula Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah kepada Ka’ab bin Asad pemimpin Yahudi suku Quraidzah untuk menyelidiki sikap mereka yang sesungguhnya terhadap orang yang akan datang, walaupun antara mereka dengan Nabi saw. sebenarnya sudah ada beberapa perjanjian dan persetujuan damai.
Dan alangkah terkejutnya kedua utusan Nabi, karena ketika bertemu dengan pemimpin Bani Quraidha itu, jawabnya ialah: “Tak ada persetujuan atau perjanjian antara kami dengan Mu­hammad”
Menghadapkan penduduk Madinah kepada pertempuran sengit dan pengepungan ketat ini, terasa amat berat bagi Rasul­ullah saw. Oleh sebab itulah beliau memikirkan sesuatu siasat untuk memisahkan suku Gathfan dari Quraisy, hingga musuh yang akan menyerang, bilangan dan kekuatan mereka akan tinggal separoh.
Siasat itu segera beliau laksanakan yaitu dengan mengadakan perundingan dengan para pemimpin Gathfan dan menawarkan agar mereka mengundurkan diri dari peperangan dengan imbalan akan mendapat sepertiga dari hasil pertanian Madinah. Tawaran itu disetujui oleh pemimpin Gathfan, dan tinggal lagi mencatat persetujuan itu hitam di atas putib.
Sewaktu usaha Nabi sampai sejauh ini, beliau tertegun, karena menyadari tiadalah sewajarnya la memutuskan sendiri masalah tersebut. Maka dipanggilnyalah para shahabatnya untuk merundingkannya. Terutama Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah, buah fikiran mereka amat diperhatikannya, karena kedua mereka adalah pemuka Madinah, dan yang pertama kali berhak untuk membicarakan soal tersebut dan memilih langkah mana yang akan diambil.
Rasulullah menceritakan kepada mereka berdua peristiwa perundingan yang berlangsung antara Dia dengan para pemimpin Gathfan. Tak lupa ia menyatakan bahwa langkah itu diambilnya ialah karena ingin menghindarkan kota dan penduduk Madinah dari serangan dan pengepungan dahsyat.
Kedua pemimpin itu tampil mengajukan pertanyaan:
“Wahai Rasulullah, apakah ini pendapat anda sendiri, ataukah wahyu yang dititahkan Allah ?” Ujar Rasulullah: “Bukan, tetapi ia adalah pendapatku yang kurasa baik untuk tuan-­tuan! Demi Allah, saya tidak hendak melakukannya kecuali karena melihat orang-orang Arab hendak memanah tuan-tuan secara serentak dan mendesak tuan-tuan dari segenap jurusan. Maka saya bermaksud hendak membatasi kejahatan mereka sekeeil mungkin”
Sa’ad bin Mu’adz merasa bahwa nilai mereka sebagai laki-laki dan orang-orang beriman, mendapat ujian betapa juga coraknya.
Maka katanya:
“Wahai Rasulullah! Dahulu kami dan orang-orang itu berada dalam kemusyrikan dan pemujaan berhala, tiada mengabdi­kan diri pada Allah dan tidak kenal kepada-Nya, sedang mereka tak mengharapkan akan dapat makan sebutir kurma pun dari hasil bumi kami kecuali bila disuguhkan atau dengan cara jual beli. Sekarang, apakah setelah kami mendapat kehormatan dari Allah dengan memeluk Islam dan mendapat bimbingan untuk menerimanya, dan setelah kami dimuliakan­Nya dengan anda dan dengan Agama itu, lalu kami harus menyerahkan harta kekayaan kami ? Demi Allah, kami tidak memerlukan itu, dan demi Allah, kami tak hendak memberi kepada mereka kecuali pedang  hingga Allah menjatuhkan putusan-Nya dalam mengadili kami dengan mereka”
Tanpa membuang waktu Rasulullah saw. merubah pendiriannya dan menyampaikan kepada para pemimpin suku Gathfan bahwa shahabat-shahabatnya menolak rencana perundingan, dan bahwa beliau menyetujui dan berpegang kepada putusan shahabat­nya.
Selang beberapa hari, kota Madinah mengalami penge­pungan ketat. Sebenarnya pengepungan itu lebih merupakan pilihannya sendiri daripada dipaksa orang, disebabkan adanya parit yang digali sekelilingnya untuk menjadi benteng perlin­dungan bagi dirinya. Kaum Muslimin pun memasuki suasana perang. Dan Sa’ad bin Mu’adz keluar membawa pedang dan tombaknya sambil berpantun:
“Berhentilah sejenak, nantikan berkecamuknya perang Maut berkejaran menyambut ajal datang menjelang”
Dalam salah satu perjalanan kelilingnya nadi lengannya disambar anak panah yang dilepaskan oleh salah seorang musyrik. Darah menyembur dari pembuluhnya dan segera ia dirawat secara darurat untuk menghentikan keluarnya darah. Nabi saw. menyuruh membawanya ke mesjid, dan agar didirikan kemah untuknya agar ia berada di dekatnya selama perawatan.
Sa’ad, tokoh muda mereka itu dibawa oleh Kaum Muslimin ke tempatnya di mesjid Rasul. Ia menunjukkan pandangan mata­nya ke arah langit, lalu mohonnya:
“Ya Allah, jika dari peperangan dengan Quraisy ini masih ada yang Engkau sisakan, maka panjangkanlah umurku untuk menghadapinya! Karena tak ada golongan yang diinginkan untuk menghadapi mereka daripada kaum yang telah meng­aniaya Rasul-Mu, telah mendustakan dan mengusirnya. Dan seandainya Engkau telah mengakhiri perang antara kami dengan mereka, jadikanlah kiranya musibah yang telah menimpa diriku sekarang ini sebagai jalan untuk menemui syahid. Dan janganlah aku dimatikan sebelum tercapai­nya yang memuaskan hatiku dengan Bani Quraidha”
Allah-lah yang menjadi pembimbingmu, wahai Sa’ad bin Mu’adz. Karena siapakah yang mampu mengeluarkan ucapan seperti itu dalam suasana demikian, selain dirimu ?
Dan permohonannya dikabulkan oleh Allah. Luka yang dideritanya menjadi penyebab yang mengantarkannya ke pintu syahid, karena sebulan setelah itu, akibat luka tersebut ia kem­bali menemui Tuhannya. Tetapi peristiwa itu terjadi setelah hatinya terobati terhadap Bani Quraidha.
Kisahnya ialah~setelah orang-orang Quraisy merasa putus asa untuk dapat menyerbu kota Madinah dan ke dalam barisan mereka menyelinap rasa gelisah, maka mereka sama mengemasi barang perlengkapan dan alat senjata, lalu kembali ke Mekah dengan tangan kosong.
Rasulullah saw. berpendapat, mendiamkan perbuatan orang­orang Quraidha, berarti membuka kesempatan bagi kecurangan dan pengkhianatan mereka terhadap kota Madinah bilamana saja mereka menghendaki, suatu hal yang tak dapat dibiarkan berlalu! Oleh sebab itulah beliau mengerahkan shahabat-sha­habatnya kepada Bani Quraidha itu. Mereka mengepung orang-­orang Yahudi itu selama 25 hari. Dan tatkala dilihat oleh Bani Quraidha bahwa mereka tak dapat melepaskan diri dari Kaum Muslimin, mereka pun menyerahlah dan mengajukan permohon­an kepada Rasulullah yang mendapat jawaban bahwa nasib mereka akan tergantung kepada putusan Sa’ad bin Mu’adz. Di masa jahiliyah dahulu, Sa’ad adalah sekutu Bani Quraidha. Nabi saw. mengirim beberapa shahabat untuk membawa Sa’ad bin Mu’adz dari kemah perawatannya di mesjid. Ia dinaikkan ke atas kendaraan, sementara badannya kelihatan lemah dan menderita sakit.
Kata Rasulullah kepadanya:  ”Wahai Sa’ad! Berilah kepu­tusanmu terhadap Bani Quraidha” Dalam fikiran Sa’ad terbayang kembali kecurangan Bani Quraidha yang berakhir dengan perang Khandak dan nyaris menghancurkan kota Madinah serta penduduknya. Maka ujar Sa’ad: — “Menurut pertimbanganku, orang-orang yang ikut berperang di antara mereka hendaklah dihukum mati. Perempuan dan anak mereka diambil jadi tawanan, sedang harta kekayaan mereka dibagi­-bagi” Demikianlah, sebelum meninggal, hati Sa’ad telah terobatt terhadap Bani Quraidha.
Luka yang diderita Sa’ad setiap hari bahkan setiap jam kian sertambah parah. Pada suatu hari Rasulullah saw. datang menjenguknya. Kiranya didapatinya, ia dalam saat ter­akhir dari hayatnya. Maka Rasulullah meraih kepalanya dan menaruhnya di atas pangkuannya, lalu berdu’a kepada Allah, katanya: “Ya Allah, Sa’ad telah berjihad di jalan-Mu; ia telah membenarkan Rasul-Mu dan telah memenuhi kewajibannya. Maka terimalah ruhnya dengan sebaik-baiknya cara Engkau menerima ruh”
Kata-kata yang dipanjatkan Nabi itu rupanya telah mem­berikan kesejukan dan perasaan tenteram kepada ruh yang hendak pergi. Dengan susah payah dicobanya membuka kedua matanya dengan harapan kiranya wajah Rasulullah adalah yang terakhir dilihatnya selagi hidup ini, katanya: “Salam atasmu, wahai Rasulullah … Ketahuilah bahwa aku mengakui bahwa anda adalah Rasulullah!”
Rasulullah pun memandangi wajah Sa’ad lalu katanya: “Kebahagiaan bagimu wahai Abu Amr“
Berkata Abu Sa’id al-Khudri: — “Saya adalah salah seorang yang menggali makam untuk Sa’ad. Dan setiap kami menggali satu lapisan tanah, tercium oleh kami wangi kesturi, hingga sampai ke liang lahat”.
Musibah dengan kematian Sa’ad yang menimpa Kaum Mus­limin terasa berat sekali. Tetapi hiburan mereka juga tinggi nilainya, karena mereka dengar Rasul mereka yang mulia ber­sabda: “Sungguh, ‘Arasy Tuhan Yang Rahman bergetar dengan berpulangnya Sa’ad bin Mu’adz”

Tidak ada komentar: