10 September 2011

Kepemimpinan Ulama, Budaya, dan Pengetahuan

DALAM sejarah Islam, kita mengenal sosok kepemimpinan ulama: Umar bin Abdul Aziz. Dalam catatan sejarah, kepemimpinan beliau dikenal sebagai salah satu era keemasan Khilafah Bani Umayyah, karena keadilan dan kezuhudan yang beliau tampakkan. Cerita-cerita hikmah banyak dihiasi oleh kisah kepemimpinan beliau, yang memberi begitu banyak keteladanan. Itulah potret kepemimpinan ulama.

Ada lagi cerita yang lebih kontemporer. Ketika revolusi Islam Iran berakhir dengan cerita sukses penumbangan rezim Pahlevi, rakyat Iran mengelu-elukan sang pemimpin spiritual: Ayatullah Ali Khomeini yang memimpin revolusi melalui ceramah-ceramahnya di radio Iran. Beliau menggerakkan massa dari pengasingan di Perancis. Dan perjuangan itu berbuah manis: rezim tumbang, dimulailah era Republik Islam Iran.


Saya tidak hendak bertutur tentang Khalifah Umar bin Abdul Aziz atau Imam Khomeini. Yang hendak saya kemukakan adalah kepemimpinan ulama. Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Khalifah Umar II atau Ayatullah Ali Khomeini itu dalam konteks ulama dan kepemimpinan umat?

Secara normatif, ulama adalah waratsatul 'anbiya'. pewaris para nabi. Tak bisa dipungkiri, para nabi mengemban peran kepemimpinan.  Nabi Musa memimpin kaum Yahudi bermigrasi dari Mesir ke Palestina. Nabi Isa memimpin kaum hawariyyin menghadapi oligarki Rabi Yahudi dan penjajah Romawi. Nabi Muhammad memimpin umat Islam membangun peradaban Madinah di kota Yatsrib, cikal bakal peradaban Islam saat ini.

Sehingga, adalah sebuah kewajaran jika para Nabi kemudian menjadi pemimpin, mengingat posisinya yang begitu sentral sebagai pengayom umat. Hubungannya yang intens dengan masyarakat menjadikan para nabi itu memiliki legitimasi kultural. Artinya, kekuasaan itu diperoleh sebagai konsekuensi dari pergumulan budaya dengan masyarakat yang dipimpinnya.

Kepemimpinan para nabi, dengan demikian, adalah kepemimpinan budaya. Ini adalah dampak dari posisi organik para nabi yang melakukan pengorganisasian masyarakat menuju transformasi sosial, dari zhulumaat menjadi nuur. Peran itu pula yang diemban oleh Rasulullah.

Tidak syak lagi, Nabi Muhammad adalah uswah terbaik untuk Nabi-Nabi yang melakukan peran-peran organik di masyarakat, karena turun langsung mengorganisir para sahabat dalam membangun peradaban Madinah. Dan itu diakui oleh beberapa peneliti Barat seperti Michael Hart yang menempatkan Nabi Muhammad dalam posisi teratas dari 100 orang paling berpengaruh di dunia.

Oleh sebab itu, salah satu hal yang dapat kita pelajari dari kepemimpinan para anbiya' adalah kepemimpinan budaya. Itulah yang perlu diteladani oleh para ulama selaku waratsatul 'anbiya. pewaris para nabi.

Menurut Max Weber, jenis kepemimpinan itu adalah kepemimpinan kharismatik. Dalam konteks kenabian, Nabi tidak sekadar memberikan kharisma (yang sekarang dipelintir dengan istilah "citra"), tetapi juga keteladanan dan organisitas ulama dalam menjalankan perubahan-perubahan sosial.

Oleh sebab itu, kharisma tidak cukup untuk mendukung langkah pengorganisiran para Nabi. Kepemimpinan budaya juga memerlukan kecerdasan dan kemampuan memimpin agar masyarakat bisa digerakkan menuju perubahan sosial. Artinya, pengaruh para Nabi juga diikuti oleh emansipasi, perubahan di masyarakat.

Apa yang menyebabkan para Nabi begitu berpengaruh terhadap umatnya? Salah satu hal yang dapat kita jelaskan adalah otoritas keagamaan yang ada. Nabi sebagai penyampai pesan dari Allah memiliki otoritas untuk menjelaskan kebenaran dari Allah. Dan masyarakat yang mengikuti Nabi, walaupun tidak melakukan kultus atas Nabi tersebut, menjadikan Nabi sebagai pemimpin budaya, karena posisinya sebagai pengayom spiritual.

Tetapi, bagaimana dengan para ulama? Apakah para ulama juga mesti memiliki otoritas keagamaan tersebut?

Tentu saja tidak. Biar bagaimanapun, tidak mungkin menyejajarkan para ulama dengan para nabi. Yang perlu diperhatikan adalah warisan apa yang diberikan kepada para ulama. Dalam hal ini, Rasulullah telah menyatakan dengan jelas, Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu...." (HR Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban).

Kata kunci yang dapat kita ambil adalah ilmu; pengetahuan. Itulah otoritas para ulama. Seorang ulama waratsatul 'anbiya dituntut untuk mentransformasikan pengetahuan menjadi budaya. Dan dengan demikianlah ulama menjalankan peran-peran kepemimpinan umat.

Dengan demikian, bagaimana kepemimpinan ulama seharusnya ditransformasikan kepada umat? Dari pembacaan normatif di atas, ada beberapa hal yang dapat dijadikan benang merah.

Pertama, kepemimpinan ulama adalah kepemimpinan berbasis budaya. Ini berarti, seorang ulama harus memiliki akar di masyarakat, aktif berdakwah dan menjadi bagian dari masyarakat. Menjadi pemimpin kultural bagi masyarakat adalah peran kebudayaan yang dilakukan oleh para ulama.

Penafsiran terhadap agama adalah produk kebudayaan. Maka dari itu, sebagai pemegang otoritas tafsir terhadap agama, seorang ulama seyogianya adalah juga pemimpin kebudayaan. Dan dengan demikian memiliki pemahaman yang komprehensif atas kondisi masyarakat yang beliau pimpin sekaligus juga menjalankan peran-peran advokasi bagi masyarakat. Inilah konsekuensi dari kepemimpinan budaya seorang ulama.

Pada tulisan sebelumnya, kita telah mendiskusikan peran-peran masyarakat sipil yang bisa dipegang oleh ulama. Peran masyarakat sipil akan lebih mudah dilakukan jika para ulama tersebut adalah pemimpin kebudayaan bagi masyarakat.  Menjadi pemimpin kebudayaan berarti juga menjadi penggerak dan motivator bagi masyarakat agar kesadaran kelas mereka terbentuk. Dan dengan kesadaran kelas, peran masyarakat sipil bisa diampu.

Dan kepemimpinan budaya ini berarti menjadi pemimpin pada level komunitas. Dalam konteks negara demokratis seperti sekarang menjadikan ulama berada pada posisi kritis dengan kekuasaan formal, agar tidak ada perselingkuhan ulama dengan modal dan kekuatan di balik kekuasaan. Mereka berposisi di tengah-tengah masyarakat sebagai penyampai pesan kepada penyelenggara negara.

Kedua, kepemimpinan ulama berarti kepemimpinan berbasis pengetahuan. Dan pengetahuan sifatnya luas, bukan hanya pengetahuan agama, tetapi juga pengetahuan umum. Ini mengimplikasikan adanya integrasi antara "ulama" dan "cendekiawan".

Kepemimpinan berbasis budaya tidak cukup. Tanpa didukung oleh pengetahuan, peran kepemimpinan tersebut bisa saja di-ghoshob oleh kepentingan lain. Dan oleh sebab itu, perlu ada filtrasi agar kepemimpinan ulama tetap murni, dan ada basis otoritasnya. Basis otoritas itu adalah pengetahuan.

Pada titik inilah peran ulama perlu direkonstruksi. Dakwah para ulama tidak terbatas pada diskursus fiqh yang berlarut-larut, tetapi juga perlu diperluas pada diskursus lain yang juga menjadi problem di masyarakat. Dalam berbagai masalah, penyelesaian perlu melibatkan dua pendekatan sekaligus: ilmu pengetahuan moderen dan aspek keagamaan. Dan penyelesaian itu dilakukan secara interdisipliner, tanpa dihegemoni oleh satu pendekatan tertentu saja.

Sebagai contoh, membicarakan perkara makanan halal tak cukup hanya melibatkan satu disiplin ilmu. Paling tidak, perkara itu harus melibatkan sosiolog,, ahli bahan makanan, dan ahli agama. Ini menjadi dasar argumen bahwa Islam sangat menganjurkan pendekatan interdisiplin dalam memahami ilmu pengetahuan.

Pada titik inilah diskursus mengenai kepemimpinan ulama di era moderen sampai pada sebuah kesimpulan: kepemimpinan ulama perlu direkonstruksi. Kepemimpinan ulama terlebih dulu harus dibangun di atas fondasi budaya, pengetahuan, dan tentu kritisisme atas realitas sosial. Sebelum menanjak pada bagian kepemimpinan, ulama harus menjadi "ulama organik" yang mengabdi untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan modal atau kuasa.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah seorang ulama yang sukses mengelola kekuasaan. Tetapi sebelum menjadi pemimpin politik, beliau telah menjelma menjadi seorang pemimpin anutan di Madinah. Beliau mampu menggabungkan tiga jenis kepemimpinan sekaligus: kepemimpinan budaya, intelektual, dan politik.

Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz di Madinah adalah bentuk kepemimpinan kultural. Beliau mampu menetralisir konflik antara Damaskus dengan para loyalis Abdullah bin Zubair yang sangat kharismatis di Hijaz sebelum terbunuh di Mekkah. Dan beliau juga seorang ahli ilmu yang menurut beberapa ulama masuk pada derajat Mujtahid.

Begitu juga Ayatullah Khomeini yang menggabungkan kharisma seorang ulama, kedalaman ilmu, dan cita-cita revolusioner untuk menumbangkan rezim Pahlevi. Tidak banyak ulama yang mau mengambil peran kepemimpinan itu. Dan ini bukan hanya soal momentum, melainkan juga kapasitas.

Maka, pada titik ini integritas para ulama dipertaruhkan. Mampukah ulama-ulama kita mengemban peran kepemimpinan umat itu? Semoga, harapan itu dapat terlaksana di masa yang akan datang.

Ihdinash shirathal mustaqiim.

diambil dari : http://www.facebook.com/notes/ahmad-rizky-mardhatillah-umar/kepemimpinan-ulama-budaya-dan-pengetahuan/10150295620564299

Tidak ada komentar: