26 Agustus 2012

Manusia Pagi


Istilah ini menarik: Rijaalul Fajri, lelaki pagi, lelaki yang menghidupkan waktu pagi. Meskipun menggunakan kata ‘Rijaal’, ini tidak menunjukan hanya untuk laki-laki, tapi juga perempuan. Sebagaimana ayat-ayat dalam Quran, banyak yang menggunakan bahasa mudzakkar (laki-laki), tapi ditujukan secara umum untuk laki-laki dan perempuan. Jadi, rijaalul fajri menjadi lebih tepat diartikan dengan ‘manusia pagi’.
Materi rijaalul fajri ini menjadi semakin menarik untuk dibahas pada saat bulan ramadhan, dimana salah satu godaan di bulan puasa ini adalah mengantuk sehabis sholat subuh. Dan memang, materi ini penulis dapatkan saat kuliah subuh dalam rangkaian 10 hari i’tikaf di masjid Al-Hikmah, Jl. Bangka, Jakarta, tahun 1996. Materi yang disampaikan dalam kondisi jamaah i’tikaf banyak yang ‘tumbang bergelimpangan’ karena sejak pukul 01.30 sudah bangun, sementara tidur paling cepat dimulai jam 23.00. Sangat terasa kalau materi ini jadi nonjok banget.
Tradisi menghidupkan malam 10 terakhir Ramadhan di Al-Hikmah adalah sholat tarawih dengan bacaan 1 juz Al-Quran (untuk 8 rakaat), disambung ceramah. Biasanya itu selesai pada jam 22.00. Disambung tilawah masing-masing sampai jam 23.00, lalu lampu masjid akan dimatikan. Bagi yang mau melanjutkan tilawah, bisa mengungsi ke lampu-lampu di luar masjid yang masih dihidupkan. Jam 01.30 dini hari, mu’takifin (jamaah yang ber-i’tikaf) sudah dibangunkan lagi, bersiap untuk sholat tahajud dengan bacaan 3 juz tiap malamnya. Baru setelahnya disambung sahur. Wajar jika godaan untuk rebahan sambil mendengarkan kajian subuh memang sangat besar. Maka, materi yang membahas keutamaan orang yang tidak bermalas-malasan di waktu subuh ini berhasil mendobrak jamaah untuk bangun dari posisi rebahan, dan duduk manis mendengarkan kajian.
Waktu pagi memang menyimpan banyak keutamaan dan rahasia. Salah satunya adalah keutamaan dzikir pagi yang dianjurkan untuk memperoleh banyak rahmat Allah SWT. “Dan sebarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang untuk mengharapkan keridhaan-Nya” (Al-Kahfi:28).
Waktu pagi juga waktu pergantian tugas malaikat malam dan siang. Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya bahwa waktu shubuh adalah masa di mana para malaikat malam naik ke langit digantikan dengan malaikat siang. Sungguh terasa indah jika saat-saat pergantian malaikat itu, kita sedang berada dalam kondisi taat kepada Allah Swt, bukan sedang tidur mendengkur.
Namun apa yang terjadi? Banyak orang memilih untuk bermalas-malasan. Menjalankan sholat shubuh dengan terkantuk-kantuk kemudian bermalas-malasan menunggu matahari muncul adalah hal yang tidak jarang kita lakukan. Bahkan, ada juga orang yang sholat shubuhnya dilakukan setelah matahari telah terbit. Astaghfirullah.
Maka, ada benarnya juga kalau wasiat jawa kuno mengatakan, ‘ora ilok’ kalau setelah sholat subuh terus tidur lagi. Ada juga orang yang mengatakan, “Kalau habis subuh tidur lagi, nanti rejekimu ilang dipatuk ayam”. Untuk jaman modern ini, mungkin lebih tepatnya, “Kalau habis subuh tidur lagi, kalah sama maling, yang justru ngincer rumah yang penghuninya pada tidur habis sahur”.
Beberapa hadist atau ucapan salafus sholih berkaitan dengan waktu pagi antara lain adalah sebagai berikut.
  • “Waktu fajar merupakan lembar kelahiran semua bentuk kebaikan”. Maka, perang jaman Nabi pun sering dilakukan pada waktu fajar.
  • “Waktu fajar adalah lambang kemenangan”. Maka jika ingin sukses, bangunlah dii waktu fajar dan jangan tidur lagi.
  • “Fajar adalah lambang kehidupan, lambang masa muda, tanda aktivitas, ciri kebenaran dan keadilan, dan waktu ini paling strategis karena hawa masih segar dan Allah membagi rizki-Nya di waktu fajar”
  • “Sholat subuh merupakan tanda iman seseorang dan bebas dari sifat nifaq, karena waktu ini berat bagi orang yang belum terbiasa” . Maka Rasul SAW melarang tidur usai sholat subuh. Rasul pernah melihat Fatimah tidur setelah sholat subuh lalu segera dibangunkan.
  • “Sesungguhnya sholat yang paling berat atas orang munafik adalah sholat Isya dan subuh” (HR Bukhari Muslim).
Waktu shubuh di pagi hari adalah waktu yang oleh para ulama dianggap sebagai waktu terbaik untuk mendalami suatu ilmu. Suasana pagi yang tenang membuat konsentrasi dan kemampuan memahami meningkat. Ibnu Jarir Ath Thabari, yang mampu menulis 40 halaman setiap hari selama 40 tahun terakhir masa usianya, melakukan muraja’ah (mengulang) ilmu dan menuangkan ide-idenya dalam tulisan di awal-awal shubuh.
Lukman Al-Hakim pun mengingatkan anaknya tentang kemuliaan pagi dan mudahnya akal menyerap ilmu dengan mengatakan, “Jangan sampai ayam jantan lebih cerdas darimu. Ia berkokok sebelum fajar, sementara kamu masih mendengkur tidur hingga matahari terbit.”
Keutamaan-keutamaan lain dari waktu fajar dapat diuraikan lagi sebagai berikut;
Waktu pagi adalah waktu yang penuh berkah
Waktu pagi menjadi penuh berkah karena didoakan khusus oleh Nabi saw. Dari sahabat Shokhr Al Ghomidiy, Nabi SAW bersabda, “Ya Allah, berkahilah umatku di waktu paginya”.
Apabila Nabi SAW mengirim peleton pasukan, beliau mengirimnya pada pagi hari. Sahabat Shokhr sendiri (yang meriwayatkan hadits ini) adalah seorang pedagang. Dia biasa membawa barang dagangannya ketika pagi hari. Karena hal itu dia menjadi kaya dan banyak harta. Abu Daud mengatakan bahwa dia adalah Shokhr bin Wada’ah. (HR. Abu Daud no. 2606. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
Ibnu Baththol mengatakan, “Hadits ini tidak menunjukkan bahwa selain waktu pagi adalah waktu yang tidak diberkahi. Sesuatu yang dilakukan Nabi SAW (pada waktu tertentu) adalah waktu yang berkah dan beliau adalah sebaik-baik uswah (suri teladan) bagi umatnya. Adapun Nabi SAW mengkhususkan waktu pagi dengan mendoakan keberkahan pada waktu tersebut dari pada waktu-waktu yang lainnya karena pada waktu pagi tersebut adalah waktu yang biasa digunakan manusia untuk memulai amal (aktivitas). Waktu tersebut adalah waktu bersemangat (fit) untuk beraktivitas. Oleh karena itu, Nabi SAW mengkhususkan doa pada waktu tersebut agar seluruh umatnya mendapatkan berkah di dalamnya”.
Waktu pagi adalah waktu semangat untuk beramal
Dalam Shohih Bukhari terdapat suatu riwayat dari sahabat Abu Hurairah dari Nabi SAW. Beliau bersabda, “Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya. Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu kontinu. Lakukanlah ibadah (secara kontinu) di al-ghodwah (waktu pagi) dan waktu setelah matahari tergelincir serta beberapa waktu di akhir malam.” (HR. Bukhari no. 39).
Dalam hadist tersebut, Rasul tidak menyebut al-fajri, tapi al-ghodwah. Yang dimaksud al- ghodwah dalam hadits ini adalah perjalanan di awal siang. Al Jauhari mengatakan bahwa yang dimaksud ‘al-ghodwah’ adalah waktu antara shalat fajar hingga terbitnya matahari.
Dalam hadits tersebut dijabarkan tiga waktu utama yaitu pagi, setelah tergelincir matahari, dan beberapa waktu di akhir malam. Inilah tiga waktu yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari sebagai waktu semangat (fit) untuk beramal. Syaikh Abdurrahmanbin bin Nashir As Sa’di mengatakan bahwa tiga waktu di atas adalah waktu utama untuk melakukan safar (perjalanan) yaitu perjalanan fisik baik jauh ataupun dekat. Juga untuk melakukan perjalanan ukhrowi (untuk melakukan amalan akhirat).
Lalu, bagaimana kebiasaan Rasul dan salafus sholih mengisi waktu paginya? Mari kita cermati dan kita tiru.
  1. Kebiasaan Nabi SAW.
    An Nawawi dalam Shohih Muslim membawakan bab dengan judul ‘Keutamaan tidak beranjak dari tempat shalat setelah shalat shubuh dan keutamaan masjid’. Dalam bab tersebut terdapat suatu riwayat dari seorang tabi’in, Simak bin Harb. Beliau mengatakan bahwa dia bertanya kepada Jabir bin Samuroh, ”Apakah engkau sering menemani RasulullahSAW duduk?”
    Jabir menjawab, ”Iya. Beliau biasanya tidak beranjak dari tempat duduknya setelah shalat shubuh hingga terbit matahari. Apabila matahari terbit, beliau berdiri (meninggalkan tempat shalat). Dulu para sahabat biasa berbincang-bincang (guyon) mengenai perkara jahiliyah, lalu mereka tertawa. Sedangkan beliau hanya tersenyum saja.” (HR. Muslim no. 670).
    An Nawawi mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat anjuran berdzikir setelah shubuh dan mengontinyukan duduk di tempat shalat jika tidak memiliki udzur (halangan)”.
    Al Qadhi mengatakan bahwa inilah sunnah yang biasa dilakukan oleh salaf dan para ulama. Mereka biasa memanfaatkan waktu tersebut untuk berdzikir dan berdoa hingga terbit matahari.
  2. Kebiasaan Ibnu Mas’ud RA
    Abu Wa’il berkata, “Pada suatu pagi kami mendatangi Abdullah bin Mas’ud selepas kami melaksanakan shalat shubuh. Kemudian kami mengucapkan salam di depan pintu. Lalu kami diizinkan untuk masuk. Akan tetapi kami berhenti sejenak di depan pintu. Lalu keluarlah budaknya sembari berkata, “Mari silakan masuk.” Kemudian kami masuk sedangkan Ibnu Mas’ud sedang duduk sambil berdzikir.
    Ibnu Mas’ud lantas berkata, “Apa yang menghalangi kalian padahal aku telah mengizinkan kalian untuk masuk?” Lalu kami menjawab, “Tidak, kami mengira bahwa sebagian anggota keluargamu sedang tidur.” Ibnu Mas’ud lantas bekata, “Apakah kalian mengira bahwa keluargaku telah lalai?”
    Kemudian Ibnu Mas’ud kembali berdzikir hingga dia mengira bahwa matahari telah terbit. Lantas beliau memanggil budaknya, “Wahai budakku, lihatlah apakah matahari telah terbit.” Si budak tadi kemudian melihat ke luar. Jika matahari belum terbit, beliau kembali melanjutkan dzikirnya. Hingga beliau mengira lagi bahwa matahari telah terbit, beliau kembali memanggil budaknya sembari berkata, “Lihatlah apakah matahari telah terbit?” Kemudian budak tadi melihat ke luar. Jika matahari telah terbit, beliau mengatakan,“Segala puji bagi Allah yang telah menolong kami berdzikir pada pagi hari ini,.” (HR. Muslim no. 822).
  3. Kebiasaan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
    Ibnu Taimiyah adalah orang yang gemar beribadah dan bukanlah orang yang kelihatan bengis sebagaimana anggapan sebagian orang. Kita dapat melihat aktivitas beliau di pagi hari sebagaimana dikisahkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
    Ketika menjelaskan faedah dzikir bahwa dzikir dapat menguatkan hati dan ruh, Ibnul Qayim mengatakan, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah suatu saat shalat shubuh. Kemudian (setelah shalat shubuh) beliau duduk sambil berdzikir kepada Allah Taala hingga pertengahan siang. Kemudian berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku’ -atau perkataan beliau yang semisal ini-”
  4. Kebiasaan Imam Hasan Al-Banna
    Sejak kanak-kanak, yaitu umur 9 tahun, Hasan kecil sudah memiliki jadwal rutinitas pagi yang luar biasa. Dikisahkan oleh adiknya, Abdurrahman Al-Banna, yang waktu itu berumur 7 tahun, “Duhai kakakku, dalam hidupku, tidak pernah aku melihat orang yang begitu banyak berpuasa dan shalat sepertimu. Engkau bangun waktu sahur dan shalat. Kemudian engkau membangunkanku untuk melakukan shalat shubuh. Selepas shalat, engkau membaca jadwal kegiatan harian. Suaramu yang indah dan mencerminkan kasih itu menggema di telingaku. Engkau pernah berkata. “Pukul enam pagi adalah waktu masa mengaji Al Qur’an; pukul tujuh adalah waktu belajar tafsir Al Qur’an dan Hadist; pukul delapan waktu belajar Fiqh dan Usul Fiqh.” Itulah agenda harian rumah kita. Selanjutnya kita pun pergi ke sekolah…”
Maka, memang perlu pembiasaan dan upaya, agar waktu pagi tak berlalu begitu saja. Perlu diisi dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat.
Sumber: Fimadani

Tidak ada komentar: