Oleh : Dewi Ariyani, M.PdI
A. Pendahuluan
Sunnah dalam arti bahasa adalah jalan (الطريقة)1, sedangkan menurut istilah syara’, sunnah berarti (ما صدرعن الرسول من قول او فعل او تقرير) artinya apapun yang berasal dari Rasul saw. baik berupa perkataan, perbuatan dan ketetapannya.2 Menurut hirarki sumber hukum Islam, sunnah menempati tempat kedua setelah al-Kitab.3
Al-sunnah termasuk dalil syariat yang bisa dijadikan hujjah (bukti) sehingga yang dibahas (oleh hujjah) termasuk hukum syariat. Dalil syariat adalah sesuatu yang digunakan untuk mengetahui hukum-hukum syariat tertentu, yang dikeluarkan oleh Pembuat Syariat, yakni Allah, guna menyelesaikan suatu masalah. Dalil-dalil syariat yang disepakati dikalangan fuqahâ adalah al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma Shahabat dan Qiyâs.4
Maka bagi setiap Muslim wajib mengikuti al-Sunnah; dan haram menyatakan : “Di sisiku ada Kitab Allah dan kami pun mengambilnya” karena pemahamannya untuk meninggalkan sunnah. Akan tetapi wajib untuk menyandingkan Sunnah bersama al-Qur’an serta menjadikannya dalil syariat sebagaimana al-Qur’an, dan tidak dibenarkan terbetik pada diri seorang Muslim untuk mencukupkan diri hanya dengan mengikuti al-Qur’an dan mengecualikan hadits.5
Perbedaan dan persamaan al-Qur’an dan Sunnah menurut kitab Mitsaqul Ummah, ialah:
ألكتاب والسنة نزل بهما الوحي من عند الله على سيدنا محمد رسول الله ص.م. فالكتاب جاء به الوحي لفظا ومعنى من عند الله, والسنة جاء بها الوحي معنى من عند الله و عبر عنها الرسول ص.م. بألفا ظ من عنده
“Al-Kitab dan al-Sunnah diturunkan sebagai wahyu di sisi Allah pada nabi Muhammad saw, al-Kitab wahyu yang redaksi dan maknanya dari Allah, sedangkan Sunnah adalah wahyu dari-Nya yang lafadznya berasal dari lisan nabi sendiri. ”6
Kesimpulannya bahwa sunnah secara aklamasi diakui oleh kaum Muslimin seluruhnya sebagai pedoman hidup yang tak dapat ditolak lagi.
Namun tidak begitu dengan orang-orang yang memiliki rasa iri dan dengki untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin, di antaranya para orientalis dan pengikut Inkar Sunnah yang terang-terangan menggugat otoritas dan ontensitas Sunnah sebagai sumber syariat. Salah satu tokoh Orientalis yang menggeluti hadits adalah Ignaz Goldziher yang gencar mempreteli keshahihan hadits dengan pernyataannya : “Hadits tidak lebih hanya sekedar catatan atas kemajuan Islam yang dicapai dibidang agama, sejarah dan sosial pada abad pertama dan kedua hijriyah; hampir tidak mungkin meyakinkan bahwa hadits dapat dinyatakan asli dari Muhammad atau generasi shahabat Rasul.”7
Dalam tulisan ini akan sedikit diuraikan tentang pendapat orientalis dan inkar sunnah beserta sanggahannya, agar menjadi ibrah bagi kaum Muslimin tentang keshahihan sunnah sebagai sumber syariat.
B. Orientalisme
1. Orientalisme dan Sejarah kemunculannya
Orientalisme berasal dari dua kata, orient dan isme diambil dari bahasa latin oriri yang berarti terbit. Dalam bahasa inggris dan Prancis orient berarti direction of rising sun (arah terbit matahari dari belahan Timur).8 Secara geografis kata orient bermakana dunia belahan Timur dan secara ethnologis berarti bangsa-bangsa timur.9 Secara luas kata orient juga berarti wilayah yang membentang luas dari kawasan Timur Dekat (Turki dan sekitarnya) hingga jauh (Jepang, Korea, Cina) dan Asia Selatan hingga republik-republik Muslim bekas Uni Soviet, serta kawasan Timur Tengah hingga Afrika Utara.10
Sedangkan istilah isme berasal dari bahasa Belanda atau isme dari bahasa Latin atau isme berasal dari bahasa inggris yang berarti a doctrine, theory of system, atau pendirian, ilmu, paham, keyakinan dan sistem.11
Menurut istilah, orientalisme didefinisikan oleh Edward Said sebagai “Sebuah cara kedatangan dengan bangsa-bangsa Timur berdasarkan tempat khusus Timur dalam pengalaman Bangsa Barat Eropa; sebuah dasar pemikiran ontologi dan epistemologi antara Timur dan Barat pada umumnya; dan sebuah gaya Barat untuk mendominasi, membangun kembali dan mempunyai kekuasaan terhadap Timur.”12
Orientalisme juga didefinisikan sebagai “Gagasan pemikiran yang mencerminkan berbagai kajian tentang negara-negara timur Islam. Objek kajiannya meliputi peradaban, agama, seni, sastera, bahasa dan kebudayaannya. Gagasan pemikiran ini telah memberikan kesan yang besar dalam membentuk persepsi Barat terhadap Islam dan dunia Islam. Caranya ialah dengan menyebarkan kemunduran cara berfikir dunia Islam dalam pertarungan peradaban antara Timur (Islam) dengan Barat.”13
Amat sukar untuk menentukan secara pasti kapan munculnya Orientalisme. Sebagian ahli sejarah berkecenderungan mengatakan bahwa Orientalisme bermula dari zaman Daulah Islamiyah di Andalusia (Spanyol). Sedangkan sebagian ahli sejarah yang lain mengatakan ia muncul ketika terjadi Perang Salib.
Orientalisme Ketuhanan (Lahuti) sudah wujud secara resmi sejak dikeluarkan keputusan Perundingan Gereja Viena tahun 1312 M dengan memasukkan subjek bahasa Arab ke berbagai Universitas di Eropa.
Orientalisme muncul di Eropa hanya pada penghujung abad ke 18 M di mana pertama kali muncul di England pada tahun 1779 M, di Perancis pada tahun 1799 dan dimasukkan ke dalam Kamus Akademi Perancis pada tahun 1838.
Gerbert de Oraliac (938-1003 M), seorang paderi Venezia, pergi ke Andalusia. Di sana ia belajar dengan seorang profesor. Setelah kembali ke tanah air, dia dipilih sebagai Paderi Agung dengan gelaran Silvester II (999—1003) M. Beliau merupakan Paus yang pertama dari Perancis.
Tahun 1130 M, Ketua Paderi Toledo menterjemahkan beberapa buku ilmiah berbahasa Arab. Kemudian langkah ini diikuti oleh Gerard de Cremona (1114-1187 M) dari Italia. Dia telah pergi ke Toledo dan menterjemahkan buku-buku yang tidak kurang dari 87 judul di bidang falsafah, kedokteran, astronomi dan geologi.
Di Perancis, Pierre le Venerable (1094-1156), seorang paderi Venezia dan Kepala Biarawan Cluny, menubuhkan kumpulan penterjemah. Tujuannya ialah untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan secara objektif tentang Islam. Dia sendiri adalah orang pertama yang menterjemahkan al-Qur'an ke dalam bahasa Latin (1143 M). Manakala penterjemahan al-Qur'an ke dalam bahasa Inggris dilakukan pertama kali oleh Robert of Ketton.
Juan de Sevilla, seorang Yahudi yang memeluk agama Kristen, muncul pada pertengahan abad ke-12 dan memberi perhatian dalam bidang astronomi. Ia telah menterjemahkan 4 buah buku berbahasa Arab karya Abu Ma'syar al-Balkhi (1133 M). Tugas penterjemahannya dibantu oleh Adelard.
Roger Bacon (1214-1294 M), dari Inggris yang menuntut ilmu di Oxford dan Paris dan mendapat gelaran doktor di bidang Theologi. Ia menterjemahkan buku berbahasa Arab berjudul Mir'at al-Kimia pada tahun 1251 M.14
2. Faktor-faktor Munculnya Orientalisme
Di antara faktor-faktor munculnya orientalisme,15 yaitu:
a. Faktor Agama
Faktor inilah yang menjadi asas kepada kemunculan dan pertumbuhan orientalisme yang berlangsung begitu lama. Sasarannya antara lain ialah :
1) Menimbulkan keraguan atas kerasulan Muhammad s.a.w dan menganggap hadis Nabi sebagai amal perbuatan umat Islam (bukannya dari Nabi) selama tiga abad pertama.
2) Menimbulkan keraguan terhadap kebenaran al-Qur'an dan memutar balikannya
3) Memperkecil nilai fiqh Islam dan menganggapnya sebagai saduran dari hukum Romawi.
4) Menganaktirikan bahasa Arab dan menjauhkannya dari ilmu pengetahuan yang semakin berkembang.
5) Memperkenalkan teori bahwa Islam adalah berasal dari agama Yahudi dan Nasrani
6) Mengkristenkan ummat Islam.
7) Menggunakan hadis-hadis dha'if dan maudhu' untuk menyokong pendapatnya dan mengembangkan teorinya
b. Faktor ekonomi dan penjajahan
Institusi-institusi keuangan, industri-industri mega dan pihak pemerintah sendiri telah mengeluarkan banyak modal untuk kajian-kajian bagi mengenal pasti keadaan negara-negara Islam dengan lebih mendalam. Kajian tersebut sangat digalakkan terutama pada masa sebelum penjajahan Barat dalam abad 19 dan 20 M.
c. Faktor politik
Di antara hal-hal yang masuk ke dalam faktor politik adalah:
1) Melemahkan semangat ukhuwah Islamiyah dan memecah belah umat untuk membolehkan mereka (orang-orang Islam) dikuasai.
2) Menghidupkan bahasa Arab 'amiyyah (bahasa pasar) dan mengubah adat istiadat yang diamalkan.
3) Para pegawai di negara-negara Islam diarahkan untuk mempelajari bahasa asing (yaitu bahasa penjajah) agar memahami kebudayaan dan agama penjajah. Tujuannya agar mereka mudah dipengaruhi dan dikuasai.
d. Faktor keilmuan
Sebagian orientalis ada yang mengarahkan kajian dan analisanya semata-mata untuk menambah ilmu dan pengetahuan. Sebagian mereka ada yang memahami asas-asas dan roh Islam malah ada yang memeluk Islam, seperti Thomas Arnold yang mempunyai peranan yang besar dalam menyadarkan kaum muslimin dengan bukunya ‘The Preaching in Islam’, dan Dinet yang telah memeluk Islam dan tinggal di Algeria. la menulis buku Sinar Khusus Cahaya Islam. Ia meninggal di Perancis dan dikebumikan di Algeria.
3. Gugatan Orientalis Terhadap hadist
Orientalis merupakan studi yang dilakukan intelektual Barat untuk mempelajari situasi Timur; khususnya yang menyangkut sejarah, agama, bahasa, etika, seni, tradisi dan adaptasi kebiasaannya. Walaupun terkesan ilmiah dan canggih, orientalisme sebenarnya merupakan salah satu sarana yang dimanfaatkan Barat untuk melakukan penjajahan terhadap Dunia Islam.
Lebih lanjut Amien Rais menjelaskan bahwa Imperialisme juga menjadi semangat orientalisme, maka fungsi studi orientalis adalah untuk “ memahami “ dalam banyak hal untuk menguasai, dan bahkan menggabungkan apa yang kelihatannya sebagai Dunia Lain. Yang dimaksud dunia lain adalah dunia Timur Fungsi seperti itu mengakibatkan adanya kenyataan bahwa orientalisme itu ibarat kaca yang mencerminkan kekuatan Barat dan nafsu angkara mereka imperialismenya 16.
Mengutip pendapat Ali Husny al-Kharbuthly (Guru Besar di Ain Syams, Mesir), Hamka menyebutkan, bahwa ada tiga tujuan orientalisme di dunia Islam, yaitu:
a Untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam
b Untuk kepentingan penjajahan
c Untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata.
Carl Heinrich Becker (meninggal tahun 1933 M) adalah yang bertanggung jawab menumbuhkan majalah Islam di Jerman. Ia melakukan kajian tentang Timur untuk kepentingan penjajah di Afrika.
Barthold (meninggal tahun 1930 M), penggagas majalah The Muslim World Rusia, telah menjalankan kajian untuk menjaga kepentingan Rusia di Asia Tengah.
Snouck Hougronje dari Belanda (1857—1936 M) pernah menziarahi Mekah pada tahun 1884 dengan nama Abdul Ghaffar. Ia tinggal di Mekah selama lebih kurang setengah tahun. Kemudian dia kembali ke Belanda dengan laporan-laporan untuk kepentingan penjajahan di dunia Islam bagian Timur. Sebelumnya ia pernah tinggal di Indonesia selama 17 tahun.18
Institut bahasa-bahasa Timur di Paris, ditumbuhkan dalam tahun 1885 M, bertugas sebagai pengumpul data dan maklumat tentang negara-negara Timur dan Timur Jauh untuk memudahkan penjajah mengukuhkan cengkramannya di kawasan-kawasan tersebut.
Sebenarnya orientalisme adalah hasil pergeseran yang terjadi antara Timur yang Islam dan Barat yang Nasrani pada masa Perang Salib dengan melalui delegasi-delegasi resmi ataupun melalui perjalanan-perjalanan.
Pendorong utamanya ialah ajaran Nasrani yang bercita-cita menghancurkan Islam dari dalam dengan cara tipu daya dan pembelotan. Tetapi pada akhir-akhir ini, orientalisme nampaknya mulai mancoba melepaskan diri dari belenggu tersebut dan beralih mendekati semangat ilmiah.
Melihat kejadian orientalisme terhadap islam, ternyata sangat luas termasuk sirah Hadits Nabawiyah dan Sejarah perkembangannya. Tidak ada kepastian Sejarah siapa orientalis pertama yang mengkaji Hadits Nabawiyah. Namun menurut perkiraan MM. Azami, Sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian hadist adalah Ignaz Goldzither, Orientalis Yahudi kelaahiran Hongaria (1850 – 1920 M ) yang menerbitkan hasil kajiannya dalam buku berjudul Muhammadaniche Studies. Hal tersebut di bantah oleh A.J.Wensick melalui tulisannya The Importance of Tradition for Study of Islam ( 1921 ) yang menegaskan bahwa Snouck Hougronje, adalah orang pertama kali mengkaji otensitas hadis, bukan Goldziher. Menurutnya snouck lah orang yang pertama kali mengaplikasikan teori hadits dalam kajiannya tentang Zakat dan imam Mahdi .
Ignaz Goldziher dapat dikategorikan sebagai sarjana barat pertama yang mengkaji hadits. Menurut Fazlur Rahman, Ignaz mengemukakan bahwa fenomena hadits berasal dari zaman islam paling awal akan tetapi karena kandungan hadits yang terus membengkak pada masa-masa selanjutnya dan karena dalam setiap generasi muslim materi hadits berjalan paralel dengan doktrin aliran fiqih dan teologi yang sering kali bertabrakan, maka Goldziher menilai sangat sulit menentukan hadits-hadits yang orisinil berasal dari Nabi.
Sebagian materi hadits, menurutnya lebih merupakan hasil perkembangan religius, historis, dan sosial Islam selama dua abad pertama, atau refleksi dari tendensi-tendensi yang muncul dalam komunitas muslim selama masa-masa tersebut. Konsekuensi logisnya Goldziher menyimpulkan bahwa produk-produk kompilasi hadits yang ada dewasa ini tidak dapat dipercaya secara keseluruhan sebagai sumber ajaran dan perilaku Nabi sendiri.
Tentang sunah ia mengemukakan bahwa konsep ini telah ada pada masa Arab pra Islam dengan makna tradisi-tradisi adat istiadat dan kebiasaan nenek moyang bangsa Arab yang menjadi panutan. Tetapi dengan datangnya Islam, Konsep ini berubah menjadi model perilaku Nabi, dan idealitas Sunah orang Arab pra Islam berakhir.
Pendapat Goldziher di amini juga oleh sarjana terkemuka Belanda, Snouck Hurgronje, dalam “Early Depelopment Of Islam“. H. Lemmens Joseph Schacht hanyalah mengikuti atau memperluas penjelasan dari Goldziher, tetapi subtansinya sama bahwa hadits atau sunah merupakan hasil rekayasa ulama-ulama Islam abad II dan III yang menjustifikasi rekayasa tersebut kepada Nabi. Untuk menyanggah pendapat sesat tersebut, setidaknya dapat dibantah dengan metode pengumpulan hadits yang selektif dan menempuh proses yang panjang.
Berikut ini bukti-bukti keandalan sunnah, yaitu :
1) Keandalan Sumber
2) Keaslian data dan keaslian kata-kata / ajaran
3) Pemeliharaan ajaran asli pada periode-periode kemudian dan alat untuk memahaminya.
Keandalan sumber dapat dilihat yaitu tidak mungkin hadits direkayasa ulama pada abad pertengahan karena dalam pengumpulan hadits semua informasi harus diperoleh melalui orang yang hidup bersama Nabi dan menyaksikan peristiwa itu. Informasi ini harus melewati para sarjana yang dapat dipercaya tanpa terputus mata rantainya (sanad). Salah satu sifat yang paling penting dari proses ini adalah bahwa informasi tidak akan diterima sebagai hadits apabila ucapan itu bertentangan dengan akal sehat, orang yang menyampaikannya terpercaya, dan sumber akhir haruslah dilaporkan melalui seseorang yang merupakan sahabat Nabi.
Dari sudut kata-kata dan ajaran yang asli hadits Nabi menggunakan Bahasa Arab sebagai ungkapannya. Dan bahasa arab hingga kini dapat dipelihara keasliannya.
Pengumpulan dan pemeliharaan pengajaran-pengajaran asli pada zaman kemudian, ini terbukti dari informasi ini (Hadits), disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan nama orang-orang yang bertanggung jawab dalam menyampiakan pengetahuan itu. Dalam hal ini memberikan landasan kuat untuk melakukan penelitian dan rujukan, mengingat hal ini menjadi jelaslah bahwa suatu metode yang unik telah diilhamkan kepada masyarakat Islam dan tak seorang pun telah mengembangkan suatu metode yang lebih baik.
C. Inkar Sunnah
1. Sejarah lahirnya Inkar Sunnah
Pada zaman Nabi Muhammad SAW (632 H0, umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Quran. Belum atau tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa pada zaman Nabi ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Bahkan pada masa al-Khulafa' al-Rasyidun (632-661 H) dan Bani Umayyah (661-750 M) belum terlihat secara jelas adanya kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah (750-1258 H), muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Mereka itu kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berfaham "Inkar Sunnah". Hal itu dapat dipahami dari uraian al-Syaf'I dalam kitabnya, Al-Umm. Mereka itu oleh al-Syafi'I dibagi mejadi tiga golongan, yaitu:
a. golongan yang menolak seluruh sunnah
b. golongan yang menolak sunnah kecuali apabila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Al-Quran
c. golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad, dan mereka menerima sunnah yang berstatus mutawatir.
Sesudah zaman al-Syafi'I sampai saat ini, baik secara terselubung maupun secara terang-terangan, mereka yang befaham inkar sunnah, muncul diberbagai tempat misalnya di Mesir antara lain Taufik Sidqy (1920 M), di Malaysia antara lain Kasim Ahmad (Ketua Partai Sosialis Rakyat Malaysia), dan di Indonesia antara lain Muhammad Ircham Sutarto.
Dalam pada itu, ulama yang membela sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam, mulai zaman nabi sampai saat ini, tetap banyak jumlahnya. Dalam upaya melestarikan sunnah mereka telah melakukan penelitian yang mendalam, menyusun berbagai kitab, membuat berbagai itilah, kaidah, metode, dan disipilin ilmu. Kesungguhan usaha mereka telah embuahkan berbagai karya monumental yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
2. Konsep Sunnah Menurut Aliran Inkar Sunnah
Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir (ketetapan/persetujuan/ diamnya) ( ما أضيف الى النبي من قول او فعل او تقرير او وصف خَلْقي او وصف خُلُقي) Rasulullah SAW terhadap sesuatu hal atau perbuatan seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang nilai kebenarannya sama dengan Al-Qur’an karena sebenarnya Sunnah juga berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُوْحَى
“(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm 3-4)
Makna ayat di atas bahwasanya apa yang disampaikan Rasulullah SAW (Al-Qur’an dan Al-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT:
قُلْ.....إِنْ َأتَّبِعُاِلَّا مَا يُوْحَى اِلَيَّ
“(Katakanlah Muhammad) ... aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An’am 50)
Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah SAW tidak melakukan suatu tindakan kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia mengikuti apa yang disampaikannya.
Al-Qur’an telah menegaskan bahwa selain dari Al-Qur’an, Rasulullah SAW juga juga menerima wahyu yang lain, yaitu Al-Hikmah yang pengertiannya sama dengan Al-Sunnah, baik perkataan, perbuatan ataupun ketetapan (diamnya). Pengertian Al Hikmah yang bermakna Al-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran 164, QS. Al-Jumu’ah 3, dan QS. Al-Ahzab 34.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan Al-Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i) kebenarannya ; sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri.
3. Tanggapan Ahlu Inkar Sunnah Terhadap Kehujjahann Hadist
Berikut adalah merupakan 2 hujah dasar (Primary Argument) yang dikemukakan oleh Golongan Anti Hadis untuk menolak hadis-hadis Rasulullah SAW dari sisi syari’at Islam. Sekalipun kelihatan dalam situs/web mereka, terutamanya www.ropelist.com dan www.submission.org seolah-olah mereka memiliki banyak hujah dan alasan untuk menolak hadis, namun semua argumentasi tersebut rapuh dan tidak berdasar kuat pada kebenaran.
Dasar yang pertama inkar sunnah adalah beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah lengkap, terperinci dan sempurna, maka kenapa perlu rujukkan lagi kepada hadis-hadis Nabi SAW? Bukankah Allah SWT telah berfirman di dalam al-Qur’an:
...مَا فَرَّطْنَا فِى الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
"Tiada Kami tinggalkan sesuatu pun di dalam kitab (Al-Quran) ini." [al-An’aam 6 :38]
أَفَغَيْرَاللهِ اَبْتَغِيْ حَكَمًا وَهُوَ الَّذِيْ اَنْزَلَ اِلَيْكُمْ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا
(Katakanlah) : Patutkah aku hendak mencari hakim selain dari Allah, padahal Dia lah yang menurunkan kepada kamu kitab Al-Quran yang jelas nyata kandungannya satu persatu ? [al-An’aam :114]
الر. كِتَبٌ اُحْكِمَتْ اَيَتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍ
"Alif, Laam, Raa’. (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci. Yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.[Hud 11:01]
Jawaban dari hal tersebut adalah bahwa yang dimaksudkan oleh Allah SWT apabila Dia menyatakan kesempurnaan, kelengkapan dan perincian kitab suci-Nya, al-Qur’anal- Karim, adalah merujuk kepada peranan yang dimiliki oleh al-Qur’an sebagai “kitab induk” yang telah mengusulkan berbagai kaedah dan cara bagi umat manusia menerima dan mempraktikkan risalah Allah dalam kehidupan harian mereka sehingga ke Hari Akhirat.
Al-Qur’an adalah lengkap dan sempurna dalam konteks ia meletakkan asas-asas mentauhidkan Allah dan kaedah-kaedah menjalankan syari’at-Nya. Demikian juga, apabila dikatakan bahwa kitab al-Qur’an tidak meninggalkan atau terlupa apa-apa, ia berarti bahwa al-Qur’an tidak leka atau lengah dari menggariskan berbagai kaedah serta prinsip penukilan hukum dan ajaran yang diperlukan umat untuk melaksanakan syari’at Allah dalam semua suasana dan keadaan.
Dalam suasana kelengkapan dan keterperincian inilah, al-Qur’an meletakkan dasar serta prinsip yang tepat bahwa hadis serta sunnah Rasulullah SAW wajib dijadikan salah satu dari sumber syari’at yang ditaati, dirujuki dan dipegangi. Apabila hadis dan sunnah Rasulullah disisihkan, maka ia berarti menyisihkan sebagian dari dasar dan prinsip penting yang digariskan oleh al-Qur’an; dan apabila hadis dan sunnah Rasulullah ditentang, ia berarti menentang sebahagian dari ajaran al-Qur’an itu sendiri.
Adalah merupakan tindakan yang amat bodoh apabila seseorang memahami ayat-ayat di atas secara zahir (face value) sehingga mereka berkata segala yang berkaitan dengan agama dan kehidupan di dunia ini telah diperincikan satu-persatu di dalam al-Qur’an. Jika inilah pemahaman mereka, maka penulis bertanya – jika pagi tadi kita bersarapan Mie Goreng dan ingin mengetahui hukumnya, bolehkah kita mencarinya di dalam al-Qur’an ? Pastinya kita tidak akan menemui keterangan tentang Mie Goreng. Maka apakah dengan itu Mie Goreng tersebut menjadi sesuatu yang halal, atau haram, atau sesuatu yang dilewatkan oleh al-Qur’an ?
Sebaliknya jika difahami ayat-ayat di atas sebagai yang menerangkan peranan al-Qur’an dalam meletakkan dasar serta prinsip syari’at dan kehidupan, pasti kita akan ketahui bahawa Mie Goreng tersebut adalah halal dan baik untuk dimakan, karena al-Qur’an telah menggariskan beberapa prinsip asas makanan, di antaranya semua yang ada di muka bumi ini adalah halal untuk dimakan (Yunus 10:59) . Asalkan disembelih atas nama Allah (al-An’aam 6:121) atau dari sembelihan Ahli Kitab (al-Maidah 5:05) dan ia bukan bangkai atau daging khinzir (al-Maidah 5:03); dan bahwa umat Islam sangat dianjurkan makan (al-An’aam 6:142) asalkan mereka tidak berlebih-lebihan (al-A’raaf 7:31). Inilah maksud dan cara yang benar dalam menggunakan ayat-ayat di atas yang menjadi dasar pembicaraan.
Bantahan kedua dari penganut inkar sunnah adalah Tugas Rasulullah SAW hanyalah sebagai seorang postman (pengantar) yang membawa surat dari seorang pengirim untuk diserahkan kepada penerimanya. Demikian juga Rasulullah, beliau hanya ditugaskan membawa al-Qur’an dari Allah untuk diserahkan kepada manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
مَا عَلىَ الرَّسُوْلِ اِلَّا الْبَلَغُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُوْنَ وَمَاتَكْتُمُوْن
“Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan . [al-Maidah 5:99]
...اِنْ عَلَيْكَ اِلَّا الْبَلَغُ
“Kewajibanmu (Wahai Muhammad) tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)”. [asy-Syura 42:48]
Ayat-ayat di atas dan beberapa lain yang senada sebenarnya menerangkan bahwa Rasulullah SAW tidak dipertanggung-jawabkan untuk memastikan setiap orang menerima risalah Islam. Rasulullah hanya dipertanggung-jawabkan untuk menyampaikan risalah tersebut. Terima atau tidak, ia adalah berkaitan dengan hidayah dan petunjuk Allah SWT. Dalam arti kata lain, seseorang itu menerima atau menolak Islam, itu bukan urusan Rasulullah tetapi adalah urusan mutlak AllahSWT. Penjelasan ini akan lebih difahami dengan merujuk kepada ayat-ayat berikut:
قُلْ يَاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَكُمُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْ فَمَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَمَا اَنَا عَلَيْكُمْ بِوَكِيْلٌ
“Katakanlah: Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (al-Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya kesesatan itu untuk kecelakaan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah penjaga terhadap dirimu ”. [Yunus 10:108]
اِنَّكَ لَا تَهْدِىْ مَنْ اَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ وَ هُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada Allah orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petuujuk kepada orang yang dikehendakiNya. Dan Allah lebuh mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk” . [al-Qasas 28:56]
Dakwaan bahwa tugas Rasulullah SAW hanya membawa al-Qur’an juga dapat ditolak dengan merujuk kepada ayat-ayat lain di dalam al-Qur’an yang menerangkan pelbagai tugas dan tanggung-jawabRasulullah. Berikut adalah 10 tugas dan tanggung-jawab Rasulullah SAW:.
a. Mengajar manusia untuk mentauhidkan Allah
Antara tugas pertama yang diamanahkan kepada Rasulullah SAW adalah mengajar manusia untuk mentauhidkan Allah SWT. Allah menurunkan ayat berikut kepada Rasulullah untuk beliau katakan dan ajarkan kepada manusia:
قُلْ هُوَ الله ُ اَحَدٌ اللهُ الصَّمَدُ لَمْ َيِلدْ وَ لَمْ يُوْلَد ْ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًااَحَدٌ
Katakanlah (wahai Muhammad): Dialah Allah Yang Maha Esa; Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. Dia tiada beranak, dan tiada pula diperanakkan; Dan tidak ada sesiapapun yang setara dengan-Nya. [al-Ikhlas 111:1-4]
b. Membawa al-Qur’an untuk manusia.
Firman Allah SWT:
اِنَّا أًنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَبَ لِلنَّاسِ بِالْحَقِّ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran.” [az-Zumar 39:41]
c. Membacakan al-Qur’an kepada manusia.
Firman Allah SWT:
لَقَدْ مَنَّ اللهَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اَيَتِهِ....
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah “. [‘Ali Imran 3:164]
Membaca di sini berarti menyampaikan secara lisan ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana diketahui, al-Qur’an dibawa oleh malaikat Jibril AS kepada Rasulullah SAW saja. Setiap kali Jibril turun membawa ayat atau ayat-ayat, Rasulullah akan membacakan ayat tersebut kepada umat. Di kalangan mereka ada yang mencatatnya manakala yang lain menghafalnya.
d. Membersihkan manusia dari dosa dan kemungkaran.
Firman Allah SWT:
لَقَدْ مَنَّ اللهَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اَيَتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ....
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah , memebrsihkan jiwa mereka“. [‘Ali Imran 3:164]
Membersihkan berarti menyucikan roh dan jiwa manusia yang dipenuhi dosa akibat dari kekotoran syirik, mempertuhankan taghut – yakni segala yang dijadikan tuhan selain dari Allah, keyakinan khurafat, tahayul dan pelbagai lagi yang menjadi akidah dan pegangan umat di zaman jahiliyah dahulu. Termasuk juga dalam pembersihan ini adalah pendidikan rohani, pembentukan akhlak murni, mendisiplinkan nafsu dan syahwat, menghindari maksiat dan kemungkaran dan pelbagai lagi kotoran yang menguasai manusia pada saat itu.
e. Mengajar dan menerangkan al-Qur’an.
Firman Allah SWT:
لَقَدْ مَنَّ اللهَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اَيَتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ....
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab “. [‘Ali Imran 3:164]
Maksud mengajar al-Qur’an bukanlah cara-cara membaca dan mentilawahkannya kerana orang-orang ketika itu telah mengetahui bahasa Arab, tetapi adalah mengajarkan maksud ayat-ayat dan cara-cara mengamalkan serta mempraktikkannya.
f. Menerangkan, menguraikan dan memperincikan al-Qur’an.
Firman Allah SWT:
..وَأَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلَّناسِ مَانُزِّلَ اِلَيْهِمْ
Dan Kami turunkan kepadamu (wahai Muhammad) al-Quran, supaya engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. [an-Nahl 16:44]
Perkataan supaya engkau menerangkan adalah terjemahan dari perkataan litubayyina yang berasal dari kata al-Bayan. Ia bermaksud menerangkan, menghuraikan dan memperincikan sesuatu dari pokoknya. Maka apabila Allah menugaskan Rasulullah sebagai mubayin al-Qur’an, ia berarti beliau ditugaskan untuk menerangkan, menguraikan dan memperincikan al-Qur’an. Contohnya al-Qur’an memfardhukan shalat maka tugas Rasulullah adalah menerangkan apakah itu shalat, menguraikan hukum-hukumnya dan memperincikan sifat-sifatnya.
Ayat ini juga jelas menolak dakwaan bahwa tugas Rasulullah adalah hanya sekadar seorang pengantar karena Allah telah menggunakan istilah Litubayyina dan bukannya Balagh atau Mubaligh yang bererti sampaikan atau penyampai.
g. Mengajar al-Hikmah, yaitu segala ilmu-ilmu dan perincian agama yang tidak terkandung dalam al-Qur’an.
Terdapat dua ragam dan pola susunan perkataan al-Hikmah dalam al-Qur’an. Ragam pertama adalah apabila perkataan al-Hikmah berdiri dengan sendirinya. Ia memiliki beberapa arti seperti sifat-sifat kenabian (nubuwah), kebijaksanaan dan syari’at agama, setiapnya bergantung kepada konteks perbincangan ayat. Berikut dikemukakan beberapa contoh:
وَأَتَهُ اللهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَهُ مِمَّا يَشَاءُ
“Dan Allah memberikan kepadanya (Nabi Daud) kuasa pemerintahan, dan Hikmah (pangkat kenabian-nubuwah) serta mengajarkan kepadanya apa yang dikehendakiNya.” [al-Baqarah 2:251]
وَلَمَّا جَاءَ عِيْسَى بِالْبَيِّنَتِ قَالَ قَدْ جِئْتُكُمْ بِالْحِكْمَةِ وَلِاُبَيِّنَ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِيْ تَخْتَلِفُوْنَ فِيْهِ فَاتَّقُوْااللهَ وَاَطِيْعُوْنَ
“Dan tatkala Isa datang membawa keterangan, dia berkata: “Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa Hikmah, dan untuk menjelaskan kepadamu: sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan taatlah (kepada)ku”. [az-Zukhruf 43:63]
Jenis kedua adalah apabila perkataan al-Hikmah disandingkan dengan al-Kitab, iaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Contohnya ialah ayat-ayat berikut:
فَقَدْ اَتَيْنَا ال اِبْرَهِيْمَ الْكِتَبَ وَالْحِكْمَةَ وَاَتَيْنَهُمْ مُلْكًا عَظٍيْمٌا
“Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”. [an-Nisaa’ 4:54]
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِِِمْ رَسُوْلًا مِنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اَيَتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتَبَ وَ الْحِكْمَةَ
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman, ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah dan membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan mereka al-Kitab dan al-Hikmah”. [‘Ali Imran 3:164]
Dalam jenis kedua ini, perkataan al-Hikmah berarti segala sumber syari’at, ilmu dan perincian agama yang tidak terkandung dalam kitab suci (al-Kitab). Ini adalah karena Allah tidak akan membicarakan dua perkara yang sama dengan dua istilah yang berbeda melainkan yang dimaksudkan oleh-Nya adalah dua perkara yang berbeda juga. Demikian juga, al-Qur’an dengan segala kemukjizatan dan kekayaan bahasanya tidak akan merujuk kepada dua objek yang sama dengan dua istilah yang berlainan melainkan yang dirujuki adalah dua subjek yang berlainan juga.
Oleh itu al-Hikmah bukanlah bererti al-Kitab atau kitab suci yang diturunkan oleh Allah dari langit kepada para RasulNya tetapi ia adalah segala sumber syari’at, ilmu, dan perincian agama yang tidak terkandung dalam kitab suci. Segala apa yang disampaikan oleh para Rasul Allah tentang ¬al-Hikmah, baik ia dalam bentuk lisan, praktikal atau pengiktirafan, itulah yang dikenali sebagai al-Sunnah.
Para Rasul Allah yang diberikan al-Kitab juga diberikan al-Hikmah (al-Nisaa’ 4:54) dan ini termasuklah Rasul Allah yang terakhir Muhammad SAW (al-Nisaa’ 4:113). Rasulullah bukan saja diberi al-Hikmah tetapi ditugaskan untuk mengajar al-Hikmah tersebut kepada umatnya (‘Ali Imran 3:164).
h. Mengajarkan perkara-perkara baru yang sebelumnya tidak diketahui.
Firman Allah SWT:
كَمَا اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْاعَلَيْكُْم اََيَتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَالَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ
“Sebagaimana Kami mengutuskan kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu, dan mensucikan kamu, dan yang mengajarkan kepadamu al- Kitab serta Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. [al-Baqarah 2:151]
Selain diamanahkan mengajar umat berkenaan urusan-urusan agama dalam al-Kitab dan al-Hikmah, selanjutnya Allah SWT mengamanahkan Rasulullah SAW mengajar umat hal-hal duniawi yang belum mereka ketahui. Maksudnya adalah seperti yang diterangkan oleh Sa’id Hawa (1989M): Dahulu di zaman jahiliyah mereka (masyarakat Arab) adalah orang-orang bodoh, lalu dengan berkat risalah Muhammad – mereka menjadi orang-orang yang pintar dan berpengetahuan. Bahkan menjadi orang yang paling dalam pengetahuan, berhati lembut dan berbahasa paling jitu.
Sayid Quthb (1966M) juga mengulas bahwa Islam telah mengangkat mereka (umat Islam) dari lingkungan masyarakat Arab yang tidak mengetahui kecuali hal-hal yang sedikit dan berserakan yang hanya layak untuk kehidupan berkabilah di tengah padang Sahara. Kemudian Islam menjadikan mereka sebagai umat yang memimpin manusia dengan penuh bijaksana, terarah, sangat piawai, tepat dan berpengetahuan. Malah dengan risalah Islam bersama didikan serta pimpinan Rasulullah inilah masyarakat Arab dapat membangun, jika tidak mereka akan tertinggal seperti masyarakat Eskimo di Kutub Utara dan masyarakat Zulu di benua Afrika hari ini.
i. Merangsang umat untuk senantiasa berjihad menegakkan Islam.
Firman Allah SWT:
فَقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ لَا تُكَلَّفُ اِلَّا نَفْسَكَ وَ حَرِّضِ الْمُؤْ مِنِيْنَ عَسَى اللهُ اَنْ يَكُفَّ بَأْسَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَاللهُ اَشَدَّ بَأْسًا وَّاَ شَدُّ تَنْكِيْلًا
“Maka berperanglah kamu pada jalan Allah; tidaklah kamu dibebani kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafirs itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaanNya.” [an-Nisaa’ 4:84]
Ayat ini sekaligus menerangkan dua tugas Rasulullah. Pertama, berjihad menegakkan agama Islam. Berdasarkan ayat ini diketahui baawa Rasulullah tidak hanya ditugaskan sekadar mengajar al-Qur’an dan mendakwahkan Islam kepada manusia tetapi beliau juga ditugaskan dengan sesuatu yang lebih berat lagi, yaitu mengangkat senjata di medan perang menegakkan Islam.
Kewajiban berperang yang diperintahkan kepada Rasulullah dalam ayat ini sekali-lagi menafikan dakwaan bahwa Rasulullah hanya memiliki peranan sebagai seorang postman yang menyampaikan al-Qur’an saja. Malah ayat ini secara jelas menonjolkan kegagahan diri Rasulullah sebagaimana yang diterangkan oleh al-Fakh-ur-Razi: Ayat ini menunjukkan bahawa Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam adalah seseorang yang memiliki sifat yang gagah lagi yang paling bijaksana dalam urusan peperangan (kerana) tidaklah (Allah) akan memerintahkan demikian melainkan Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam memang memiliki sifat-sifat tersebut (gagah dan bijaksana).
Tugas kedua yang diwajibkan ke atas diri Rasulullah dalam ayat di atas adalah mengarah dan mengajak umat Islam agar turut berperang.
k. Memberi Petunjuk hukum.
Firman Allah SWT:
..يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَ يَنْهَهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمَ الْخَبَئِثَ وَ يَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلَلَ اَّلتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْ
“Dia (Muhammad) menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang burukdan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada pada mereka.” [al-A’raaf 7:157]
Dalam ayat ini Allah menerangkan tugas dan kekuasaan Rasulullah mengubah hukum-hukum seperti menghalalkan apa yang baik dan mengharamkan apa yang memudaratkan.
Demikianlah 10 tugas Rasulullah yang diberikan oleh Allah dalam al-Qur’an. Terdapat beberapa lagi tugas Rasulullah yang diterangkan oleh al-Qur’an seperti menunjuki umat ke arah jalan yang lurus, menerangi mereka cahaya Islam, mengkabarkan berita gembira kepada orang yang beriman akan balasan surga bagi mereka, memberi perintah kepada orang yang ingkar akan balasan neraka, menjadi saksi kepada umat di akhirat dan pelbagai lagi. Yang paling utama dari tugas Rasulullah tidaklah hanya sekadar membawa al-Qur’an saja.
D. Kesimpulan
Orientalisme dan inkar sunnah merupakan dua hal yang berusaha merongrong keabsahan hadits Rasulullah. Orientalisme merupakan permasalahan yang muncul dari luar Islam yang bertujuan menghancurkan Islam. Sedangkan inkar sunnah merupakan permasalahan laten yang datang dari diri kaum Muslimin sendiri.
Orientalis beranggapan bahwa hadits bukan orisinil dari Nabi. Akan tetapi hanya merupakan produk ulama abad ke-2 dan 3 Hijriyah. Di antara tokohnya adalah Ignaz Goldziher dan Josep Schact.
Adapun Inkar Sunnah, antara lain berpandangan bahwa hanya hadits mutawatir yang boleh diterima. Adapun yang selainnya tidaklah dapat diterima. Di antara tokohnya adalah Taufiq Sidqy.
DAFTAR PUSTAKA
Al- Nabhani, Taqiyuddin. 1994. Syakhsiyah Islamiyah juz III. Beirut. Darul Ummah.
Al-Syafi'I , Muhammad ibn Idris. Tt. al-Umm Juz.7 . ttp: tp.
Al-Shiba'I , Musthafa. 1966. al-Sunnah wa Makanutuha fi al-Tasyri al-Islamy (ttp: al-Dar al-Qaumiyah.
Al-Ulwany, Toħa Jabir Fayadl. 1987. Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam. (Washington.: The International Institute Of Islamic Thought.
Darmalaksana, Wahyudin. 2004. Hadis dimata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Golziher dan Joseph Schacht. Bandung. Benang Merah Press.
Hamka. 1985. Studi Islam. ttp: tp.
HT. 1997. Miitsaaqul Ummah. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
Khalaf, Abdul Wahab. 1987. Ilmu Ushul Fiqh .Kairo: Dar al-Qalam.
Maufur, Mustafa. 1995. Orientalisme : Serbuan Ideologis dan Intelektual. Jakarta. Pustaka al-Kausar.
Rais, Amien. 1987. Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta. Bandung. Mizan.
Sou'yb Joesuf . 1985. Orientalisme dan Islam.Jakarta. Bulan Bintang.
Said, Edward. 1994. Orientalime. Bandung. Pustaka Salman Tim Penulis. 2002. Menegakan Syariat Islam. Hizbut Tahrir Indonesia.
Tim Penulis. 1995. Mukzijat Al-Qur’an Dan Sunnah tentang Iptek . Jakarta. GIP.
Archivmail.com
www.al-ahkam.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar