6 Juni 2010

TELAAH KRITIS PENGEMBANGAN KURIKULUM SEKOLAH UMUM DAN MADRASAH DI INDONESIA TAHUN 1945-2004

Oleh : Ellah AFR

A. Pendahuluan
Ilmu pendidikan di Indonesia mengalami krisis identitas kondisi semacam itu disebabkan, diantaranya oleh politisasi paksis pendidikan di Indonesia selama Orde baru, sementara lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya bertugas mengkaji secara ilmiah konsep-konsep pendidikan telah bealih.
Selain masalah tersebut, ilmu pendidikan di Indonesia dewasa ini juga masih merupakan jiplakan dari buku-buku teks pendidikan yang di dasarkan pada masyarakat Barat atau penelitian-penelitian tentang perkembangan penserta didik dalam masyarakat Barat. Akibatnya muncul pendekatan pedagogisme dan pendekatan psikologisme dalam perkembangan ilmu pendidikan di tanah air.

B. Pembahasan
Dalam realitas pendidikan Islam di tanah air, saat dibicarakan tentang lembaga pendidikan Islam, selain pesantren, maka yang segera terbayang dibenak kita adalah madrasah. Instittusi pendidikan ini lahir pada awal abad XX M, yang dapat dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Memasuki abad XX M banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen, dan perjuangan untuk maju di bagian-baggian lain di Asia, apabila mereka terus melanjjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional dalam menegakan islam.

Munculnya kesadaran krisis di kalangan umat Islam Indonesia tersebut tidak bisa dilepaskan dari kiprah kaum terdidik lulusan pendidikan Mesir atau Timur Tengah yang telah banyak semangat pembaharuan (modernisme) di sana. Sekembalinya ke tanah air mereka melakukan pengembangan institusi pendidikan baru yang lazim disebut dengan madrasah, menerapkan metode dan kurikulum yang baru juga. Dari sini tidak mengherankan kemudian terjadi beberapa perubahan mendasar dalam dinamika Islam Indonesia yang setidaknya di dorong oleh empat faktor yang sangat penting, yaitu :
1. Di berbagai tempat di dunia Islam muncul kecenderungan kuat untuk kembali ke al Qur’an dan hadits Nabi yang dijadikan titik tolak menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada;
2. Gejolak dan sifat perlawanan nasional terhadap penguasaan colonial Belanda;
3. Usaha yang kuat dari umat Islam untuk memperkokoh organisasinya di bidang sosial ekonomi, demi kepentingan mereka sendiri maupun untuk kepentingan rakyat banyak;
4. Pembaharuan Pendidikan Islam yang disebabkan karena munculnya ketidakpuasan terhadap pola tradisional.

Terkait dengan hal itu, kemunculan madrasah dipandang oleh para sejarah pendidikan sebagai salah satu bentuk pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Argumen yang bisa dikemukakan adalah bahwa secara historis, awal kemunculan madrasah dapat dikembalikan pada situasi: pertama, adanya pembaharuan Islam di Indonesia, dan kedua, adanya respons pendidikan islam terhadap kebijakan pendidikan Hindia-Belanda. Dengan demikian jika dilihat dari sudut pandang pesantren itu sendiri maka kehadiran madrasah mengandung dimensi “kritik” karena ia adalah bagian dari upaya pembaharuan untuk menjembatani sistem tradisional yang diselenggarakan oleh pesantren dengan sistem pendidikan modern. Selain itu, kehadiran madrasah juga merupakan upaya penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan lulusan sekolah umum. Sementara itu, apabila dilihat dari sudut pandang pendidikan modern Barat colonial, kehadiran madrasah mengandung dimensi akulturatif karena ia merupakan manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam yang diinginkan oleh sebagian umat Islam yang tengah menganggap positif sistem pendidikan Barat.

Pada masa penjajahan, sesuai dengan misi kolonialisme, pendidikan Islam dianaktirikan. Pendidikan Islam dikategorikan sebagai pendidikan liar, bahkan pemerintah kolonial telah memproduk peraturan-peraturan yang membatasi, atau justru mematikan sekolah-sekolah partikelir, termasuk madrasah, dengan mengeluarkan peraturan yang disebut wilde schoolen ordonantie pada 1933. Sebelum ini, pemerintah kolonial juga telah mengeluarkan peraturan yang dikenal dengan ordonansi guru (ordonansi 1905 dan 1925) yang menyebutkan bahwa izin tertulis untuk mengajar harus diberlakukan kepada Islam; bahwa daftar mata pelajaran dan murid-murid harus diketahui; dan bahwa metode pengawasan pemerintah juga harus dibuat. Ordonansi itu secara khusus dimaksudkan bahwa untuk membatasi gerakan guru-guru agama, dan secara umum dimaksudkan untuk menghambat kemajuan Islam. Dengan kata lain, pemerintah koloonial bersikeras, melalui berbagai kebijakannya, mennolak peranan Islam dalam kehidupan public. Akibat kebijakan diskriminatif pemerintah colonial tersebut, pendidikan islam, termasuk madrasah, menghadapi kesulitan-kesulitan dan bahkan terisolasi dari arus modernisasi. Sebagai akibatnya, muncul hal-hal berikut :
1. Pendidikan Islam, termasuk madrasah, terpinggirkan dari arus modernisasi. Kendatipun keadaan ini tidak selamanya negatif, ternyata telah menjadikan pendidikan Islam cenderung pada sifat ketertutupan.
2. Adanya kebijakan yang sangat diskriminatif dari pemerintah kolonial terhadap pendidikan Islam sehingga lembaga pendidikan ini terkondisikan menjadi milik rakyat pinggiran (pedesaan).
3. Isi atau muatan pendidikan cenderung berorientasi pada praktik-praktik ritual keagamaan dengan ilmu pengetahuan umum sama sekali terpisah.
4. Pendidikan Islam mengalammi berbagai kelemahan manajemen, meskipun tidak seluruhnya harus dianggap sebagai sesuatu yang negative. Dalam hal ini kelemahan manajemen ditunjukan oleh sifatnya yang tertutup dan tidak berorientasi keluar sehingga perkembangan madrasah pun menjadi lamban atau justru statis.
Pendidikan Islam tidak dengan sendirinya dimasukan dalam sitem pendidikan nasional.

Paradigma dualisme yang diwariskan pemerintah kolonial tetap mengakar kuat dalam dunia pekndidikan di tanah air. Pemerintah Indonesia mewarisi sistem pendidikan yang dualistis, yaitu: (1) sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-skolah umum yang sekuler; dan (2) sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat Islam, baik yang bercorak isolatif tradisional maupun yang bercorak sintesis. Pada tahun 1950 terjadi aksiden sejarah pada dunia pendidikan Islam kita, yaitu ketika Presiden Soekarno menetapkan Unniversitas Gadjag Mada yang diperuntukan bagi kaum nasionalis dan dalam waktu itu bersamaan menetapkan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta yang diperuntukan bagi umat Islam.

Dalam perkembangan selanjutnya, polarisasi kedua instusi pendidikan tersebut membentuk polarisasi yang lebih menyeluruh. Implikasi lebih jauh dari polarisasi ini adalah (1) universitas umum seakan-akan bukan milik golongan umat Islam; (2) dualisme dan dikotomi terus bertahan, bahkan melebar; dan (3) sekolah/perguruan tinggi umum menjadi binaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sementara perguruan tinggi agama Islam berada di bawah binaan Departemen Agama. Setidaknya kenyataan ini mengakibatkan jatuhnya pendidikan Islam kedalam dikotomi atau dualisme: pertama, dikotomi pendidikan yang sekuler dan pendidikan yang mempunyai ciri khas keislaman; kedua, pendidikan Islam terperangkap kedalam dualisme pengelolaan, antara pengelolaan pendidikan di bawah Departemen Pendidikan Nasional dan pendidikan Islam di bawah Departemen Agama.

Selain persoalan di atas, persoalan pendidikan Islam juga masih dihadapkan pada persoalan lain yang tidak kalah seriusnya. Pada saat itu, meskipun pendidikan Islam tetap eksis, ia masih belum bisa memeroleh perhatian sepenuhnya dari pemerintah. Lembaga-lembaga pendidikan islam seakan dibiarkan hidup apa adanya kendati dalam keadaan sangat sederhana dan berjalan sebisanya. Secara konstitusional, dalam hal ini pemerintah memang masih terikat dengan Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954, yang belum memihak pada pemberdayaan madrasah sebagai bagian dari program pendidikan nsional sehingga kebijakan pemerintah yang terkesan gamang tampaknya masih terbatas pada penguatan struktur madrasah itu sendiri.

Setidaknya terdapat dua langkah awal sehubungan dengan penguatan struktur madrasah: (1) melakukan formalisasi yang ditandai dengan upaya meningkatkan status beberapa madrasah swasta menjadi madrasah negeri, dan (2) strukturasi madrasah yang sesuai dengan tuntutan pendidikan nasional, terutama menyangkut penyeragaman dan penyempurnaan kurikulum. Pada sekitar pertengahan decade tahun 1970-an, perhatian pemerintah mulai ditunjukan pada pembinaan madrasah secara lebih sistematis, misalnya dengan lahirnya kurikulum 1973 dan SKB 3 Menteri pada 24 Maret 1975 yang menegaskan bahwa kedudukan madrasah sejajar dengan sekolah formal lain. Akan tetapi, langkah yang paling signifikan dalam upaya mengintegrasikan madrasah kedalam Sistem Pendidikan Nsional adalah dengan diratifikasinya UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN). Dalam UU tersebut, pendidikan madrasah diakui sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam; madrasah mendapat pengakuan sebagai subsistem pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam PP No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar.

Masuknya madrasah kedalam subsistem pendidikan nasional memiliki berbgai konsekuensi, antara lain: (1) dimulainya suatu pola pembinaan mengikuti satu ukuran yang mengacu kepada sekolah-sekolah pemerintah; (2) madrasah mengikuti kurikulum nasional; (3) madrasah ikut serta dalam Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), dan berbagai peraturan yang diatur oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K). Dengan demikian, keuntungan positif yang diperoleh melalui UU tahun 1989 dan PP tahun 1990 ternyata juga melahirkan berbagai kendala.
Dualisme antara Departemen Agama dan Departemen P dan K ini terus berlangsung. Hal yang sama juga terjadi dalam pembinaan pendidikan dasar. Kesemrawutan manajemen pendidikan dasar ini tentunya juga berdampak pada pembinaan sekolah-sekolah yang ada di bawah Departemen Agama. Dengan sendirinya, terjadi dualisme dengan pembinaan sekolah tersebut yang tidak selalu menguntungkan sekolah-sekolah yang ada di bawah naungan Departemen Agama. Integrasi dan kesetaraan madrasah dengan sekolah umum baru terbatas pada aspek struktur dan muatan kurikulumnya saja.

Selama sepuluh tahun lebih sejak UU No. 2/1989 dilahirkan, ia terbukti belum mampu mengangkat citra madrasah sebagai lembaga pendidikan altrenatif, kecuali beberapa madrasah khusus yang berkualitas saja sebagai hasil binaan masyarakat. Kebijakan pemerintah terhadap madrasah sejauh ini terasa masih diskriminatif. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila muncul usulan agar UU Pendidikan Nsional (UUSPN) No. 2/1989 segera diganti supaya lebih sesuai dengan upaya pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi pendidikan dan efisiensi dalam manajemen. Sebab pelaksanaan UUSPN tersebut terasa amat sentralisasi, tidak demokratis dan otoritas kekuasaan terlalu dominan. Paradigma-paradigma yang digunakan oleh pemerintah selama ini dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, termasuk pendidikan madrasah, dalam praktiknya telah menimbulkan berbagai anomaly, diantaranya:
Pertama, kecenderungan untuk menegerikan madrasah yang telah didirikan melalui prakarsa masyarakat, meskipun dilihat dari porsentasenya relatif kecil. Seperti yang telah dijelaskan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari dan untuk masyarakat. Namun demikian madrasah yang lahir dari strata masyarakat miskin ingin menegerikan madrasah-madrasah. Hal ini memang mempunyai segi positif, yaitu adanya kucuran pemerintah melalui INPRES SD, INPRES WAJIB BELAJAR dan sebagainya. Demikian juga manajemen madrasah mendapat bantuan, dan mungkin pula memperoleh tenaga-tenaga guru yang diperbantuka.
Kedua, kecenderungan kearah sentralisasi kurikulum. Dengan adanya keinginan untuk menyertakan pendidikan madrasah dengan sekolah negeri lain maka kurikulum diarahkan pada kurikulum nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti kurikulum 1994. Kurikulum 1994 yang dikembangkan di MI, MTs, MA untuk mata pelajaran umum sepenuhnya mengacu pada kurikulum SD, SLTP, SMU sehingga isi pendidikan madrasah tidak memiliki perbedaan yang esensial dan substantive dengan sekolah umum. Akan tetapi dalam perkembangannya cirri khas Islam pada madrasah menimbulkan keprihatinan dikalangan Departemen Agama karena dinilai telah banyak bergeser, khususnya di Madrasah Aliyah yang berkembang dengan jurusan-jurusan umum.
Ketiga, kecenderungan uniformitas dalam madrasah itu sendiri. Karakteristik madrasah sebenarnya bersifat variatif karena sekolah masyarakat dari masyarakat untuk masyarakat.

Untuk mengelimir anomali-anomali dalam perubahan madrasah, menurut A. Malik Fadjar, kerangka kebijakan perubahan madrasah hendaknya mempertimbangkan: (1) kebijakan harus memberi ruang tumbuh yang wajar bagi aspirasi utama umat Islam, yaknni menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik hidup Islami; (2) kebijakan harus memperjelas dan memperkokoh keberadaan masyarakat sebagai ajang membina masyarakat yang cerdas, berpengetahun, berkepribadian dan produktif sesuai dengan system sekolah; (3) kebijakan harus bisa menjadikan madrasah mampu merespons tuntutan-tuntutan masa depan.

Selain masalah struktur kelembagaan, hal lain yang sering kali disoroti dari pengajaran dan pendidikan Islam adalah: (1) masalah materi dan muatan pendidikan agama; (2) masalah yang berkaitan dengan kerangka metodologi; (3) masalah kurang terintegrasikannya pendidikan agama, dalam arti terjadi dualisme dikotomi dengan disiplin keilmuan lain.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah menyangkut rekontruksi pragmatis tujuan madrasah. Tanpa adanya perbedaan rumusan yang jelas, semua jenjang pendidikan di madrasah bertujuan untuk melahirkan lulusan yang berkepribadian muslim. Seolah-olah dengan tujuan sementara itu lulusan madrasah sudah dijamin bisa menjadi orang yang berhasil karena ia akan senantiasa mampu merujuk pada ajaran al Qur’an dan sunnah Nabi dalam mengatasi berbagai problema kehidupan. Munculnya masalah ini disebabkan oleh ideologisasi dan teologisasi ilmu-ilmu keislaman, senbagai ilmu yang memberi bekal kemampuan dal;am memahami kandungan al Qur’an dan as Sunnah. Di sini ilmu agama Islam diidentikann dengan agama Islam itu sendiri sehingga kebenarannya diyakini bersifat mutlak dan berlaku universal. Dengan demikian manakala ilmu umum yang sekuler dianggap bertentangan dengan ilmu Islam maka ia harus ditolak, dinilai sesat bahkan haram dipelajari.. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan kenyataan bahwa hampir tidak mungkin berbagai model pendidikan Islam, seperti madrasah bisa dikelola secara baik, kecuali dengan memanfaatkan jasa-jasa ilmu sekuler tadi.

C. Penutup
Dari perkembangan madrasah sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan sudah tergambar dengan jelas, bahwa kurikulum madrasah mengalami ruang gerak yang terbatas sekali. Madrasah mengalami tarik ulur pemerintah, sehingga munculnya strukturisasi yang tidak jelas, karena harus menginduk kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Agama, sehingga terjadi dualisme sistem pendidikan. Dengan adanya sistem dualisme ini tentunya ada respons negatif dan respons positif.

D. Daftar Pustaka
Arif, Mahmud Pendidikan Islam Transformatif. PT. LKiS Pelangi Aksara, Yogyakarta. 2008
Jamhari, IAIN dan Mmodernisasi Islam di Indonesia. Logos, Jakarta. 2002
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Logos, Jakarta.1999
Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Logos Wacana Ilmu, Jakarta.1999
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2003
Noer, Deliar Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cet. VIII. LP3ES, Jakarta. 1996,
Saridjo, Marwan Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam.PT. Amissco, Jakarta.1996
Tilaar, H.A.R Paradigma Baru Pendidikan Nasional. PT. Rineka Cipta, Jakarta. 2004

Tidak ada komentar: