29 November 2010

AGAMA; ANTARA ESENSI DAN SIMBOL


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Pengantar
Manusia adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatiK, psikologik, dan social.
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya, bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya. Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.


B.    Agama dan Psikologi Agama
Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban. Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau)
Agama seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna, dan tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu, (Edward Caird)
Agama hanyalah upaya mengungkapkan realitas sempurna tentang kebaikan melalui setiap aspek wujud kita (F.H Bradley)
Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang keTuhanan disertai keimanan dan peribadatan
Jadi agama pertama-tama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam individu yang mengsugestit esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural, supersensible atau kekuatan diatas manusia. Hal ini lebih bersifat personal/pribadi yang merupakan proses psikologis seseorang
Yang kedua adalah adanya keimanan, yang sebenarnya intrinsik ada pada pengalaman dunia dalam seseorang. Kemudian efek dari adanya keimanan dan pengalaman dunia yaitu peribadatan.
Tidak ada satupun definisi tentang agama (religion) yang dapat diterima secara umum, karena para filsuf, sosiolog, psikolog merumuskan agama menurut caranya masing-masing, menurut sebagian filsuf religion adalah ”Supertitious structure of incoheren metaphisical notion”. Sebagian ahli sosiolog lebih senang menyebut religion sebagai ”collective expression of human values”. Para pengikut Karl Marx mendifinisikan Religion sebagai “the opiate of people”. Sebagian Psikolog menyimpulkan religion adalah mystical complex surrounding a projected superego” disini menjadi jelas bahwa tidak ada batasa tegas mengenai agama/religion yang mencakup berbagai fenomena religion.
Menurut Einstein , pada pidato tahun 1939 di depan Princeton Theological seminar, ”ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman, tetapi sumber perasaan itu berasal dari tataran agama, termasuk didalamnya keimanan pada kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional, artinya dapat dipahami akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu, ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta
Beragama berarti melakukan dengan cara tertentu dan sampai tingkat tertentu penyesuaian vital betapapun tentative dan tidak lengkap pada apapun yang ditanggapi atau yang secara implicit atau eksplisit dianggap layak diperhatikan secara serius dan sungguh-sungguh (Vergulius Ferm)
Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia dengan memandangnya dari segi kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu manusia sebagai mahluk berhayat yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak hanya sadar akan dunia disekitarnya dan akan dorongan alamiah yang ada padanya, tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu, manusia mempunyai kesadaran diri ia menyadati dirinya sebagai pribadi, person yang sedang berkembang, yang menjalin hubungan dengan sesamanya manusia yang membangun tata ekonomi dan politik yang menciptakan kesenian, ilmu pengetahuan dan tehnik yang hidup bermoral dan beragama, sesuai dengan banyaknya dimensi kehidupan insani, psikologi dapat dibagi menjadi beberapa cabang
Kepercayaan dan pengamalannya sangat beragam antara tradisi yang utama dan usaha dalam mendifinisikan agama itu sendiri secara keseluruhan yang sempurna. Agama sendiri menurut bahasa latin berasal dari kata religio, yang dapat di artikan sebagai kewajiban atau ikatan
Menurut Oxford English Dictionary, religion represent the human recognition of super human controlling power, and especially of a personal God or Gods entitle to obedience and worship, agama menghadirkan ‘ manusia yang kehidupannya di kontrol oleh sebuah kekuatan yang disebut Tuhan atau para dewa-dewa untuk patuh dan menyembahnya.
Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup 2 bidang kajian yang sama sekali berlainan , sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya.
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa.
Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan , tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan , pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi tentang agama dipilih yang sederhana dan meliputi. Artinya definisi ini diharapkan tidak terlalu sempit atau terlalu longgar tetapi dapat dikenakan kepada agama-agama yang selama ini dikenal melalui penyebutan nama-nama agama itu. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agama itu perlu dicari titik persamaannya dan titik perbedaannya.
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dll.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri , yaitu :
·       menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
·       menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dll yang diyakini berasal dari Tuhan
Dengan demikian diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok pengertian tersebut dapat disebut agama.

B.    Cara Beragama
Berdasarkan cara beragamanya :
  1. Tradisional, yaitu cara beragama berdasar tradisi. Cara ini mengikuti cara beragamanya nenek moyang, leluhur atau orang-orang dari angkatan sebelumnya. Pada umumnya kuat dalam beragama, sulit menerima hal-hal keagamaan yang baru atau pembaharuan. Apalagi bertukar agama, bahkan tidak ada minat. Dengan demikian kurang dalam meningkatkan ilmu amal keagamaanya.
  2. Formal, yaitu cara beragama berdasarkan formalitas yang berlaku di lingkungannya atau masyarakatnya. Cara ini biasanya mengikuti cara beragamanya orang yang berkedudukan tinggi atau punya pengaruh. Pada umumnya tidak kuat dalam beragama. Mudah mengubah cara beragamanya jika berpindah lingkungan atau masyarakat yang berbeda dengan cara beragamnya. Mudah bertukar agama jika memasuki lingkungan atau masyarakat yang lain agamanya. Mereka ada minat meningkatkan ilmu dan amal keagamaannya akan tetapi hanya mengenai hal-hal yang mudah dan nampak dalam lingkungan masyarakatnya.
  3. Rasional, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan rasio sebisanya. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan pengetahuan, ilmu dan pengamalannya. Mereka bisa berasal dari orang yang beragama secara tradisional atau formal, bahkan orang tidak beragama sekalipun.
  4. Metode Pendahulu, yaitu cara beragama berdasarkan penggunaan akal dan hati (perasaan) dibawah wahyu. Untuk itu mereka selalu berusaha memahami dan menghayati ajaran agamanya dengan ilmu, pengamalan dan penyebaran (dakwah). Mereka selalu mencari ilmu dulu kepada orang yang dianggap ahlinya dalam ilmu agama yang memegang teguh ajaran asli yang dibawa oleh utusan dari Sesembahannya semisal Nabi atau Rasul sebelum mereka mengamalkan, mendakwahkan dan bersabar (berpegang teguh) dengan itu semua.

C.    Agama Sebagai Esensi
Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik (al-asma al-husna. Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliah yang mengingkari nama "al-Rahman", selain nama "Allah". Berkenaan dengan alas an turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik menuturkan adanya Hadits dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat, dan dalam bersujud beliau mengucapkan: "Ya Allah, ya Rahman". Ketika Abu Jahal, tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang ucapan Nabi dalam sujud itu, ia berkata: "Dia (Muhammad) melarang kita menyembah dua Tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain  lagi." Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum Ahl al-Kitab pernah mengatakan kepada beliau, "Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama al-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat."
Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan bahwa kedua  nama  itu  sama  saja,  dan  keduanya  menunjuk  kepada Hakikat, Dzat atau Wujud  yang  satu  dan  sama.  Zamakhsyari, al-Baidlawi  dan  al-Nasafi  menegaskan  bahwa kata ganti nama "Dia" dalam kalimat  "maka  bagi  Dia  adalah  nama-nama  yang terbaik" dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama "Allah" atau "al-Rahman", melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat (Esensi) Wujud Yang Maha Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi kepada suatu dzat atau esensi.  Jadi,  Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama "Allah" dan atau "al-Rahman" serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya "Allah" bernama "al -Rahman" atau "al-Rahim".
Jadi, yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu al-Baidlawi   menegaskan bahwa pahan Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada esensi. Maka Tauhid yang benar ialah "Tauhid al-Dzat" bukan "Tawhid al-Ism" (Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama.
"Allah" (kadang-kadang dieja, "Al-Lah") berasal "ilah" dan "ilah" mengandung makna "ma'luh', (yang disembah, dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai(al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna(sekaligus, maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?" Hisyam mengatakan lagi, "Tambahilah aku (ilmu)". Ja'far al-Shadiq menyambung, "Bagi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh Sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia ..." 
Kalau kita  harus  menyembah  Makna  atau  Esensi,  dan  bukan menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk kemusyrikan oleh Ja'far  al-Shadiq  itu,  berarti kita  harus  menunjukkan  penyembahan  kita  kepada  Dia  yang menurut  al-Qur'an  memang  tidak  tergambarkan,   dan   tidak sebanding  dengan  apapun.  
 
D.    Agama Sebagai Simbol Dan Formalitas
Harus diakui, kehidupan keagamaan masyarakat indosnesia pada umumnya masih berada dalam tataran simbolis. Dalam arti pemahaman orang Indonesia mengenai agama masih berkutat pada simbol-simbol luarnya. Antara lain dapat dilihat dari ritual, barang-barang yang berbau agama, perkataan-perkataan yang “ke-agama-agamaan”. Apakah ini salah?  Sebenarnya tidak. Karena pada dasarnya agama merupakan sebuah sistem simbol yang diberi makna untuk menerangkan pemahaman mengenai Yang Ilahi. Atau dengan kata lain agama sebenarnya merupakan ungkapan iman yang diekspresikan secara kolektif melalui simbol-simbol yang bermakna. Tetapi yang sering kali dilupakan adalah bahwa simbol itu tidak berdiri pada dirinya sendiri (an sich). Simbol selalu merujuk kepada apa yang disimbolkan, yaitu sesuatu yang sangat bermakna dan tak terbatas, suatu perjumpaan antara manusia dan Tuhan yang diletakkan dalam kerangka iman. Yang menjadi masalah adalah ketika simbol-simbol itu dimutlakkan sehingga menggeser esensi dari simbol itu. Akibatnya terjadi keterputusan antara simbol dengan “dunia” yang disimbolkan. Pada titik tertentu simbol-simbol itu akan menjadi sebuah onggokan “sampah yang mulia” yang tidak bermakna.
Pemahaman orang mengenai agama dapat saja terjebak hanya sebatas simbol-simbol semata. Atau, beragama selalu dilihat dalam keformalannya, aspek kulitnya, tanpa menembus kedalaman hakiki dari agama itu sendiri. Sampai pada taraf tertentu, agama dapat menjadi seperti sebuah barang antik. Orang tertarik pada ritual-ritual keagamaan hanya sebatas sebagai sebuah kesenangan rekreatif yang dibungkus dengan muatan-muatan kepentingan yang lain. Misalnya muatan sosial, supaya orang dilihat sebagai orang yang saleh, rajin, baik. Hal itu didukung pemahaman sebagian besar masyarakat Indonesia yang melihat seseorang itu baik atau tidak berdasarkan pada seberapa rajin orang itu mengikuti ritual-ritual keagamaan dan seberapa banyak simbol-simbol agama yang dikenakan. Misalnya seberapa sering orang itu menyebut haleluya, puji Tuhan, memakai perhiasan salib, ataupun juga dengan mengutip ayat-ayat suci. Bahkan banyak masyarakat kita yang menilai baik buruknya seorang politikus atau birokrat negara dari kefasihannya mengucapkan salam.
Pemahaman agama yang hanya memberi penekanan pada simbol akan memberi peluang bagi penyelewengan-penyelewengan agama untuk kepentingan tertentu. Contoh konkrit adalah di bidang politik. Lihat saja menjelang pemilu, banyak partai mengusung simbol-simbol agama. Ditambah lagi dengan para tokoh politik yang tiba-tiba berubah menjadi “alim” dengan mengunjungi tempat ibadah ataupun melakukan acara-acara keagamaan. Jangan-jangan mereka memakai agama sebagai kendaraan politiknya, yaitu untuk menarik massa sebanyak-banyaknya. Di Indonesia cara itu sangat efektif sekali karena simbol-simbol agama masih memiliki “harga” di masyarakat. Apalagi bila sudah diberi legetimasi ayat-ayat suci akan lebih dahsyat lagi pengaruhnya. Padahal itu dapat saja menjadi pembohongan dan hanya merupakan akal-akalan memanfaatkan alam pikir masyarakat Indonesia yang sudah banyak terjebak pada pengagungan simbol.
Tetapi justru di sinilah “taji” dari agama-agama di Indonesia. Jelas agama masih memiliki peran yang besar, namun sayangnya perannya lebih banyak dijadikan sebagai kendaraan kepentingan. Agama-agama yang diharapkan menjadi landasan etik, moral, dan transformasi sosial bangsa Indonesia masih jauh dari harapan. Buktinya semakin banyak aturan mengenai kehidupan beragama, semakin banyak tempat ibadah didirikan, tetapi toh semakin banyak orang-orang yang semakin merosot moralitasnya. Mengapa demikian? Sekali lagi karena keberagamaan hanya menekankan pada aspek simbolis tanpa mampu menembus jati diri dan nurani para pemeluknya. Dengan demikian, kembali ke pertanyaan awal, apakah benar masyarakat Indonesia sungguh masyarakat agamis? Jangan-jangan hanya berkulitkan agamis tetapi sesungguhnya sama sekali tidak peduli dengan agama (sekulerisme?). Atau orang-orang hanya sekedar mempunyai agama tetapi tidak ber-agama atau menghidupi agama.
Mempunyai agama ( having religion) berarti ada jarak antara individu dengan agama yang dipeluknya. Agama seperti barang antik yang dipunyai dan dapat disimpan atau dikenakan tetapi tidak membawa pengaruh dalam kehidupannya. Ber-agama (being religious) merupakan sebuah “proses menjadi” yang terus menerus. Ada kelekatan antara individu dan agama yang dipeluknya. Agama tidak hanya sekedar dimiliki atau dipeluk, tetapi juga dihidupi.

E.    Mana yang Harus Didahulukan Antara Formalitas Hukum Islam Dengan Implementasi?
Mana yang lebih dahulu kita perjuangkan, simbol-simbol keIslaman ataukah esensi syariah Islam tanpa menyebutkannya secara formal?
Yang menjadi pertanyaan merupakan inti dari perdebatan para aktifis gerakan Islam di dunia, bukan hanya di negeri kita. Intinya, ada dua aliran besar yang masih saja menjadi bahan perdebatan. Apakah dalam memperjuangkan agama Islam, kita mendahulukan formalitas, simbol dan legal hukum? Ataukah kita bicara dari implementasi yang realistis, baru kemudian simbol akan mengikuti dari belakang.

1.     Pendapat Pertama: Esensi yang Harus Didahulukan
Sebagian dari ide para aktifis itu adalah mengedepankan esensi dan implementasi, bukan simbol dan formalitas. Alur berpikir mereka adalah realitas sosial bahwa kebanyakan orang sudah terlanda penyakit Islamo-pohbia. Kalau kita pikir-pikir, memang sekarang ini penyakit anti-Islam sudah sangat parah. Dan sayangnya, penyakit itu bukan hanya melanda musuh-musuh Islam, di kalangan umat Islam sendiri pun penyakit itu berkembang.
Bahkan sebagian dari mereka ada yang sampai ke sikap, pokoknya apapun kalau pakai nama Islam langsung ditolak mentah-mentah. Seolah-olah segala hal yang berbau Islam selalu salah dan tidak adil.
Ada ada saja yang dijadikan alasan, misalnya alasan garis keras, ekstrim, fundamentalis, tidak toleran dengan agama lain dan seterusnya. Penyakit Islamo-phobia seperti ini terkadang lucu. Misalnya ada sebuah sistem hukum yang sangat baik, terbukti sudah bisa menyelesaikan banyak masalah. Semua pihak termasuk para perwakilan dari agama-agama, juga semua mengacungkan jempol. Tetapi ketika ada yang menyebut bahwa sistem itu berasal dari Islam, tiba-tiba saja semua orang menolak sistem itu. Termasuk mereka yang beragama Islam. Padahal sistem itu sudah berjalan dan semua pihak mengakui kebaikannya.
Contoh sederhana apa yang terjadi di Singapura. Di sana orang yang pakai narkoba tidak ada ampun lagi. Hukumannya hukuman mati. Dan semua pihak mengacungi jempol atas sikap tegas pemerintah Singapura. Angka pemakai narkoba di sana cenderung lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia.
Tapi saat hukuman yang sama mau diterapkan di Indonesia, apalagi dipelopori oleh partai yang berbau Islam, tiba-tiba hukuman mati itu dianggap biadab, tidak manusiawi, terlalu puritan dan bermacam ungkapan lainnya. Intinya, kalau sudah dikasih label Islam, harganya tiba-tiba jadi turun. Sungguh aneh bin ajaib.
Contoh yang lebih jelas adalah apa yang kini sedang terjadi di Turki. Saking sekulernya bangsa itu, pokoknya apapun yang berbau Islam pasti ditolak mentah-mentah. Bahkan meski sudah terbukti sistem Islam yang dijalankan oleh Perdana Menteri sebelumnya, Nechmetin Erbakan, sudah benar-benar bagus. Tetapi karena Erbakan banyak menggunakan idiom Islam, masyarakat yang pernah disekulerkan 100% itu masih phobi. Akhirnya karena gerah, pemerintahan Erbakan pun dijatuhkan.
Sekarang kekuatan Islam di sana kembali merapatkan barisan dan berhasil naik ke pentas pemerintahan. Mereka tidak lain adalah murid-murid Erbakan. Tetapi belajar dari kesalahan masa lalu, sekarang mereka tidak terlalu konsentrasi dengan idiom. Mereka cukup bekerja saja secara profesional sambil mendongkrak kekuatan ekonomi. Dan sudah berhasil memang. Salah satu indikatornya, nilai tukar mata uang Lira mereka sangat kuat nyaris menyaingi dolar Amerika.
Bersamaan dengan itu, mereka menampik kalau disebut-sebut sebagai kekuatan Islam. Mereka bilang, jangan lihat kami sebagai kekuatan Islam apa bukan, yang penting hasilnya. Dan karena kerja mereka memang benar-benar cantik, masyarakat Turki pun saat ini lebih banyak memilih mereka, sehingga mereka menang di pentas politik. Tapi, ya itu tadi, tanpa membawa-bawa idiom Islam. Sungguh aneh tapi nyata.
Maka sebagian aktifis dakwah di berbagai negeri, cenderung melakukan ijtihad di bidang politik. Kalau tujuannya adalah penerapan syariah Islam secara universal, maka mereka pun berupaya menerapkannya, meski tanpa harus gembar-gembor untuk menyatakan bahwa yang mereka perjuangkan adalah syariah Islam.

2.     Pendapat Kedua: Mulai dari Aspek Legal dan Formalitas
Namun di pihak lain, ada juga yang lebih senang untuk memperjuangan simbol, meski penerapan syariahnya masih entah kapan. Bagi kalangan ini, negara semacam Indonesia harus  ditegaskan secara legal bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Adapun penerapannya seperti apa, kapan, bagaimana dan oleh siapa, itu urusan lain.
Alasan mereka, simbol sama penting dengan esensi. Dengan adanya simbol, esensi akan lebih mudah diterapkan. Kalau di dalam pembukaan UUD 45 telah disebutkan secara formal bahwa syariat Islam wajib dijalankan oleh para pemeluknya, maka semua muslim secara hukum akan terikat dengan syariat Islam.
Kalau ada orang beragama Islam minum khamar, maka secara hukum bisa diterapkan hukum cambuk. Begitu kira-kira logikanya. Sedangkan kalau tidak ditetapkan secara formal, hanya terbatas pada tataran esensi, maka hukum Islam (baca: hukum qadha'') tidak bisa diterapkan. Memotong tangan pencuri, merajam pezina, mencambuk peminum khamar dan sejenisnya, tidak bisa dijalankan. Karena secara formal hukum Islam tidak diberlakukan.
Adapun fenomena Islamo-phobia, bisa diselesaikan dengan penyebaran informasi yang efektif yang menjelaskan bahwa hukum Islam itu baik, adil dan sangat dibutuhkan oleh setiap orang.

Kesimpulan
Jadi inilah diskusi yang belum ada habisnya yang menjadi polemik di kalangan aktifis dakwah. Di satu sisi, ada yang cenderung melegalkan dulu kedudukan hukum Islam, baru bicara implementasi. Sementara di sisi yang lain, ada yang cenderung memilih implementasi lebih dulu, baru nanti kalau sudah ada bukti dan hasil yang bisa dinikmati oleh masyarakat, kita resmikan secara formal penerapan hukum Islam.
Jalan tengahnya sebenarnya ada, sayangnya jarang dilakukan. Misalnya, tidak ada salahnya kalau masing-masing pihak bisa duduk bersama, saling diskusi dan tukar pikiran. Pastilah smua pihak punya kebenaran. Tinggal kita lihat kasusnya saja.  Sangat besar kemungkinan bahwa sebuah pendekatan sangat cocok untuk suatu tempat, tetapi kurang dirasa tepat untuk diterapkan di tempat lain. Karena itu meski terdapat jamaah yang berskala international, namun kebijakan yang menyerap realitas lapangan sesungguhnya sangat dibutuhkan. Karena lain ladang lain belalang.

BAB III
P E N U T U P

A.      Saran
Banyak orang mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius dan agamis. Hal itu didasarkan kenyataan bahwa di Indonesia ada banyak agama dan semua penduduknya diharuskan memeluk suatu agama. Dengan demikian seharusnya kehidupan orang-orang Indonesia kental dengan agama. Kalau itu benar, perlu dipertanyakan mengapa kehidupan moral masyarakat Indonesia sangat terpuruk? Di mana-mana terjadi pelanggaran HAM, korupsi, kekerasan yang pada dasarnya bertentangan dengan nilai-nilai agama. Memang ini menjadi sebuah keadaan yang paradoksal. Di satu sisi Indonesia kaya akan agama tetapi di sisi lain kehidupan moralnya korup. Maka benarkah bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius atau agamis? Apakah agama masih memiliki “taji” bagi masyarakat Indonesia?
Dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara “agama” dan “religiositas”. Keduanya terkait tetapi tidak sama. Agama biasanya memiliki aspek perhatian pada sisi luarnya atau formalnya, peraturannya, hukumnya, organisasinya, ritualnya, dan sistem-sistem ajarannya. Sedangkan religiositas lebih menekankan aspek esensinya yaitu hidup batin yang menjadi akar dalam berelasi dengan Tuhan dan sesamanya. Religiositas lebih mengarah pada penghayatan iman dan nilai-nilai ketuhanan. Jadi lebih menekankan aspek dalam (inner) dan kedewasaannya. Seorang yang secara formal tidak beragama atau tidak banyak mengenakan simbol-simbol agama dapat bersikap lebih religius dari pada orang yang secara resmi beragama tetapi korup. Walaupun idealnya adalah orang beragama sekaligus hidup religius.
Dilihat dari pemikiran ini, bangsa Indonesia dapat saja mengklaim sebagai bangsa yang agamis, tetapi belum tentu bangsa yang religius. Karena religiusitas akan terwujud dalam praktik kehidupan. Tentunya bagi kita, umat muslim, perlu merenungkan kembali keberagamaan kita. Apakah kita sungguh menjadi Islam atau sekedar mempunyai agama Islam ? Apakah kita sungguh ber-iman atau hanya sekedar mempunyai iman ?

B.      Kesimpulan
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi.
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya. Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban.
Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau).
Menurut Carl Jung (1955) Tuhan adalah sesuatu kekuatan yang berpengaruh besar yang alami dan pengaruhnya tidak dapat di bendung : Very personal nature and an irresistible influence, I call it God.
Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir, manusia berTuhan karena manusia menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agamaMenurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.
Kata percaya lebih statis dan tidak menunjukan adanya sikap emosi yang positif terhadap obyek atau ide yang dipercayainya itu. Iman yang bersikap dinamis, kata iman menunjukan adanya kehangatan emosi dan mengandung keharusan-keharusan atau kewajiban-kewajiban sebagai akibat adanya keimanan.
Jadi, menyembah Tuhan sebagai maknanya berarti menyembah Wujud yang tak terjangkau dan tak terhingga, yang Hakikatnya tidak dibatasi oleh nama-nama-Nya, betapapun nama-nama itu nama-nama utama (al-Asma al-Husna). Sebab, betapapun, seperti ditegaskan oleh Ja'far al-Shadiq yang dikutip di atas, antara nama (ism) dan yang dinamakan (musamma) tidak identik. Jadi, jangankan sekedar  simbol dan ritus, Nama Tuhanpun, menurut Hadits-hadits  di  atas,  tidak  benar  untuk dijadikan tujuan penyembahan, sambil melupakan Makna dan Esensi di  balik  Nama itu.  Maka sebenarnya yang  boleh  dikatakan  "ideal" dalam kehidupan keagamaan ialah jika ada keseimbangan   antara simbolisasi dan substansiasi. Artinya, jika terdapat kewajaran dalam penggunaan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga agama memiliki daya cekam kepada masyarakat luas (umum), namun tetap ada kesadaran bahwa suatu simbol hanya mempunyai nilai instrumental, dan tidak intrinsik (dalam arti tidak menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan menuju  kepada suatu nilai yang tinggi).
Bersamaan dengan penggunaan simbol-simbol diperlukan adanya kesadaran tentang hal-hal yang lebih substantif, yang justru mempunyai nilai intrinsik. Justru segi ini harus ditumbuhkan lebih kuat dalam masyarakat.  Agama tidak  mungkin  tanpa simbolisasi, namun simbol  tanpa makna adalah absurd, muspra dan malah berbahaya. Maka agama ialah pendekatan diri kepada Allah dan perbuatan baik kepada sesama manusia, sebagaimana keduanya itu dipesankan kepada kita melalui shalat kita, dalam makna takbir (ucapan "Allah-u Akbar") pada pembukaan dan dalam makna taslim ucapan,'assalamu'alaikum ...") pada penutupannya.

Wallahu A’alam Bisshawab ,,,

DAFTAR PUSTAKA
Ahyadi, Aziz, Drs. H., Psikologi Agama, Bandung : Mertiana.
Anshari, Endang Saifuddun M. A., 1979. Ilmu , Filsafat dan Agama, Bandung : Bina Ilmu
Asrori, Muhammad, H., Prof. Dr., M.Pd, 2007. Psikologi Pembelajaran, Bandung : CV. Wacana Prima.
Djamarah, Saeful Bahri, M.Ed., 2000. Psikologi Belajar Edisi 2, Jakarta : Bineka Cipta.
Fauzi, Ahmad Drs H., 2004. Psikologi Umum, Bandung : Pustaka Setia.
Hasan, Aliah B. Purwakanta, 2003. Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Makmun, Abin Syamsudin, 2008. Psikologi Pendidikan, Bandung : Rosda Karya Remaja.
Rakhmat , Jalaluddin, 2004. Psikologi Agama, sebuah pengatar, Bandung : Mizan.
Ramayulis, Prof Dr. H., 2004. Psikologi Agama , Bandung : Kalam Mulia.
Syah, Muhibbin, M.Pd., 2008. Psikologi Belajar, Jakarta : Rajagrafindo Persada.

Tidak ada komentar: