BAB I
PENDAHULUAN
Islam adalah agama samawi terakhir yang dirisalahkan melalui Rasulullah SAW. Karena Islam sebagai agama terakhir dan juga sebagai penyempurna ajaran-ajaran terdahulu, maka sangat bisa dipahami, jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah atau sempurna.
Secara garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah (hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas (hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 11-13
a. Teks Ayat
يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُواْ خَيْراً مِّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مِّن نِّسَآءٍ عَسَى أَن يَكُنَّ خَيْراً مِّنْهُنَّ وَلاَ تَلْمِزُواْ أَنفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُواْ بِالاٌّلْقَـبِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الايمَانِ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّـلِمُونَ () يأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواْ اجْتَنِبُواْ كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُواْ وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ () يأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَـكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَـرَفُواْ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللَّهِ أَتْقَـكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
b. Terjemah Mufrodat
- Ayat 11
قَوْمٌ | لاَ يَسْخَرْ | ءَامَنُواْ | الَّذِينَ | يأَيُّهَا |
Suatu kaum | Janganlah mengolok-olok | Mereka beriman | Orang-orang yang | wahai |
مِّنْهُمْ | خَيْراً | أَن يَكُونُواْ | عَسَى | مِّن قَوْمٍ |
dari mereka (yang mengolok-olok) | Lebih baik | Mereka (yang diolok-olok) | (karena) boleh jadi | Terhadap kaum (laki-laki) yang lain |
أَن يَكُنَّ | عَسَى | مِّن نِّسَآءٍ | نِسَآءٌ | وَلاَ |
Mereka (yang diolok-olok) | (karena) boleh jadi | Terhadap perempuan-perempuan yang lain | Para perempuan | Dan janganlah |
أَنفُسَكُمْ | تَلْمِزُواْ | وَلاَ | مِّنْهُنَّ | خَيْراً |
Antara sesame kalian | Kalian asling mencela | Dan jangnalh | Dari mereka (yang diolok-olok) | Lebih baik |
الاسْمُ | بِئْسَ | بِالاٌّلْقَـبِ | تَنَابَزُواْ | وَلاَ |
Nama itu | Seburuk-buruk | Dengan julukan/gelar (yang buruk) | Kalian saling memanggil | Dan janganlah |
لَّمْ | وَمَن | الايمَانِ | بَعْدَ | الْفُسُوقُ |
tidak | Dan siapa yang | keimanan | sesudah | (adalah) kefasikan |
| الظَّـلِمُونَ | هُمُ | فَأُوْلَـئِكَ | يَتُبْ |
| Orang-orang Dzalim. | mereka adalah | Maka mereka itu | Dia bertaubat |
- Ayat 12
كَثِيراً | اجْتَنِبُواْ | ءَامَنُواْ | الَّذِينَ | يأَيُّهَا |
Banyak | Kalian jauhilah | Mereka beriman | Orang-orang yang | wahai |
وَلاَ | إِثْمٌ | الظَّنِّ | إِنَّ بَعْضَ | مِّنَ الظَّنِّ |
Dan janganlah | dosa | Prasangka (itu adalah) | Sesuangguhnya sebagian | Dari prasangka |
بَعْضاً | بَّعْضُكُم | يَغْتَب | وَلاَ | تَجَسَّسُواْ |
(terhadap) sebagian yang lain | Sebagian dari kalian | menggunjing | Dan janganlah | Kalian memata-matai aib/kekurangan (orang lain) |
أَخِيهِ | لَحْمَ | أَن يَأْكُلَ | أَحَدُكُمْ | أَيُحِبُّ |
Saudaranya sendiri | daging | Untuk memakan | Salaha seorang diantara kalian | Apakah suka |
إِنَّ | اللَّهَ | وَاتَّقُوا ْ | فَكَرِهْتُمُوهُ | مَيْتاً |
sesungguhnya | (kepada) Allah | dan bertaqwalah kalian | Tentyu kalian merasa benci/ jijik terhdapnya | (yang)mati/ bangkai |
| | رَّحِيمٌ | تَوَّابٌ | اللَّهَ |
| | Maha Kekal kasih saying Nya | Maha Penerima Taubat | Allah |
- Ayat 13
مِّن | خَلَقْنَـكُم | إِنَّا | النَّاسُ | يأَيُّهَا |
Dari | Kami telah menciptakan kalian | Sungguh kami | manusia | wahai |
وَقَبَآئِلَ | شُعُوباً | وَجَعَلْنَـكُمْ | وَأُنْثَى | ذَكَرٍ |
Dan bersuku-suku | Berbangsa-bangsa | Dan Kami menjadikan kalian | Dan seorang perempuan (Hawa) | Seorang laki-laki (Adam) |
أَتْقَـكُمْ | عَندَ اللَّهِ | أَكْرَمَكُمْ | إِنَّ | لِتَعَـرَفُواْ |
(yang) paling bertaqwa diantara kalian | Disisi Allah | (yang) paling mulia diantara kalan | sesungguhnya | Agar kalian saling berkenalan |
| خَبِيرٌ | عَلِيمٌ | اللَّهَ | إِنَّ |
| Maha Melihat | Maha Mengetahui | Allah | sesungguhnya |
c. Terjemah Ayat
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
d. Sebab Turunnya Ayat
- Ayat 11
Ibnu Munzir mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Juraij menceritakan, mereka menduga bahwa ayat ini diturunkan mengenai Salman Al Farisi r.a. yaitu ketika ia makan lalu tidur dan sewaktu ia tidur kentut; lalu ada seorang lelaki yang menggunjingkan tentang makan dan tidur Salman itu, maka turunlah ayat ini.
- Ayat 12
Ibnu Abu Hatim mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abu Mulaikah menceritakan, bahwa ketika penaklukan kota Mekah Bilal langsung naik ke atas Kabah kemudian mengumandangkan suara azan, sebagian orang-orang ada yang mengatakan, "Apakah hamba sahaya yang hitam ini berani azan di atas Kabah?" Sebagian dari mereka mengatakan, "Jika Allah murka, niscaya Dia akan mencegahnya." Lalu Allah swt. menurunkan firman-Nya, "Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan..." (Q.S. Al Hujurat, 13) Ibnu Asakir di dalam kitab Mubhamat mengatakan, "Aku telah menemukan di dalam manuskrip yang ditulis oleh Ibnu Basykuwal, bahwa Abu Bakar bin Abu Daud mengetengahkan sebuah hadis di dalam kitab tafsir yang ditulisnya, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Hindun. Rasulullah saw. memerintahkan kepada Bani Bayyadhah supaya mereka mengawinkan Abu Hindun dengan seorang wanita dari kalangan mereka. Lalu mereka menjawab, "Wahai Rasulullah! Apakah pantas bila kami menikahkan anak-anak perempuan kami dengan bekas hamba sahaya kami?" Lalu turunlah ayat ini.
- Ayat 13
Imam Thabrani mengetengahkan sebuah hadis dengan sanad yang Hasan melalui Abdullah bin Abu Aufa, bahwasanya ada segolongan orang-orang Arab Badui mengatakan kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah! Kami telah masuk Islam tanpa berperang lebih dahulu dengan engkau, sedangkan Bani Fulan (mereka masuk Islam setelah terlebih dahulu) memerangimu." Maka Allah swt. menurunkan firman-Nya, "Mereka telah merasa memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka..." (Q.S. Al Hujurat, 17) Al Bazzar mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur Sa'id bin Jubair yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. hadis yang dikemukakannya itu sama dengan hadis di atas. Ibnu Abu Hatim mengetengahkan pula hadis yang sama melalui Hasan, di dalam hadis yang diketengahkannya itu disebutkan, bahwa hal tersebut terjadi sewaktu penaklukan kota Mekah. Ibnu Said mengetengahkan sebuah hadis yang bersumber dari Muhammad bin Ka'b Al Qurazhi yang telah menceritakan, bahwa ada sepuluh orang dari kalangan Bani Asad datang menghadap Rasulullah saw. yaitu pada tahun 9 H. Di antara mereka terdapat Thalhah bin Khuwailid. Sedangkan pada saat mereka datang, Rasulullah saw. berada di mesjid bersama dengan para sahabat; lalu mereka mengucapkan salam, dan juru bicara mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, bahwasanya engkau adalah hamba dan Rasul-Nya. Kami datang kepadamu wahai Rasulullah, sedangkan engkau tidak pernah mengutus utusanmu kepada kami, dan kami menjamin keislaman orang-orang yang ada di belakang kami (yakni kaum mereka)." Maka Allah menurunkan firman-Nya, "Mereka telah merasa memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka..." (Q.S. Al Hujurat, 17) Said bin Manshur di dalam kitab Sunahnya mengetengahkan sebuah hadis melalui Said bin Jubair yang menceritakan, bahwa ada segolongan orang-orang Arab Badui dari kalangan Bani Asad datang menghadap Nabi saw. Lalu mereka berkata, "Kami datang kepadamu (untuk masuk Islam) sedangkan kami belum pernah memerangimu", lalu Allah menurunkan firman-Nya, "Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka..." (Q.S. Al Hujurat, 17)
e. Tafsir Ayat
1) Ayat 11
Dalam ayat ini, Allah SWT memperingatkan kaum mukmin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokkan, dan demikian pula di kalangan wanita, jangan ada segolongan wanita yang mengolok-olokkan wanita yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olokkan itu pada sisi Allah lebih baik dan lebih terhormat dari wanita-wanita yang yang mengolok-olokkan itu. Dan Allah SWT melarang pula kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan, dan dilarang pula panggilan-panggilan dengan gelar-gelar yang buruk seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, sabda Rasulullah saw sebagai berikut yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu. akan tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbuatanmu.”
Hadis ini mengandung isyarat bahwa seorang hamba Allah jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang semata-mata karena melihat kepada amal perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seorang tampak mengerjakan amal kebaikan, padahal Allah melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela, dan sebaliknya pula mungkin ada seorang yang kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorong kepadanya bertobat dari dosanya. Maka amal perbuatan yang nampak dari luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbukan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan. Maka Allah SWT melarang kaum mukminin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman. Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, maka orang-orang Ansar banyak mempunyai nama lebih dari satu, dan jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, kadang-kadang dipanggil dengan nama yang tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, beliau menerangkan bahwa ada seorang laki-laki yang pernah di masa mudanya mengerjakan suatu yang buruk, lalu ia bertobat dari dosanya, maka Allah melarang siapa saja yang menyebut-nyebut lagi keburukannya di masa yang lalu, karena hal itu dapat membangkitkan perasaan yang tidak baik, membangkit-bangkit kefasikan setelah beriman. Itu sebabnya Allah melarang panggilan-panggilan dengan gelar-gelar yang buruk itu.
Adapun gelar-gelar yang mengandung penghormatan, itu tidak dilarang seperti sebutan kepada Abu Bakar dengan As Siddiq, kepada Umar dengan Faruq, kepada Usman dengan sebutan Zun Nurain dan kepada Ali dengan Abu Turab dan kepada Khalid bin Walid dengan sebutan Saifullah (pedang Allah).
Panggilan yang buruk dilarang diucapkan sesudah orangnya beriman karena gelar-gelar buruk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, yang sekarang tidak pantas lagi dilontarkan kepada orangnya setelah ia beriman. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka itu dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri mereka sendiri dan pasti akan menerima konsekwensinya berupa azab dari Allah pada Hari Kiamat
2) Ayat 12
Dalam ayat ini, Allah SWT memberi peringatan kepada orang-orang yang beriman, supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberi tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Umar telah berkata yang artinya demikian: "Jangan sekali-kali kamu menerima ucapan yang keluar dari mulut saudaramu, melainkan dengan maksud dan pengertian yang baik, sedangkan kamu sendiri menemukan arah pengertian yang baik itu."
Dan diriwayatkan dan Rasulullah saw bahwa sesungguhnya Allah mengharamkan dari orang mukmin darahnya, kehormatannya dan menyangka kepadanya dengan sangkaan yang buruk, atau dilarang berburuk sangka. Adapun orang yang secara terang-terangan berbuat maksiat, atau sering dijumpai berada di tempat orang yang biasa minum arak hingga mabuk, maka buruk sangka terhadap mereka itu tidak dilarang. Imam Baihaqi dalam kitabnya Syu'abul Iman meriwayatkan sebuah hadis dari Said bin Musayyab sebagai berikut:
Beberapa saudaraku di antara sahabat Rasulullah saw telah menyampaikan sebuah tulisan kepadaku yang berisi beberapa petunjuk, di antaranya, "Letakkanlah urusan saudaramu di atas sangkaan yang sebaik-baiknya selagi tidak datang kepadamu yang membantah sangkaanmu itu dan jangan sekali-kali engkau memandang buruk perkataan yang pernah diucapkan oleh seorang muslim, padahal engkau menemukan tafsiran yang baik pada ucapannya itu; dan barangsiapa yang menempatkan dirinya di tempat purbasangka, maka janganlah ia mencela, kecuali kepada dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang menyembunyikan rahasianya, maka pilihan itu berada di tangannya, dan tidak engkau balas seorang yang mendurhakai Allah (pada dirimu), dengan contoh yang lebih baik ialah taat kepada Allah demi balasan itu; dan hendaklah engkau selalu bersahabat dengan orang-orang yang benar sehingga engkau berada di dalam lingkup budi pekerti yang mereka upayakan, karena mereka itu menjadi perhiasan dalam kekayaan dan menjadi perisai ketika menghadapi bahaya yang besar. Dan jangan sekali-kali meremehkan sumpah agar kamu tidak dihinakan oleh Allah SWT. Dan jangan sekali-kali bertanya tentang sesuatu yang belum ada sehingga berwujud terlebih dahulu dan jangan engkau sampaikan pembicaraan kecuali kepada orang yang mencintainya. Dan tetaplah berpegang kepada kebenaran walaupun kamu akan terbunuh olehnya. Hindarilah musuhmu dan tetaplah menaruh curiga kepada kawanmu. kecuali orang yang benar-benar sudah dapat dipercaya, dan tidak ada yang dapat dipercaya kecuali orang yang takut kepada Allah. Dan bermusyawarahlah dalam urusanmu dengan orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka dalam keadaan gaib.
Kemudian Allah menerangkan sebabnya orang-orang mukmin wajib menjauhkan diri dari purbasangka, oleh karena sebagian purbasangka itu mengandung dosa. Berburuk sangka terhadap orang mukmin adalah suatu dosa besar karena Allah nyata-nyata telah melarangnya. Selanjutnya Allah melarang kaum mukminin mencari-cari kesalahan orang lain, mencari kecemaran, dan noda orang lain.
Abu Qilabah meriwayatkan bahwa telah sampai berita kepada Umar bin Khattab, bahwa Abu Mihjan As Saqafi minum arak bersama-sama dengan kawan-kawannya di rumahnya. Maka pergilah Umar hingga masuk ke dalam rumahnya, tetapi tidak ada orang yang bersama Abu Mihjan itu kecuali seorang laki-laki, Abu Mihjan sendiri. Maka berkatalah Abu Mihjan: "Sesungguhnya perbuatanmu ini tidak halal bagimu karena Allah telah melarangmu dari mencari-cari kesalahan orang lain". Kemudian Umar keluar dari rumahnya.
Dan Allah melarang pula bergunjing atau mengumpat orang lain, dan yang dinamakan gibah atau bergunjing itu ialah menyebut-nyebut suatu keburukan orang lain yang tidak disukainya sedang ia tidak di tempat itu baik sebutan atau dengan isyarat, karena yang demikian itu, menyakiti orang yang diumpatnya. Dan sebutan yang menyakiti itu ada yang mengenai, keduniaan, badan, budi pekerti, harta atau anak, istri atau pembantunya, dan seterusnya yang ada hubungannya dengan dia.
Telah berkata Hasan (cucu Nabi) bahwa bergunjing itu ada tiga macam, ketiga-tiganya tersebut dalam Alquran, yaitu gibah, ifki dan buhtan. Gibah atau bergunjing, yaitu menyebut-nyebut keburukan yang ada pada saudaramu. Adapun ifki yaitu kamu menyebut-nyebut keburt tentang seseorang mengenai berita-berita yang sampai kepadamu, dan buhtan atau tuduhan yang palsu ialah bahwa engkau menyebut-nyebut kejelekan seseorang yang tidak ada padanya. Dan tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama bahwa bergunjing ini termasuk dosa besar, dan diwajibkan kepada orang yang bergunjing supaya segera bertobat kepada Allah dan minta maaf kepada orang yang bersangkutan.
Mu'awiyah bin Kurrah berkata kepada Syubah: "Jika seandainya ada seorang yang putus tangannya lewat di hadapanmu, kemudian kamu berkata 'itu si buntung', maka ucapan itu sudah termasuk bergunjing".
Allah taala mengemukakan sebuah perumpamaan supaya terhindar dari bergunjing, yaitu dengan suatu peringatan yang berbentuk pertanyaan: "Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging bangkai saudaranya?" Tentu saja kamu merasa jijik kepadanya. Oleh karena itu, jangan pula menyebut-nyebut keburukan seseorang ketika ia masih hidup. Sebagaimana kamu tidak menyukainya yang demikian itu, karena dipandang buruk juga dalam syariat.
Ali bin Husen mendengar seorang laki-laki sedang mengumpat orang lain, lalu ia berkata: "Awas kamu jangan bergunjing karena bergunjing itu sebagai lauk pauk manusia". Nabi sendiri berkhutbah pada hijjatul wada (naik haji yang penghabisan) yang artinya: Sesungguhnya darahmu, hartamu, dan kehormatanmu haram bagimu seperti haramnya hari ini dalam bulan ini dan di negerimu ini.
Allah menyuruh kaum mukminin supaya tetap bertakwa kepada-Nya karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun terhadap orang yang bertobat dan mengakui kesalahan-kesalahannya. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang, dan tidak akan mengazab seseorang setelah ia bertobat. Bergunjing itu tidak diharamkan jika disertai dengan maksud-maksud yang baik, yang tidak bisa tercapai kecuali dengan gibah itu. dan soal-soal yang dikecualikan dan tidak diharamkan dalam bergunjing itu ada enam perkara:
1. Dalam rangka kelaliman agar supaya dapat dibela oleh seorang yang mampu menghilangkan kezaliman itu.
2. Jika dijadikan bahan untuk merubah sesuatu kemungkaran dengan menyebut-nyebut kejelekan seseorang kepada seorang penguasa yang mampu mengadakan tindakan perbaikan.
3. Di dalam mahkamah, seorang yang mengajukan perkara boleh melaporkan kepada mufti atau hakim bahwa ia telah dianiaya oleh seorang penguasa yang (sebenarnya) mampu mengadakan tindakan perbaikan.
4. Memberi peringatan kepada kaum Muslimin tentang suatu kejahatan atau bahaya yang mungkin akan mengenai seseorang; misalnya menuduh saksi-saksi tidak adil, atau memperingatkan seseorang yang akan melangsungkan pernikahan bahwa calon pengantinnya adalah seorang yang mempunyai cacat budi pekertinya, atau mempunyai penyakit yang menular.
5. Bila orang yang diumpat itu terang-terangan melakukan dosa di muka umum, seperti minum arak di hadapan khalayak ramai.
6. Mengenalkan seorang dengan sebutan yang kurang baik, seperti a'war (orang yang matanya buta sebelah) jika tidak mungkin memperkenalkannya kecuali dengan nama itu.
3) Ayat 13
Dalam ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa manusia diciptakan-Nya berbagai-bagai bangsa dan suka-suka bangsa, berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, akan tetapi supaya saling mengenal dan saling menolong. Dan Allah taala tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunannya, kepangkatan atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia pada sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.
Diriwayatkan oleh Abu Daud mengenai turunnya ayat ini yaitu tentang peristiwa seorang sahabat yang bernama Abu Hindin yang biasa berkhidmat kepada Nabi untuk mengeluarkan darah kotor dari kepalanya dengan pembekam, yang bentuknya seperti tanduk.
Rasulullah saw menyuruh kabilah Bani Bayadah agar menikahkan Abu Hindin dengan seorang wanita di kalangan mereka. Mereka bertanya: "Apakah patut kami mengawinkan gadis-gadis kami dengan budak-budak?". Maka Allah menurunkan ayat ini, agar kita tidak mencemoohkan seseorang karena memandang rendah kedudukannya.
Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan, padahal menurut pandangan Allah orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada Nya.
Diriwayatkan oleh Abi Mulaikah tatkala terjadi Futuh Mekah yaitu kembalinya negeri Mekah ke bawah kekuasaan Rasulullah saw pada tahun 8 Hijriah, maka Bilal disuruh Rasulullah saw untuk berazan. Ia memanjat Kakbah dan berazan, berseru kepada kaum muslimin untuk salat berjemaah.
Attab bin Useid ketika melihat Bilal naik ke atas Kakbah untuk berazan, berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah mewafatkan ayahku sehingga tidak sempat menyaksikan peristiwa hari ini". Dari Haris bin Hisyam berkata: "Muhammad tidak akan menemukan orang lain untuk berazan kecuali burung gagak yang hitam ini". Maksudnya mencemoohkan Bilal karena warna kulitnya yang hitam. Maka datanglah Malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah saw apa yang mereka ucapkan itu. Maka turunlah ayat ini, yang melarang manusia menyombongkan diri karena kedudukan, kepangkatan, kekayaan, dan keturunan, mencemoohkan orang-orang miskin; diterangkan pula bahwa kemuliaan itu disangkut pautkan dengan ketakwaan kepada Allah SWT.
Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw berkhutbah pada hari Futuh Mekah. Dari atas untanya, beliau memuji kepada. Allah sebagaimana mestinya, kemudian beliau menerangkan bahwa Allah telah menghilangkan dari umat Islam adat jahiliah yang suka bersombong-sombong dengan menonjolkan kebesaran nenek moyangnya.
Manusia itu hanya dua macam, yakni seorang yang berbuat kebaikan dan bertakwa, dialah yang mulia pada sisi Allah. Dan seorang lagi yang durhaka, dialah yang celaka, yang sangat hina menurut pandangan Allah.
Tafsir Jalalain : Surah Al Hujuraat 13
(Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan) yakni dari Adam dan Hawa (dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa) lafal Syu'uuban adalah bentuk jamak dari lafal Sya'bun, yang artinya tingkatan nasab keturunan yang paling tinggi (dan bersuku-suku) kedudukan suku berada di bawah bangsa, setelah suku atau kabilah disebut Imarah, lalu Bathn, sesudah Bathn adalah Fakhdz dan yang paling bawah adalah Fashilah. Contohnya ialah Khuzaimah adalah nama suatu bangsa, Kinanah adalah nama suatu kabilah atau suku, Quraisy adalah nama suatu Imarah, Qushay adalah nama suatu Bathn, Hasyim adalah nama suatu Fakhdz, dan Al-Abbas adalah nama suatu Fashilah (supaya kalian saling kenal-mengenal) lafal Ta'aarafuu asalnya adalah Tata'aarafuu, kemudian salah satu dari kedua huruf Ta dibuang sehingga jadilah Ta'aarafuu; maksudnya supaya sebagian dari kalian saling mengenal sebagian yang lain bukan untuk saling membanggakan ketinggian nasab atau keturunan, karena sesungguhnya kebanggaan itu hanya dinilai dari segi ketakwaan. (Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) tentang kalian (lagi Maha Mengenal) apa yang tersimpan di dalam batin kalian.
2. Qur’an Surat Al-Isro ayat 29-30
a. Teks Ayat
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُوراً - إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَآءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا.
b. Terjemah Mufrodat
- Ayat 29
إِلَى | مَغْلُولَةً | يَدَكَ | تَجْعَلْ | وَلاَ |
pada | terbelenggu | tanganmu | Kamu jadikan | Dan jangan |
الْبَسْطِ | كُلَّ | تَبْسُطْهَا | وَلاَ | عُنُقِكَ |
Uluran (berlebihan dalam menginfakan | setiap | Kamu mengulurkan/ menginfakannya | Dan janganlah | Lehermu (pelit/kikir) |
| | مَّحْسُوراً | مَلُومًا | فَتَقْعُدَ |
| | Menyesal (karena tidak punya apapun) | Tercela (karena kikir) | Maka kamu akan menjadi |
- Ayat 30
لِمَن | الرِّزْقَ | يَبْسُطُ | رَبَّكَ | إِنَّ |
Kepada siapa yang | rizki | Dia melapangkan | Tuhanmu | sesungguhnya |
بِعِبَادِهِ | كَانَ | إِنَّهُ | وَيَقْدِرُ | يَشَآءُ |
Kepada para hambanya | adalah | Sesungguhnya Dia | dan Dia membatasi rizki (kepada siapa yang Dia kehendaki) | Dia kehendaki |
| | | بَصِيرًا | خَبِيرًا |
| | | Maha Melihat | Maha Mengetahui |
c. Terjemah
29. Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya[852] karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
30. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
d. Sebab Turunnya Ayat
- Ayat 29
Ibnu Mundzir mengetengahkan sebuah hadis melalui Syihab yang menceritakan, bahwa jika Rasulullah saw. membacakan Alquran kepada orang-orang musyrik Quraisy dengan maksud untuk mengajak mereka kepada ajaran Alquran, maka mereka berkata dengan nada yang memperolok-olokkan, yaitu sebagaimana yang disitir oleh firman-Nya, "Hati kami berada dalam tutupan yang menutupi apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding." (Fushshilat 5). Maka Allah menurunkan firman-Nya dalam peristiwa tersebut seperti apa yang mereka kehendaki dalam perkataan mereka itu, yaitu, "Dan apabila kamu membaca Alquran..." (Q.S. Al-Isra 45)
e. Tafsir Ayat
1) Ayat 29
Kemudian Allah SWT menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan harta, yaitu Allah SWT melarang orang menjadikan tangannya terbelenggu pada leher. Ungkapan ini adalah lazim dipergunakan oleh orang-orang Arab, yang berarti larangan berlaku bakhil. Allah melarang orang-orang yang bakhil, sehingga enggan memberikan harta kepada orang lain, walaupun sedikit. Sebaliknya Allah juga melarang orang yang terlalu mengulurkan tangan, ungkapan serupa ini berarti melarang orang yang berlaku boros membelanjakan harta, sehingga belanja yang dihamburkannya melebihi kemampuan yang dimilikinya. Akibat orang yang semacam itu akan menjadi tercela, dan dicemoohkan oleh handai-tolan serta kerabatnya dan menjadi orang yang menyesal karena kebiasaannya itu akan mengakibatkan dia tidak mempunyai apa-apa.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanjakan harta ialah membelanjakannya dengan cara yang layak dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros.
Adapun keterangan-keterangan yang didapat dari hadis-hadis Nabi dapat dikemukakan sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan ahli hadis yang lain, dari Ibnu Abbas ia berkata: "Rasulullah saw bersabda: "Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw bersabda: Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.
Tafsir Jalalain Surah Al Israa' 29
(Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela) pengertian tercela ini dialamatkan kepada orang yang pelit (dan menyesal) hartamu habis ludes dan kamu tidak memiliki apa-apa lagi karenanya; pengertian ini ditujukan kepada orang yang terlalu berlebihan di dalam membelanjakan hartanya.
2) Ayat 30
Kemudian Allah SWT menghibur Rasul Nya dan kaum Muslimin bahwa keadaan mereka tidak mampu itu hanyalah bersifat sementara. Dan sifat itu bukanlah hina di hadapan Allah, akan tetapi semata-mata karena kehendak Allah yang memberi dan mengatur rezeki. Allah SWT menjelaskan bahwa Dia lah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang dikehendaki Nya di antara hamba Nya, dan Dia pulalah yang menyempitkannya. Kesemuanya berjalan menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap hamba-hamba Nya dalam usaha mencari harta dan cara memperkembangkannya, yang sangat erat hubungannya dengan alat dan pengetahuan tentang pengolahan harta itu. Yang demikian itu adalah ketentuan Allah yang bersifat umum yang berlaku bagi seluruh hambanya. Namun demikian Allah jualah yang menentukan menurut kehendak Nya.
Di akhir ayat ini Allah SWT menegakkan bahwa Dia Maha Mengetahui akan hamba-hamba-Nya, siapakah di antara mereka yang memanfaatkan kekayaan demi kemaslahatan dan siapakah yang menggunakannya untuk kemudaratan. Dan siapakah di antara hamba-hamba-Nya yang dalam kemiskinan tetap bersabar dan tawakal kepada Allah, dan siapa di antara hamba-hamba-Nya, karena kemiskinannya kemudian menjadi orang-orang yang berputus asa, jauh dari rahmat Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya, bagaimana mereka mengurusi dan mengatur harta benda, apakah mereka itu membelanjakan harta pemberian Allah itu dengan boros ataukah dia itu bakhil.
Oleh sebab itulah maka kaum Muslimin hendaknya tetap berpegang kepada ketentuan-ketentuan Allah, dengan menaati segala perintah Nya dan menjauhi larangan Nya. Dalam membelanjakan harta hendaklah berlaku wajar. Hal itu termasuk sunah di antara sunah-sunah Allah.
3. Qur’an Surat Ar-Ra’d Ayat 11
a. Teks Ayat
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُوْ نَهُ مِنْ اَمْرِاللهِ إِنَّ اللهََ لاَيُغَيِّرُ مَابِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوْامَا بِأَنْفُسِهِمْ وَاِذَا أَرَادَاللهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلاَ مَرَدَّالَهُ وَمَالَهُمْ مِنْ دُوْنِهِ مِنْ وَّالٍ.
b. Terjemah Mufrodat
وَمِنْ | بَيْنِ يَدَيْهِ | مِّن | مُعَقِّبَـتٌ | لَهُ |
Dan dari | depannya | Dari | Para malaikat pengiring/ pendamping | Baginya (manusia) |
اللَّهِ | أَمْرِ | مِنْ | يَحْفَظُونَهُ | خَلْفِهِ |
Allah | perintah | karena | Mereka menjaganya | belakangnya |
مَا | يُغَيِّرُ | لاَ | اللَّهَ | إِنَّ |
Apa (yang) | Dia mengubah | tidak | Allah | sesungguhnya |
بِأَنفُسِهِمْ | مَا | يُغَيِّرُواْ | حَتَّى | بِقَوْمٍ |
Ada pada diri-diri mereka sendiri | Apa (kondisi) yang | Mereka mengubah | sehingga | (ada) pada suatu kaum |
فَلاَ | سُوْءًا | بِقَوْمٍ | أَرَادَاللهُ | وَاِذَا |
Maka janganlah | Keburukan /siksa | Ada (pada) suatu kaum | Allah menghengdaki | Dan jika |
دُوْنِهِ | مِنْ | لَهُمْ | وَمَا | مَرَدَّالَهُ |
Selain Dia | dari | Bagi mereka | Dan tidak ada | Yang dapat menolak baginya |
| | | وَّالٍ | مِنْ |
| | | pelindung | dari |
c. Terjemah
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
d. Sebab Turunnya Ayat
Imam Thabrani dan lain-lainnya mengetengahkan sebuah hadis melalui Ibnu Abbas r.a., bahwasanya Arbad bin Qais dan Amir bin Thufail datang ke Madinah menemui Rasulullah saw. Lalu Amir bin Thufail berkata, "Hai Muhammad! Hadiah apakah yang akan engkau berikan kepadaku, jika aku masuk Islam?" Rasulullah saw. menjawab, "Engkau akan mendapatkan sebagaimana apa yang didapat oleh kaum Muslimin yang lain, dan engkau pun akan menerima seperti apa yang mereka alami?" Lalu Amir berkata lagi, "Apakah engkau akan menjadikan aku sebagai penggantimu sesudahmu?" Rasulullah saw. menjawab, "Hal tersebut bukan untukmu dan bukan untuk kaummu." Lalu mereka berdua keluar dari majelis Rasulullah saw. Setelah mereka keluar, lalu Amir berkata kepada Arbad, "Bagaimana kalau aku menyibukkan diri Muhammad dengan berbicara kepadanya, kemudian dari belakang kamu tebas dia dengan pedangmu?" Arbad setuju dengan usul tersebut, lalu keduanya kembali lagi menemui Rasulullah saw. Sesampainya di sana Amir berkata, "Hai Muhammad! Berdirilah bersamaku, aku akan berbicara kepadamu." Kemudian Amir berbicara kepadanya, dan Arbad menghunus pedangnya; akan tetapi ketika Arbad meletakkan tangannya pada pegangan pedangnya, tiba-tiba tangannya lumpuh. Dan Rasulullah saw. melirik kepadanya serta melihat tingkahnya itu dengan jelas, lalu beliau berlalu meninggalkan mereka. Maka setelah itu keduanya pergi, dan ketika mereka berdua sampai di kampung Ar-Raqm, lalu Allah mengutus halilintar kepada Arbad untuk menyambarnya, maka halilintar itu membunuhnya. Kemudian turunlah firman-Nya, "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan..." (Q.S. Ar-Ra'd 8) sampai dengan firman-Nya, "Dan Dialah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya." (Q.S. Ar-Ra'd 13).
e. Tafsir Ayat
Allah swt. menugaskan kepada beberapa malaikat untuk selalu mengikuti manusia secara bergiliran, di muka dan di belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Ada malaikat yang menjaganya di malam hari, dan ada yang di siang hari, menjaga dari berbagai bahaya dan kemudaratan, dan ada pula malaikat yang mencatat semua amal perbuatan manusia, yang baik atau yang buruk. Dua malaikat di sebelah kanan dan di sebelah kiri yang mencatat amal perbuatan manusia. Yang sebelah kanan mencatat segala kebaikannya, dan yang sebelah kiri mencatat amal keburukannya, dan dua malaikat lain lagi yang satu di depan dan yang satu lagi di belakangnya. Maka setiap orang ada malaikatnya empat pada siang hari dan empat pada malam hari yang datangnya secara bergiliran, sebagaimana diterangkan dalam hadis yang sahih yang artunya : “Ada beberapa malaikat yang menjaga kamu secara bergiliran di malam hari dan di siang hari. Mereka bertemu (untuk mengadakan serah terima) pada waktu salat subuh dan salat asar, lalu naiklah malaikat-malaikat yang menjaga di malam hari kepada Allah Taala. Dia bertanya sedangkan Ia sudah mengetahui apa yang akan ditanyakannya itu: "Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku ketika kamu meninggalkan mereka (di dunia)?" Malaikat menjawab: "Kami datang kepada mereka padahal mereka sedang salat dan kami meninggalkan mereka dan mereka pun sedang salat pula." (H.R. Bukhari).
Apabila manusia mengetahui bahwa di sampingnya ada malaikat-malaikat yang mencatat semua amal perbuatannya, maka patutlah dia selalu menjaga diri dari perbuatan maksiat karena khawatir akan dilihat oleh malaikat-malaikat itu seperti kekhawatirannya perbuatan itu dilihat oleh orang yang disegani. Dan tentang penelitian malaikat-malaikat terhadap perbuatan-perbuatan manusia dapat diyakinkan kebenarannya setelah ilmu pengetahuan menciptakan alat-alat yang baru yang dapat mencatat semua kejadian-kejadian yang terjadi pada diri manusia sebagai contoh aliran listrik dan pemakaian air minum di tiap-tiap kota dan desa telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat diketahui berapa jumlah yang telah dipergunakan, demikian pula ada alat-alat yang dipasang di kendaraan bermotor yang dapat mencatat kecepatannya dan mengukur berapa jarak yang telah ditempuh. Perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat mengungkapkan bermacam-macam perkara yang gaib adalah memberi keyakinan kepada kita tentang benarnya teori ketentuan agama itu dan menjadi sebab untuk menundukkan orang-orang yang terpengaruh oleh doktrin kebendaan sehingga mereka mengakui adanya benda-benda gaib yang tidak dapat dicapai dengan pancaindra mereka sendiri, oleh karena itu benarlah orang yang mengatakan bahwa kedudukan akal di dalam Islam itu adalah seperti dua anak yang kembar yang tidak akan dipisahkan atau seperti dua orang kawan yang selalu sama pendapat-pendapatnya dan tidak akan berbantah-bantahan.
Malaikat-malaikat itu menjaga manusia atas perintah Allah, dengan izin Allah dan pemeliharaan-Nya yang sempurna.
Malaikat-malaikat itu menjaga manusia atas perintah Allah, dengan izin Allah dan pemeliharaan-Nya yang sempurna.
Sebagaimana dalam alam kebendaan ada hubungan erat antara sebab dan musabab sesuai dengan hikmahnya, seperti adanya pelupuk mata melindunginya dari kemasukan benda yang merusaknya, maka demikian pula dalam alam kerohanian Allah telah menugaskan beberapa malaikat untuk menjaga manusia dari berbagai kemudaratan. Perbuatan Tuhan selalu tidak luput dari hikmah dan kemaslahatan. Demikian pula Allah swt. telah menugaskan malaikat-malaikat untuk mencatat amal perbuatan manusia. Kita tidak tahu bagaimana cara mencatatnya, kita mengetahui bahwa sesungguhnya Allah sendiri cukup untuk mengetahuinya. Mengapa Dia masih menugaskan malaikat untuk mencatatnya. Mungkin di dalamnya terkandung hikmah ialah supaya manusia lebih tunduk dan akan menerima pahala atau azab yang akan diterimanya nanti di akhirat, karena telah pula disaksikan dan dicatat oleh para malaikat itu, menjaga manusia atas perintah dan izin Allah, tetapi bilamana ada kepastian Allah yang tidak dapat ditolaknya, mereka membiarkan kepastian Allah itu menimpa pula kepada manusia yang dijaganya.
Ali bin Abu Talib menerangkan pula bahwa tidak ada seorang hamba pun melainkan ada malaikat yang menjaganya daripada kejatuhan tembok, atau jatuh ke dalam sumur, atau dimakan binatang buas, tenggelam atau terbakar akan tetapi bilamana datang kepastian dari Allah swt. mereka membiarkan manusia itu ditimpa oleh kepastian itu. Abu Bakar berkata: "Jika manusia melihat seseorang yang lalim dan tidak bertindak terhadapnya, maka mungkin sekali Allah akan menurunkan azab yang mengenai mereka semuanya." Keterangan beliau ini diperkuat dengan firman Allah:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً
Artinya: Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa kepada orang-orang yang lalim saja di antara kamu. (Q.S. Al-Anfal: 25).
Ibnu Khaldun dalam Mukadimahnya telah mencantumkan sebuah bab dengan judul "kelaliman dapat menghancurkan kemakmuran". Beliau mengemukakan beberapa contoh dalam sejarah sebelum Islam dan sesudahnya bahwa kelaliman itu menghancurkan singgasana umat Islam, telah merendahkan derajatnya, telah menjadi rongrongan dari semua bangsa yang ada di sekelilingnya. Demikian pula umat Islam yang pernah meringkuk beberapa abad lamanya di bawah penjajahan orang barat yang semuanya terjadi atas kebenaran firman Allah:
أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
Artinya: Bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.
(Q.S. Al-Anbiya': 105)
Apabila Allah menghendaki keburukan kepada suatu kaum dengan penyakit, kemiskinan atau bermacam-macam cobaan yang lain sebagai akibat dari perbuatan buruk yang mereka kerjakan sendiri, maka tak ada seorang pun yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Allah Taala sendiri. Semua berhala-berhala yang disembah selain Allah, sedikit pun tak ada menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan bagi dirinya sendiri apalagi untuk orang lain. Pernah ada seorang Badui, penghuni padang pasir melihat seekor serigala kencing di atas kepala sebuah berhala. Maka spontan bangkit semangat amarahnya, lalu memegang berhala itu dan memecahkannya sampai berkeping-keping seraya berkata: Apakah patut tuhan dikencingi serigala di atas kepalanya? Sungguh hina benar yang dikencingi serigala di atas kepalanya itu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar