29 November 2010

MISTISISME DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA

1.   PENGERTIAN MISTISISME
Kata mistisisme berasal dari bahasa Yunani Meyein, yang artinya “menutup mata”. Kata mistik biasanya digunakan untuk menunjukkan hal-hala yang berkaitan denganpengetahuan tentang misteri. Dalam arti luas, mistik dapat didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal, yang mungkin disebut kearifan, cahaya, cinta atau nihil.
Mistisisme dalam Islam disebut dengan tasawuf, dan oleh para orientalis Barat disebut dengan sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis khusus dipakai dalam mistisisme Islam, dan tidak dipakai dalam agama-agama lain.
Tasawuf atau mistisisme—sebagaimana dengan mistisisme di luar agama Islam—mempunyai tujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan.1
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, M.A. intisari dari mistisisme, termasuk di dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi.
Tujuan dari mistisisme adalah memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang barada dihadirat Tuhan.2
Cirri khas mistisisme yang pertama kali menarik para ahli psikologi adalah kenyataan bahwa pengalaman-pengalaman mistik, atau perubahan-perubahan kesadaran yang mencapai puncaknya dalam kondisi yang digambarkannya sebagai kemanunggalan (wihdah, dalam istilah tasawuf Islam). 3

2.   KARAKTERISTIK MISTISISME

William James, menjelaskan tentang kondisi mistisisme. Menurutnya, kondisi tersebut ditandai dengan empat karakteristik:4
  1. Ia merupakan sustu kondisi yang mustahil dapat dideskripsikan atau dijabarkan, kondisi tersebut merupakan perasaan (stste of feeling) yang sulit dilakukan pada orang lain dengan detail kata seteliti apa pun.
  2. Ia merupakan merupakan suatu kondisi pemahaman (neotic), sebab bagi para pelakunya ia merupakan kondisi pengetahuan. Dalam kondisi tersebut tersingkap hakikat realitas yang baginya merupakan ilham dan bukan pengetahuan demonstratif.
  3. Ia merupakan suatu kondisi yang cepat sirna (transiency). Dengan kata lain, ia tidak langsung tinggal lama pada sang sufi atau mistikus, tapi ia menimbulkan kesan-kesan yang sangat kuat dalam ingatan.
  4. Ia merupakan kondisi pasif (passivity).
 Sedangkan menurut Al-Taftazani mengungkap lima karakteristik, di mana karakteristik tersebut memiliki cirri-ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis. Karakteristik tersebut adalah:5
a.    Peningkatan moral. Setiap tasawuf atau mistisisme memiliki nilai-nilai moral tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa, untuk merealisasikan nilai-nilai itu.
b.    Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Yang dimaksud fana yaitu, bahwa dengan latihan fisik serta psikis yang ditempuhnya, akhirnya seorang sufi atau mistikus sampai pada kondisi psikis tertentu. Di mana dia sudah tidak lagi merasakan adanya diri ataupun kekuatannya. Bahkan dia merasa kekal abadi dalam realitas tertinggi.
c.    Pengetahuan intuitif langsung, yaitu metode pemahaman hakikat realitas di balik persepsi inderawi dan penalaran intelektual, yang disebut dengan kasfy atau intuisi, maka dalam kondisi seperti ini dia disebut sebagai sufi ataupun mistikus.
d.    Ketentraman atau kebahagiaan. Seorang sufi atau mistikus akan tebebas dari semua rasa takut dan merasa intens dalam ketentraman jiwa, serta kebahagiaan dirinya pun terwujudkan.
e.    Penggunaan symbol dalam ungkapan-ungkapan. Yang dimaksud dengan penggunaan symbol ialah bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan sufi atau mistikus itu biasanya mengandung dua pengertian. Pertama, pengertian yang ditimba dari harfiah kata-kata. Kedua, pengertian yang ditimba dari analisis serta pendalaman. Tasawuf atau mistisisme adalah kondisi-kondisi yang khusus, mustahil dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan ia pun bukan kondisi yang sama pada semua orang.

3.   SUFISME DALAM KAJIAN PSIKOLOGI AGAMA
Aspek-aspek psikis dalam mistisisme telah banyak dikaji oleh para ahli ilmu jiwa agama. Seperti William James, James Leuba, Roger Bastide, evelyn Underhill dan Robert Thouless. Nama yang terakhir ini, misalnya, membahas mistisisme dengan mengawalinya pada arti penting mistisisme bagi psikologi agama, yaitu sebagai rangsangan kreatif dalam pemikiran keagamaan.
Kontemplasi merupakan bagian dari kehidupan para mistikus. Terdapat dua tipe kontemplasi yaitu, pertama, sebagai system latihan mental seperti meditasi; kedua, sebagai system aturan perilaku yang disebut asketik. Dalam tipe kedua—sebagai system aturan perilaku—mempunyai cirri sebagai penolakan untuk melakukan tindakan-tindakan instingtif atau adat istiadat dan pembiasaan melakukan perbuatan-perbuatan menyakitkan.
Latihan-latihan mental para mistikus diarahkan pada pengekangan-pengekangan perilaku. Mereka dilatih berpikir tentang tentang keterkaitan antara makanan dan minuman dengan akibat yang tidak menyenangkan dan tranformasinya dalam tubuh, sehingga mereka tidak lagi memilki keinginan untuk makan dan minum.
Pada tahap berikutnya adalah sampai pada tingkat bersau (kemanunggalan) yang biasanya terungkap lewat syair-syair atau doa mistik. Dalam hal ini Santa Teresa melukiskan empat tahap doa mistik, yaitu doa ketenangan, doa penyatuan, ekstasi, dan perkawinan spiritual.
Mengenai hubungan antara mistisisme dengan gangguan mental itu dikemukakan oleh para tokoh mistik yang menunujukan bukti hysteria dan bukti tanda-tanda penyakit yang dikaitkan dengan sugestibilitas tingkat tinggi.
Para tokoh mistik dalam upaya menyucikan diri membersihkan jiwa dari keterikatan akan kenikmatan dunia adalah dengan mengasingkan diri (‘uzlah) dan kontemplasi. Sikap demikian juga dialami oleh penderita ganguan jiwa. Di mana dalam kondisi jiwa yang tertekan, Ia mengambil sikap menarik diri dari lingkungan atau kehidupan special. Perasaan sebagaimana tersebut di atas yang kemudian memunculkan anggapan, bahwa penderita ganguan jiwa dan perilaku tokoh-tokoh mistik yang mempunyai kesamaan.
Pada bagian lain, teradap empat aspek yang dapat dikatagorikan dalam mistisisme yaiu ilmu ghaib, ilmu kebathinan, magis, dan parapsikologi. Aspek yang disebut terakhir, misalnya, membahas gejal-gejal jiwa yang terjadi tanpa peran panca indera, serta perubahan yang bersifat fisik yang digerakan oleh jiwa tanpa menggunakan kekuatan yang terkait dengan tubuh manusia.
Gejala-gejala jiwa paranormal ini dimiliki seseorang berdasarkan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, tanpa dipelajari sehingga memiliki kemampuan melebihi gejala jiwa yang normal seperti:
1)   Kemampuan mengetahui Sesutu peristiwa yang belum terjadi, telepati, ramalan, meilihat sesuatu tanpa menggunakan mata dan sebagainya.
2)   Kemampuan melakukan pebuatan tanpa menggunkan kekuatan yang terdapat dalam fisik, pengobatan, stigmasi dan sebagainya.
Kemampuan tersebut menjadi wajar bila dimiliki oleh para pelaku sufi yang telah mencapai derajat tinggi, khususnya sampai pada tahap makrifat, sebab salah satu dari aspek makrifat adalah pencapaian hal-hal yang gaib dari Allah. Orang yang telah mencapai makrifat maka akan tersingkap tabir yang menghalanginya dengan Allah, ia akan menemukan banyak hal tentang rahasia-rahasia alam yang merupakan ilmu Allah.6

DAFTAR PUSTAKA
Jalauddin dan Ramayulis. Pengantar Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Kalam Mulia, 1993, cet. ke-2
Sururin. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004, cet. ke-1
Thouless, Robert H. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, cet. ke-2

Tidak ada komentar: