24 Oktober 2012

Makalah : TAQLID


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Pengantar
Agama Islam mempunyai sejarah yang panjang dalam pembuatan hukum-hukum untuk mengatur kehidupan manusia. Di mulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini. Masa yang paling panjang adalah cara pengambilan hukum lewat jalan ijtihad. Ijtihad mengalami naik-turun hingga saat ini. Menurut sejarawan hukum Islam, kegiatan ijtihad mulai mengalami penurunan semenjak meninggalnya para mujtahid terkenal. Hal ini terjadi pada masa-masa akhir kejayaan imperium Islam. Yaitu ketika daulah Abbasiyah sudah di ambang pintu kehancuran. Sebagian ulama memandang cukup untuk merujuk pendapat imam mahzabnya tanpa harus melakukan ijtihad lagi. Fase ini merupakan fase pergeseran orientasi. Kalau masa-masa sebelumnya merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah, maka pada masa ini yang dirujuk adalah kitab-kitab fiqih yang dikarang oleh imam-imam yang dipandang lebih berkompeten.

Untuk menjaga kesucian kitab-kitab fiqih disamping Al-Qur’an dan Sunnah, ulama melakukan kegiatan yang bersifat internal, yaitu membangun mahzab yang dianutnya sehingga dapat berkembang. Terdapat dua ciri yang menandai kemunduran fiqih Islam, yaitu munculnya taqlid dan tertutupnya pintu ijtihad.
Berbagai faktor, baik politik, mental sosial dan sebagainya yang telah mempengaruhi kegiatan para ulama dalam bidang hukum. Sehingga tidak sanggup mempunyai kepribadian fikiran sendiri, melainkan harus selalu bertaqlid.
Muhammad Zuhri berpendapat bahwa periode taklid tejadi sejak runtuhnya Baghdad ditangan Holako sampai sekarang. Unsur Turki atau Thurani adalah suatu unsur yang besar sekali yang terdiri dari beberapa kabilah yang berbeda-beda, setelah menyiapkan sarana-sarana berkelana ia jelajahi negeri-negeri Islam untuk menguasainya sebagai tambahan atas negeri asalnya.

B.   Sekilas Perbedaan Pendapat di Kalangan Umat Islam
Pasca Rasulullah wafat, tiada lagi otoritas tunggal yang mampu menjawab segala permasalahan umat yang berkaitan dengan syari’at Islam. Meskipun para sahabat Nabi adalah manusia-manusia pilihan dan memahami tujuan pensyariatan, namun tingkat kemampuan para sahabat menangkap pesan al-Qur’an dan sabda Nabi beragam. Selain itu, tidak semua para sahabat mengetahui segala yang disabdakan Nabi. Faktor semakin luasnya wilayah Islam juga memunculkan problem sosial baru yang tidak ditemui saat Rasulullah masih hidup, padahal semua itu membutuhkan jawaban berdasar syari’at Islam.
Jika jawaban atas permasalahan umat pada masa sahabat itu terdapat dalam al-Qur’an maupun sabda Nabi, tidaklah menjadikan problem. Namun, bila tidak ditemukan jawaban secara eksplisit dalam kedua sumber syariat tersebut, atau terdapat dalam beberapa hadis namun penjelasannya saling bertentangan, ataupun ayat al-Qur’an yang satu dengan yang lain saling bertentangan menyikapi permasalahan tersebut, di sinilah potensi perbedaan pendapat muncul. Semisal perbedaan penalaran hadis Rasulullah yang berbunyi: “Inna ahlaha yabkuna ‘alaiha waiyyaha tu’adzabu fi qabriha” (keluarga menangisinya, padahal ia sedang disiksa dalam kuburnya).
Berkaitan dengan hadis itu Ibnu Umar berpendapat bahwa siksaan atas mayit dikarenakan tangisan keluarganya. Hal itu dibantah oleh Siti Aisyah; dia berpendapat bahwa Nabi bersabda demikian tatkala melewati kuburan orang Yahudi yang sedang diratapi oleh keluarganya. Menurut Istri Nabi Saw tersebut, siksaan itu bukan karena faktor tangisan dari keluarga mayit, namun karena kekafiran si mayit itu. Jika Ibnu Mas’ud memandang keumuman lafadznya (al-ibrah biumumil lafdzi), sehingga memunculkan pemahaman bahwa setiap ratapan atau tangisan keluarga menyebabkan disiksanya seorang mayit. Maka Aisyah melihat dari kekhususan redaksinya (al-ibrah bikhususis sabab), yakni sabda nabi hanya berlaku pada kasus si mayit Yahudi itu, dan tidak ada kaitan dengan ratapan keluarga si mayit. Meskipun kedua sahabat tersebut berbeda pendapat namun tidak menimbulkan saling klaim paling benar sendiri dan perselisihan.
Jika di masa sahabat yang nota bene sempat menyaksikan proses pewahyuan dan berinteraksi langsung terhadap Rasulullah telah terjadi perbedaan penafsiran sumber syariat, maka wajar jika generasi selanjutnya juga demikian, bahkan semakin lebar tingkat perbedaannya. Kurun pasca sahabat, pendapat sahabat Nabi yang beragam itupun dijadikan pegangan hukum oleh para ulama mujtahid di masa tabi’in dan setelahnya. Kemudian para mujtahid berusaha menciptakan metode-metode yang dijadikan acuan untuk memahami sumber syariat.


BAB II
PEMBAHASAN
TAQLID DAN KEJUMUDAN BERFIKIR DI KALANGAN UMAT ISLAM

A.   Pengertian Taqlid
Taqlid berasal dari bahasa Arab “qallada”, “yuqallidu”, “taqliidan”, yang mempunyai arti banyak: mengalungi, meniru, mengikuti. Sedangkan para ulama fiqih mengartikan taqlid sebagai penerimaan perkataan seseorang sedang engkau tidak mengetahui dari mana asal perkataan itu.
Dari defenisi di atas terdapat dua unsur yang perlu diperhatikan dalam pembicaraan taqlid, yaitu:
a)     Menerima atau mengikuti suatu perkataan seseorang
b)     Perkataan tersebut tidak diketahui dasarnya, apakah ada dalam Al-Qur’an dan hadits tersebut.
Adapun defenisi taqlid menurut para ahli ushul fiqih:
a)    Taqlid menurut Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustasyfa adalah:
التّقليد قبول بغير حجّّة وليس طريقا للعلم لافى الاْصول ولافى الفروع
Taqlid adalah menerima suatu perkataan dengan tidak ada hujjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusan ushul maupun dalam urusan furu’.”
b)    Al-Asnawi dalam kitab Nihayat Al-Ushul mendefinisikan:
التّقليد هو الاْخذ بقول غير دليل
“Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil”
c)    Ibnu Subki dalam kitab Jam’ul jawami mendefinisikan:
التقليد هو اخذ القول من غير معرفة دليل
Taqlid adalah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.
Contoh taqlid: Seseorang yang mengikuti Umar bin Khattab dalam melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat, tetapi dia tidak mengetahui alasan yang dijadikan dasar oleh Umar.
Dja’far Amir, dalam bukunya Ushul Fqih III menjelaskan taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain, mengikuti perkataan orang lain, dengan tidak mengetahui dari mana asal pengambilannya, entah orang lain tadi benar atau salah, pokoknya asal mengikuti saja tanpa mengetahui dasar-dasar pengambilannya, hanya mengikuti saja tanpa berfikir. Dan orang yang bertaqlid disebut muqallid.
Masjfuk Zuhdi mengatakan, mujtahid itu menjadi tempat bertanya dan rujukan bagi masyarakat awam. Mereka wajib mengikuti hukum ijtihad mujtahid, tanpa harus mengikuti dalil-dalilnya. Sebab mujtahid itu pasti menyandarkan semua pendapatnya atas dalil-dalil syara’, Sekalipun ia tidak menerangkan dalil-dalilnya itu kepada masyarakat awam yang meminta fatwanya. Para mujtahid dari sahabat dan tabi’in banyak sekali memberikan fatwa hukum kepada masyarakat awam tanpa menerangkan landasan fatwanya, dan mereka pun dapat menerima fatwa atau hukum ijtihadnya dengan baik. Namun, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada orang yang mengikuti hukum ijtihad itu mengetahui dalil dan tempat pengambilannya. Dan orang-orang yang mengerti hukum ijtihad dengan mengetahui dalil-dalilnya itu sudah tentu tingkatannya lebih tinggi daripada orang-orang yang mengikuti hukum ijtihad tanpa mengetahui dalil-dalilnya. Karena itu, sebagian ulama memberi nama muttabii’, bukan muqallid kepada orang-orang yang mengikuti hukum ijtihad dengan mengetahui dalil-dalil yang dipakai sebagai dasar hukum ijtihadnya.
Ulama telah sepakat bahwa pandangan dan sikap seorang mujtahid tidak boleh berbeda dengan hukum ijtihadnya dan mujtahid lain. Tetapi ulama belum ada kesepakatan mengenai suatu masalah yang belum pernah diijtihadkan oleh seorang mujtahid, sedangkan mujtahid lain telah melakukan ijtihad.
Adapun orang yang awam dan juga orang yang mempunyai pengetahuan sedikit tentang berijtihad, tetapi belum sampai ketingkat mujtahid, para ulama pada prinsipnya membolehkan mereka meminta fatwa dan taqlid. Hanya saja ulama membedakan masalah furu’ dengan masalah ushul atau aqidah.
Misalnya saja orang berbuat sesuatu karena semata-mata karena orang tuanya berbuat demikian. Sebagaimana dalam Q.S. Asy Syu’ara: 74 yang berbunyi
(#qä9$s% ö@t/ !$tRôy`ur $tRuä!$t/#uä y7Ï9ºxx. tbqè=yèøÿtƒ ÇÐÍÈ
 “Mereka menjawab: “(Bukan karena itu) sebenarnya Kami mendapati nenek moyang Kami berbuat demikian”
Jadi mereka berbuat semata-mata asal meniru saja, hanya mengikut saja.

B.   Faktor Penyebab Timbulnya Sikap Taqlid
Yusron Asmuni dalam buku Dirasah Islamiyah II mengatakan bahwa taqlid mulai muncul sekitar abad VII H sampai dengan abad XIII H. Yaitu pada masa kemunduran umat Islam. Pada masa ini umumnya para ulama tidak mau lagi melakukan ijtihad, mereka hanya membeda-bedakan mana dalil yang kuat dan mana dalil yang lemah, dengan demikian ilmu fiqih pada abad-abad ini dalam keadaan statis.
Sulaiman al-Asyqar (1991: 146-162) menyebutkan lima sebab:
a.    Adanya penghargaan yang berlebihan kepada guru. Hal itu tercermin dalam anggapan bahwa, pertama, setiap orang dewasa diwajibkan menganut salah satu mahzab dan haram jika keluar dari mahzab tersebut. Kedua, mengambil pendapat selain pendapat imam yang dianutnya adalah haram, Ketiga, guru yang terdahulu lebih mengetahui nash daripada kita.
b.    Banyaknya kitab fiqih. Pada zaman Abu Bakar dan Umar, Haditst tidak boleh dibukukan karena Nabi SAW melarangnya. Cegahan tersebut dilakukan karena Nabi khawatir para sahabat akan meninggalkan Al-Qur’an karena disibukkan dengan kegiatan pengumpulan dan pembukuan Haditst. Yang dikhawatirkan setelah munculnya kitab-kitab fiqih adalah disibukkannya ulama dengan kegiatan yang berkutat pada kitab fiqih melalui upaya pembuatan ringkasan (al-mukhtashar), penjelasan (syarh), dan penjelasan atas penjelasan (hasyiyah).” Dalam kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa melakukan kegiatan yang berkutat pada kitab fiqih adalah kegiatan yang menyulitkan karena akan belajar haruslah menguasai, menghafal dan menjaga seluruh isi dan cara-cara yang ditempuhnya.
c.    Melemahnya Daulah Islamiyah. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, dukungan pemerintah sangat mempengaruhi terhadap kegiatan ilmiah. Dunia Islam pun mulai berkembang dan maju setelah khalifah berpihak kepada pengembangan ilmu dan penerjemahan terhadap buku-buku filsafat, astronomi dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Sebaliknya melemahnya pemerintahan berarti melemah juga tehadap pengembangan ilmu.
d.    Adanya anjuran sultan yang menganjurkan untuk mengikuti aliran yang dianutnya. Kedudukan sultan berpengaruh terhadap taqlid karena sultan hanya mengangkat qadli atau hakim dari mahzab yang dianutnya.
e.    Adanya keyakinan sebagian ulama yang beranggapan bahwa pendapat setiap mujtahid itu benar. Menurut sebagian ulama, pendapat ulama sejajar dengan syariat, sehingga pendapat ulama yang mana saja boleh digunakan. Ada kesan bahwa pendapat ulama adalah agama yang mesti diikuti.
Adapun Ahmad Hanafi di dalam buku Pengantar dan Sejarah Hukum Islam juga menjelaskan beberapa sebab munculnya taqlid, yaitu:
a.    Pergolakan politik telah mengakibatkan perpecahan di dalam negeri Islam menjadi negeri-negeri kecil sehingga negeri-negeri tersebut selalu mengalami kesibukan perang, saling menfitnah, dan hilangnya ketentraman masyarakat. Sehingga berkurangnya perhatian terhadap kemajuan ilmu.
b.    Timbul berbagai mahzab yang mempunyai metode berfikir sendiri dibawah seorang imam mujtahid. Akibatnya para pengikut mahzab berusaha untuk membela mahzabnya tanpa memperkuat dasar maupun pendapatnya dengan cara mengemukakan alasan kebenaran mahzabnya dan menyalahkan pendapat mahzab lain dengan cara memuji imam yang mereka anut. Akhirnya seseorang tidak mengarahkan perhatiannya kepada Al-Qur’an dan Haditst, tapi baru menggunakan kedua sumber ini untuk memperkuat pendapat imamnya. Dengan demikian kebebasan orang untuk berfikir menjadi hilang, orang berilmu menjadi awam dan akhirnya hanya bisa bertaqlid.
c.    Pembukuan terhadap pendapat mahzab menyebabkan orang mudah untuk mencarinya, orang hanya mencari yang mudah bukan yang sulit. Sebelumnya para fuqaha berijtihad untuk menyelesaikan masalah syara’. Tapi setelah hasil ijtihad dibukukan para pencari ilmu hanya mencukupkan dengan pendapat yang telah ada. Sehingga hilanglah dorongan untuk maju.
d.    Masa sebelumnya para hakim berasal dari orang yang bisa berijtihad sendiri, tapi masa sesudahnya hakim diangkat dari orang yang bertaqlid pada pendapat mahzab-mahzab tertentu.
e.    Penutupan pintu ijtihad.
Jaih Mubarok menyebutkan beberapa penyebab tertutupnya ijtihad, yaitu:
Pertama, munculnya hubb al-dunya di kalangan para ulama. Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, membagi ulama menjadi dua bagian: ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama dunia adalah ulama yang ilmunya digunakan hanya untuk mengejar kepentingan duniawi; dan ia lalai dalam ibadah serta kehilangan sifat zuhud.
Kedua, adanya perpecahan politik. Pada akhir kekuasaan Abbasiyah, khalifah dijadikan boneka; daerah yang dikuasainya masing-masing berdiri sendiri dan saling bermusuhan. Pada tahun 324 H, umat Islam terbagi ke dalam beberapa kerajaan: Bashrah dikuasai dinasti Ra’iq, Fez dikuasai dinasti ‘ali ibn Buwaihi, Ray dikuasai oleh Abi ‘Ali al-Husain ibn al-Buwaihi, Diyar Bakr oleh bani Hamdan, Mesir dan Syam dikuasai dinasti Fatimiyah, dan Bahrain dikuasai oleh dinasti Qaramithah. Khalifah hanya berkuasa di Baghdad.
Ketiga, adanya perpecahan aliran fiqih. Umat Islam ada yang beranggapan bahwa pendapat ulama sepadan dan sejajar dengan Al-qur’an dan Sunnah. Pendapat ulama tidak boleh diubah atau diganti dengan pendapat lain. Sehingga melahirkan ketidakharmonisan dalam kalangan umat Islam, karena dalam sejarah umat Islam memiliki banyak aliran. Setiap pengikut mahzab mengklaim bahwa pendapat imamnya yang paling benar dan pendapat imam lain salah. Selain itu faktor lain adalah munculnya keterbelengguan pemikiran atau kegiatan pengembangan ilmu. Ijtihad adalah bagian dari kegiatan ilmiah. Sehingga tertutupnya ijtihad merupakan implikasi kemunduran umat Islam.
Inilah beberapa pendapat yang mengemukakan sebab-sebab munculnya taqlid. Dimana, karena semua itu menyebabkan orang-orang muslim tidak mau lagi berijtihad dalam menyelesiakan permasalahan mereka. Saling menghina dan menyalahkan aliran atau ajaran mahzab lain adalah kebiasaan orang-orang muslim pada masa muqallidun. Dan kemunduran Islam pun semakin parah dan tidak bisa bangkit seperti masa-masa sebelumya.

C.   Hukum Taqlid
Pada dasarnya para ulama sepakat mengharamkan taqlid karena dapat membuat manusia malas untuk berijtihad. Dalam buku Ushul Fiqih II karangan Drs. H.A. Mu’in disebutkan ada tiga hukum taqlid, yaitu:

1.    Taqlid yang haram
Para ulama membagi taqlid yang dihukumi haram ini menjadi tiga macam:
a)    Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang-orang dahulu kala, yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya adat kebiasaan yang terjadi pada masyarakat yang sampai sekarang masih sulit untuk ditinggalkan, yaitu pada setiap bulan syuro diadakan yang namanya “bersih desa” atau “grebeg suro” yang ditandai dengan ritual-ritual yang menandai perbuatan syirik dan perdukunan yang masih kental di dalam masyarakat awam di daerah-daerah terpencil sebagaimana firman Allah :
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«øx© Ÿwur tbrßtGôgtƒ ÇÊÐÉÈ  

"Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Q.S. Al-Baqarah : 170)
b)    Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya. Seperti orang yang menyembah berhala, tapi ia tidak mengetahui kemampuan dan kekuasaan berhala tersebut. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah yang berbunyi:
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB äÏ­Gtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# #YŠ#yRr& öNåktXq6Ïtä Éb=ßsx. «!$# ( tûïÉ©9$#ur (#þqãZtB#uä x©r& ${6ãm °! 3 öqs9ur ttƒ tûïÏ%©!$# (#þqãKn=sß øŒÎ) tb÷rttƒ z>#xyèø9$# ¨br& no§qà)ø9$# ¬! $YèÏJy_ ¨br&ur ©!$# ߃Ïx© É>#xyèø9$# ÇÊÏÎÈ   øŒÎ) r&§t7s? tûïÏ%©!$# (#qãèÎ7?$# z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qãèt7¨?$# (#ãrr&uur z>#xyèø9$# ôMyè©Üs)s?ur ãNÎgÎ/ Ü>$t7óF{$# ÇÊÏÏÈ   tA$s%ur tûïÏ%©!$# (#qãèt7¨?$# öqs9 žcr& $oYs9 Zo§x. r&§t6oKoYsù öNåk÷]ÏB $yJx. (#râ䧍t7s? $¨ZÏB 3 y7Ï9ºxx. ÞOÎgƒÌãƒ ª!$# öNßgn=»yJôãr& BNºuŽy£ym öNÍköŽn=tæ ( $tBur Nèd tûüÅ_̍»yÎ/ z`ÏB Í$¨Y9$# ÇÊÏÐÈ  

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah Amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (Q.S. Al-Baqarah : 165-166)
c)    Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedang yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan dan pendapat itu salah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S At-Taubah ayat 31:
(#ÿräsƒªB$# öNèdu$t6ômr& öNßguZ»t6÷dâur $\/$t/ör& `ÏiB Âcrߊ «!$# yxÅ¡yJø9$#ur šÆö/$# zNtƒötB !$tBur (#ÿrãÏBé& žwÎ) (#ÿrßç6÷èuÏ9 $Yg»s9Î) #YÏmºur ( Hw tm»s9Î) žwÎ) uqèd 4 ¼çmoY»ysö7ß $£Jtã šcqà2̍ô±ç ÇÌÊÈ  

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Berkenaan dengan ayat di atas Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Bukankah mereka menghalalkan bagimu apa yang telah diharamkan Allah, dan mereka telah mengharamkan atasmu apa yang telah dihalalkan Allah bagimu. Lalu kamu mengharamkannya pula?”
Dalam ayat ini dijelaskan orang-orang yahudi dan nasrani mengikuti perkataan dan pendapat rahib-rahib dan pendeta pendeta tanpa memperhatikan dasar-dasar dalil yang mereka ucapkan karena mereka menganggap rahib dan pendeta adalah Tuhan. Hal ini dikemukakan Allah secara analogi dalam ayat ini bahwa bertaqlid kepada orang lain, sedang mereka mengetahui berbagai kesalahan sama dengan menyembah kapada selain Allah. Dan hal ini sangat dicela Alah dan Rasulnya.
Sehubungan dengan taqlid yang diharamkan diatas Ad Dahlawi mengatakan bahwa tidak boleh seorang awam bertaqlid kepada seorang ulama dengan anggapan bahwa ulama itu tidak munkin salah atau dengan anggapan bahwa semua yang dikatakan ulama itu pasti benar, serta enggan mengikuti perkataan atau pendapat orang lain walaupun ada dalil yang membenarkannya. Ad Dahlawi juga mengatakan bahwa tidak boleh bertaqlid kepada orang yang mengharuskan berfatwa sesuai dengan mahzab Hanafi sehingga semua persoalan harus dikembalikan kepada mahzab Hanafi saja atau dengan mahzab tertentu saja, karena hal ini menyalahi kesepakatan ulama dan berlawanan dengan pendapat sahabat dan tabi’in.

2.    Taqlid yang dibolehkan
A. Mu’in mengatakan diperbolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa, dengan syarat bahwa ia harus selalu mencari dalil dan menyelidiki kebenaranya, maksudnya bahwa taqlidnya adalah bersifat sementara. Dan jika kebenarannya sudah diketahui dari Al-Qur’an dan Haditst dan ternyata pendapat mujtahid tersebut salah maka pendapat itu harus ditinggalkan dan kembali pada Al-Qur’an dan Haditst. Sebagai contoh adalah jika kita ketinggalan waktu sholat ashar ada ulama yang berpendapat boleh dijama’ dengan sholat magrib sesudahnya. Untuk sementara kita boleh mengikuti pendapat tersebut. Tapi jika kita menemukan dalil yang menyalahkan pendapat tersebut kita harus meninggalkannya.
Taqlid ini biasanya terjadi pada orang awam kepada ulama yang dipercayainya, selama orang awam itu belum menemukan alasan dari pendapat ulama yang diikutinya itu. Hal semacam ini sudah terjadi dikalangan umat Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sekalipun para imam mujtahid, seperti imam, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal tidak mengharuskan orang bertaqlid kepada pendapat mereka, namun para ulama mutaakhirin membagi masyarakat yang bertaqlid menjadi dua golongan , yaitu:
a.    Golongan awam atau orang yang tidak berpendidikan wajib bertaqlid kepada pendapat salah satu dari ke empat imam tersebut.
b.    Golongan yang memenuhi syarat ijtihad, sehingga tidak boleh bertaqlid kepada ulama. Ulama yang berpendapat demikian antara lain:
1)    Al ‘Adhud (wafat 573 H)
2)    Ibnul Hajib (wafat 646 H)
3)    Ibnus Subki (wafat 771 H)
4)    Al Mahalli (wafat 886 H)
Mereka berempat mengemukakan ada dua arti taqlid:
1)    Taqlid dengan arti lughawi (bahasa), yaitu beramal atau mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar dari pendapat itu.
2)    Taqlid dengan arti ‘urfi (populer), yaitu beramal atau mengikuti pendapat seeorang, sedang dasar dari pendapat itu tidak diketahui dengan sempurna.
Ahmad Hanafi menjelaskan bahwa bagi orang yang sudah mencapai tingkatan mujtahid, maka dengan kesepakatan fuqaha ia tidak boleh menggunakan pendapat orang lain dengan menyalahi hasil ijtihadnya sendiri. Tetapi apabila dalam suatu persoalan ia belum mengambil ijtihad, sedangkan orang lain telah mengadakan ijtihad apakah ia boleh mengikuti mendapat mereka?
Menurut pendapat yang kuat ia tidak boleh mengambil ijtihad orang lain dan ia harus ijtihad sendiri sebagai kewajiban pokok. Kebolehan mengikuti pendapat orang lain bagi orang awam tidak berlaku bagi orang yang sanggup melakukan ijtihad sendiri. Kebolehan mengikuti pendapat bagi orang biasa hanya terbatas dalam masalah furu’ (masalah yang lahir), bukan masalah kepercayaan dan orang yang diikuti bukanlah orang yang awam, tapi orang yang ahli dalam melakukan ijtihad, berdasarkan keyakinan yang maksimal.
Kalau dalam suatu negeri terdapat beberapa tingkatan orang mujtahid, maka yang harus diikuti adalah orang yang paling taat beragama, karena kedudukan para mujtahid bagi orang-orang awam sama dengan kedudukan dalil syara’ bagi seorang mujtahid, harus diadakan penarjihan mana yang lebih kuat. Pendapat lain mengatakan, orang awam bisa mengikuti mujtahid mana yang disukai, karena di kalangan sahabat-sahabat sendiri terdapat tingkatan keijtihadannya. Walaupun begitu tidak ada riwayat yang mengharuskan bagi orang awam untuk mengikuti sahabat tertentu dan tidak ada kritikan terhadap orang yang mengikuti mujtahid sahabat dari kalangan biasa.

3.    Taqlid yang wajib
Pada zaman sekarang ini taqlid yang berkembang seperti di Indonesia adalah taklid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam yang terkenal. Imam-imam yang terkenal itu adalah Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, dan Ahmad Bin Hanbal. Jika seseorang bertaqlid kepada seorang imam dia harus mengikuti ajaran imam tersebut secara murni, atau setidaknya kepada muridnya yang paling dekat. Orang yang bertaqlid pada salah satu imam tidak boleh mengikuti ajaran imam lain. Tapi kenyataan yang terjadi adalah tidak demikian, kebanyakan orang mengikuti pendapat seseorang yang digolongkan termasuk mahzab salah satu imam.
Jadi kenyataan menunjukkan bahwa taqlid yang berkembang masa sekarang, bukan taqlid kepada mujtahid, sebagaimana yang dikehendaki Al ‘Adhud (wafat 573 H), Ibnul Hajib (wafat 646 H), Ibnus Subki (wafat 771 H), dan Al Mahalli (wafat 886 H) dan para ushul fiqih, tetapi adalah taqlid kepada orang yang mengaku bertaqlid kepada imam yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya ke dalam kitab karangan imam-imam yang terkenal. Hal semacam ini sangat dilarang oleh para ulama, khususnya Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.

D.   Manfaat dan Bahaya Taqlid
Muhammad bin Harits menyebutkan dalam hadits riwayat Sahnuun bin Sa'id. Ia berkata : Bahwa Malik ibn Anas dan Abdul 'Aziz bin Abi Salamah dan Muhammad bin Ibrahim bin Dinar dan lainnya berkali-kali mendatangi Ibn Hurmuz, maka apabila Malik dan Abdul 'Aziz bertanyadijawab, dan apabila Ibn Dinar dan lainnya bertanya, tidak dijawab. Pada suatu hari Ibn Dinar menghadapinya dan berkata kepadanya: "Wahai Abu Bakar kenapa engkau menganggap halal bagiku apa yang tidak halal bagimu?" Ia menjawab : "Wahai putera dari saudaraku, apakah itu?" Ia berkata: "Malik dan Abdul 'Aziz bertanya kepadamu, kemudian kamu menjawabnya. Dan saya beserta teman-temanku bertanya kepadamu, namun engkau tidak menjawabnya." Ia berkata: "Apakah itu terjadi pada hatimu wahai putera saudaraku?" Ia berkata: "Ya." Ia berkata: "Sesungguhnya usiaku telah lanjut dan tulang-tulangku semakin menua, saya khawatir usia tua ini melemahkan akal pikiranku seperti yang terjadi pada fisikku, sedangkan Malik dan Abdul 'Aziz dua ulama fiqih yang alim, jika keduanya mendengarkan akan yang hak dariku mereka menerimanya dan apabila keduanya mendengar yang salah, meninggalkannya. Sedangkan kamu dan teman-temanmu pasti menerima apa saja yang saya jawab kepada kalian." (Ditulis ulang oleh Anwar Baru Belajar dari buku "Risalah Taqlid" – Ibnu Qayyim Al Jauziyah).
Berdasarkan riwayat diatas betapa Abu Bakar As-Shidiq sangat memperhatikan dengan siapa beliau berbicara dan sebagai bentuk lain dari kebijaksanaan dan ketelitian dalam menyikapi permasalahan yang berkaitan dengan hokum atau syari’at Islam.
Adapun beberapa manfaat dari sikap taqlid ini yang dapat kita fahmi dan maih dalam batas toleransi adalah:
1.    Memberikan kemudahan bagi kalangan awam terhadap pelaksanaan sebuah permasalahan syari’at, hal ini tentunya dengan melihat kondisi umat yang tidak memungkinkan untuk mempelajari lebih mendalam lagi terhadap syari’at (al-Qur’an dan hadits).
2.    Menghindari penyimpangan aktivitas syri’at di kalangan umat Islam awam apalagi hal tersebut dapat membawa mereka ke jalan kesesatan, dan tentu saja seorang ‘alim dalam hal ini bertanggungjawab terhadap apa yang telah disampaikannya.
Setidaknya 2 hal diatas dapat dijadikan sandaran bahwa sikap taqlid terdapat manfaat dalam pengamalannya. Kita tidak dapat membayangkan apa yang terjadi pada masyarakat awam, dengan kondisi yng tidak potensial untuk mendalami ilmu agama dan syari’at sedangkan mereka dituntut untuk menjalankan syri’at sebagai umat muslim. Dalam hal inilah taqlid membawa manfaat.
Selain manfaat dari sikap taqlid sebagaimana yang telah disebutkan diatas, tak terlepas pula bahwa sikap taqlid dapat membahayakan ummat Islam, dinataranya adalah :
1.    Terjadinya ta’ashub (fanatisme) buta terhadap suatu madzhab atau pemikiran yang berlebihan dan sangat rentan tejadinya pepecahan di kalangan ummat Islam, apalagi kalangan Islam yang awam.
2.    Meskipun sikap taqlid ini dibolehkan bagi kalangan awam, namun tetap saja hal ini bisa menimbulkan kemandegan dan kejumudan berfikir di kalangan ummat Islam, sehingga pemaham tentang syari’at masih kaku dan tidak mengikuti perkembangan zaman.
3.    Sikap taqlid menjadi indikasi terhadap tertutupnya sebuah ijtiha, dan hal ini dapat diartikan sebagai pembodohan terhadap ummat. Ketika ummat sudah di nina bobokan dengan pemahaman-pemahaman yang berkembang dikalangannya atau di lingkungannya masing-masing dan membunuh sikap kritis terhadap pemahaman tersebut, karena dalam konsep taqlid menerima apa adanya tanpa menelaah dasar dan dalil terhadap aktivita ibadah misalnya.
Bahaya taqlid diatas hanyalah sebagai yang penulis rangkumkan, karena pada dasarnya sikap taqlid tak semestinya ada jika ummat Islam telah cerdas dengan tersebranya media informasi, banyak orang yang faham tentang syari’at dan utamanya bagi kalangan intelektual harus lebih kritis dalam menyikapi permasalaha syrai’at dan bijak dalam mengelola perbedaan terutama dalam masalahah furu’iyyah yng dapat menimbulkan pepecahan di kalangan umat Islam sebagaimana telah diuraikan diatas.
Bahkan secara tegasImam Abu Hanifah sangat melarang seseorang mengikuti apa yang dikatakannya, jika ia tidak mengetahui dasar perkataan itu. Beliau menyatakan: “Tidak boleh seseorang mengikuti perkataan yang telah kami katakan, sehingga ia mengetahui dari mana asal perkataan kami itu”. Bahkan beliau mengharamkan orang mengikuti fatwanya, jika ia tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
Abu Hanifah pernah ditanya orang: ‘apakah engkau akan mengatakan suatu perkataan, sedang kitab Allah melarangnya, bagaimana pendapatmu’. Beliau menjawab: ‘tinggalkanlah perkataanku dan ikutilah kitab Allah’. Orang itu bertanya: ‘Bila khabar Rosululloh menyalahkannya’. Beliau menjawab: ‘tinggalkanlah perkataanku dan ikutilah khabar dari Rosululloh SAW’. Bila perkataan sahabat menyalahkannya,’ Beliau menjawab: ‘tinggalkan perkataanku dan ikutilah perkataan para sahabat’

E.   Kemunduran Umat Islam
Syeikh Muhammad Abduh adalah murid terkemuka dari Sayyid Jamaluddin Asad Abadi yang sangat terpengaruh pada pemikiran dan pandangan gurunya tersebut. Ia mengungkapkan pandangan kontemporernya mengenai ide-ide perbaikan pemikiran cendikiawan, begitu besarnya pengaruh konsep yang diciptakannya di kalangan cendikiawan Ahli Sunnah, sehingga konsepnya tersebut menjadi sebagai sebuah langkah inovatif yang tak tertandingi di zamannya. Dan dapat dikatakan bahwa konsep pemikirannya sangat berdekatan dengan pemikiran dan ideologi Syiah. Dalam peninjauannya, ia mengingatkan kepada faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam –yang dalam hal ini-, orientasi keseluruhannya hampir menyerupai perspektif Murtadha Muthahari.
Pertama-tama kami akan menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam menurut pandangan Syeikh Abduh dan pada kesempatan selanjutnya, kami akan membandingkan kedua ideologi dari kedua pemikir tersebut :

1.    Kemujudan dan tertutupnya pintu akal
Menurut Syeikh Abduh, faktor utama yang mendasari runtuhnya umat Islam adalah tertutupnya pintu akal sebagai sumber pengetahuan. Padahal hal ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang memerintahkan untuk berpikir dan menggunakan akal serta larangan Islam dalam bertaqlid.
Syeikh Abduh dalam kitabnya: “Risalah at-Tauhid” mengungkapkan bahwa Al Qur’an mengajarkan kita untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan Allah Swt. Dia mempertimbangkan apapun yang telah diajarkan kepada manusia dan sedikitpun tidak pernah berkeinginan agar kita mematuhi segala perintahnya hanya dikarenakan perintah itu datang dari-Nya. Al Qur’an bahkan membantah ajaran-ajaran menyimpang dengan bersandarkan pada bukti dan argumen. Al Qur’an menjadikan akal sebagai lawan bicaranya dan mendorongnya untuk berpikir. Al Qur’an adalah kitab pertama yang menyatakan kebersamaan dan keselarasan akal dengan agama secara jelas dan gamlang sehingga tidak dapat ditakwilkan (dengan arti lain).
Syeikh Abduh menganggap sikap berlebihan sebagian umat Islam dalam bersandar penuh pada akal, sebagai faktor menjauhnya sebagian umat Islam lainnya dari penggunaan dan merujuk kepada akal. Padahal perbuataan ini akan mengakibatkan munculnya gejolak dan pertentangan dari kelompok-kelompok yang bangkit mempertahankan posisi wahyu. Dan pada akhirnya, dengan kemenangan kelompok pembela wahyu, maka dapat dikatakan bahwa peran akal pun secara keseluruhan telah tersingkir dari kerangka pemikiran kaum Muslimin.
Pada awal pembahasan teoretis di antara umat Islam, tema terpenting yang menjadi kajian hangat di antara mereka ialah masalah jabr (determinisme) dan ikhtiar, akan tetapi tidak lama kemudian objek pembahasan tersebut beralih kepada masalah penetapan sifat-sifat Tuhan. Sebagian kelompok mengatakan bahwa akal memiliki kedudukan lebih utama [dari pada wahyu] dalam menyimpulkan seluruh hukum agama, bahkan dalam perkara furu’ dan ibadah sekalipun, adapun kelompok lainnya menyatakan bahwa yang memiliki peran demikian hanyalah prinsip-prinsip akal yang mendasar (ushul awwali). Dalam rangka menjawab dan menentang pandangan dua kelompok ini, kelompok lainnya secara mutlak mengingkari kedudukan akal sebagai sumber pengetahuan. Kaum rasionalisme berdasarkan pemahaman [salah] mereka atas filsafat Yunani –yang banyak terpengaruh dengan pemikiran Plato dan Aristoteles-, tanpa membedakan antara prioritas akal dan imajinasi. telah mengkaitkan perkara-perkara yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran-ajaran Islam, sehingga munculnya berbagai aliran seperti "Manuwiyah, Zanadiqah, Dahriyah, Bathiniyah, dan Ismailiyah yang menambah kerus kendisi umat Islam. Oleh karena itu, front-front pembela syariat bangkit untuk berhadapan dengan kelompok tersebut. Pada abad ke-4, Abul Hasan Asy’ari berhasil menemukan jalan tengah di antara pandangan dua kelompok yang berselisih ini, dengan cara menerima konsep-konsep akal sebatas yang dapat dan bermanfaat dalam menguatkan keimanan.

2.    Raja-raja yang otoriter dan ulama yang memandang agama secara lahiriyah
Syeikh Abduh mengatagorikan metode yang dilakukan para penguasa otoriter dalam menarik simpati sebagian ulama dan penganut khurafat, sebagai faktor penting dalam kemunduran umat Islam. Raja-raja yang tidak memiliki kapabilitas untuk melegitimasi kekuasaan, memanfaatkan kefanatikan masyarakat terhadap agama dengan memperkenalkan diri mereka sebagai pengganti Nabi Saw, mereka memanfaatkan kesucian agama untuk keberlangsungan hidup tahta kerajaan mereka. Akan tetapi, tipu muslihat yang menggunakan agama ini, membutuhkan peranan dan dukungan ulama. Meskipun ada beberapa ulama yang tidak pernah tergiur dengan tawaran tersebut, namun sebagian yang lain telah terpedaya olehnya. Untuk mendapatkan dinar dan dirham, mereka yang tidak memiliki ketaqwaan dan iman yg kuat, bersedia untuk memalsukan Hadits-Hadits yang dinisbatkan kepada nabi demi menguntungkan para penguasa pada saat itu. Sebagian ulama lain berdiam diri atas apa yang mereka lakukan dengan alasan hendak menghindari terjadinya pertumpahan darah dengan para penguasa, dan sikap diam ulama ini dapat dianggap sebagai dukungan terhadap para penguasa zalim tersebut. Akhirnya, seiring berjalannya waktu, hal ini berubah menjadi tradisi di kalangan ulama Ahli Sunnah, sehingga hampir menjadi kesepakatan di antara mereka bahwa pemberontakan terhadap penguasa yang sah hukumnya adalah haram dan mengikutinya adalah kewajiban.
Tradisi seperti ini terus berlanjut hingga saat ini, menurut Syekh Abduh, meski demikian, namun para ulama tidak boleh berdiam diri menyaksikan penyelewengan para penguasa, kewajiban mereka adalah menasihati.
“Saya salah seorang yang telah menyadarkan rakyat mesir akan hak-hak mereka. Dan saya mengajak mereka kepada sebuah keyakinan bahwa sekalipun mengikuti para penguasa adalah wajib, tetapi mereka adalah manusia biasa yang dapat berbuat salah, terjerumus dalam hawa nafu, dan satu-satunya hal yang dapat mencegahnya dari perbuatan munkar adalah nasihat umat kepadanya.

3.    Tertutupnya pintu ijtihad
Syeikh Abduh menegaskan faktor ketiga yang menjadi sebab runtuhnya kejayaan Islam adalah tertutupnya pintu ijtihad. Secara mendalam, ia sangat menyesalkan terjadinya hal tersebut. Menurutnya sikap taqlid ulama terhadap para pendahulu merupakan sikap yang patut dikecam: “Para faqih di setiap masa haruslah melihat kondisi zaman dan lingkungannya saat berijtihad.”
Faqih seharusnya mengenali keadaan dan kondisi zamannya dan mengeluarkan hukum-hukum yang sesuai dengannya, sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk mengikuti mereka.
Syeikh Abduh dalam kecamannya kepada ulama pentaqlid, mengatakan: “Mereka mempelajari prinsip-prinsip ilmu fiqih, namun tidak ada dalam benak mereka untuk menerapkan dan mengembalikan muatan sebagian dari kitab-kitab ini kepada prinsip-prinsip tersebut, sehingga mereka dapat mendiskusikannya kembali. Bahkan mereka tidak malu mengatakan: “kami adalah muqallid (pengikut) dan tidak perlu bagi kami untuk merujuk kembali kepada kitab dan sunnah (Al-Qur’an dan Hadits).” Meskipun terdapat banyak perselisihan dalam kitab-kitab tersebut, mereka tetap saja menerimanya sehingga persatuan umat telah berubah menjadi perpecahan di antara mereka. Mereka hanya merasa cukup dengan mengatakan bahwa apa yang tertera dalam kitab-kitab tersebut, semuanya diambil dari Rasulullah Saw.
Ia menyarankan para faqih untuk mengadakan sebuah pertemuan dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang sesuai dengan zamannya: “Para faqih seharusnya membuat sebuah pertemuan, dan membincangkan apa-apa yang seharusnya mereka lakukan dan mencapai kesepakatan mengenainya. Jika ada sebuah permasalahan yang mencuat di karenakan kondisi atau situasi tertentu, maka mereka berkewajiban untuk menyampaikan dan mendiskusikannya. Tentunya perkara yang saya katakan ini bukanlah hukum yang universal, alasannya ialah sebagaimana yang telah saya utarakan sebelumnya. Lagi pula, kita tidak dapat menjadikan segala apa yang dikatakan seorang faqih sebagai pondasi amalan kita di setiap zaman dan tempat.
Tanpa keraguan sedikitpun, Syeikh Abduh menyakini akan diperbolehkan bahkan diwajibkannya ijtihad dan juga keharusan meninggalkan taqlid. Ia menganggap hal tersebut sebagai kebutuhan hidup dan perkara yang urgen bagi masyarakat umum. Dalam kesempatan lain, ia mengungkapkan bahwa ijitihad adalah perangkat syariat yang digunakan untuk menyebarkan agama Islam kepada masyarakat, dan praktek ini hanya teruntuk bagi orang-orang yang ahli (para fuqafa), tidak untuk semua kelompok ulama atau mereka yang tidak berpegang kepada asas-asas Islam dalam berijtihad.
Di sisi lain, ia sangat mengkhawatirkan penyimpangan pemikiran agama yang terjadi dikalangan umat Islam. Ia berpikir bahwa krisis yang terjadi beberapa tahun terakhir, menyebabkan mereka tidak mampu berhadapan dengan modernisasi. Ditambah lagi dengan terjadinya penyimpangan ekstrim yang disebut “Islamisasi ilmu”, yang menafsirkan asas-asas Islam dengan sesuka hati dan selera pribadinya. Dengan kata lain, Islam telah dikeluarkan dari posisi sebenarnya.
Dari sisi lainnya, ia khawatir terhadap kejumudan pikiran dan kekolotan para ulama Islam yang menjadi penghalang kemajuan dan perkembangan masyarakat, dimana mereka menganggap segala sesuatu yang baru, mesti bertentangan dengan Islam. Atas dasar inilah ia terus berusaha mencarikan solusi terbaik atas permasalahan yang menimpa umat Islam di zamannya. Dan langkah alternatif yang ia tawarkan ialah menghindari segala bentuk ekstrimisme dengan berkeyakinan bahwa pintu ijtihad harus segera dibuka kembali dan menjadikan akal sebagai petunjuk bagi masyarakat Islam.
Syeikh Abduh mencanangkan pembahasan seperti fiqih komparatif empat mahzab. Ia menyertakan konsep-konsep filsafat hukum ke dalam pembahasan ijtihad, menciptakan sistem hukum baru dalam fiqih, memisahkan pembahasan ibadah dan muamalah, merevisi konsep ijma’ dan mengimplementasikan musyawarah dengan demokrasi Barat. Pada kenyataannya, ia telah melakukan sebuah langkah dalam rangka meyelesaikan krisis pemikiran keagamaan, penerapan konsep-konsep Islam sesuai dengan zamannya serta menghidupkan kembali agama Islam. Adapun mengenai sejauh mana keberhasilan yang telah dicapainya dari usahanya ini, maupun sebatas mana keselarasan pandangannya dengan doktrin-doktrin Islam, ia mebutuhkan kajian tersendiri dimana dalam tulisan ini, kami tidak bermaksud menjelaskan permasalahan tersebut.

  
BAB III
P E N U T U P

A.   KESIMPULAN
Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dari mana asal hujjahnya. Sedangkan orang yang bertaqlid disebut muqallid. Taqlid muncul ketika kekuasaan Islam sudah di ambang pintu kehancuran, yaitu pada masa kemunduran. Kemunduran Islam dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya politik, tertutupnya ijtihad dan sebagainya.
Pada dasarnya para ulama jumhur sangat melarang perbuatan taqlid karena hal itu dapat menyebabkan orang tidak mau berfikir tentang masalah agamanya. Sehingga umat Islam hanya mencukupkan tentang perkara agamanya itu dengan kitab-kitab karangan para imam ijtihad. Tapi dalam kalangan umat Islam sendiri tidak ada keharmonisan, hal ini disebabkan karena masing-masing pengikut mahzab mengklaim bahwa mahzabnya yang paling benar.
Orang yang berpendidikan tinggi dan dianggap mampu untuk berijtihad sendiri dilarang untuk bertaqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh orang awam tapi dengan syarat bahwa ia harus selalu berusaha mencari dasar-dasar dalilnya. Dan jika ia telah menemukan dasarnya ia harus kembali pada dalil tersebut, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

B.   SARAN-SARAN
Jika di masa tabi’in dan para imam mujtahid dialektika keilmuan Islam menjadi spirit, berbeda dengan yang terjadi dalam kurun setelahnya. Pada masa ini tradisi keilmuan Islam menurun jika tidak dikatakan stagnan. Para ulama lebih memilih mentakhrij (seleksi) pendapat imam mujtahid yang layak dan tidak layak diikuti. Budaya ijtihad dan ekplorasi dalil al-Qur’an dan al-Hadits tidak lagi menjadi prioritas ulama dalam dekade ini. Akibatnya dinamika keilmuan Islam tidak berkembang dan taqlid kepada imam mujtahid sebagai alternatif dan harga mati. Kefanatikan merambah hampir seluruh dunia Islam, bibit perselisihan antar madzhab mulai tumbuh. Truth claim, saling counter pendapat seakan melengkapi kemunduran Islam dalam abad-abad ini. Hingga saat inipun budaya taqlid masih dipegang erat oleh sebagian umat Islam.
Polemik ijtihad dan taqlid tidak pernah sepi dalam perdebatan antar cendikiawan Islam. Salah satu ulama yang menentang taqlid adalah Ibnu Hazm, dia mengatakan “Allah melarang seseorang merujuk ucapan seseorang selain al-Qur’an dan as-Sunnah ketika berselisih pendapat. Demikian itu haram”. Menanggapi statemen tersebut, ad-Dahlawi berargumen bahwa pendapat Ibn Hazm itu ditujukan kepada orang yang telah mampu berijtihad, meskipun hanya dalam satu masalah. Atau lebih tepat ditujukan kepada orang bodoh yang bertaqlid kepada pakar fikih tertentu, dengan keyakinan bahwa pakar fikih itu tidak mungkin salah. Apa yang diucapkannya pasti benar, serta tidak akan meninggalkan pendapat si fakih meskipun ada dalil kuat yang jelas-jelas bertentangan (hal 106-108). Bagi Ad-Dahlawi, taqlid adalah sebuah solusi alternatif bagi umat Islam yang tidak mampu mencari dalil langsung dalam al-Qur’an dan al-Hadits.
Meskipun taqlid adalah sebuah keharusan bagi umat yang masih awam, namun tidak kalah pentingnya tradisi ijtihad para ulama besar di masa-masa awal Islam harus terus digalakkan. Sebab hanya dengan ijtihad ilmu pengetahuan Islam akan terus berkembang, selain akan mampu menjawab problematika umat yang terus berkembang, Islam juga akan mewarnai gelanggang ilmu pengetahuan dunia yang telah lama diambil alih dunia Barat. Ijtihad adalah sebuah keniscayaan ditengah-tengah kejumudan dan keterbelakangan umat Islam, namun dibutuhkan keberanian dan keuletan umat dalam mendalami ajarannya.










DAFTAR PUSTAKA

Amir, Dja’far. 1972. Ushul Fiiqh III. Semarang: CV. Toha Putra
Asmuni, Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Hanafi, Ahmad, MA. 1970. Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Mubarok, Jaih. 2000. Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Rosyada, Dede. 1993. Hukum Islam Dan Pranata Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Mu’in, H.A, dkk. 1986. Ushul Fiqih II (Qaidah-Qaidah Istinbat Dan Ijtihad). Jakarta: Depag
Syari’ati, Ali. 1992. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi. Bandung: Mizan
Zuhri, Muhammad. 1980. Tarjamah Tarikh Al-tasyri’ Al-Islami. Semarang: Darul Ikhya
Zuhdi, Masjfuk. 1987. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: CV Haji Masagung
_____. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: PT Syaamil Cipta Media


Tidak ada komentar: