23 Maret 2012

Lagi-lagi Galau

Akhir-akhir ini kata ‘galau’ menjamur, membudaya dan menjadi fenomena di Indonesia. Betapa tidak, setiap tayangan iklan di provider kartu telpon seluler menyediakan paket ‘Anti Galau’, acara-acara yangb tayang di stasiun TV pun tak mau ketinggala, update status di jejaring sosial tak kalah seru. Mereka semua membincangkan tentang satu kata, yaitu ‘galau’.


Secara pasti saya tidak tahu kapan kata galau ini menjadi trend di ranah publik negeri ini, siapa yang pertama kali memulai dan dimanapun itu saya tidak tahu. Hanya saja, kata galau ini sebelum se-pupuler sekarang jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari bahkan saya jarang sekali menemukan kata-kata galau dari ebrbagai bahan bacaan, baik fiksi ataupun non fiksi. Dan sekarang kata ini menjadi virus yang menjangkit ke setiap orang yang ada di Indonesia, mungkin saya salah satunya. Heu ...

Kenapa saya terjangkit, ya buktinya saya menulis catatan ini karena galau tengah tren dan memaksa saya menulis tentang galau ini.

Apa sih Galau ???

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia galau memiliki 2 (dua) arti, yaitu; pertama, galau diartikan sebagai suatu kondisi tidak menentu yang dirasakan oleh seseorang, baik itu kondisi secara fisik dan lebih tepatnya lagi adalah kondisi psikis. Sedangkan arti galau yang kedua, galau diartikan sebagai suatu keadaan bising atau ribut.

Nah lho, setelah tahu galau secara definisi itu apa, maka dapat diambil kesimpulan bahwa galau yang sekarang sedang mewabah di Indonesia ini adalah galau dalam arti pertama. Dimana galau bisa disamakan juga dengan perasaan gelisah, resah, mata menatap kosong, bibir mengucapkan kata yang tak dimengerti, ingin selalu menyendiri di kamar atau tempat yang sepi, ada perasaan tidak senang ketika melihat yang lain bahagia, ada cemburu yang yang terbit dan tak bertuan, ada  kepiluan yang menyayat hati, ada gumpalan amarah yang bersemanyam dalam jiwa, namun tetap tak berbuat apa-apa, dan ada banyak lagi kondisi-kondisi yang mewakili tingkah galau ini.

Mungkin kita -masyarakat Indonesia- ‘sepakat’ bahwa kita adalah masyarakat yang latah. Media elektronik yang berkembang pesat menjadi sarana empuk menebar kelatahan itu dan semakin menggila kelatahan yang dialami masyarakat kita. Bayangkan, ketika Ponsel Pintar Black Berry yang harganya relatif mahal untuk kalangan masyarakat Indonesia ternyata malah banyak yang membelinya. Atau contoh yang gratis adalah, ketika ada media jejaring sosil seperti facebook atau twitter, ramai-ramai orang Indonesia memilikinya. Ini adalah fakta bahwa masyarakat Indonesia menyepakati bahwa mereka adalah masyarakat yang latah. Dan latah ini menjadi indikasi terhadap gengsi dan pergaulan. Jika tidak sepakat, terserah anda. Saya hanya mengabarkan dan anda yang memutuskan, he ...

Kok jadi ngomongin latah, apa hubungannya ? ya, karena budaya latah inilah kata galau menyebar dan mengakar dikalangan kita, teruatama anak muda. Dikit-dikit bilang galau, ketik sms lagi galau, update status sedang galau, BBM-an ngomongin galau, ah poko na mah semuanya tentang galau. Dan sayapun, gara-gara ‘si galau’ ini, akhirnya ‘dipaksa’ untuk menulis catatan ringan ini yang judulnya juga ada ‘galau’nya. Jadi, saya pun merasa tidak afdol kalau tidak menulis tentang galau.

Galau adalah Fitrah

Adalah ‘Aisyah r.a. sang istri jelita baginda Nabi Saw., seorang yang mempesona, cerdas, enerjik, licah, manja dan imut-imut dan juga sebagai ummul mukminin, pernah suatu ketika membanting pinggan yang berisi hais lezat buatan shafiyyah tepat disaat para tamu mengulurkan tangan untuk mkengambilnya. Lalu sang Nabi hanya tersenyum di depan belalak para tamu seraya meminta maaf. Inilah kegalauan yang ditampilkan oleh Istri baginda Nabi yang mulia.

Kegalauan berkecamuk pun pernah dialami oleh oleg Sayyidni Ali bin Abi Thalib, ia mencintai Fatmah binti Muhammad Rasulullah Saw. Yang telah memesonakan dirinya, kegalauan itu bermula ketika ada seseorang yang akan melamarnya, tak lain adalah lelaki itu adalah Abu Bakar As-shidiq. Seorang sahabat setia Nabi dan rela mengorbankan seluruh hartanya untuk Islam, namun ternyata lamaranya ditolak. Kemudian terbitlah harapan bagi Ali untuk mempersiapkan diri kembali.

Namun, kegalauan itupun belum usai melanda, karena seseorang pun hendak datang melamar fathimah kepada baginda Nabi, lelaki kedua itu adalah Umar al-Faruq, lelaki gagah berani, sang pembeda yang haq dan bathil, dan karenanya umat Islam berdiri dengan tegak dihadapan para musuh. Hampir putus asa saja Ali r.a., namun tak disangka, lamaran Umar pun ditolak oleh Nabi.

Ali bertanya dalam hati, menantu seperti apakah yang didambakan Nabi untuk puteri tercintanya itu ? “Mengapa bukan engkau yang mencoba untuk melamarnya ?” tanya para shahabat Anshar kepadanya. “Aku ?” jawab Ali dengan ragu. “ya, engkau wahai saudaraku. Aku punya firasat bahwa Nabi akan menerimamu.” Ungkap para shahabat “Aku hanya pemuda miskin, apa yang bisa kuandalkan ?” jawab Ali. “Kami dibelakangmu kawan, semoga Allah menolongmu

Akhirnya ‘Ali pun menghadap Nabi dengan penuh keberanian, dan ia meyakinkan dirinya dengan berkata “Engkau adalah lelaki sejati wahai ‘Ali’, kemudian ia menyampaikan niatnya untuk menikahi Fathimah. Gayungpun bersambut, Nabi menjawab kegalauan ‘Ali dengan ucapan “Ahlan wasahlan ...” ungkapan penerimaan penuh dengan sanjungan dan mengakhiri kegalauan Ali ra. Sang Pejuang Cinta Sejati, yang mampu menghalau segala galau dengan sabar yang menyemikan dada. Subhanallah ...

Dari kisah diatas membuktikan bahwa galau adalah fitrah, ia dapat hinggap kepada siapa saja. Tak memilih gadis shalihah dan pemuda cerdas, tak memilih kaum kaya atau papa, dan semua orang pernah merasakan kegalauan ini. Dan berbahagialah bagi yang memiliki rasa galau, karena galau dapat membuncahkan harapan ketika kita dipersimpangan.

Menyikapi Rasa Galau

“... Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa-apa yang ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa-apa yang ada pada jiwa mereka ...” (Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11)

Namun, harus kita sadari, bahwa galau bukanlah untuk kegalauan itu sendiri. Kegalauan adalah letupan emosi dan gairah yang harusnya kita hijrahkan kepada ketenangan jiwa dan menyiasatinya dengan kebijakan berpikir dan kedewasaan bertindak.

Jelas sekali, kita tahu bahwa ikan-ikan yang ada dilautan tak asin meski disekitarnya bahkan ia menghirup air yang asin, namun ia sendiri tak asin bukan ? mengapa demikian? Karena ia hidup. Ya, ia tak menjadi asin hanya karena tinggal di air asin, tetapi ia akan menjadi asin ketika ia mati. Begitupun kita, jika hati dan pikiran kita hidup, maka kegalauan yang ada dan menimpa diri sesungguhnya diri kita sendirilah yang bisa mengatasinya. Meskipun disekitar kita sangat buruk dan sangat memungkinkan untuk memperburuk kegalau kita, maka ambil alih diri kita dan hidupkan kembali hati dan pikiran kita.

Seburuk apapun yang terjadi diluar diri kita, lingkungan, teman kerja, atau dimanapun itu sebenarnya mereka adalah ladang bagi kita, apakah kita hanya akan menggerutu pada lading yang tandus ataukah kita akan menjadikan ladang itu subur. Lingkungan buruk mungkin akan berakibat buruk tapi jiwa yang hidup tak akan tekontaminasi oleh keadaan yang sangat buruk.

So, curhatlah pada-Nya. Jika kita dalam keadaan krisis, maka Dia Maha Mendengar dan Maha Memahami setiap keluh kesah kita, setiap galau yang dirasa dan setiap keresahan yang menyiksa. Allah Maha Lembut, dan Dia akan melembutkan hati kita, Allah Maha Gagah dan Dia akan memberikan kekuatan pada kita. Jika orang-orang disekitar kita tak mau dan tak mampu menahan beban yang begitu besar dipundak kita, maka Dialah Allah yang akan menunjukan kita jalan yang mudan dan ringan sehingga terbebas dari segala beban, penderitan dan kegalauan kita.

Wallahu A’lam …

Tidak ada komentar: