2 Maret 2012

Thalhah bin 'Ubaidillah

Pahlawan Perang Uhud

“Di antara orang-orang Mu’min itu terdapat sejumlah laki­-laki yang memenuhi janji-janji mereka terhadap Allah. Di antara mereka ada yang memberikan nyawanya, sebagian yang lain sedang menunggu gilirannya. Dan tak pernah mereka merubah pendiriannya sedikit pun juga.”
Setelah Rasulullah saw. membacakan ayat yang mulia ini, beliau menatap wajah para shahabatnya sambil menunjuk kepadaThalhah sabdanya:
“Siapa yang suka melihat seorang laki-laki yang masih berjalan di muka bumi,  padahal ia telah memberikan nyawanya, maka hendaklah ia memandang Thalhah.

Tak ada satu kegembiraan yang paling didambakan oleh shahabat Rasul, di mana hati mereka terbang merindukannya, melebihi kedudukan seperti yang disandangkan Rasul kepada Thalhah bin Ubaiaillah ini! Karena itu, tidak heran bila Thalhah hatinya tenteram mendengar akhir hayatnya serta kesudahan nasibnya dalam hidup ini. Ia akan hidup dan mati dan termasuk salah seorang dari mereka yang menepati benar apa, yang telah mereka janjikan kepada Allah, dan ia tak terkena fitnah dan tidak mendapat kesukaran. la telah digembirakan Rasul akan beroleh surga. Nah, bagaimanakah riwayat kehidupannya, orang yang telah diramalkan akan berbahagia itu.
Dalam perjalanannya berniaga ke kota Bashra, Thalhah sempat berjumpa dengan seorang pendeta yang amat baik. Di waktu itu sang pendeta memberi tahu padanya, bahwa Nabi yang akan muncul di tanah Haram, sebagaimana telah diramalkan oleh para Nabi yang shaleh, masanya telah datang menampakkan diri. Diperingatkannya Thalhah agar tidak ketinggalan menyertai kafilah kerasulan itu, yaitu kafilah pembawa petunjuk rahmat dan pembebasaan.
Dan sewaktu Thalhah tiba kembali di negerinya Mekah sesudah berbulan-bulan dihabiskannya di Bashra dan dalam perjalanan, ia menangkap bisik-bisik penduduk dan mendengar percakapan tentang “Muhammad al-Amin” dan tentang wahyu yang datang kepadanya begitu pun tentang kerasulan yang dibawanya kepada seluruh ummat manusia.
Orang yang mula-mula ditanyakan Thalhah ialah Abu Bakar.
Maka diketahuinyalah bahwa ia baru saja pulang dengan kafilah beserta barang perniagaannya, dan bahwa ia berdiri di samping Muhammad saw. selaku Mu’min, sebagai pembela yang menyerahkan dirinya kepada Tuhan.
 Thalhah berbicara kepada dirinya sendiri: ‘Muhammad saw. dan Abu Bakar? Demi Allah, tak mungkin kedua orang ini akan bersekongkol dalam kesesatan kapan pun!”
Muhammad saw. telah mencapai usia 40 tahun. Kita belum pernah mengenal kebohongannya sekalipun dalam jangka usianya yang sekian lama itu. Apakah mungkin ia berdusta hari ini terhadap Allah, lalu mengatakan bahwa Tuhan telah mengutusnya dan mengirimkan wahyu kepadanya. Suatu hal yang tidak masuk akal.
Thalhah mempercepat langkahnya menuju rumah Abu Bakar. Tak berlangsung lama pembicaraan di antara keduanya, maka rindunya hendak menemui Rasulullah saw. dan hasratnya hendak berjanji setia kepadanya serasa semakin cepat dari debar jantung­nya sendiri. Ia ditemani Abu Bakar pergi kepada Rasulullah saw. di mana ia menyatakan keislamannya dan mengambil tempat dalam kafilah yang diberkati ini. dari angkatan pertama. Begitulah Thalhah termasuk orang yang memeluk Islam pada angkatan terdahulu
Sekalipun ia orang yang terpandang dalam kaumnya, dan seorang hartawan besar dengan perniagaannya yang selalu me­ningkat, namun ia tidak luput menderitakan penganiayaan dari orang-orang Quraisy karena Islam. Untunglah ia dan Abu Bakar mendapat perlindungan dari Naufal bin Khuwailia, si Singa Quraisy paman Khadijah istri Rasul. Sehingga penganiayaan terhadap keduanya tidak berlangsung lama, karena orang-orang musyrik Quraisy merasa Segan kepadanya serta takut pula akan akibat perbuatan mereka.
Thalhah hijrah ke Madinah sewaktu orang-orang Islam diperintahkan hijrah. Kemudian ia selalu menyaksikan semua peperangan bersama Rasulullah saw. kecuali perang Badar, karena waktu itu, Rasul mengutusnya bersama Sa’ia bin Zaia untuk suatu keperluan penting keluar kota Madinah.
Sewaktu keduanya telah menyelesaikan tugas mereka dengan baik, dan kembali ke Madinah, kebetulan Nabi dengan para shahabatnya yang lain sedang kembali pula dari perang Badar. Alangkah sedih dan perih perasaan keduanya kehilangan pahala karena tidak menyertai Rasulullah saw. berjihad dalam peperang­an yang pertama itu.
Tetapi Rasul telah menenteramkan hati mereka hingga tenang dan mantap dengan memberitahukan bahwa mereka tetap memperoleh pahala dan ganjaran yang sama seperti orang­-orang yang berperang. Bahkan Rasul membagikan rampasan perang kepada keduanya tidak kurang dari yang didapat oleh mereka yang menyertainya.
Sekarang datanglah masa perang Uhud yang akan memper­lihatkan segala kebengisan dan kekejaman Quraisy, yang tampil hendak membalas dendam atas kekalahannya di perang Badar dan untuk mengamankan tujuan terakhirnya dengan menimpa­kan kekalahan yang menentukan atas Muslimin yang menurut. perkiraan mereka suatu soal mudah dan pasti dapat terlaksana.
Peperangan dahsyat pun berlangsunglah dan korban-korban yang berjatuhan segera menutupi muka bumi, serta kekalahan tampak berada di fihak kaum musyrikin. Kemudian sewaktu Kaum Muslimin melihat musuh mengundurkan diri, mereka sama meletakkan senjata, dan para pemanah turun meninggalkan kedudukan mereka, pergi memperebutkan harta rampasan.
Tiba-tiba sewaktu mereka lengah pasukan Quraisy menyerang kembali dari belakang hingga berhasil merebut prakarsa dan menguasai kendali pertempuran.
Sekarang peperangan mulai berkecamuk lagi dengan segala kekejaman dan kedahsyatannya. Serangan mendadak yang tiba-tiba itu, rupanya telah mengkucar-kacirkan barisan Kaum Muslimin. Thalhah memperhatikan daerah peperangan tempat Rasulullah saw. berdiri.
Dilihatnya Rasulullah menjadi sasaran empuk serbuan pasukan penyembah berhala dan musyrik, maka ia pun dengan cepat segera ke arah Rasul. Thalhah r.a. terus maju menebas jalan yang walaupun pendek tetapi terasa panjang. setiap jengkal jalan dihadang puluhan pedang yang bersilang dan tombak-tombak yang mencari mangsa­nya.
Dari jauh dilihatnya Rasulullah saw. bercucuran darah dari pipinya, sedang beliau menahan kesakitan yang amat sangat. Ia naik pitam dan berang, lalu diambilnya jalan pintas, dengan satu atau dua lompatan dahsyat dari kudanya, dan benarlah di hadapan Rasul sekarang ia menemukan apa yang ditakutinya. pedang-pedang musyrikin menyambar-nyambar ke arah Rasul, mengepung dan hendak membinasakannya.
Bagaikan satu peleton tentara jua, Thalhah berdiri kukuh, dan mengayunkan pedangnya yang ampuh ke kiri dan ke kanan. Ia dapat melihat darah Rasul yang mulia menetes dan mendengar rintihan kesakitannya. Maka diraihnya Nabi dengan tangan kiri dari lobang tempat kakinya terperosok. Sambil memapah Rasul yang mulia dengan dekapan tangan kiri ke dadanya, ia meng­undurkan diri ke tempat yang aman, sementara tangan kanannya, Allah memberkati tangan kanannya  mengayun-ayunkan pedangnya bagaikan kilat menusuk dan menyabet orang-orang musyrik yang hendak mengerumuni Rasul bagaikan belalang memenuhi medan pertempuran.
Marilah kita dengarkan Abu Bakar Shiadiq r.a. menggambar­kan keadaan medan tempur kala itu: Kata Aisyah:
Bila disebutkan perang Uhud, maka Abu Bakar selalu berkata: “Itu semuanya adalah hari Thalhah. Aku adalah orang yang mula-mula mendapatkan Nabi saw., maka berkatalah Rasul kepadaku dan kepada Abu Ubaidah ibnul Jarrah: “Tolong­lah saudaramu itu (Thalhah)!” Kami lalu menengoknya, dan ternyata pada sekujur tubuhnya terdapat lebih dari tujuh­ puluh luka berupa tusukan tombak, sobekan pedang dan tan­capan panah, dan ternyata pula anak jarinya putus, maka kami segera merawatnya dengan baik”.
Di semua medan tempur dan peperangan Thalhah selalu berada di barisan terdepan mencari keridaan Allah dan membela bendera Rasulnya. Thalhah hidup di tengah-tengah jama’ah Muslimin, mengabdi kepada Allah bersama mereka yang ber­ibadat, dan berjihad pada jalan-Nye bersama mujahidin yang lain. Dengan tangannya dikukuhkanlah bersama kawan-kawan yang lain tiang-tiang Agama yang baru ini, Agama yang akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang.
Dan Bila ia telah melaksanakan haq Tuhannya, ia pergi berusaha di muka bumi, mencari keridaan Allah, dengan me­ngembangkan perniagaannya yang memberi laba, dan usaha­-usaha lain yang membawa hasil. Thalhah r.a. adalah seorang Muslim yang terbanyak hartanya dan paling berkembang ke­kayaannya. Semua harta bendanya dipergunakannya untuk berkhidmat kepada Agama Islam, yang benderanya dipanggulnya, bersama Rasulullah saw. Dinafqahkannya hartanya tanpa batas, dan oleh sebab itu pula Allah menambahkan untuknya secara tak berhingga pula.
Rasulullah saw. memberinya gelar “Thalhah si Baik Hati atau “Thalhah si Pemurah” dan “Thalhah si Dermawan”, sebagai pujian atas kedermawanannya yang melimpah-limpah. Dan setiap kali ia mengeluarkan hartanya sebegitu banyak, maka ternyata Allah yang Maha Pemurah menggantinya berlipat ganda.
Istrinya Su’da bin Auf menceriterakan kepada kita, kata­nya: “Suatu hari saya menemukan Thalhah berdukacita, saya bertanya kepadanya: “Ada apa dengan kanda … ?”
Maka jawabnya: “Soal harta yang ada padaku ini semakin banyak juga, hingga menyusahkanku dan menyempit­kanku” Kataku: “Tidak jadi soal, bagi-bagikan saja” Ia lalu berdiri memanggil orang banyak, kemudian membagi-­bagikannya kepada mereka, hingga tidak ada yang tinggal lagi walau satu dirham pun.
Di suatu saat setelah ia menjual sebidang tanah dengan harga yang tinggi, maka dilihatnya tumpukan harta, lalumengalirlah air matanya, kemudian katanya: “Sungguh, Bila seseorang dibebani  harta yang begini banyaknya dan tidak tahu apa yang akan terjadi, pasti akan mengganggu ketenteraman ibadah kepada Allah” Kemudian dipanggil­nya sebagian shahabatnya dan bersama-sama mereka membawa hartanya itu berkeliling melalui jalan-jalan kota Madinah dan rumah-rumahnya sambil membagi-bagikannya sampai Siang sehingga tak ada pula yang tinggal lagi walau satu dirhampun.
Jabir bin Abdullah menggambarkan pula kepemurahan Thalhah dengan berkata: “Tak pernah aku melihat seseorang yang lebih dermawan dengan memberikan hartanya yang banyak tanpa diminta lebih dulu, daripada Thalhah bin Ubaidillah” Ia adalah seorang yang paling banyak berbuat baik kepada keluarga dan kaum kerabatnya; ditanggungnya nafqah mereka semua sekalipun demikian banyaknya. Mengenai itu di­katakan orang tentang dirinya: “Tak seorang pun dari Bani Taira yang mempunyai tanggungan, melainkan dicukupinya perbelanjaan keluarganya. Dinikahkannya anak-anak yatim mereka, diberinya pekerjaan keluarga mereka dan dilunasinya hutang-hutang mereka.
As-Sa’ib bin Zaia, lain pula ceriteranya tentang Thalhah: “Aku telah menemui Thalhah baik dalam perjalanan maupun waktu menetap, maka tak pernah kujumpai seseorang yang lebih merata kepemurahannya, baik mengenai uang atau makanan daripada Thalhah”
Timbul fitnah yang terkanal dalam masa Khilafat Utsman r.a. Thalhah menyokong alasan mereka yang menentang Utsman dan membenarkan sebagian besar tuntutan mereka mengenai perubahan dan perbaikan. Tetapi dengan pendirian itu, apa­kah ia mengajak orang membunuh Utsman atau ia merestuinya? Oh, seandainya ia tahu bahwa fitnah itu akan berlarut­-larut dan membawa kepada permusuhan dan saling menuduh serta menimbulkan dendam kebencian yang menyala-nyala hingga akhirnya jatuh qurban menemui ajalnya “Dzun Nurain” Utsman bin ‘Affan dalam peristiwa berdarah dan kejam itu.
Kita katakan: “Seandainya ia mengetahui bahwa fitnah itu akan berakhir dengan pembunuhan seperti itu, pastilah ia akan menentangnya bersama shahabat-shahabat yang mula-mula menyokong, karena anggapan dan dugaan bahwa gerakan itu hanyalah sebagai gerakan perbaikan dan peringatan semata tidak lebih”
Maka pendirian Thalhah ini berubah menjadi kemelut hidup­nya, yakni sesudah terjadinya cara kekerasan dan kekejaman di mana Utsman dikepung lalu dibunuh orang.
Tak lama setelah Imam Ali menerima bai’at dari Kaum Muslimin di Madinah di antaranya Thalhah dan Zubair, kedua­nya telah meminta izin pergi melaksanakan ‘umrah ke Mekah. Dari Mekah mereka menuju Bashrah dan di sana telah ber­himpun banyak kekuatan yang hendak menuntutkan bela kematian Utsman.
“Waq’atul Jammal” atau peristiwa perang Berunta adalah perang, di mana bertempur dua pasukan, yang satu menuntut bela atas terbunuhnya Utsman dan yang lain pasukan pemerintah di bawah Khalifah Ali.
Adapun Imam Ali dalam memikirkan situasi sulit yang sedang melanda Agama Islam dan Kaum Muslimin, timbullah murung hatinya, melelehlah air matanya, dan terdengar isak tangianya.
Ia telah dipaksa untuk bertindak keras. Dalam kedudukannya selaku Khalifah Muslimin, tak ada jalan lain, dan tidak sepantas­nya ia bersikap lunak terhadap pembangkangan atas pemerintahan, atau terhadap setiap pemberontakan bersenjata me­lawan Khalifah yang telah dikukuhkah syari’at.
Di kala ia bangkit untuk memadamkan pemberontakan semacam ini, maka ia selalu mencari jalan untuk menghindarkan tertumpahnya darah saudara-saudaranya, para shahabat dan teman-temannya, para pengikut Rasul yang seagama, yaitu mereka yang semenjak lama telah berperang bersamanya melawan tentara syirik, menerjuni pertempuran bahu-membahu di bawah bendera tauhid yang mempersatukan mereka sebagai satu keluarga, bahkan menjadikan mereka sebagai saudara kandung yang saling membela.
Bencana apakah ini ? Dan ujian sulit apa lagi yang lebih dari itu ? Dalam mencari jalan ke luar dari bencana ini, dan untuk menjaga jangan sampai tertumpah darahnya Muslimin, Imam Ali selalu mempergunakan setiap cara yang dapat dipakai dan harapan yang dapat diandalkan. Tetapi orang-orang yang dahulu pernah menjadi intrik-intrik Romawi dan kekaisaran Persi yang dahulu telah menemui kehancurannya di saat kejayaan Islam di bawah Khalifah Utsman nan bijaksana, dengan sikap munafik telah menyebar luaskan fitnah dan hasutan, maka kekalutan tambah menjadi-jadi.
Ali menangis mengucurkan air mata sewaktu ia melihat Ummul Mu’minin Aisyiah dalam sekedup untanya, bertindak mengepalai balatentara yang hendak memeranginya. Dan ketika dilihatnya pula Thalhah dan Zubair, pembela-pembela Rasulullah itu berada di tengah-tengah pasukan, Ali lalu memanggil Thalhah dan Zubair agar keduanya muncul menghadap­nya; keduanya pun tampillah hingga leher kuda-kuda mereka bersentuhan, Ali berkata kepada Thalhah: “Hai Thalhah, pantas­lah engkau membawa-membawa istri Rasulullah untuk berperang, sedangkan istrimu sendiri kau tinggalkan di rumah’ Kemudian katanya kepada Zubair: “Hai Zubair, aku minta kau jawab karena Allah! Tidakkah engkau ingat, di suatu hari Rasulullah lewat di hadapanmu sedang ketika itu kita sedang berada di tempat Anu. Beliau berkata kepadamu: “Wahai Zubair, tidakkah engkau cinta kepada Ali. . . !’ Maka jawabmu: “Masa kan aku tidak akan cinta kepada saudara sepupuku, anak bibi dan anak pamanku, serta orang yang satu Agama dengan­ku’ Waktu itu beliau berkata lagi: “Hai Zubair demi Allah, bila engkau memeranginya, jelas engkau berlaku dhalim kepadanya” Waktu itu berkatalah Zubair r.a.: -“Yah, se­karang aku ingat, hampir aku melupakannya! Demi Allah aku tak akan memerangimu.
Thalhah dan Zubair menarik diri dari perang saudara ini
. Mereka menghentikan perlawanan, segera setelah mengeta­hui duduk persoalan, dan demi melihat Ammar bin Yasir ber­perang di fihak Ali. Mereka teringat akan sabda Rasulullah saw. kepada Ammar: “Yang akan membunuhmu ialah golongan orang durhaka”Seandainya Ammar terbunuh dalam peperangan yang disertai Thalhah ini, tentulah ia termasuk golongan orang yang durhaka.
Thalhah dan Zubair mengundurkan diri dari peperangan, dan mereka terpaksa membayar harga pengunduran itu dengan nyawa mereka. Tetapi mereka beruntung dapat menemui Allah mereka dengan hati yang senang dan tenteram, disebabkan karunia yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka, berupa petunjuk dan fikiran yang benar.
Adapun Zubair ia telah diikuti seorang laki-laki bernama Amru bin Jarmuz yang membunuhnya di kala ia sedang lengah, yakni sewaktu ia sedang bershalat. Dan mengenai Thalhah, ia dipanah oleh Marwan bin Hakam yang menghabisi hayat­nya.
Peristiwa terbunuhnya Utsman telah mendatangkan keresah­an pada jiwa Thalhah, hingga sebagaimana telah kami katakan dahulu menyebabkan kemelut hidupnya. Padahal, ia tidaklah ikut dalam pembunuhan, tidak pula menghasut orang untuk membunuhnya, ia hanya membela orang yang menentang Utsman, di waktu belum ada tanda-tanda bahwa penentangan itu akan berlanjut dan berlarut-larut hingga berubah menjadi kejahatan atau tindak pidana yang kejam.
Dan sewaktu ia ikut mengambil bagian dalam perang Jamal bersama pasukan yang menentang Ali bin Abi Thalib menuntut bela kematian Utsman, maka tujuannya dengan tindakan itu, ialah untuk menebus dosa yang akan membebaskannya dari tekanan bathinnya.
Sebelum memulai pertempuran, dengan suara yang tersekat oleh air mata, ia berdu’a dan merendahkan diri, katanya: “Ya Allah ambillah sekarang balasan kesalahanku terhadap Utsman hingga Engkau ridha kepadaku. Maka tatkala ia ditemui Ali seperti yang telah kita ceriterakan, kata-kata Ali telah me­nerangi hatinya, sehingga bersama Zubair mereka melihat ke­benaran lalu meninggalkan medan perang.
Tetapi mati sebagai syahid telah disediakan untuk mereka ber dua! Benar. Mati syahid adalah hak Thalhah yang di­kejarnya dan mengejar dirinya, di mana pun ia berada, karena bukanlah Rasulullah telah bersabda tentang hal ini: “Inilah dia orang yang akan mengurbankan nyawanya! Siapa yang ingin menyaksikan seorang syahid yang berjalan di muka bumi, maka lihatlah Thalhah … !”
Karena itulah ia menemukan syahid, tempat kembalinya yang agung dan yang telah ditentukan, dan dengan demikian berakhir pula perang Jamal. Ummul Mu’minin Aisyiah menyadari bahwa ia telah tergesa-gesa dalam menghadapi per­soalan itu, karena itu ditinggalkannya Bashrah menuju Baitul Haram dan terns ke Madinah, tak hendak campur tangan lagi dalam pertarungan itu. la dibekali oleh Imam Ali dalam per­jalanannya dengan segala perbekalan dan diiringi penghor­matan.
Sewaktu Ali meninjau orang-orang yang gugur sebagai syu­hada di medan tempur, semua mereka dishalatkannya, baik yang bertempur di fihaknya maupun yang menentangnya. Dan tatkala selesai memakamkan Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya dengan kata-kata indah dan mulia, yang disudahinya dengan kalimat-kalimat berikut ini:
“Sesungguhnya aku amat mengharapkan agar aku bersama Thalhah dan Zubair dan Utsman, termasuk di antara orang­orang yang difirmankan Allah:
“Dan Kami cabut apa yang bersarang dalam dada mereka dari kebencian sebagai layaknya orang bersaudara, dan di atas pelaminan mereka bercengkerama berhadap-hadapan…(Q.S al-Hijr[15]: 47)
Kemudian disapunya makam mereka dengan pandangan kasih sayang, yang keluar dari hati bersih dan penuh belas kasih, seraya katanya:
“Kedua telingaku ini telah mendengar sendiri sabda Rasulullah saw. Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku dalam surga…

Tidak ada komentar: