9 Juni 2011

ABBAS BIN ABDUL MUTHALIB

PENGURUS AIR MINUM UNTUK KOTA SUCI MEKAH DAN MADINAH (HARAMAIN)

Pada suatu musim kemarau, di waktu penduduk dan negeri ditimpa kekeringan yang sangat, keluarlah Amirul Mu’minin Umar bersama-sama Kaum Muslimin ke lapangan terbuka, melakukan shalat istisqa’ (minta hujan), dan berdu’a merendah­kan diri kepada Allah yang Penyayang agar mengirimkan awan dan menurunkan hujan kepada mereka ….
Umar berdiri sambil memegang tangan kanan Abbas dengan tangan kanannya, diangkatkannya ke arah langit sembari ber­kata:  ”Ya Allah, sesungguhnya kami pernah memohonkan hujan perantaraan Nabi-Mu, pada masa beliau masih berada di antara kami . . . . Ya Allah, sekarang kami meminta hujan pula perantaraan paman Nabi-Mu, maka mohonlah kami diberi hujan … !”
Belum lagi sempat Kaum Muslimin meninggalkan tempat mereka, datanglah awan tebal dan hujan lebat pun turunlah, mendatangkan sukacita, menyiram bumi dan menyuburkan tanah. Para shahabat pun menemui Abbas, memagut dan men­ciumnya Serta mengambil berkat dengannya sambil berkata:  ”Selamat kami ucapkan untuk anda, wahai penyedia air minum Haramain (Mekah – Madinah) … !”
Nah, siapakah dia penyedia air minum Haramain ini? Dan siapakah orang yang dijadikan Umar sebagai perantara baginya kepada Allah, padahal. Umar sudah tak asing lagi bagi kita ketaqwaannya, kedahuluannya masuk Islam, serta kedudukannya di sisi Allah dan di sisi Rasul-Nya serta di sisi orang-orang beriman . . . ?
Ia adalah Abbas, paman Rasulullah saw. Rasul memulyakannya sebagaimana ia pun mencintainya, juga memujinya dan menyebut-nyebut kebaikan budi pekertinya, sabdanya:
“Inilah orang tuaku yang masih ada ……Inilah dia Abbas bin Abdul Mutthalib, orang Quraisy yang paling pemurah dan teramat ramah … !

Sebagaimana Hamzah adalah paman Nabi dan Shahabatnya, demikian pula halnya Abbas paman dan teman sebayanya, se­moga Allah ridla keduanya … !
Perbedaan umur antara keduanya hanya terpaut dua atau .tiga tahun yakni lebih tua Abbas dari Rasulullah. Demikianlah, Muhammad saw dan pamannya Abbas merupakan dua orang anak yang hampir sebaya dan dua orang pemuda dari satu ang­katan. Ikatan kekeluargaan bukanlah satu-satunya alasan yang menyebabkan keakraban dan terjalin persabatan yang intim antara keduanya, tetapi persamaan umur tidak kurang berpengaruhnya.
Hal lain yang menyebabkan Nabi menempatkan Abbas di tempat pertama, ialah karena akhlaq dan budi pekertinya. Abbas adalah seorang yang pemurah, sangat pemurah, seolah-olah dialah paman atau bapak kepemurahan . . . . Ia selalu menjaga dan menghubungkan tali silaturrahmi dan kekeluargaan, dan untuk itu tidak segan-segan mengeluarkan tenaga ataupun harta . . . . Di samping itu semua, ia juga seorang yang cerdas, bahkan sampai ke tingkat genius . . . . dan dengan kecerdasannya ini yang disokong oleh kedudukannya yang tinggi di kalangan Quraisy, ia sanggup membela Rasul saw. dari bencana dan kejahatan mereka, ketika beliau melahirkan da’wahnya secara terang-terangan.
Dalam pembicaraan kita tentang Hamzah terdahulu, kita mengenal Hamzah yang selalu menentang kedurhakaan orang Quraisy dan kebiadaban Abu Jahal dengan pedangnya yang arnpuh. Adapun Abbas, ia menentangnya dengan kecerdasan dan kecerdikan yang memberi manfa’at bagi Islam sebagaimana halnya senjata pedang yang bermanfa’at dalam membela haknya dan mempertahankannya … !
Maka Abbas tidak mengumumkan keislamannya kecuali baru pada tahun pembebasan kota Mekah, yang menyebabkan sebagian ahli sejarah memandangnya tergolong kepada orang­-orang yang belakangan masuk Islam, tetapi riwayat-riwayat lain dalam sejarah memberitakannya termasuk orang-orang Islam angkatan pertama, hanya Saja menyembunyikan keislam­annya itu ….
Berkatalah Abu Rafi’ khadam Rasulullah saw.: “Aku adalah anak suruhan (pelayan) bagi Abbas bin Abdul Mutthalib, dan waktu itu Islam telah masuk kepada kami, ahli bait … ke­luarga Nabi … maka Abbas pun masuk Islam begitu pula Ummul. Fadlal, dan aku pun juga masuk … hanya Abbas menyembunyi­kan keislamannya . . . !” Inilah riwayat Abu Rafi’ yang men­ceritakan keadaan Abbas dan masuk Islamnya sebelum perang Badar Dan kalau begitu, waktu itu Abbas telah menganut Islam….
Beradanya ia di Mekah sesudah Nabi dan shahabat-shahabat­nya merupakan suatu langkah perjuangan yang sudah direncana­kan dengan matang hingga membuahkan hasil yang sebaik­baiknya.
Orang-orang Quraisy pun tidak menyembunyikan keragu­-raguan mereka tentang hati kecil Abbas, tetapi mereka tak punya alasan untuk memusuhinya, apalagi pada lahirnya tingkah laku dan agamanya tidaklah bertentangan dengan kemauan mereka!
Hingga waktu datang perang Badar terbukalah kesempatan bagi orang-orang Quraisy untuk menguji rahasia hati dan pen­dirian Abbas yang sesungguhnya . . . . Sedang Abbas lebih cerdik dan tidak lengah terhadap gerak-gerik dan tipu muslihat busuk yang direncanakan Quraisy dalam melampiaskan kejengkelannya dan mengatur permufakatan jahat mereka ….
Sekalipun Abbas telah berhasil menyampaikan keadaan dan gerak-gerik orang-orang Quraisy kepada Nabi di Madinah  orang Quraisy pun berhasil memaksanya maju berperang, suatu perbuatan yang tidak disukai dan dikehendakinya . . . ! Namun keberhasilan Quraisy itu adalah keberhasilan sementara, karena ternyata berbalik membawa kerugian dan kehancuran mereka….Kedua golongan itu pun bertemulah di medan perang Badar . . . . Pedang-pedang pun gemerincing beradu dalam kecamuk perang yang menakutkan, yang akan menentukan hidup mati dan akhir kesudahan kedua belah pihak ….
Rasulullah berseru di tengah-tengah para shahabatnya, katanya:  ”Sesungguhnya ada beberapa orang dari keluarga Bani Hasyim dan yang bukan Bani Hasyim yang keluar dipaksa pergi berperang, padahal sebenarnya mereka tidak hendak memerangi kita . . . oleh sebab itu siapa di antara kamu yang menemukannya, maka janganlah ia dibunuhnya . . ! Siapa yang bertemu dengan Abul Bakhtari bin Hisyam bin Harits bin Asad, janganlah membunuhnya . . . ! Dan siapa yang bertemu dengan Abbas bin Abdul Mutthalib, jangan membunuhnya karena orang­orang itu dipaksa untuk ikut berperang … !”
Dengan perintahnya ini tidak berarti Rasul hendak mem­berikan keistimewaan kepada pamannya Abbas, karena tidak pada tempatnya dan bukan pula pada waktunya! Dan bukanlah Muhammad saw. orangnya yang akan rela melihat kepada para shahabatnya berjatuhan dalam pertempuran menegakkan yang haq, lalu membela pamannya dengan memberinya hak-hak isti­mewa, di saat pertempuran sedang berlangsung, seandainya diketahuinya bahwa pamannya itu orang musyrik ….
Benar . . . ! Rasul yang pernah dilarang Allah memintakan ampun untuk pamannya Abu Thalib .. hanya semata-mata memintakan ampun , sekalipun Abu Thalib banyak jasa dan pemberiannya terhadap Nabi Muhammad saw. dan Islam berupa pembelaan dan pengurbanan . . . .
Tidaklah logis dan masuk akal jika ia akan mengatakan ke­pada orang-orang yang bertempur di perang Badar memerangi bapak-bapak dan sanak-sanak saudara mereka dari golongan musyrik:  ”Kecualikan oleh kalian dan jangan bunuh pamanku
Lain halnya kalau Rasul mengetahui pendirian pamannya yang sebenarnya, dan ia tabu bahwa pamannya itu menyembu­nyikan keislamannya dalam dadanya, sebagaimana diketahuinya pula jasa-jasanya yang tidak sedikit serta pengabdian-pengabdian­nya yang tak terlihat terhadap Islam . . . serta diketahuinya pula belakangan, bahwa ia dipaksa ikut berperang dan mengalami tekanan, maka waktu itu adalah kewajiban Nabi untuk melepaskan orang yang mengalami nasib seperti ini dari marabahaya, dan melindungi darahnya selama kemungkinan masih terbuka….
Seandainya Abu Bakhtari bin Harits (bukan sanak keluarga Nabi) yang tidak dikenal menyembunyikan keislamannya, dan tidak pernah pula membela Islam walaupun secara diam-diam sebagaimana dilakukan Abbas, paling-paling kelebihannya hanya karena ia tak pernah ikut-ikutan dengan pemimpin-pemimpin Quraisy menyakiti dan menganiaya Kaum Muslimin, dan tidak menyukai tindakan mereka yang demikian, dan ia ikut dalam peperangan karena dipaksa dan ditekan ….
Seandainya Abu Bakhtari hanya disebabkan hal-hal itu telah berhasil mendapatkan syafa’at Rasulullah untuk dilindungi darahnya serta nyawanya . . . maka apakah seorang Muslim yang terpaksa menyembunyikan keislamannya . . . . dan laki-laki ini pembelaannya terhadap Islam dapat dibuktikan secara nyata, sedang yang lainnya secara diam-diam dan tersembunyi . . . apakah tidak lebih berhak dan lebih pantas untuk mendapatkan syafaat tersebut . . . ? Benarlah demikian dan tidak salah! Se­benarnya Abbas adalah orang Muslim dan pembela itu! Dan marilah kita kembali ke belakang sejenak untuk meninjaunya!
Pada Bai’atul Aqabah Kedua, di mana sebanyak tujuhpuluh tiga pria dan dua wanita perutusan Anshar datang ke Mekah di musim haji guna mengangkat sumpah setia kepada Allah dan Rasul-Nya, dan untuk merundingkan hijrah Nabi saw. ke Madinah, waktu itulah Rasul menyampaikan berita perutusan dan bai’at ini kepada pamannya karena Rasul sangat memper­cayainya dan memerlukan buah fikiran pamannya itu …
Tatkala tiba waktu berkumpul yang dilakukan secara sem­bunyi-sembunyi dan rahasia, keluarlah Rasul bersama pamannya Abbas ke tempat orang-orang Anshar menunggu.
Abbas ingin menyelidiki dan menguji golongan ini sampai di mana kesetiaan mereka terhadap Nabi . . . . Marilah kita persilakan salah seorang anggota perutusan itu untuk men­ceritakan kepada kita peristiwa yang didengar dan dilihatnya sendiri. Orang itu. ialah Ka’ab bin Malik r.a. demikian ceritanya:
“. . .. Kami telah duduk menanti kedatangan Rasul di tengah jalan menuju bukit, hingga akhirnya beliau datang dan ber­samanya Abbas bin Abdul Mutthalib. Abbas pun angkat bicara katanya: “Wahai golongan Khazraj, anda sekalian telah mengetahui kedudukan Muhammad saw. di sisi kami, kami telah membelanya dari kejahatan kaum kami, sedang ia mem­punyai kemuliaan dalam kaumnya dan kekuatan di negerinya. Tetapi ia enggan bergabung dengan mereka, bahkan ia bermaksud ikut kalian dan hidup bersama kalian . . . . Seandainya kalian benar-benar hendak menunaikan apa yang telah kalian janjikan kepadanya dan kalian membelanya terhadap orang yang memusuhinya, silakan kalian memikul tanggung jawab tersebut! Tetapi seandainya kalian bermaksud akan menyerahkan dan mengecewakannya sesudah ia bergabung dengan kalian, lebih baik dari sekarang kalian meninggalkannya … !”
Abbas mengucapkan kata-katanya yang tajam lagi keras ini dengan sorotan matanya seperti mata elang ke wajah orang­orang Anshar . . . untuk mengikuti kesan kata-kata itu dan jawabannya yang segera ….
Dan ia tidak hanya sampai di situ saja. Kecerdasannya yang tinggi adalah kecerdasan praktis yang dapat menjangkau jauh akan hakikat sesuatu bidang kenyataan, dan menghadapi setiap perspektifnya sebagaimana layaknya seorang yang mempunyai perhitungan dan pengalaman. Ketika itu dimulainya pula per­cakapannya dengan mengemukakan pertanyaan cerdik, demi­kian: “Coba anda lukiskan kepadaku peperangan, bagaimana caranya anda memerangi musuh-musuh anda . ‘ ‘? “
Berdasarkan kecerdasan dan pengalamannya terhadap orang­orang Quraisy Abbas telah dapat menyimpulkan bahwa pepe­rangan tak dapat  tidak akan terjadi antara Islam dan kemusyrik­an! Orang-orang Quraisy tak hendak mundur dari agamanya, dari rasa keningratannya dan keingkarannya, sedang Islam Agama yang tetap haq itu tak akan mengalah terhadap yang bathil mengenai haq-haqnya yang telah disyari’atkan . . . . Nah, apakah orang-orang Anshar ,,, penduduk’ Madinah akan tahan berperang waktu terjadi nanti … ? Apakah mereka, dalam bidang seniyudha dapat menandingi orang:orang Quraisy yang cekatan dalam taktik dan muslihat perang? Oleh karena inilah ia mengemukakan pertanyaannya yang lalu sebagai pan­cingan:  ”Coba gambarkan kepadaku, bagaimana anda me­merangi musuh-musuh anda … !”
Ternyata orang-orang Anshar yang mendengarkan perkataan Abbas ini, adalah laki-laki yang teguh kukuh laksana gunung … ! Belum sempat Abbas menyelesaikan bicaranya, terutama per­tanyaan yang merangsang dan menggairahkan itu orang-orang itu sudah mulai angkat bicara . . . . Abdullah bin Amer bin Hiram mulai menjawab pertanyaan tersebut: “Demi Allah kami adalah keluarga prajurit .. . yang telah makan asam garamnya medan laga, kami pusakai dari nenek moyang kami turun­-temurun. Kami pemanah cekatan, penembus jantung setiap sasaran, pelempar lembing, memecah kepala setiap coaling dan pemain pedang, penebas setiap penghalang . . . !”
Abbas menjawab dengan wajah berseri-seri: “Kalau begitu anda sekalian ahli perang, apakah anda juga punya baju besi?” Jawab mereka “Ada …. kami punya cukup banyak!” Kemudian terjadilah percakapan penting dan menentukan antara Rasulullah saw. dan orang-orang Anshar . . , percakapan yang insya Allah akan kami paparkan nanti dalam lembaran-lembaran yang akan datang ….
Demikianlah peranan Abbas dalam Bai’atul Aqabah . . . . Baginya sama saja apakah ia telah masuk Islam waktu itu secara diam-diam, atau masih dalam berfikir, tapi jelas peranannya sangat penting dalam menetapkan garis pemisah antara kaumnya yang akan tenggelam ke dalam kegelapan malam dan kekuatan membawa cahaya terbit menuju terang benderangnya siang. Dalam peristiwa itu terlihat pula kejantanannya seorang pahlawan dan ketinggiannya seorang ilmuwan.
Pecahnya perang Hunain akan memperkuat bukti keberanian dari orang yang kelihatannya pendiam dan lemah lembut ini yang diperlihatkannya di arena pertempuran, semacam kepah­lawanan yang akan memenuhi ruang dan masa, yakni sewaktu ia sangat diperlukan dan keadaan amat memerlukan, sementara pada saat-saat lainnya ia terpendam jauh dalam dada, terlindung dari cahaya . . . !
Di tahun kedelapan hijrah, sesudah Allah membebaskan negeri Mekah bagi Rasul dan Agamanya, sebagian kabilah yang berpengaruh di jazirah Arab tidak sudi melihat kemenangan gemilang dan perkembangan yang cepat dari Agama ini …. Maka bersatulah kabilah-kabilah Hawazin, Tsaqif, Nashar, Jusyam dan lain-lain, lalu mengambil keputusan untuk melancar­kan serangan menentukan terhadap Rasulullah dan Kaum Mus­limin. . . .
Dan janganlah kita terpedaya mendengar kata-kata “kabilah”, sehingga terbayang pada kita corak peperangan-peperangan yang diterjuni Rasul pada masa itu, hanya semata-mata perkelahian kecil-kecilan dari orang-orang gunung, yang dilancarkan kabilah-­kabilah dari tempat-tempat perlindungan mereka … !
Mengetahui hakikat kenyataan ini tidak Saja memberikan kepada kita suatu penilaian yang teliti bagi usaha luar biasa yang dapat memberikan ukuran yang sehat dan dipercaya tentang nilai kemenangan besar yang telah dicapai oleh Islam dan orang­orang yang beriman, dan suatu gambaran yang jelas terhadap taufik Allah yang menonjol pada setiap kejayaan dan keme­nangan ini . . . !
Kabilah-kabilah tersebut telah menghimpun diri dalam barisan-barisan besar, terdiri dari para prajurit perang yang keras, ganas dan ulet . . . . Kaum Muslimin tampil dengan jumlah kekuatan dua belas ribu orang. Tentu anda akan bertanya . . . duabelas ribu orang . . . ? Ya benar, duabelas ribu orang yang telah membebaskan Mekah dari kehidupan anarsis, kehidupan syirik dan kekejaman, kehidupan penyembahan berhala dan penguburan anak perempuan. Yang telah membebaskan Mekah dari orang-orang yang mengusir Nabi dan ummat Islam, bahkan dari kaum yang mengejar-kejar Nabi dan ummat Islam sampai Madinah.
Duabelas ribu orang yang telah mengibarkan panji-panji Islam di angkasa Mekah di atas puing-puing berhala, dengan tidak setetes pun darah tertumpah . . . !
Suatu kemenangan yang membangkitkan kesombongan bagi sebagian Kaum Muslimin yang imannya masih lemah. Ya, bagai­mana pun mereka adalah manusia, karenanya mereka jadi lemah berhadapan dengan kemegahan yang dibangkitkan oleh jumlah mereka yang banyak dan organisasi yang rapi serta kemenangan mereka yang besar di Mekah, hingga keluarlah ucapan mereka:  ”Sekarang, dengan jumlah sebanyak ini, kita tak mungkin dapat dikalahkan lagi … !”
Karena segala peristiwa yang dialami Kaum Muslimin pada masa hidup Pasulullah merupakan cermin sejarah, yang menjadi pendidikan bagi umatnya yang hidup kemudian, maka peris­tiwa Hunain ini merupakan tonggak sejarah yang perlu di­perhatikan.
Suatu perjuangan suci tidak mungkin tercapai apabila di­campuri niat riya dan sikap congkak, serta hanya didasarkan pada kekuatan dan jumlah pasukan.
Dalam perang Hunain ini Allah memberikan pelajaran pada mereka walau harus ditebus dengan pengurbanan yang besar.
Pelajaran itu berupa kekalahan besar yang mendadak di awal peperangan ini, hingga setelah mereka berendah diri memohon kepada Allah, ampunan dan melepaskan diri dari alam materi serta mendekatkan diri pada inayat Ilahi, meninggalkan ketergantungan kekuatan hanya atas pasukan, lalu mengandalkan kekuatan Allah, barulah kekalahan mereka berbalik jadi kemenangan, dan turunlah ayat al-Quranul Karim memperingat­kan Kaum Muslimin:
dan di waktu perang Hunain, yakni ketika kalian merasa bangga dengan jumlah kalian yang banyak, maka ternyata itu tidak berguna sedikit pun bagi kalian hingga bumi yang lapang kalian rasakan sempit, lalu kalian ber­paling melarikan diri . . . !” Kemudian Allah menurunkan sakinah-Nya kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan diturunkannya balatentara yang tiada kalian lihat dan disiksa-Nya orang-orang kafir! Dan itulah memang balasan bagi orang kafir … !”  (Q.S. 9 at- Taubat: 25 — 26)
Waktu itu suara Abbas dan keteguhan hatinya merupakan tanda-tanda sakinah dan keberanian mempertaruhkan nyawa yang lebih gemilang . . . . Maka Sewaktu orang Islam sedang berkumpul menyusun kekuatan di salah satu lembah Tihamah sambil menanti-nanti kedatangan musuh, sebenarnya orang-orang musyrik telah mendahului mereka ke lembah dan bersembunyi di parit-parit dan di tepi-tepi jalan bukit, siap dengan senjata di tangan untuk memulai serangan.
Ketika Kaum Muslimin sedang lengah itu mereka menyerbu dan melakukan sergapan secara mendadak dan membingungkan, menyebabkan Kaum Muslimin sama melarikan diri sejauh-jauh­nya hingga tak sempat menoleh ke kiri dan kanan, Rasulullah menyaksikan akibat sambaran dan serangan mendadak itu ter­hadap Kaum Muslimin. Beliau naik ke atas punggung kuda begalnya yang putih, lalu berseru dengan suara keras: “Hendak ke mana kalian . . . ? Marilah kepadaku .. . aku adalah Nabi, tidak pernah bohong . . . aku anak Abdul Mutthalib … !” Di keliling Nabi waktu itu hanya tinggal Abu Bakar, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Mutthalib bersama anaknya Fadlal bin Abbas, Ja’far bin Harits, Pabi’ah bin Harits, Usamah bin Zaid, Aiman bin Ubeid dan beberapa shahabat lainnya yang tak banyak jumlahnya.
Ada lagi di sans seorang perempuan yang beroleh kedudukan tinggi di antara laki-laki dan para pahlawan …. namanya Ummu Sulaim binti Milhan …. Perempuan ini telah melihat kebingung­an Kaum-Muslimin dan keadaan mereka yang kacau balau, maka segera ia menunggangi unta suaminya Abu Thalhah r.a. dan terus menghentak unta itu ke arah Rasul ….Sewaktu janin yang ada dalam perutnya bergerak, — karena waktu itu ia sedang hamil — dibukanya selendangnya lalu dibebatkannya ke perutnya dengan ikatan yang cukup kuat. Sewaktu ia sampai ke dekat Nabi saw. dengan khanjar terhunus di tangan kanannya, Rasul menyambutnya dengan tersenyum, katanya: “Ummu Sulaim? Jawabnya: “Benar . . . demi bapakku dan ibuku yang jadi tebusanmu, wahai Rasulullah … ! Bunuhlah semua mereka yang melarikan diri itu sebagaimana anda membunuh mereka yang memerangi anda; mereka patut mendapatkannya . . . !” Maka semakin bercahayalah senyuman di muka Rasul yang percaya sepenuhnya akan janji Tuhannya, lalu katanya: “Sesung­guhnya Allah telah cukup — jadi pelindung — dan jauh lebih baik, hai Ummu Sulaim … !”
Sewaktu Rasulullah dalam kedudukan demikian, Abbas berada di dekatnya bahkan antara kedua tumitnya memegang kekang keledainya, menghadang maut dan bahaya . . . . Nabi memerintahkan untuk memanggil orang banyak, karena Abbas mempunyai suara lantang, maka berserulah ia: — “Hai golongan Anshar . . . wahai pemegang bai’at . . . !” Maka seolah-olah suaranya itu suara kadar dan jurubicaranya jua …. Karena demi mereka yang ketakutan karena serangan mendadak ini dan yang kacau balau di dalam lembah itu, mendengar suara panggilan tersebut, mereka menjawabnya serentak: “Labbaika Lab­baika, kami segera datang, ini kami datang … !
Allah menurunkan sakinah dan mengembalikan keberanian dan semangat tempur Kaum Muslimin dengan perantaraan suara Abbas dan sikap kepahlawanannya. Mereka berbalik kembali laksana angin kencang, sampai­-sampai karena unta atau kudanya membandel, mereka melompat turun lari maju, sambil membawa baju besi, pedang dan panahnya menuju arah suara Abbas . . . Maka pertempuran berlangsung lagi dengan garang dan kejamnya. Rasulullah berseru: “Sekarang peperangan memuncak panas . . . !” Benar, perang menjadi panas . . . ! Dan berangsur-angsur korban di pihak Hawazin dan Tsaqif berjatuhan, pasukan berkuda Allah telah mengalahkan angkatan berkuda lata, dan Allah menurunkan sakinahnya kepada Rasul dan orang-orang Mu’min …
Rasulullah amat mencintai Abbas, sampai beliau tidak dapat tidur sewaktu berakhirnya perang Badar, karena pamannya pada malam itu tidur bersama tawanan yang lain . . . . Nabi tidak menyembunyikan rasa sedihnya ini, sewaktu ditanyakan kepadanya, sebabnya. . . beliau tidak dapat tidur padahal Allah telah memberikan pertolongan sebesar-besarnya, beliau men­jawab: “Serasa terdengar olehku rintihan Abbas dalam beleng­gunya…
Salah seorang di antara Muslimin mendengar kata-kata Rasul tersebut, lalu segera pergi ke tempat para tawanan dan melepaskan belenggu Abbas. Orang ini kembali dan mengabarkan kepada Rasulullah, katanya:  ”Ya Rasulallah aku telah melonggarkan ikatan belenggu Abbas sedikit!”
Tetapi kenapa hanya Abbas saja ? Ketika itu Rasul memerintahkan kepada shahabatnya itu: “Ayuh pergilah, laku­kanlah seperti itu terhadap semua tahanan … !”
Benar, kecintaan Nabi kepada pamannya tidak dimaksud­kannya untuk memperbedakannya dari manusia lain yang mengalami keadaan yang sama!
Dan tatkala musyawarah menetapkan membebaskan tawanan dengan jalan menerima tebusan, berkatalah Rasul kepada paman­nya: “Wahai Abbas . . . , tebuslah dirimu, dan anak saudaramu Uqeil bin Abi Thalib, Naufal bin Harits, dan teman karibmu ‘Utbah bin Amar saudara Bani Harits bin Fihir, sebab kamu banyak harta!”
Mulanya Abbas bermaksud hendak membebaskan dirinya tanpa membayar uang tebusan, katanya:  ”Hai Rasulullah, sebenarnya aku’kan sudah masuk Islam, hanya orang-orang itu memaksaku . . . !” Tetapi Rasul saw. terus mendesaknya agar membayarnya, dan berkenaan dengan peristiwa ini turunlah ayat al-Quranul Karim memberikan penjelasan sebagai berikut:
“Wahai Nabi! Katakanlah kepada tawanan yang ada dalam tanganmu: Jika Allah mengetahui dalam hati kalian kebaikan, pasti, la akan mengganti apa yang telah diambil daripada kalian dengan yang lebih baik dan Ia mengampuni kalian, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang … !”         (Q.S. 8 A-Anfal: 70)
Demikianlah Abbas menebus dirinya dan orang-orang ber­samanya dan pulang kembali ke Mekah … dan setelah itu jalan fikiran dan keimanan Abbas tidak dapat disembunyikan lagi pada orang Quraisy. Tak lama kemudian dikumpulkannya hartanya dan dibawanya barang-barangnya lalu terus menyusul Rasul ke Khaibar, untuk ikut mengambil bagian dalam rombong­an angkatan Islam dan kafilah orang-orang beriman …. Ia sangat dicintai dan dimuliakan oleh Kaum Muslimin, terutama karena melihat Rasul sendiri memuliakan Serta mencintainya, begitupun mendengar ucapan Rasul terhadapnya:
“Abbas adalah saudara kandung ayahku ….
Maka siapa yang menyakiti Abbas tak ubahnya menyakiti­ku!”
Abbas meninggalkan keturunannya yang diberkati; Abdullah bin Abbas mutiara ummat dengan pengertian alim, ‘abid dan shaleh, adalah salah seorang anak yang diberkati Nabi.
Pada hari Jum’at tanggal 14 bulan Rajab tahun 32 Hijrah. penduduk kampung dataran tinggi Madinah mendengar peng umuman: “Rahmat Allah bagi orang yang menyaksikan Abbas bin Abdul Mutthalib!”
Mereka mendapati Abbas telah meninggal ….. Amat banyak sekali orang mengiringkan jenazahnya, belum pernah terjadi selama ini sebanyak itu. Jenazahnya dishalatkan oleh khalifah Muslimin pada waktu itu, yakni Utsman bin Affan r.a. Di bawah tanah Baqi’ beristirahatlah dengan tenang tubuh Abul Fadlal . . . . la tidur nyenyak dengan hati puas, di lingkungan orang baik­-baik yang telah sama-sama memenuhi janji mereka kepada Allah

Tidak ada komentar: