9 Juni 2011

ABDULLAH BIN MAS’UD

'YANG PERTAMA KALI MENGUMANDANGKAN
AL-QURAN DENGAN SUARA MERDU'

Sebelum Rasulullah masuk ke rumah Arqam, Abdullah bin Mas’ud telah beriman kepadanya dan merupakan orang keenam yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah saw. Dengan demi­kian ia termasuk golongan yang mula pertama masuk Islam. Pertemuannya yang mula-mula dengan Rasulullah itu di­ceritakannya sebagai berikut: “Ketika itu saya masih remaja, menggembalakan kambing kepunyaan ‘Uqbah bin Muaith.
Tiba-tiba datang Nabi saw. bersama Abu Bakar, dan sertanya: “Hai nak, apakah kamu punya susu untuk minuman kami?”. “Aku orang kepercayaan” ujarku”, “dan tak dapat memberi anda berdua minuman … ! “
Maka sabda Nabi saw.: “Apakah kamu punya kambing betina mandul, yang belum dikawini oleh yang jantan?” “Ada”, ujarku. Lalu saya bawa ia kepada mereka. Kambing itu diikat kakinya oleh Nabi lalu disapu susunya sambil memohon kepada Allah. Tiba-tiba susu itu berair banyak …. Kemudian Abu Bakar mengambil­kan sebuah batu cerbung yang digunakan Nabi untuk menampung perahan susu. Lalu Abu Bakar pun meminumnya, dan saya pun tidak ketinggalan. Setelah itu Nabi menitahkan kepada susu: “Kempislah!”, maka susu itu menjadi kempis.
Setelah peristiwa itu saya datang menjumpai Nabi, kataku: “Ajarkanlah kepadaku kata-kata tersebut!”
Ujar Nabi saw.: “Engkau akan menjadi seorang anak yang terpelajar!”

Alangkah heran dan takjubnya Ibnu Mas’ud ketika menyaksikan seorang hamba Allah yang shalih dan utusan-Nya yang dipercaya memohon kepada Tuhannya sambil menyapu susu hewan yang belum pernah berair selama ini, tiba-tiba mengeluar­kan kurnia dan rizqi dari Allah berupa air susu murni yang enak buat diminum . . .!
Pada sa’at itu belum disadarinya bahwa peristiwa yang disaksikannya itu hanyalah merupakan mu’jizat paling enteng dan tidak begitu berani, dan bahwa tidak berapa lama lagi dari Rasulullah yang mulia ini akan disaksikannya mu’jizat yang akan menggoncangkan dunia dan memenuhinya dengan petunjuk serta cahaya.
Bahkan pada saat itu juga belum diketahuinya, bahwa diri­nya sendiri yang ketika itu masih seorang remaja yang lemah lagi miskin, yang menerima upah sebagai penggembala kambing milik ‘Uqbah bin Mu’aith, akan muncul sebagai salah satu dari mu’jizat ini, yang setelah ditempa oleh Islam menjadi seorang beriman, akan mengalahkan kesombongan orang-orang Quraisy dan menaklukkan kesewenangan para pemukanya.
Maka ia, yang selama ini tidak berani lewat di hadapan salah seorang pembesar Quraisy kecuali dengan menjingkatkan kaki dan menundukkan kepala, di kemudian hari setelah masuk Islam, ia tampil di depan majlis para bangsawan di sisi Ka’bah, sementara semua pemimpin dan pemuka Quraisy duduk ber­kumpul, lalu berdiri di hadapan mereka dan mengumandangkan suaranya yang merdu dan membangkitkan minat, berisikan wahyu Illahi al-Quranul Karim: Bismillahirrahmanirrahim …. Allah Yang Maha Rahman.  Yang telah mengajarkan al-Quran …. Menciptakan insan …. Dan menyampaikan padanya penjelasan Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan …. Sedang bintang dan kayu-kayuan sama sujud kepada Tuhan ….
Lalu dilanjutkannya bacaannya, sementara pemuka-pemuka Quraisy sama terpesona, tidak percaya akan pandangan mata dan pendengaran telinga mereka …. dan tak tergambar dalam fikiran mereka bahwa orang yang menantang kekuasaan dan kesombongan mereka . . . , tidak lebih dari seorang upahan di antara mereka, dan penggembala kambing dari salah seorang bangsawan Quraisy . . . . yaitu Abdullah bin Mas’ud, seorang miskin yang hina dina
Marilah kita dengar keterangan dari saksi mata melukiskan peristiwa yang amat menarik dan mena)ubkan itu! Orang itu tiada lain dari Zubair r.a. katanya:
“Yang mula-mula menderas al-Quran di Mekah setelah Rasulullah saw. ialah Abdullah bin Masud r.a. Pada suatu hari para shahabat Rasulullah berkumpul, kata mereka: “Demi Allah orang-orang Quraisy belum lagi mendengar sedikit pun al-Quran ini dibaca dengan suara keras di hadapan mereka …. Nah, siapa di antara kita yang bersedia memperdengarkan­nya kepada mereka …. ?” Maka kata Ibnu Masud: “Saya.”
Kata mereka: “Kami khawatir akan keselamatan dirimu! Yang kami inginkan ialah seorang laki-laki yang mempunyai kerabat yang akan mempertahankannya dari orang-orang itu jika mereka bermaksud jahat . . . . “
“Biarkanlah saya!” kata Ibnu Masud pula, “Allah pasti membela”. Maka datanglah Ibnu Mas’ud kepada kaum Quraisy di waktu dluha, yakni ketika mereka sedang berada di balai pertemuannya ….
Ia berdiri di panggung lalu membaca Bismillahirrahmanir­rahim, dan dengan mengeraskan suaranya: Arrahman ‘allamal Quran …. Lalu sambil menghadap kepada mereka diteruskanlah bacaan­nya. Mereka memperhatikannya sambil sertanya sesamanya: “Apa yang dibaca oleh anak si Ummu ‘Abdin itu . . . ? Sungguh, yang dibacanya itu ialah yang dibaca oleh Mu­hammad!”
Mereka bangkit mendatangi dan memukulinya, sedang Ibnu Mas’ud meneruskan bacaannya sampai batas yang dikehen­daki Allah . . . . Setelah itu dengan muka dan tubuh yang babak-belur ia kembali kepada para shahabat. Kata mereka: “Inilah yang kami khawatirkan terhadap dirimu ….
Ujar Ibnu Ma’sud: “Sekarang ini tak ada yang lebih mudah bagiku dari menghadapi musuh-musuh Allah itu! Dan se­andainya tuan-tuan menghendaki, saya akan mendatangi mereka lagi dan berbuat hal yang sama esok hari.” Ujar mereka: “Cukuplah demikian! Kamu telah membacakan kepada mereka barang yang menjadi tabu bagi mereka!”
Benar, pada saat Ibnu Mas’ud tercengang melihat susu kam­bing tiba-tiba berair sebelum waktunya, belum menyadari bahwa ia bersama kawan-kawan senasib dari golongan miskin tidak berpunya, akan menjadi salah satu mu’jizat besar dari Rasulullah, yakni ketika mereka bangkit memanggul panji-panji Allah dan menguasai dengannya cahaya Siang dan sinar matahari. Tidak diketahuinya bahwa saat itu telah dekat . . . Kiranya secepat itu hari datang dan lonceng waktu telah berdentang, anak remaja buruh miskin dan terlunta-lunta serta-merta menjadi suatu mu’jizat di antara berbagai mu’jizat Rasulullah …. !
Dalam kesibukan dan berpacuan hidup, tiadalah ia akan menjadi tumpuan mata . . . . Bahkan di daerah yang jauh dari kesibukan pun juga tidak . . . .! Tak ada tempat baginya di kalangan hartawan, begitu pun di dalam lingkungan ksatria yang gagah perkasa, atau dalam deretan orang-orang yang ber­pengaruh.
Dalam soal harta, ia tak punya apa-apa, tentang perawakan ia kecil dan kurus, apalagi dalam soal pengaruh, maka derajat­nya jauh di bawah . . . . Tapi sebagai ganti dari kemiskinannya itu, Islam telah memberinya bagian yang melimpah dan per­olehan yang cukup dari perbendaharaan Kisra dan simpanan Kaisar. Dan sebagai imbalan dari tubuh yang kurus dan jasmani yang lemah, dianugerahi-Nya kemauan baja yang dapat menun­dukkan para adikara dan ikut mengambil bagian dalam merubah jalan sejarah. Dan untuk mengimbangi nasibnya yang tersia ter­lunta-lunta, Islam telah melimpahinya ilmu pengetahuan, kemuli­aan serta ketetapan, yang menampilkannya sebagai salah seo­rang tokoh terkemuka dalam sejarah kemanusiaan ….
Sungguh, tidak meleset kiranya pandangan jauh Rasulullah saw. ketika beliau mengatakan kepadanya: “Kamu akan menjadi seorang pemuda terpelajar”. Ia telah diberi pelajaran oleh Tuhannya hingga menjadi faqih atau ahli hukum ummat Mu­hammad saw., dan tulang punggung para huffadh al-Quranul Karim.
Mengenai dirinya ia pernah mengatakan: “Saya telah menampung 70 surat al-Quran yang kudengar langsung dari Rasulullah saw. tiada seorang pun yang me­nyaingiku dalam hal ini ……
Dan rupanya Allah swt. memberinya anugerah atas keberaniannya mempertaruhkan nyawa dalam mengumandangkan al­-Quran secara terang-terangan dan menyebarluaskannya di segenap pelosok kota Mekah di saat siksaan dan penindasan merajalela, maka dianugerahi-Nya bakat istimewa dalam membawakan bacaan al-Quran dan kemampuan luar biasa dalam memahami arti dan maksudnya.
Rasulullah telah memberi washiat kepada para shahabat agar mengambil Ibnu Mas’ud sebagai teladan, sabdanya: “Berpegang-teguhlah kepada ilmu yang diberikan oleh Ibnu Ummi ‘Abdin . !Diwashiatkannya pula agar mencontoh bacaannya, dan mempelajari cara membaca al-Quran daripadanya. Sabda Nabi saw.:
“Barang siapa yang ingin   hendak mendengar al-Quran tepat seperti diturunkan, hendaklah ia mendengarkan­nya dari Ibnu Ummi ‘Abdin … !
Barang siapa yang ingin hendak membaca al-Quran tepat seperti diturunkan, hendaklah ia membacanya seperti bacaan Ibnu Ummi ‘Abdin … ! “
Sungguh, telah lama Rasulullah menyenangi bacaan al-Quran dari mulut Ibnu Mas’ud Pada suatu hari ia memanggilnya sabdanya: Bacakanlah kepadaku, hai Abdullah!”
Haruskah aku membacakannya pada anda, wahai Rasul­ullah . . .Jawab Rasulullah: “Saya ingin mendengarnya dari mulut orang lain Maka Ibnu Mas’ud pun membacanya dimulai dari surat an-Nisa, hingga sampai pada firman Allah Ta’ala: Maka betapa jadinya bila Kami jadikan dari setiap ummat itu seorang saksi, sedangkan kamu Kami jadikan sebagai saksi bagi mereka. Ketika orang-orang kafir yang mendurhakai Rasul sama berharap kiranya mereka disamaratakan dengan bumi. dan mereka tidak dapat merahasiakan pem­bicaraan dengan Allah …. ! (Q S 4 an-Nisa: 41 — 42)
Maka Rasulullah tak dapat manahan tangisnya, air matanya meleleh dan dengan tangannya diisyaratkan kepada Ibnu Mas’ud yang maksudnya: “Cukup …. cukuplah sudah, hai Ibnu Mas’ud . . .!
Suatu ketika pernah pula Ibnu Mas’ud menyebut-nyebut karunia Allah kepadanya, katanya:
Tidak suatu pun dari al-Quran itu yang diturunkan, kecuali aku mengetahui mengenai peristiwa apa diturunkannya. Dan tidak seorang pun yang lebih mengetahui tentang Kitab Allah daripadaku. Dan sekiranya aku tahu ada seseorang yang dapat dicapai dengan berkendaraan unta dan ia lebih tahu tentang kitabullah daripadaku, pastilah aku akan menemui­nya. Tetapi aku bukanlah yang terbaik di antaramu!”
Keistimewaan Ibnu Mas’ud ini telah diakui oleh para sha­habat. Amirul  Mu’minin Umar berkata mengenai dirinya: “Sungguh ilmunya tentang fiqih berlimpah-limpah
Dan berkata Abu Musa al-Asy’ari: Jangan tanyakan kepada kami sesuatu masalah, selama kiyai ini berada di antara tuan-tuan!” Dan bukan hanya keunggulannya dalam al-Quran dan ilmu fiqih saja yang patut dapat pujian, tetapi juga keunggulannya dalam keshalihan dan ketaqwaan.
Berkata Hudzaifah tentang dirinya: “Tidak seorang pun saya lihat yang lebih mirip kepada Rasulullah saw. baik dalam cara hidup, perilaku dan ke­tenangan jiwanya, daripada Ibnu Mas’ud. Dan orang-orang yang dikenal dari shahabat-shahabat Rasul­ullah sama mengetahui bahwa putera dari Ummi ‘Abdin adalah yang paling dekat kepada Allah …. ! “
Pada suatu hari serombongan shahabat berkumpul pada Ali karamallahu wajhah (semoga Allah memuliakan wajah atau dirinya), lalu kata mereka kepadanya: “Wahai Amirul Mu’minin, kami tidak melihat orang yang lebih berbudi pekerti, lebih lemah-lembut dalam mengajar, begitu pun yang lebih baik pergaulannya, dan lebih shalih daripada Abdullah bin Mas’ud …. !”
Ujar Ali: “Saya minta tuan-tuan bersaksi kepada Allah, apakah ini betul-betul tulus dari hati tuan-tuan.
“Benar”, ujar mereka.
Kata Ali pula: “Ya Allah, saya mohon Engkau menjadi saksinya, bahwa saya berpendapat mengenai dirinya sepertiapa yang mereka katakan itu, atau lebih baik dari itu lagi…. Sungguh, telah dibacanya al-Quran, maka dihalalkannya barang yang halal dan dihararnkannya barang yang Haram, seorang yang ahli dalam soal keagamaan dan luas ilmu­nya tentang as-Sunnah”
Suatu ketika para shahabat memperkatakan pribadi Abdullah bin Mas’ud, kata mereka: Sungguh, sementara kita terhalang, ia diberi restu, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan (tingkah laku Rasulullah saw.). . .”. Maksud mereka ialah bahwa Abdullah r.a. beruntung men­dapat kesempatan berdekatan dengan Rasulullah saw., suatu hal Yang jarang didapat oleh orang lain. la lebih sering masuk ke rumah Rasulullah dan menjadi teman duduknya. Dan lebih-lebih lagi ia adalah tempat Rasulullah menumpah­kan keluhan dan mempercayakan rahasianya, hingga ia diberi gelar “Peti Rahasia”.
Berkata Abu Musa al-Asy’ari: Sungguh, setiap saya melihat Rasulullah saw., pastilah Ibnu Mas’ud berada menyertainya …”.
Adapun yang menjadi sebab ialah karena Rasulullah saw. amat menyayanginya, terutama keshalihan dan kecerdasannya Serta kebesaran jiwanya, hingga Rasulullah pernah bersabda mengenai dirinya:
“Seandainya saya hendak mengangkat seseorang sebagai amir tanpa musyawarah dengan Kaum Muslimin, tentulah yang saya angkat itu Ibnu Umi ‘Abdin. . . “. Dan telah kita kemukakan washiat Rasulullah kepada para shahabatnya: Berpegang teguhlah kepada ilmu Ibnu Ummi ‘Abdin!” Maka kesayangan dan kepercayaan ini memungkinkannya untuk bergaul rapat dengan Rasulullah saw., hingga ia memperoleh hak yang tidak diberikannya kepada orang lain, bersabda Rasulullah saw. kepadanya: Saya izinkan kamu bebas dari tabir hijab. . .
“INI MERUPAKAN LAMPU HIJAU BAGI Ibnu Mas’ud untuk masuk rumah Rasulullah saw. dan pintunya senantiasa terbuka baginya, biar Siang maupun malam. Dan inilah yang pernah dikatakan oleh para shahabat: “sementara kita terhalang, ia diberi izin, dan sementara kita bepergian, ia menyaksikan.”.
Dan memang Ibnu Mas’ud layak untuk memperoleh ke­istimewaan ini . . . . Karena walaupun pergaulan rapat seperti ini akan memberikan padanya keuntungan, tetapi Ibnu Mas’ud hanya bertambah khusyu’, tambah hormat dan sopan­ santun ….
Mungkin gambaran yang melukiskan akhlaqnya secara tepat, ialah sikapnya ketika menyampaikan Hadits dari Rasulullah saw. setelah beliau wafat. Walaupun ia jarang menyampaikan Hadits dari Rasulullah saw., tetapi kita lihat setiap ia menggerak­kan kedua bibirnya untuk mengatakan: “Saya dengar Rasul­ullah menyampaikan Hadits dan bersabda . . . .”, maka tubuhnya gemetar dengan amat sangat, dan ia tampak gugup dan gelisah. Sebabnya tiada lain karena takutnya akan alpa, hingga bersalah menaruh kata di tempat yang lain …. !
Marilah kita dengarkan kawan-kawannya melukiskan gejala­ gejala ini! Berkatalah ‘Amar bin Maimun:
“Saya bolak-balik ke rumah Abdullah bin Mas’ud ada se­tahun lamanya, dan selama itu tak pernah saya dengar ia menyampaikan Hadits dari Rasulullah saw., kecuali sebuah Hadits yang disampaikannya pada suatu hari. Dari mulutnya mengalir ucapan: Telah bersabda Rasulullah saw. Tiba-tiba ia kelihatan gelisah hingga tampak keringat bercucuran dari keningnya. Kemudian katanya mengulangi kata-kata tadi: “Kira-kira demikianlah disabdakan oleh Rasul­ullah . . .”.
Dan bercerita Alqamah bin Qais: Biasanya Abdullah bin Mas’ud berpidato setiap hari Kamis sore menyampaikan Hadits. Tidak pernah saya dengar ia mengucapkan: “Telah bersabda Rasulullah”, kecuali satu kali saja. Di saat itu saya lihat ia bertelekan tongkat, dan tongkatnya itu pun bergetar dan bergerak-gerak
Dan diceritakan pula oleh Masruq mengenai Abdullah ini: “Pada suatu hari Ibnu Mas’ud menyampaikan sebuah Hadits, katanya: “Saya dengar Rasulullah saw  Tiba-tiba ia jadi gemetar, dan pakaiannya bergetar pula …. Kemudian
katanya: “Atau kira-kira demikian atau kira-kira seperti itulah . . .” Nah, sampai sejauh inilah ketelitian, penghormatan dan penghargaannya kepada Rasulullah saw ….Disamping menjadi bukti ketaqwaannya, ketelitian dan penghormatannya ini me­rupakan tanda kecerdasannya …. ! Orang yang lebih banyak bergaul dengan Rasulullah saw., penilaiannya terhadap kemuliaan Rasulullah lebih tepat. . . Dan itulah sebabnya adab sopan santunnya terhadap Rasulullah ketika beliau hidup, begitu pun kenangan kepada beliau setelah wafatnya, merupakan adab sopan santun satu-satunya dan tak ada duanya . – . .!
Ibnu Mas’ud tak hendak berpisah dari Rasulullah saw. baik di waktu bermukim maupun di waktu bepergian. la telah turut mengambil bagian dalam setiap peperangan dan pertempuran. Dan peranannya dalam perang Badar meninggalkan kenangan yang tak dapat dilupakan, yakni rubuhnya Abu Jahal oleh tebasan pedang Kaum Muslimin pada hari yang keramat itu ….
Khalifah-khalifah dan para shahabat Rasul mengakui ke­dudukannya ini, hingga ia diangkat oleh Amirul Mu’minin Umar sebagai Bendaharawan di kota Kufah. Kepada penduduk waktu mengirimnya itu dikatakan:
“Demi Allah yang tiada Tuhan melainkan Dia, sungguh saya lebih mementingkan tuan-tuan daripada diriku, maka ambil­lah dan pelajarilah ilmu daripadanya … ! “
Dan penduduk Kufah telah mencintainya, suatu hal yang belum pernah diperoleh orang-orang sebelumnya, atau orang Yang setaraf dengannya . . . . Sungguh, kebulatan penduduk kufah untuk mencintai seseorang, merupakan suatu hal yang mirip dengan mu’jizat …. Sebabnya ialah karena mereka biasa menentang dan memberontak, mereka tidak tahan menghadapi hidangan yang serupa …. dan tidak mampu hidup selalu dalam aman dan tenteram …. !
Dan karena kecintaan mereka kepadanya demikian rupa, sampai-sampai mereka mengerumuni dan mendesaknya sewaktu’ ia hendak diberhentikan oleh Khalifah Utsman r.a. dari jabatan­nya, kata mereka: “Tetaplah anda tinggal bersama kami di sini dan jangan pergi, dan kami bersedia membela anda dari mala­petaka yang akan menimpa anda!”
Tetapi dengan kalimat yang menggambarkan kebesaran jiwa dan ketaqwaannya, Ibnu Mas’ud menjawab, katanya:
“Saya harus taat kepadanya, dan di belakang hari akan timbul peristiwa-peristiwa dan fitnah, dan saya tak ingin menjadi orang yang mula-mula membukakan pintunya . ! “
Pendirian mulia dan terpuji ini mengungkapkan kepada kita hubungan Ibnu Mas’ud dengan Khalifah Utsman …. Di antara mereka telah terjadi perdebatan dan perselisihan yang makin lama makin sengit, hingga gaji dan tunjangan pensiunnya ditahan dari Baitulmal . . . . Walau demikian namun tidak sepatah kata pun yang tidak baik keluar dari mulutnya mengenai Utsman ….
Bahkan ia berdiri sebagai pembela dan memperingatkan rakyat ketika dilihatnya persekongkolan di masa Utsman itu telah meningkat menjadi suatu pemberontakan …. Dan ketika terbetik berita ke telinganya mengenai percobaan untuk membunuh Khalifah Utsman itu, keluarlah dari mulut­nya ucapan yang terkenal:
“Sekiranya mereka membunuhnya, maka tak ada lagi orang sebanding dengannya yang akan mereka angkat sebagai khalifah”
Dalam pada itu di antara kawan-kawan Ibnu Mas’ud ada yang berkata: “Tak pernah saya dengar Ibnu Mas’ud me­ngeluarkan cercaan satu kata pun terhadap Utsman
Allah telah menganugerahinya hikmah sebagaimana telah memberinya sifat taqwa. Ia memiliki kemampuan untuk me­lihat jauh ke dasar yang dalam, dan mengungkapkannya secara menarik dan tepat ….
Marilah kita dengar ucapannya yang menggambarkan kesimpulan hidup yang istimewa dari Umar dengan kata-kata singkat tapi padat dan mena’jubkan, katanya:
“Islamnya merupakan suatu kemenangan, hijrahnya merupakan pertolongan, sedang pemerintahannya menjadi suatu rahmat.”
Berbicara tentang apa yang dikatakan orang sekarang tentang relativitas masa, ia mengatakan:
“Bagi Tuhan kalian tiada Siang dan malam ….
Cahaya langit dan bumi itu bersumber dari cahayanya.”
Ia juga berbicara tentang pekerja dan betapa pentingnya mengangkat taraf budaya kaum pekerja ini katanya “Saya amat benci melihat seorang laki-laki yang menganggur tak ada usahanya untuk kepentingan dunia, dan tidak pula untuk kepentingan akhirat ….”.
Dan di antara kata-katanya yang bersayap ialah: “Sebaik-baik kaya ialah kaya hati sebaik-baik bekal ialah taqwa; seburuk-buruk buta ialah buta hati; sebesar-besar dosa ialah berdusta; sejelek-jelek usaha ialah memungut riba; seburuk-buruk makanan ialah memakan harta anak yatim; siapa yang merna’afkan orang akan dimaafkan Allah; dan siapa yang mengampuni orang akan diampuni Allah ….”
Nah, itulah gambaran singkat Abdullah bin Mas’ud shahabat  Roulull,ah saw. Dan itulah dia kilasan dari suatu kehidupan besar dan perkasa yang dilalui pemiliknya di jalan Allah dan Rasul-Nya Serta Agama-Nya ….
Itulah dia laki-laki yang ukuran tubuhnya seumpama tubuh burung merpati kurus dan pendek, hingga tinggi badannya tidak akan berapa bedanya dengan orang yang sedang duduk …
Kedua betisnya kecil dan kempis,yang tampak ketika itu memanjat dan memetik dahan pohon arak untuk digunakan sikat Rasulullah saw. Para shahabat sama menertawakannya ketika melihat kedua betisnya itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw :
“Tuan-tuan menertawakan betis Ibnu Masud . . . , kedua­nya di sisi Allah lebih berat timbangannya dari gunung Uhud . !
Memang, inilah dia orang yang berasal dari keluarga miskin, buruh upahan, kurus dan hina, tetapi keyakinan dan keimanannya telah menjadikannya salah seorang imam di antara imam-imam kebaikan, petunjuk dan cahaya. Ia telah dikaruniai taufiq dan ni’mat oleh Allah yang me­nyebabkannya termasuk dalam golongan “sepuluh orang sha­habat Rasul yang mula pertama masuk Islam”, yakni orang­orang yang selagi hidupnya telah menerima berita gembira beroleh ridla Allah dan surga-Nya. Ia telah terjun dan tak pernah absen dalam setiap perjuangan yang berakhir dengan kemenangan di mass Rasulullah saw., begitu pun di masa para khalifah sepeninggal beliau. Dan ia turut menyaksikan dua buah imperium dunia membukakan pintunya dengan tunduk dan patuh dimasuki panji-panji Islam dan ajarannya.
Disaksikannya pula jabatan-jabatan yang tersedia dan menunggu orang-orang Islam yang mau mendudukinya, begitu pun harta yang tidak terkira banyaknya bertumpuk-tumpuk di hadapan mereka, tetapi tidak satu pun yang dapat mengusik dan melupakannya dari janji yang telah diikrarkannya kepada Allah dan Rasul-Nya, atau merintanginya dari garis hidup dan ke­tekunan ibadat yang diliputi rasa khusyu’ dan tawadlu.
Dan di antara keinginan dan cita-cita hidup, tidak satu pun yang menarik hatinya kecuali sebuah, yakni yang selalu di­rindukan, menjadi buah bibir dan senandungnya, Serta menjadi angan-angan untuk mendapatkannya.
Nah, marilah kita simakkan kata-katanya sendiri menceritakan hal itu kepada kita: “Aku bangun di tengah malam, ketika itu aku mengikuti Rasulullah di perang Tabuk . . . . Maka tampak olehku nyala api di arah pinggir perkemahan, lalu kudekati untuk melihatnya. Kiranya Rasulullah bersama Abu Bakar dan Umar. Rupanya mereka sedang menggali kuburan untuk Abdullah Dzulbijadain al-Muzanni yang ternyata telah wafat. Rasulullah saw. ada di dalam lubang kubur itu, semen­tara Abu Bakar dan Umar mengulurkan jenazah kepada­nya. Rasulullah bersabda: “Ulurkanlah lebih dekat padaku saudara tuan-tuan itu . . . .! Lalu mereka mengulurkan kepadanya. Dan tatkala diletakkannya di lubang lahat, beliau berdu’a: “Ya Allah, aku telah ridla kepadanya, maka ridlai pula ia oleh-Mu. Alangkah baiknya, sekiranya akulah, yang jadi pemilik liang kubur itu ….
Nah, itulah dia satu-satunya cita-cita yang diharapkan dan diangan-angankan selagi hidupnya ….
Dan sebagai anda ketahui, ia tak pernah mencari kesempatan untuk mendapatkan sesuatu yang dikejar-kejar dan diperebutkan orang, berupa kemuliaan, kekayaan, pengaruh atau jabatan . . . .
Hal ini semata-mata karena cita-citanya adalah cita-cita seorang tokoh yang berhati mulia, berjiwa besar dan berkeyakin­an teguh, seorang tokoh yang mendapat petunjuk dari Allah memperoleh tuntutan dari al-Qur an, dan menerima didikan dari Rasulullah saw.

Tidak ada komentar: