12 Juni 2011

ABU AYYUB AL-ANSHARI


“Pejuang di Waktu Senang Ataupun Susah”

Rasulullah memasuki kota Madinah, dan dengan demikian berarti beliau telah mengakhiri perjalanan hijrahnya dengan gemilang, dan memulai hari-harinya yang penuh berkah di kampung hijrah, untuk mendapatkan apa yang telah disediakan qadar Ilahi baginya, yakni sesuatu yang tidak disediakannya bagi manusia-manusia lainnya.
Dengan mengendarai untanya Rasulullah berjalan di tengah­-tengah barisan manusia yang penuh sesak, dengan luapan se­mangat dari kalbu yang penuh cinta dan rindu, berdesak­-desakan berebut memegang kekang untanya, karena masing-­masingnya menginginkan untuk menerima Rasul sebagai tamunya.
Rombongan Nabi itu mula-mula sampai ke perkampungan Bani Salim bin Auf; mereka mencegat jalan unta sembari berkata: “Wahai Rasul Allah tinggallah anda pada kami, bilangan kami banyak, persediaan cukup, serta keamanan terjamin
Tawaran mereka yang telah mencegat dan memegang tali kekang unta itu, dijawab oleh Rasulullah: “Biarkanlah, jangan halangi jalannya, karena ia hanyalah melaksanakan perintah”
Kendaraan Nabi terus melewati perumahan Bani Bayadhah, lalu ke kampung Bani Sa’idah, terus ke kampung Bani Harits ibnul Khazraj, kemudian sampai di kampung Bani ‘Adi bin Najjar. Setiap suku atau kabilah itu mencoba mencegat jalan unta Nabi, dan tak henti-hentinya meminta dengan gigih agar Nabi saw. sudi membahagiakan mereka dengan menetap di kampung mereka. Sedang Nabi menjawab tawaran mereka sambil tersenyum syukur di bibirnya ujarnya: “Lapangkan jalannya, karena ia terperintah
Nabi sebenarnya telah menyerahkan memilih tempat tinggalnya kepada qadar Ilahi, karena dari tempat inilah kelak kemasyhuran dan kebesarannya. Di atas tanahnya bakal muncul suatu masjid yang akan memancarkan kalimat-kalimat Allah dan nur-Nya ke seantero dunia. Dan di sampingnya akan berdiri satu atau beberapa bilik dari tanah dan batu kasar, tidak terdapat di sana harta kemewahan dunia selain barang-barang bersahaja dan seadanya.
Tempat ini akan dihuni oleh seorang Maha guru dan Rasul yang akan meniupkan ruh kebangkitan pada kehidupan yang Sudah padam, dan yang akan memberikan kemuliaan dan ke­selamatan  bagi mereka yang berkata: ”Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap di atas pendirian, bagi mereka yang beriman dan tidak mencampur­kan keimanan itu dengan keaniayaan, bagi mereka yang mengikhlaskan Agama mereka  untuk Allah dan bagi mereka yang berbuat kebaikan di muka bumi dan tidak berbuat binasa.
Benarlah Rasul telah menyerahkan sepenuhnya pemilih­an ini kepada qadar Ilahi yang akan memimpin langkah per­juangannya kelak. Oleh karena inilah ia membiarkan Saja tali kekang untanya terlepas bebas, tidak ditepuknya kuduk unta itu tidak pula dihentikan langkahnya, hanya dihadapkan hatinya kepada Allah, serta diserahkan dirinya kepada-Nya dengan berdoa:
“Ya Allah, tunjukkan tempat tinggalku, pilihkanlah untukku … !”
Di muka rumah Bani Malik bin Najjar unta itu bersimpuh kemudian ia bangkit dan berkeliling di tempat itu, lalu pergi ke tempat ia bersimpuh tadi dan kembali bersimpuh lalu tetap dan tidak beranjak dari tempatnya. Maka turunlah Rasul dari atasnya dengan penuh harapan dan kegembiraan.
Salah seorang Muslimin tampil dengan wajah berseri-seri karena suka citanya, ia maju lalu membawa barang muatan dan memasukkannya ke rumahnya kemudian mempersilakan Rasul masuk. Rasul pun mengikutinya dengan diliputi oleh hikmat dan berkat.
Maka tahukah anda sekalian siapa orang yang berbahagia ini, yang telah dipilih taqdir bahwa unta Nabi akan berlutut di muka rumahnya, hingga Rasul menjadi tamunya, dan semua penduduk Madinah akan sama merasa iri atas nasib mujurnya?
Nah, ia adalah pahlawan yang jadi pembicaraan kita sekarang ini, Abu Ayyub al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar.
Pertemuan ini bukanlah pertemuan yang pertamanya dengan Rasulullah. Sebelum ini, yakni sewaktu perutusan Madinah pergi ke Mekah untuk mengangkat sumpah setia atau bai’at, yaitu bai’at yang diberkati dan terkenal dengan nama “Bai’at Aqabah kedua”, maka Abu Ayyub al-Anshari termasuk di antara tujuh puluh orang Mu’min yang mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasulullah serta menjabatnya dengan kuat, berjanji setia dan siap menjadi pembela.
Dan sekarang ketika Rasulullah sudah bermukim di Madinah dan menjadikan kota itu sebagai pusat bagi Agama Allah, maka nasib mujur yang sebesar-besarnya telah melimpah kepada Abu Ayyub, karena rumahnya telah dijadikan rumah pertama yang didiami muhajir agung Rasul yang mulia. Rasul telah memilih untuk menempati ruangan rumahnya tingkat pertama. Tetapi begitu Abu Ayyub naik ke kamarnya di tingkat atas ia pun jadi menggigil, dan ia tak kuasa mem­bayangkan dirinya akan tidur atau berdiri di suatu tempat yang lebih tinggi dari tempat berdiri dan tidurnya Rasulullah itu. la lalu mendesak Nabi dengan gigih dan mengharapkan beliau agar pindah ke tingkat atas, hingga Nabi pun memperkenan­kannya pengharapannya itu.
Nabi akan berdiam di sana sampai selesai pembangunan masjid dan pembangunan kamarnya di sampingnya. Dan semenjak orang-orang Quraiay bermaksud jahat terhadap Islam dan berencana menyerang tempat hijrahnya di Madinah, meng­hasut kabilah-kabilah lain serta mengerahkan tentaranya untuk memadamkan nur Ilahi. semenjak itulah Abu Ayyub meng­alihkan aktifitasnya kepada berjihad pada jalan Allah. Maka dimulainya dengan perang Badar, lalu Uhud dan Khandaq, pen­deknya di semua medan tempur dan medan laga, ia tampil sebagai pahlawan yang sedia mengorbankan nyawa dan harta bendanya untuk Allah Rabul ‘alamin. Bahkan sesudah Rasul wafat pun, tak pernah ia ketinggalan menyertai pertem­puran yang diwajibkan atas Muslimin sekalipun jauh jaraknya yang akan ditempuh dan berat beban yang akan dihadapi. Semboyan yang selalu diulang-ulangnya, baik malam ataupun Siang, dengan suara keras ataupun perlahan, adalah firman Allah Ta’ala: “Berjuanglah kalian, baik di waktu lapang, maupun diwaktu sempit” (Q.S. 9 at-Taubat: 41)
Satu kali saja ia absen tidak menyertai bala tentara Islam, karena sebagai komandannya khalifah mengangkat salah seorang dari pemuda Muslimin, sedang Abu Ayyub tidak puas dengan kepernimpinannya. Hanya sekali saja, tidak lebih. Sekalipun demikian, bukan main menyesalnya atas sikapnya yang selalu menggoncangkan jiwanya itu, katanya: Tak jadi soal lagi bagiku, siapa orang yang akan jadi atasan­ku. Kemudian tak pernah lagi ia ketinggalan dalam pepe­rangan. Keinginannya hanyalah untuk hidup sebagai prajurit dalam tentara Islam, berperang di bawah benderanya dan mem­bela kehormatannnya.
Sewaktu terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, ia berdiri di pihak Ali tanpa ragu-ragu, karena ialah Imam yang telah dibai’at oleh Kaum Muslimin. Dan tatkala Ali syahid karena dibunuh, dan khilafah berpindah kepada Mu’awiyah, Abu Ayyub menyendiri dalam kezuhudan, bertawakkal lagi bertaqwa. Tak ada yang diharapkannya dari dunia hanyalah tersedianya suatu tempat yang lowong untuk berjuang dalam barisan para pejuang.
Demikianlah, sewaktu diketahuinya bala tentara Islam bergerak ke arah Konstantinopel, segeralah ia memegang kuda dengan membawa pedangnya, terus maju mencari syahid yang sudah lama didambakan dan dirindukannya.
Dalam pertempuran inilah ia ditimpa luka berat. Ketika komandannya pergi menjenguknya, nafasnya sedang berlomba dengan keinginannya hendak menemui Allah. Maka ber­tanyalah panglima pasukan yang waktu itu Yazid bin Mu’awiyah: “Apa keinginan anda, wahai Abu Ayyub?”
Aneh, adakah di antara kita yang dapat membayangkan atau mengkhayalkan apa keinginan Abu Ayyub itu. Tidak sama sekali! Keinginannya sewaktu nyawa hendak berpindah dari tubuhnya ialah sesuatu yang sukar atau hampir tak kuasa manusia membayangkan atau mengkhayalkannya.
Sungguh, ia telah meminta kepada Yazid, bila ia telah me­ninggal, agar jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh-jauh jarak yang dapat ditempuh ke arah musuh, dan di sanalah ia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan bala tentaranya sepanjang jalan itu, hingga terdengar olehnya bunyi telapak kuda Muslimin di atas kuburnya dan diketahuinya­lah bahwa mereka telah berhasil mencapai kemenangan dan keuntungan yang mereka cari.
Apakah anda kira ini hanya lamunan belaka ? tidak, dan ini bukan khayalan, tetapi kejadian nyata, kebenaran yang akan disaksikan dunia di suatu hari kelak, di mana ia menajam­kan pandangan dan memasang telinganya, hampir-hampir tak percaya terhadap apa yang didengar dan dilihatnya.
Dan sungguh, wasiat Abu Ayyub itu telah dilaksanakan oleh Yazid. Di jantung kota Konstantinopel yang sekarang ber­nama Istanbul, di sanalah terdapat pandam pekuburan laki-laki besar, sungguh besar itu.
Hingga sebelum tempat itu dikuasai oleh orang-orang Islam, orang-orang Romawi penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayyub di makamnya itu sebagai orang kudus suci. Dan anda akan tercengang jika mendapati semua ahli sejarah yang mencatat periatiwa-periatiwa itu berkata: “Orang-orang Romawi sering mengunjungi dan berziarah ke kuburnya dan meminta hujan dengan perantaraannya, bila mereka mengalami kekeringan
Sekalipun perang dan pertempuran sarat memenuhi ke­hidupannya, hingga tak pernah membiarkan pedangnya terletak beristirahat, namun corak kehidupannya adalah tenang tenteram laksana desiran bayu di kala fajar datang menjelma.
Sebabnya ia pernah mendengar ucapan Rasulullah saw. yang terpateri dalam hatinya: “Bila engkau shalat, maka shalatlah seolah-olah yang terakhir atau hendak berpisah. Jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata yang menyebabkan engkau harus meminta maaf. Lenyapkan harapan terhadap apa yang berada di tangan orang lain.
Dan oleh karena itulah tak pernah lidahnya terlibat dalam suatu fitnah, dan dirinya tidak terjerembab dalam kerakusan. Ia telah menghabiskan hidupnya dalam kerinduan ahli ibadah dan ketahanan orang yang hendak berpisah. Maka sewaktu ajalnya datang tak ada keinginannya di sepanjang dan selebar dunia kecuali cita-cita yang melambangkan kepah­lawanan dan kebesarannya selagi hidupnya: “Bawalah jasadku jauh-jauh, jauh masuk ke tanah Romawi, kemudian kuburkan aku di sana
Ia yakin sepenuhnya akan kemenangan, dan dengan mata hatinya dilihatnya bahwa wilayah ini telah termasuk dalam taman impian Islam, dalam lingkungan cahaya dan sinarnya. Karena itulah ia menginginkannya sebagai tempat istirahat­nya yang terakhir, yakni di ibukota negara itu, di mana akan terjadi pertempuran yang menentukan, dan dari bawah tanahnya yang subur, ia akan dapat mengikuti gerakan tentara Islam, mendengar kepakan benderanya, dan bunyi telapak kudanya serta gemerincing pedang-pedangnya.
Sekarang ini ia masih terkubur di sana Tetapi tidak lagi mendengar gemerincing pedang, atau ringkikan kuda. Keadaan telah berlalu, dan kapal telah berlabuh di tempat yang dituju, sejak waktu yang lama. Tetapi setiap hari, dari pagi hingga petang didengarnya suara adzan yang berkumandang dari menara-­menaranya yang menjulang di angkasa, bunyinya:
Allahu Akbar ... Allahu Akbar ...
Dan dengan rasa bangga, di dalam kampungnya yang kekal dan di mahligai kejayaannya ia menyahut: “Inilah apa yang telah dijanjikan Allah dan Rasul-Nya. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.

Tidak ada komentar: