9 Juni 2011

SENYUM KESETIAAN SANG PEJUANG (Sebuah catatan atas kesetiaan seorang aktivis)[1]


Oleh : Syamsudin Kadir

“Senyumlah, karena ia adalah sedekah.
Hari ini kita senyum, maka masa depan akan mendatangkan senyum. Karena senyum adalah ekspresi terbaik atas kebahagiaan diri”
(Renungan 27 April 2010 di Jl. Ahmad Yani No. 873)
  
MENDAPATKAN kehidupan yang lebih damai adalah harapan semua orang. Karena itu bersikap jinak adalah harapan melankolik banyak orang. Bahkan para tokoh dan ilmuwan, dalam sejarahnya memulai jenak-jenak itu. Tidak heran ketika kemudian kalau ada yang mengatakan bahwa di balik keseriusan dan garangnya para “haroker”, tersimpan ruang rindu dan kelembutan yang terpendam. Pada mulanya hanya senyuman, tapi berujung pada kesetiaan. Bahkan senyum itu sendiri adalah kesetiaan: setia untuk bersedekah bagi siapapun, termasuk untuk dirinya sendiri.

Itulah ruang melankolik yang terbangun dalam komunitas aktivis yang terkadang banyak orang menilai mereka garang dan tanpa basa-basi.  Padahal dalam ruang yang agak “wah” itu ada serpihan keanggunan yang tersimpan, yaitu kesetiaan. Iya kesetiaan. Mungkin pernyataan ini terlalu asing bagi mereka yang tidak (belum) menikmati, tapi begitulah faktanya, bahwa kesetiaan itu telah terbangun di ruang aktivitas mereka. Bukan karena keterpaksaan, tapi karena memang naluri kesetiaan itu sudah menjadi energi yang sudah lama bersarang pada lubuk hati mereka. Kesetiaan itu mereka bangun di atas naluri kemanusiaan yang berasal dari ruh ilahiyah yang terpancar dalam dada-dada mereka. Tidak heran jika kemudian kesetiaan menjadi cahaya mereka dalam menyusuri lorong-lorong kesunyian diri di tengah malam, dalam raka’at-raka’at panjang nan syahdu, dan dalam tilawah-tilawah lama namun hangat.


Ya, berawal dari senyum dan berujung pada kesetiaan. Senyum menghadapi segala yang dihadapi, termasuk gelombang hidup yang selalu (terus) menghantam karang komitmen mereka yang semakin menjadi-jadi. Tapi, lagi-lagi,  karena kesetiaan dan memang berujung pada kesetiaan, semua gelombang tak mampu membuat mereka surut. Karena yang tersisa dari gelombang itu justru kesetiaan, semacam komitmen utuh untuk tetap melangkah maju. Setia berdakwah, setia bergerak, setia mengukir sejarah. Semuanya dilalui, walau hanya dengan tinta dan kertas kusam yang tak layak pakai sebagai saksi pelakonannya.

Apa yang unik dari fenomena ini bahwasannya kemanjaan diri dengan senyum bahagia bahkan juga kecut adalah bukti kesetiaan. Begitulah pelajaran penting yang kuperoleh dari Edi Mardiana[2] (Ketua KAMDA Sumedang 2008-2010, yang juga menjadi stafku di Kaderisasi KAMMI) ketika beliau bercerita mengenai peristiwa kecil yang menimpanya di Pengalengan pada Selasa, 24 November 2009 yang lalu. Lugu dan sangat lugu. Aku sempat berpikir, orang Subang memang rata-rata lugu. Menghadapi masyarakat yang serba-serbi memang hanya berjalan dengan anggun jika dihadapi dengan keluguan tapi tetap menjaga kehormatan diri. Dan hal itu bisa direfleksikan dengan senyum, sebagaimana saat Edi Mardiana menceritakan peristiwa kecil itu kepadaku ba’da Magrib sore Selasa.

Aku percaya bahwa dalam senyum simpul itu, Edi menyimpan rasa kesal, marah bahkan rasa sakit yang memilukan, namun karena kesetiaan kepada masyarakat [korban gempa]-lah Edi melupakan semua “rasa” yang menimpanya itu, walaupun hanya dengan bercerita. Ya begitulah, senyum memang mesti merupakan ekspresi terbaik seorang muslim dalam menghadapi realita hidup dan fakta keunikan masyarakat yang ada di sekitarnya. Karena senyum merupakan mukadimah bagi keberlanjutan kesetiaan. Yang jelas, Edi menyimpan sesuatu dalam ruang rindunya, yaitu menghalau kepenatan dengan “curhat”; ya rindu untuk bercerita sambil senyum.

Pertanyaannya, mungkinkah ini bukti kesetiaan, bahwa bertutur dengan jujur kepada saudara seaktivis (seaktivitas) telah menjadi warna melankolik baru dalam simpul kepenatan yang terus menyapa? Edi…, Edi…, salam semangat saja! Awali semuanya dengan senyuman, agar kita bisa menikmati kesetiaan yang tak berakhir; setia untuk bermasyarakat (sebagai bukti berkontribusi), setia untuk bertutur jujur dengan saudara seiman (sebagai bukti ukhuwah), dan seterusnya. Ya, dirimu memang suka senyum. Sebelumnya aku tak begitu tahu karena apa, tapi kini aku percaya kalau kau senyum  karena kesetiaan. Edi, semoga persaudaraan  (ukhuwah) kita tetap dikuatkan oleh Allah Swt., agar kita bisa bersama selamanya di jalan dakwah Islam ini. Walau kelak kita berada di mana-mana dan pergi ke mana-mana, namun rasa persaudaraan itu insya Allah masih ada dan tak lenyap terbawa badai dunia yang kadang menyayak jiwa-jiwa kita, manusia biasa. Itu fitrah, namun sekali lagi, Edi, semoga persaudaraan kita abadi hingga di akhirat kelak. Karena dirimu bukan sekedar saudara di sini, di dunia ini tapi juga saudaraku di sana kelak, di akhirat sana.

Lebih lanjut, semoga pada kesempatan berikutnya terlahir “Edi-Edi” yang baru. Yang murah senyum walau sedang berpapasan dengan berbagai macam masalah atau tantangan yang menguji kesabaran diri. Semoga pada kesempatan yang akan datang kita bisa bersenyum ria dengan tulus dalam menghadapi setiap episode kehidupan dan juga agenda dakwah yang kita tunaikan. Semoga ke depan kita bersenyum ria di depan saudara-saudara kita di manapun kita berjumpa. Ketika masih bersama di KAMMI atau mungkin ketika mendapat amanah lain di selain KAMMI.

Sebab, senyum adalah obat mujarab bagi penyakit jemberut yang terkadang membuat kita bertambah sakit. Sakit hati, sakit jiwa dan sakit urat syaraf bahkan sakit-sakitan. Senyum adalah bukti cinta, bukti kesenangan, bukti kejujuran diri. Ini adalah senyum sejati, senyum para pejuang yang setia. Ini adalah senyum di atas sajadah cinta.  Cinta aktivis terhadap diri mereka, terhadap dakwah, terhadap saudara mereka dan terhadap kemanusiaan.
Akhirnya, yang tersisa demi dakwah adalah totalitas sebagai bukti kesetiaan, walau hanya dengan senyuman. “Selamat berjuang sambil senyum wahai Sang Pejuang!” []


[1] Ditulis di Jl. Ahmad Yani No. 873 Kota Bandung; Selasa/24 November 2009, Pukul 18.45-19.50 WIB

[2] Sejak Awal April 2011 melalui Musyawarah Wialayah II KAMMI Jawa Barat terpilih menjadi Ketua Umum PW KAMWIL Jabar periode 2011-2013

Tidak ada komentar: