Hudzaifah bin Al
Yaman Radhiyallahu ‘Anhu berkata,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَقَامَ يُصَلِّي فَلَمَّا كَبَّرَ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ذُو الْمَلَكُوتِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ ثُمَّ قَرَأَ الْبَقَرَةَ ثُمَّ النِّسَاءَ ثُمَّ آلَ عِمْرَانَ لَا يَمُرُّ بِآيَةِ تَخْوِيفٍ إِلَّا وَقَفَ عِنْدَهَا ثُمَّ رَكَعَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ سَجَدَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِي مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ سَجَدَ يَقُولُ سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى مِثْلَ مَا كَانَ قَائِمًا ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَامَ فَمَا صَلَّى إِلَّا رَكْعَتَيْنِ حَتَّى جَاءَ بِلَالٌ فَآذَنَهُ بِالصَّلَاةِ .
“Aku mendatangi
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu malam di bulan Ramadhan. Maka,
beliau pun berdiri untuk shalat. Ketika takbir, beliau membaca; ‘Allaahu
akbar, dzul malakuuti wal jabaruuti wa kibriyaa`i wal ‘azhamah.’[1]
Kemudian beliau membaca surat Al Baqarah, lalu surat An Nisa`, lalu Ali Imran.
Beliau tidak melalui ayat ancaman melainkan berhenti sejenak. Kemudian beliau
ruku’. Beliau membaca;
‘Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim’[2] (yang lamanya) seperti saat berdiri.
Lalu beliau mengangkat kepalanya dan membaca; ‘Sami’allaahu liman hamidah, rabbanaa
lakal hamd,’[3] seperti saat berdiri. Kemudian beliau sujud dan
membaca; ‘Subhaana
Rabbiyal a’laa,’[4] seperti saat berdiri. Lalu beliau mengangkat
kepalanya dan membaca; ‘Rabbighfirlii,’[5] sama
seperti ketika berdiri (lamanya). Kemudian beliau sujud lagi. Beliau membaca; ‘Subhaana
Rabbiyal a’laa,’ seperti
saat berdiri. Lalu beliau mengangkat kepalanya dan berdiri. Beliau tidak shalat
selain hanya dua rakat sampai datang Bilal yang mengumandangkan adzan untuk
shalat.”
Takhrij
Hadits
ini diriwayatkan Imam Ahmad dari Khalaf bin Al Walid dari Yahya bin Zakariya
dari Al ‘Ala` bin Al Musayyab dari Amr bin Murrah dari Thalhah bin Yazid Al
Anshari dari Hudzaifah bin Al Yaman Radhiyallahu ‘Anhu.[6]
Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Imam Al Hakim (1147) dan An Nasa`i dalam As
Sunan Al Kubra (1378);
juga dari Abu Hudzaifah Al Yaman.
Hadits
senada tanpa keterangan Ramadhan,[7] yakni tanpa menyebutkan kejadiannya pada
malam bulan Ramadhan atau malam selain Ramadhan, diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Ibnu Abi Syaibah dari Abdullah bin Numair dan Abu Muawiyah dari Zuhair bin
Harb dan Ishaq bin Ibrahim dari Jarir bin Hazim dari Sulaiman bin Mihran Al
A’masy dari Sa’ad bin Ubaidah dari Al Mustaurid bin Al Ahnaf dari Shilah bin
Zufar dari Hudzaifah bin Al Yaman.[8]
Hadits
tentang hal ini yang tanpa penyebutan kata “Ramadhan” atau yang senada dengan
riwayat Muslim, juga diriwayatkan Imam Abu Dawud (740), An Nasa`i (1121), Al
Baihaqi dalam Al Ma’rifah (1163), Ibnu Hibban (2661), Abu Awanah (1442), Ath
Thabarani dalam Al Ausath (4475), Abdurrazaq
(2842), dan Ibnu Abi Syaibah (142/5); semuanya dari Hudzaifah Al Yaman.
Derajat Hadits: Shahih
Imam
Al Hakim berkata, “Ini adalah hadits shahih sesuai syarat Al Bukhari dan
Muslim, namun mereka tidak mengeluarkannya.”[9]
Setelah
menyebutkan sejumlah riwayat tentang hal ini dan menganalisa beberapa perawi
dalam hadits Ahmad, Al Hakim dan An Nasa`i, Syaikh Al Albani berkata,
“Sekiranya sudah jelas bahwa orang tersebut adalah Shilah (bin Zufar), maka
sanad hadits ini adalah shahih dan bersambung. Semua rijalnya tsiqah. Abu
Hamzah dimaksud yaitu Thalhah bin Yazid Al Anshari yang disebutkan dalam thariq
(jalur periwayatan) Ibnu Majah.”[10] [11]
Hikmah dan Ibrah
·
Hadits
yang menceritakan panjangnya shalat malam Nabi bukan hanya dari Hudzaifah,
melainkan dari sejumlah sahabat Radhiyallahu ‘Anhum.
·
Sejatinya,
panjangnya atau lamanya shalat malam Nabi bukan hanya pada bulan Ramadhan,
melainkan juga pada hari hari lain di luar Ramadhan.
·
Boleh
membaca beberapa surat yang berbeda tanpa urut mushaf dalam dalam satu rakaat.
·
Panjang
ruku’ dan sujud Nabi kurang lebih sama dengan lama beliau berdiri.
·
Bisa
juga bermakna, bahwa lamanya ruku’ dan sujud, serta i’tidal dan duduk di antara
dua sujud Nabi ini adalah lebih lama daripada (ruku, i’tidal, sujud, dan duduk
di antara dua sujud) saat shalat wajib. Bukan lama dari arti kata sama lamanya
dengan berdiri. Ada tiga alasan untuk hal ini. Pertama; Dari segi waktu, tidak
logis jika semua gerakan shalat Nabi (selain berdiri) sama dengan lamanya
berdiri. Sebab, secara normal saja membutuhkan waktu sangat lama untuk membaca
surat Al Baqarah, Ali Imran, dan An Nisa`.[12] Kedua; Doa yang dibaca Nabi
dalam ruku’ dan sujud (sebagaimana disebutkan dalam hadits ini) adalah Subhaana
Rabbiyal a’laa dan Subhaana Rabbiyal ‘azhiim yang diulang ulang. Bisa jadi,
karena teramat banyaknya Nabi mengulang bacaan ini, Hudzaifah menyangka
panjangnya sama seperti lama berdiri. Padahal, mengulang Subhaana Rabbiyal
‘azhiim sebanyak 1000 kali pun, mungkin masih tetap lama membaca surat Al
Baqarah. Apalagi surat Al Baqarah, Ali Imran, dan An Nisaa`. Dan ketiga; Dalam
shalat, selama lamanya ruku’, i’tidal, sujud, dan duduk di antara dua sujud, tetap
saja masih lama berdiri.[13] Hal ini kurang lebih sama seperti kasus shalat dan
khutbah Jum’at, dimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
·
إِنَّ طُولَ صَلاَةِ الرَّجُلِ وَقِصَرَ خُطْبَتِهِ مَئِنَّةٌ مِنْ فِقْهِهِ فَأَطِيلُوا الصَّلاَةَ وَاقْصُرُوا الْخُطْبَةَ .
“Sesungguhnya panjangnya shalat
(Jum’at) seseorang dan pendeknya khutbah adalah tanda kefaqihannya. Oleh karena
itu, panjangkanlah shalat dan pendekkanlah khutbah.”[14]
Imam
An Nawawi berkata, “Dibandingkan khutbahnya, shalat Jum’at ini tidak lebih
lama. Sebab, lamanya shalat Jum’at akan memberatkan kaum mukminin. Jadi,
panjang shalat dan khutbah Jum’at ini ditempatkan sesuai proporsinya.”[15]
Wallahu a’lam.
·
Shalat
malam Nabi tidak selalu selama ini. Sebab, Hudzaifah mengatakan, “Beliau tidak
shalat selain hanya dua rakat.” Sedangkan hadits hadits shahih yang lain
menyebutkan bahwa Nabi shalat malam sebanyak sebelas rakaat.
·
Nabi
biasa shalat malam pada tengah malam atau sepertiga malam terakhir dan baru
selesai saat adzan berkumandang.
__________________________________
[1]
Artinya, “Allah Mahabesar, Yang memiliki kerajaan agung, kekuasaan mutlak,
kesombongan, dan keagungan.”
[2]
Artinya, “Mahasuci Tuhanku Yang Mahabesar.”
[3]
Artinya, “Allah mendengar orang yang memuji Nya. Ya Tuhan kami, hanya kepada Mu
segala pujian.”
[4]
Artinya, “Mahasuci Tuhanku Yang Mahatinggi.”
[5]
Artinya, “Tuhanku, ampunilah aku.”
[6]
Musnad Ahmad, Kitab Baqi Musnad Al Anshar, Bab Hadits Hudzaifah ibn Al Yaman
‘An An Nabiyy,hadits
nomor 22309.
[7]
Hanya disebut “pada suatu malam” saja.
[8] Shahih
Muslim, Kitab Shalati Al Musafirin, Bab Istihbab fi Tathwil Al Qira`ah fi
Shalati Al Lail, hadits nomor 1850.
[9]
Al Mustadrak (1147).
[10]
Irwa` Al Ghalil (326).
[11]
Yang dimaksud Syaikh Al Albani rahimahullah dengan jalur periwayatan Ibnu Majah
adalah sekadar jalurnya saja, bukan haditsnya, karena Ibnu Majah tidak
meriwayatkan hadits ini. Ringkas kata, ketika Ibnu Majah meriwayatkan hadits
Hudzaifah tentang bacaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di antara dua sujud
(Sunan Ibni Majah/887), jalur yang dipakai adalah jalur
riwayat Al Hakim dan An Nasa`i yang didha’ifkan oleh sebagian ulama dalam
hadits ini. Analisa Syaikh Al Albani tentang dua perawi majhul dalam jalur Al
Hakim dan An Nasa`i menunjukkan ketelitian dan kapasitas beliau sebagai pakar
hadits.
[12]
Terlepas dari apakah hal ini terjadi sebelum surat Al Baqarah turun secara
lengkap 286 ayat, yang jelas dibutuhkan waktu sekitar satu seperempat jam
sendiri untuk membaca surat Al Baqarah.
[13]
Sebagian ulama tidak menyukai orang yang lama sujud, tetapi sebentar berdiri,
karena bisa dipertanyakan keikhlasannya. Setidaknya, kadar lama sujud dan
berdiri kurang lebih sama.
[14]
HR. Muslim (2046) dan Ahmad (17598) dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhum.
[15] Syarh
Shahih Muslim,
Imam An Nawawi, Jilid 3, Hlm 249. Program Al Maktabah Asy Syamilah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar