Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id
Tujuan utama tulisan ini adalah menjawab sebuah pertanyaan sederhana: bagaimana posisi "proyek" bagi gerakan mahasiswa yang sering digaungkan sebagai "agent of change", "iron stock", atau istilah lain yang kadang berlebihan? Bagaimana gerakan mahasiswa sejatinya menempatkan diri? Pertanyaan ini muncul dari sebuah fenomena yang penulis dapati di kampus, yaitu berseliwerannya proyek di sekitar mahasiswa, yang dibawa oleh jaringan atau sindikasi.
Gerakan Proyek?
Pasca-1998, gerakan mahasiswa berada di persimpangan jalan. Eep Saefulloh Fatah menyebutnya dengan fenomena "krisis gerakan". Sebuah gerakan mahasiswa, di negara manapun, memang tidak pernah menjadi sebuah kekuatan politik permanen. Ia bak sebuah kerumunan yang terorganisir: datang ketika momentum memanggil, dan pergi setelah tugas ditunaikan. Selain karena mahasiswa tidak pernah permanen berada di kampus, juga karena politik selalu bergerak dengan kepentingan yang tak mungkin dikawal tuntas oleh mahasiswa.
Apa maknanya? Diakui atau tidak, gerakan mahasiswa yang bersifat politis -sebagai gerakan politik- pada hakikatnya tidak pernah menjadi aktor utama dalam proses sejarah. Gerakan mahasiswa memang hadir sebagai stimulator perubahan politik di Indonesia, sejak 1908 hingga 1998, tetapi ia tidak permanen mengawal perubahan itu. Hasilnya, wajar jika banyak yang meng-ghoshob proses perubahan itu.
Implikasi dari hal di atas sebetulnya kita rasakan saat ini. Gerakan mahasiswa terfragmentasi dengan begitu luas. Aksi-aksi mahasiswa menjadi tak lebih dari sekadar retorika dan aktivitas seremonial. Dan yang lebih parah lagi, Banyak aktivis mahasiswa yang tergoda oleh sesuatu yang sebenarnya bukan bagian dari dunia mahasiswa: proyek.
Entah karena tidak adanya isu bersama yang diperjuangkan, atau justru karena tuntutan finansial untuk membiayai gerakan, banyak entitas organisasi mahasiswa -baik ekstrakampus maupun intrakampus- yang kini terlihat mengerjakan proyek dari luar. Termasuk organisasi yang kini saya geluti, KAMMI, juga organisasi yang dulu sempat saya huni, BEM KM UGM.
Di banyak tempat, terpampang spanduk seminar yang diadakan oleh organisasi mahasiswa. Seminar-seminar tersebut diadakan dengan full dibiayai oleh sumber dana, dan dengan konten materi yang biasanya juga telah dipesan terlebih dulu oleh sang pemberi dana, Mahasiswa tinggal mengorganisir panitia, kadang juga dilibatkan merumuskan konten materi. Inilah yang dinamakan dengan "proyek".
Biasanya, proyek didapatkan melalui jaringan atau sindikasi. Organisasi yang memiliki jaringan alumni kuat akan mendapatkan proyek dari alumninya. Mereka yang memiliki keterkaitan dengan kekuatan politik tertentu akan mendapatkan proyek dari entitas politik tersebut. Atau, dengan membangun jaringan ke birokrasi dan politisi. Bentuknya bisa bermacam-macam. Intinya, jaringan dan sindikasi sangat berperan pada hal ini.
Jujur saja. saya pun pernah menggarap dua hal serupa di organisasi yang penulis ikuti. Pada awalnya, proyek saya anggap biasa-biasa saja, karena saya masih terlibat dalam penentuan konten materi -meski dana berasal dari luar. Akan tetapi, setelah melihat fenomena serupa terjadi di banyak organisasi lain, saya pun berpikir: Sehatkah proyek bagi gerakan mahasiswa? Pada titik inilah saya mulai mempertanyakan fenomena gerakan saat ini.
(Bukan) Pengkhianatan Intelektual
Istilah pengkhianatan intelektual pertama kali dicetuskan oleh Julien Benda, seorang intelektual Perancis yang hidup di era Perang Dunia (sebelum 1945). istilah ini digunakan untuk menjuluki para kolaborator yang berkedok intelektual. Menurut Julien Benda, mereka melakukan aktivitas intelektual, tetapi digunakan untuk kepentingan status-quo -atau rezim- yang menindas kelompok lain. Pendeknya, aktivitas mereka hanya menjadi alat justifikasi praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
Sadar atau tidak, mahasiswa rawan terjerembab ke dalam bentuk-bentuk pengkhianatan intelektual tersebut. Ketika Saya ingat pernah menulis hal ini di Radar Banjarmasin, kira-kira tiga tahun yang lalu. Sebetulnya konteksnya berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Julien Benda di atas. Namun, kiranya ada benang merah dari tulisan tersebut dengan realitas saat ini. Berikut saya cuplikkan bagian penting dari tulisan saya yang dimuat di Opini Radar Banjarmasin, 15 Maret 2008, ketika saya masih duduk di bangku SMA.
Ada tiga hal yang penulis identifikasi sebagai bentuk pengkhianatan intelektual para pelajar. Pertama, banyak di antara pelajar yang cenderung untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang miskin nilai dan hampa tujuan bagi gerakan. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pelajar seringkali kontraproduktif dengan tujuan akademik. Jika dikontekstualisasikan dengan konteks mahasiswa, aktivitas yang dilakukan tidak sesuai dengan tujuan gerakan. Maksudnya bisa anda tafsirkan sendiri.
Kedua, ada kesan bahwa siswa -atau mahasiswa- dikondisikan untuk memasukkan komoditas bisnis ke sekolah. Untuk menyelenggarakan sebuah kegiatan, tentu faktor finansial menjadi perhatian utama. Pada suatu penyelenggaraan, apalagi pada penyelenggaraan dengan estimasi dana besar seperti kegiatan ini, dana yang diperlukan mestilah besar. Implikasinya, ada deal-deal tertentu antara pihak mahasiswa dengan pemberi dana. Hal-hal seperti ini adalah pintu masuk bagi proyek salah kaprah. Hal seperti ini menjadi bentuk pengkhianatan intelektual jika digabungkan dengan nilai pertama.
Ketiga, pengkhianatan intelektual terjadi jika aktivitas yang dilakukan tidak hanya miskin nilai, hampa tujuan, atau berlogika bisnis dan deal, tetapi juga memenuhi unsur ketiga: memuat kepentingan politik tertentu. Artinya, aktivitas yang dijalankan tersebut sebenarnya memuat kepentingan entitas lain yang tidak ada kaitannya dengan gerakan mahasiswa. Inilah yang dinamakan dengan ghoshob politik: Mahasiswa yang bergerak tetapi pihak lain yang diuntungkan.
Kira-kira, tiga hal tersebut cukup untuk menjadi tools untuk menjawab pertanyaan tulisan ini. Adanya proyek-proyek yang didapatkan melalui jaringan atau sindikasi haram hukumnya digarap jika hanya menjadi ajang pelacuran bagi gerakan mahasiswa. Dengan dalih apapun, baik membiayai gerakan hingga menjalin hubungan baik, pelacuran intelektual adalah dosa besar bagi gerakan mahasiswa.
Idealisme dan Independensi
Dengan demikian, ada dua hal yang paling penting untuk dijaga. Pertama, idealisme. Apapun yang terjadi, idealisme gerakan adalah harga mati yang harus dipegang. Idealisme gerakan secara tekstual mewujud ke dalam bentukan idelogi gerakan yang dianut oleh masing-masing organ. Secara kontekstual, idealisme adalah konsistensi seorang aktivis pada nilai yang melekat erat pada gerakan tersebut.
Kini, idealisme menjadi mahal. Gerakan mahasiswa rawan terjerembab pada tuntutan yang sudah menyerahkan idealisme pada tuntutan untuk membiayai gerakan. Pada titik yang ekstrem, unjuk rasa yang dilakukan bahkan bernilai pesanan. Alasannya juga sederhana, untuk mempertahaknak eksistensi gerakan. Bukankah hal yang seperti ini salah kaprah? Semoga kita dihindarkan dari perilaku seperti ini.
Kedua, independensi. Variabel kedua ini cukup menjadi perdebatan, bahkan pada level nasional. Seorang senior gerakan yang kini duduk sebagai petinggi di level pusat saja bahkan mempertanyakan hal ini. "Adakah gerakan mahasiswa yang sekarang independen?", tanyanya suatu ketika. Ia rupanya tidak percaya dengan independensi gerakan. Tetapi, ketika organisasi tersebut mengadakan Muktamar Luar Biasa, alasan yang digunakan untuk memecat pengurus adalah tidak independen. Lantas, sebenarnya independen itu ada atau tidak?
Bagi saya, independensi itu ada. Independen bukan berarti netral. Ia adalah bentuk kemerdekaan berpikir, bersikap, dan bertindak dari intervensi entitas lain. Independen juga bukan berarti tidak berpihak. Ia adalah manifestasi keberpihakan pada kebenaran dan pada rakyat tertindas. Namun, independensi tegas diucapkan manakala sebuah organ gerakan berinteraksi dengan kekuatan politik yang membawa gerbong kepentingan di belakangnya. Bagi organ gerakan mahasiswa, independensi adalah sikap untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam menyikapi pelbagai isu yang ada.
Sebenarnya, gerakan mahasiswa tidak berbeda dengan organ masyarakat sipil lain. Yang membedakannya, bagi saya, hanya satu: keikhlasan dalam bergerak. Tak ada organ masyarakat sipil yang mau membiayai gerakannya dari aktivis-aktivisnya sendiri secara swadaya. Tapi bagi gerakan mahasiswa, itu adalah sebuah keniscayaan.
Ernest Mandel, seorang Marxist Belgia, pernah menyampaikan pidato mengenai gerakan mahasiswa. Ia menyatakan sebagai berikut, "Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur universitas yang otoriter, dan terus menuju masalah imperialisme dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia".
Analisis Mandel memang sangat khas Marxis. Tetapi, ia berpijak pada sebuah gagasan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang terus berpikir. Gerakan mahasiswa tidak boleh menjadi alat politik kepentingan tertentu. Ia adalah gerakan bagi dirinya sendiri, dan berpijak di atas kepentingan rakyat dengan ilmu pengetahuan sebagai instrumen utama.
Melawan Arus Kepentingan
Maka dari itu, ada beberapa hal yang coba saya tawarkan untuk menjaga idealisme dan independensi ketika gerakan mahasiswa berada dalam pusaran proyek.
Pertama, gerakan mahasiswa perlu mereposisi arah geraknya, dari gerakan politik yang berkecimpung di ranah kekuasaan praksis, menjadi gerakan sosial yang memiliki basis di masyarakat dan gerakan intelektual yang memiliki basis keilmuan. Gerakan mahasiswa yang berkecimpung di ranah praksis kekuasaan gampang terjerembab di lubang-lubang pelacuran intelektual jika tak diiringi oleh basis.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa gerakan mahasiswa harus apolitis. Memang, gerakan politik bagi mahasiswa adalah keniscayaan ketika ada tuntutan yang disuarakan terkait dengan kebijakan pemerintah. Akan tetapi, posisi politik tersebut tak lepas dari akarnya, yaitu gerakan intelektual dan gerakan sosial. Maka dari itu, dua ranah yang tak boleh dilupakan oleh mahasiswa adalah ranah kampus dan ranah masyarakat real.
Kedua, gerakan mahasiswa perlu menjalin jaringan berbasis issue, bukan kedekatan personal. Kepentingan gerakan mahasiswa dikonstruksi oleh kebutuhan gerakan, bukan sindikasi. Ini akan menutup potensi ghoshob berkedok proyek, yang menjadikan mahasiswa sekadar alat. Gerakan mahasiswa adalah gerakan yang membingkai issue dalam kerangka kajian berbasis keilmuan, serta bersikap dalam kerangka bermasyarakat. Dua akar tersebut tak boleh tercerabut dari gerakan mahasiswa.
Pada titik ini, penulis sepakat bahwa aliansi strategis yang dibangun hendaknya didasarkan pada sebuah tujuan bersama, bukan kepentingan. Jaringan yang dibangun adalah jaringan masyarakat sipil, bukan jaringan politik. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh mahasiswa bersama masyarakat. Terpenting, intensinya jelas: untuk membantu masyarakat secara ikhlas.
Ketiga, menegaskan "nawaitu". Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits yang cukup masyhur tersebut menandaskan parameter keikhlasan. Bergerak sebenarnya untuk apa? Apakah sudah dengan kesadaran kritis? Kiranya, dengan nawaitu yang benar, aktivitas apapun yang dilakukan akan memberi manfaat.
Menggarap proyek tak terlepas dari "nawaitu"-nya. Aksi dan unjuk rasa juga tak terlepas dari "nawaitu". Hal ini, jika ditelaah, akan sangat penting karena akan menentukan apakah sebuah aktivitas gerakan masuk dalam kategori pengkhianatan intelektual atau tidak. Ia juga penting untuk menentukan apakah idealisme dan independensi masih bertahan atau tidak. Dengan demikian, intensi gerakan dalam menjalankan aktivitas sangat penting.
Keempat, membangunkan kesadaran dalam bergerak. Amin Sudarsono dalam bukunya, "Ijtihad Membangun Basis Gerakan" menyebutnya sebagai kesadaran kritis. Ia tidak hanya “tahu” mengenai posisinya sebagai seorang kader, tetapi juga “sadar” mengenai urgensi posisinya bagi visi strategis gerakan.
Menurut Freire, hakikat utama pendidikan adalah penyadaran secara kritis. Sudah sejauh mana kita sadar dengan apa yang kita lakukan selama bergiat dalam aktivisme mahasiswa? Proses kesadaran kritis ini terbentuk ketika seorang kader sadar mengenai fungsi dan perannya, tidak dalam ranah primordial karena “untuk membela kelompok”, tetapi sebagai pemangku peran peradaban. Intelektualisasi menjadi kata kunci penting.
Ikhtitam
Maka dari itu, persoalan proyek perlu ditempatkan sebagaimana posisi mahasiswa. Saya tidak dalam posisi menyalahkan gerakan mahasiswa yang menggarap proyek dari entitas lain (perlu diingat, saya juga pernah menggarap proyek). Akan tetapi, di sini kita perlu mengintrospeksi diri sendiri: apakah proyek yang kita garap itu masuk dalam kategori pelacuran intelektual, atau bukan? Saya kira, tidak ada ruginya mengakui kesalahan yang kita lakukan sendiri, untuk memperbaiki langkah ke depan.
Saya pun teringat dengan sebuah kredo yang ada di KAMMI, organisasi yang sekarang saya geluti. Kiranya, kita bisa memulai langkah gerakan kita dari kredo sederhana tersebut. Mari bergerak dengan kesadaran, mari bergerak sebagai seorang mahasiswa. Wallahu a'lam bish shawwab.
"Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan." (Kredo Gerakan KAMMI)
*) Penulis adalah Alumni SMAN 1 Banjarmasin, Pernah menjadi Ketua Departemen Kajian Strategis KAMMI Komisariat UGM. Aktif menulis di berbagai media massa lokal maupun nasional.
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id
Tujuan utama tulisan ini adalah menjawab sebuah pertanyaan sederhana: bagaimana posisi "proyek" bagi gerakan mahasiswa yang sering digaungkan sebagai "agent of change", "iron stock", atau istilah lain yang kadang berlebihan? Bagaimana gerakan mahasiswa sejatinya menempatkan diri? Pertanyaan ini muncul dari sebuah fenomena yang penulis dapati di kampus, yaitu berseliwerannya proyek di sekitar mahasiswa, yang dibawa oleh jaringan atau sindikasi.
Gerakan Proyek?
Pasca-1998, gerakan mahasiswa berada di persimpangan jalan. Eep Saefulloh Fatah menyebutnya dengan fenomena "krisis gerakan". Sebuah gerakan mahasiswa, di negara manapun, memang tidak pernah menjadi sebuah kekuatan politik permanen. Ia bak sebuah kerumunan yang terorganisir: datang ketika momentum memanggil, dan pergi setelah tugas ditunaikan. Selain karena mahasiswa tidak pernah permanen berada di kampus, juga karena politik selalu bergerak dengan kepentingan yang tak mungkin dikawal tuntas oleh mahasiswa.
Apa maknanya? Diakui atau tidak, gerakan mahasiswa yang bersifat politis -sebagai gerakan politik- pada hakikatnya tidak pernah menjadi aktor utama dalam proses sejarah. Gerakan mahasiswa memang hadir sebagai stimulator perubahan politik di Indonesia, sejak 1908 hingga 1998, tetapi ia tidak permanen mengawal perubahan itu. Hasilnya, wajar jika banyak yang meng-ghoshob proses perubahan itu.
Implikasi dari hal di atas sebetulnya kita rasakan saat ini. Gerakan mahasiswa terfragmentasi dengan begitu luas. Aksi-aksi mahasiswa menjadi tak lebih dari sekadar retorika dan aktivitas seremonial. Dan yang lebih parah lagi, Banyak aktivis mahasiswa yang tergoda oleh sesuatu yang sebenarnya bukan bagian dari dunia mahasiswa: proyek.
Entah karena tidak adanya isu bersama yang diperjuangkan, atau justru karena tuntutan finansial untuk membiayai gerakan, banyak entitas organisasi mahasiswa -baik ekstrakampus maupun intrakampus- yang kini terlihat mengerjakan proyek dari luar. Termasuk organisasi yang kini saya geluti, KAMMI, juga organisasi yang dulu sempat saya huni, BEM KM UGM.
Di banyak tempat, terpampang spanduk seminar yang diadakan oleh organisasi mahasiswa. Seminar-seminar tersebut diadakan dengan full dibiayai oleh sumber dana, dan dengan konten materi yang biasanya juga telah dipesan terlebih dulu oleh sang pemberi dana, Mahasiswa tinggal mengorganisir panitia, kadang juga dilibatkan merumuskan konten materi. Inilah yang dinamakan dengan "proyek".
Biasanya, proyek didapatkan melalui jaringan atau sindikasi. Organisasi yang memiliki jaringan alumni kuat akan mendapatkan proyek dari alumninya. Mereka yang memiliki keterkaitan dengan kekuatan politik tertentu akan mendapatkan proyek dari entitas politik tersebut. Atau, dengan membangun jaringan ke birokrasi dan politisi. Bentuknya bisa bermacam-macam. Intinya, jaringan dan sindikasi sangat berperan pada hal ini.
Jujur saja. saya pun pernah menggarap dua hal serupa di organisasi yang penulis ikuti. Pada awalnya, proyek saya anggap biasa-biasa saja, karena saya masih terlibat dalam penentuan konten materi -meski dana berasal dari luar. Akan tetapi, setelah melihat fenomena serupa terjadi di banyak organisasi lain, saya pun berpikir: Sehatkah proyek bagi gerakan mahasiswa? Pada titik inilah saya mulai mempertanyakan fenomena gerakan saat ini.
(Bukan) Pengkhianatan Intelektual
Istilah pengkhianatan intelektual pertama kali dicetuskan oleh Julien Benda, seorang intelektual Perancis yang hidup di era Perang Dunia (sebelum 1945). istilah ini digunakan untuk menjuluki para kolaborator yang berkedok intelektual. Menurut Julien Benda, mereka melakukan aktivitas intelektual, tetapi digunakan untuk kepentingan status-quo -atau rezim- yang menindas kelompok lain. Pendeknya, aktivitas mereka hanya menjadi alat justifikasi praktik ketidakadilan yang dilakukan oleh kelompok tertentu.
Sadar atau tidak, mahasiswa rawan terjerembab ke dalam bentuk-bentuk pengkhianatan intelektual tersebut. Ketika Saya ingat pernah menulis hal ini di Radar Banjarmasin, kira-kira tiga tahun yang lalu. Sebetulnya konteksnya berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Julien Benda di atas. Namun, kiranya ada benang merah dari tulisan tersebut dengan realitas saat ini. Berikut saya cuplikkan bagian penting dari tulisan saya yang dimuat di Opini Radar Banjarmasin, 15 Maret 2008, ketika saya masih duduk di bangku SMA.
Ada tiga hal yang penulis identifikasi sebagai bentuk pengkhianatan intelektual para pelajar. Pertama, banyak di antara pelajar yang cenderung untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang miskin nilai dan hampa tujuan bagi gerakan. Kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh pelajar seringkali kontraproduktif dengan tujuan akademik. Jika dikontekstualisasikan dengan konteks mahasiswa, aktivitas yang dilakukan tidak sesuai dengan tujuan gerakan. Maksudnya bisa anda tafsirkan sendiri.
Kedua, ada kesan bahwa siswa -atau mahasiswa- dikondisikan untuk memasukkan komoditas bisnis ke sekolah. Untuk menyelenggarakan sebuah kegiatan, tentu faktor finansial menjadi perhatian utama. Pada suatu penyelenggaraan, apalagi pada penyelenggaraan dengan estimasi dana besar seperti kegiatan ini, dana yang diperlukan mestilah besar. Implikasinya, ada deal-deal tertentu antara pihak mahasiswa dengan pemberi dana. Hal-hal seperti ini adalah pintu masuk bagi proyek salah kaprah. Hal seperti ini menjadi bentuk pengkhianatan intelektual jika digabungkan dengan nilai pertama.
Ketiga, pengkhianatan intelektual terjadi jika aktivitas yang dilakukan tidak hanya miskin nilai, hampa tujuan, atau berlogika bisnis dan deal, tetapi juga memenuhi unsur ketiga: memuat kepentingan politik tertentu. Artinya, aktivitas yang dijalankan tersebut sebenarnya memuat kepentingan entitas lain yang tidak ada kaitannya dengan gerakan mahasiswa. Inilah yang dinamakan dengan ghoshob politik: Mahasiswa yang bergerak tetapi pihak lain yang diuntungkan.
Kira-kira, tiga hal tersebut cukup untuk menjadi tools untuk menjawab pertanyaan tulisan ini. Adanya proyek-proyek yang didapatkan melalui jaringan atau sindikasi haram hukumnya digarap jika hanya menjadi ajang pelacuran bagi gerakan mahasiswa. Dengan dalih apapun, baik membiayai gerakan hingga menjalin hubungan baik, pelacuran intelektual adalah dosa besar bagi gerakan mahasiswa.
Idealisme dan Independensi
Dengan demikian, ada dua hal yang paling penting untuk dijaga. Pertama, idealisme. Apapun yang terjadi, idealisme gerakan adalah harga mati yang harus dipegang. Idealisme gerakan secara tekstual mewujud ke dalam bentukan idelogi gerakan yang dianut oleh masing-masing organ. Secara kontekstual, idealisme adalah konsistensi seorang aktivis pada nilai yang melekat erat pada gerakan tersebut.
Kini, idealisme menjadi mahal. Gerakan mahasiswa rawan terjerembab pada tuntutan yang sudah menyerahkan idealisme pada tuntutan untuk membiayai gerakan. Pada titik yang ekstrem, unjuk rasa yang dilakukan bahkan bernilai pesanan. Alasannya juga sederhana, untuk mempertahaknak eksistensi gerakan. Bukankah hal yang seperti ini salah kaprah? Semoga kita dihindarkan dari perilaku seperti ini.
Kedua, independensi. Variabel kedua ini cukup menjadi perdebatan, bahkan pada level nasional. Seorang senior gerakan yang kini duduk sebagai petinggi di level pusat saja bahkan mempertanyakan hal ini. "Adakah gerakan mahasiswa yang sekarang independen?", tanyanya suatu ketika. Ia rupanya tidak percaya dengan independensi gerakan. Tetapi, ketika organisasi tersebut mengadakan Muktamar Luar Biasa, alasan yang digunakan untuk memecat pengurus adalah tidak independen. Lantas, sebenarnya independen itu ada atau tidak?
Bagi saya, independensi itu ada. Independen bukan berarti netral. Ia adalah bentuk kemerdekaan berpikir, bersikap, dan bertindak dari intervensi entitas lain. Independen juga bukan berarti tidak berpihak. Ia adalah manifestasi keberpihakan pada kebenaran dan pada rakyat tertindas. Namun, independensi tegas diucapkan manakala sebuah organ gerakan berinteraksi dengan kekuatan politik yang membawa gerbong kepentingan di belakangnya. Bagi organ gerakan mahasiswa, independensi adalah sikap untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam menyikapi pelbagai isu yang ada.
Sebenarnya, gerakan mahasiswa tidak berbeda dengan organ masyarakat sipil lain. Yang membedakannya, bagi saya, hanya satu: keikhlasan dalam bergerak. Tak ada organ masyarakat sipil yang mau membiayai gerakannya dari aktivis-aktivisnya sendiri secara swadaya. Tapi bagi gerakan mahasiswa, itu adalah sebuah keniscayaan.
Ernest Mandel, seorang Marxist Belgia, pernah menyampaikan pidato mengenai gerakan mahasiswa. Ia menyatakan sebagai berikut, "Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur universitas yang otoriter, dan terus menuju masalah imperialisme dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia".
Analisis Mandel memang sangat khas Marxis. Tetapi, ia berpijak pada sebuah gagasan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan yang terus berpikir. Gerakan mahasiswa tidak boleh menjadi alat politik kepentingan tertentu. Ia adalah gerakan bagi dirinya sendiri, dan berpijak di atas kepentingan rakyat dengan ilmu pengetahuan sebagai instrumen utama.
Melawan Arus Kepentingan
Maka dari itu, ada beberapa hal yang coba saya tawarkan untuk menjaga idealisme dan independensi ketika gerakan mahasiswa berada dalam pusaran proyek.
Pertama, gerakan mahasiswa perlu mereposisi arah geraknya, dari gerakan politik yang berkecimpung di ranah kekuasaan praksis, menjadi gerakan sosial yang memiliki basis di masyarakat dan gerakan intelektual yang memiliki basis keilmuan. Gerakan mahasiswa yang berkecimpung di ranah praksis kekuasaan gampang terjerembab di lubang-lubang pelacuran intelektual jika tak diiringi oleh basis.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa gerakan mahasiswa harus apolitis. Memang, gerakan politik bagi mahasiswa adalah keniscayaan ketika ada tuntutan yang disuarakan terkait dengan kebijakan pemerintah. Akan tetapi, posisi politik tersebut tak lepas dari akarnya, yaitu gerakan intelektual dan gerakan sosial. Maka dari itu, dua ranah yang tak boleh dilupakan oleh mahasiswa adalah ranah kampus dan ranah masyarakat real.
Kedua, gerakan mahasiswa perlu menjalin jaringan berbasis issue, bukan kedekatan personal. Kepentingan gerakan mahasiswa dikonstruksi oleh kebutuhan gerakan, bukan sindikasi. Ini akan menutup potensi ghoshob berkedok proyek, yang menjadikan mahasiswa sekadar alat. Gerakan mahasiswa adalah gerakan yang membingkai issue dalam kerangka kajian berbasis keilmuan, serta bersikap dalam kerangka bermasyarakat. Dua akar tersebut tak boleh tercerabut dari gerakan mahasiswa.
Pada titik ini, penulis sepakat bahwa aliansi strategis yang dibangun hendaknya didasarkan pada sebuah tujuan bersama, bukan kepentingan. Jaringan yang dibangun adalah jaringan masyarakat sipil, bukan jaringan politik. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh mahasiswa bersama masyarakat. Terpenting, intensinya jelas: untuk membantu masyarakat secara ikhlas.
Ketiga, menegaskan "nawaitu". Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya setiap amalan tergantung niatnya, dan setiap orang akan mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya" (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits yang cukup masyhur tersebut menandaskan parameter keikhlasan. Bergerak sebenarnya untuk apa? Apakah sudah dengan kesadaran kritis? Kiranya, dengan nawaitu yang benar, aktivitas apapun yang dilakukan akan memberi manfaat.
Menggarap proyek tak terlepas dari "nawaitu"-nya. Aksi dan unjuk rasa juga tak terlepas dari "nawaitu". Hal ini, jika ditelaah, akan sangat penting karena akan menentukan apakah sebuah aktivitas gerakan masuk dalam kategori pengkhianatan intelektual atau tidak. Ia juga penting untuk menentukan apakah idealisme dan independensi masih bertahan atau tidak. Dengan demikian, intensi gerakan dalam menjalankan aktivitas sangat penting.
Keempat, membangunkan kesadaran dalam bergerak. Amin Sudarsono dalam bukunya, "Ijtihad Membangun Basis Gerakan" menyebutnya sebagai kesadaran kritis. Ia tidak hanya “tahu” mengenai posisinya sebagai seorang kader, tetapi juga “sadar” mengenai urgensi posisinya bagi visi strategis gerakan.
Menurut Freire, hakikat utama pendidikan adalah penyadaran secara kritis. Sudah sejauh mana kita sadar dengan apa yang kita lakukan selama bergiat dalam aktivisme mahasiswa? Proses kesadaran kritis ini terbentuk ketika seorang kader sadar mengenai fungsi dan perannya, tidak dalam ranah primordial karena “untuk membela kelompok”, tetapi sebagai pemangku peran peradaban. Intelektualisasi menjadi kata kunci penting.
Ikhtitam
Maka dari itu, persoalan proyek perlu ditempatkan sebagaimana posisi mahasiswa. Saya tidak dalam posisi menyalahkan gerakan mahasiswa yang menggarap proyek dari entitas lain (perlu diingat, saya juga pernah menggarap proyek). Akan tetapi, di sini kita perlu mengintrospeksi diri sendiri: apakah proyek yang kita garap itu masuk dalam kategori pelacuran intelektual, atau bukan? Saya kira, tidak ada ruginya mengakui kesalahan yang kita lakukan sendiri, untuk memperbaiki langkah ke depan.
Saya pun teringat dengan sebuah kredo yang ada di KAMMI, organisasi yang sekarang saya geluti. Kiranya, kita bisa memulai langkah gerakan kita dari kredo sederhana tersebut. Mari bergerak dengan kesadaran, mari bergerak sebagai seorang mahasiswa. Wallahu a'lam bish shawwab.
"Kami adalah orang-orang yang berpikir dan berkendak merdeka. Tidak ada satu orang pun yang bisa memaksa kami bertindak. Kami hanya bertindak atas dasar pemahaman, bukan taklid, serta atas dasar keikhlasan, bukan mencari pujian atau kedudukan." (Kredo Gerakan KAMMI)
*) Penulis adalah Alumni SMAN 1 Banjarmasin, Pernah menjadi Ketua Departemen Kajian Strategis KAMMI Komisariat UGM. Aktif menulis di berbagai media massa lokal maupun nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar