24 Mei 2011

Kohesifitas Gerakan Mahasiswa Dalam Bingkai Reformasi

http://suarapembaca.detik.com/read/2011/05/19/142405/1642559/471/kohesifitas-gerakan-mahasiswa-dalam-bingkai-reformasi?882205471
(Refleksi Gerakan Mahasiswa Untuk 13 Tahun Reformasi) 
Oleh: Jusman Dalle*
***

Awal pekan ini, kita dikejutkan oleh hasil survey Indo Barometer mengenai persepsi presiden mana yang paling disukai publik sejak republik ini lahir. Hasil mengejutkan bagi kita, bahwa Soeharto, diktator yang pernah membonsai politik Indonesia dengan “demokrasi Pancasila-nya”, menempati urutan pertama sebagai presiden yang paling disukai publik. Sebanyak 36,54 persen dari 1.200 responden memilih Presiden Soeharto.
Di bawah Soeharto barulah SBY dengan dukungan 20,9 persen, yang kita sudah mahfum dengan politik pencitraannya. Menyusul kemudian berturut-turut Soekarno, Megawati, dan BJ Habibie serta Gus Dur.

Parasit Reformasi

Yang menarik dari survei tersebut sebenarnya bukan terletak pada siapa yang ‘dinobatkan’ sebagai presiden Indonesia paling populer, tetapi lebih pada apa makna dan pesan dari survey tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan terutama juga bagi gerakan mahasiswa yang menjadi pelaku peralihan sejarah dari kooptasi rezim orde baru ke apresiasi reformasi.
Dengan tetap teguh pada spirit reformasi dan masa depan politik Indonesia, beberapa catatan penting dari hasil survey tersebut, sebagai evaluasi bagi proses reformasi yang terus berjalan. Pertama, ‘gagalnya’ empat presiden dalam mewujudkan ekspektasi (harapan) masyarakat terhadap perubahan-perubahan sebagai anasir dari membaiknya kehidupan bangsa di era reformasi ini. Ada disparitas antara janji-janji reformasi yang diformulasi dalam enam visi dengan kenyataan yang terjadi.


Enam visi yang menjadi instrument dasar berhasil-tidaknya reformasi yaitu, pertama adili Soeharto dan antek-anteknya. Jika kita melihat, yang terjadi justru jauh panggang dari api. Soeharto meninggal tanpa put dsan hukum yang jelas. Alasan kesehatan menjadi pembenaran. Termasuk antek-antek dan keluarga Soeharto, para konglomerat hitam yang mengeruk kekayaan Negara dalam tabir perselingkuhan dan perlindungan rezim orde baru.

Berbeda misalnya di Mesir, dalam hitungan hari setelah lengser, Hosni Mubarak dan keluarganya langsung di tahan. Istri mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak, Suzanne Thabet,  ditahan aparat penegak hukum, Jumat (13/5), dengan dugaan memperkaya diri dengan cara tidak sah. Sebelumnya, Mubarak dan dua anak mereka, Gamal dan Alaa, juga sudah menjalani penahanan.
Yang kedua adalah supremasi hukum serta penghapusan budaya KKN.

Pasca reformasi, khususnya di era pemerintahan SBY, berbagai lembaga adhoc dibentuk untuk menegakkan hukum di Indonesia, mulai dari KPK hingga satgas anti mafia hukum. Namun faktanya, keboborokan hukum  semakin menjadi-jadi. Bahkan menjangkiti aparat penegak hukum itu sendiri.

Berbagai skandal menandai betapa bobroknya hukum di Indonesia, mudah diperdagangkan. Kasus suap jaksa, jual beli perkaran hanyalah gunung es. Pada akhirnya, supremasi hukum menjadi isapan jempol belaka.

Yang ketiga yaitu otonomi daerah seluas-luasnya. Dalam artian bahwa selama orde baru, sentralisasi menjadi penghambat meratanya pembangunan. Namun apa lacur, euphoria desentralisasi dengan format otonomi daerah, justru menjadi lahan basah bagi parasit-parasit reformasi untuk mengeruk kekayaan daerah. Pembangunan yang menjadi spirit dasar otonomi daerah, menjadi terbengkalai.

Proyek-proyek pembangunan hanya dijadikan lahan bisnis bagi peguasa. Asumsi ini didasarkan fakta betapa banyaknya kepala daerah baik gubernur maupun bupati/walikota yang menjadi tersangka kasus KKN. Setidaknya tidak kurang dari 150 pejabat daerah dan 15 Gubernur yang terbelit kasus KKN. Belum termasuk pada level yang lebih rendah. Ini menandakan, mental pejabat-pejabat daerah belum cukup untuk menjadi dinamisator dan katalisator pembangunan. Ada disparitas moral yang menganga lebar.

Keempat, adalah budaya demokrasi yang sehat dan egaliter. Yaitu tercapainya cita-cita demokrasi yang dibangun atas dasar pola partisipasi yang elegan dan rasional. Berbeda dengan dengan demokrasi utopia, yang dalam istilah penulis sebagai demokrasi ekspketatif dan semu.
Demokrasi yang dibangun diatas landasan pencitraan yang melanggar nalar logis manusia sebagai insan yang memiliki rasionalitas. 10 tahun terakhir, demokrasi seolah dimaknai sekedar elektabilitas tanpa subtansi partisipasi dalam rangka mencapai kesejahteraan. Demokrasi diretriksi dalam terminology yang sempit. Maka tak heran, jika benih-benih politik dinasti yang tak berbeda dengan orde baru, muncul dari daerah hingga pentas politik nasional.

Jika dilihat secara objektif, hanya visi yang kelima yaitu Cabut Dwifungsi ABRI dan visi keenam, Amandemen UUD 1945 yang berjalan dengan baik. Dengan catatan kedua visi ini pun masih rentan terhadap aksi pembajakan.

GMGM
Gerakan Moral Gerakan Mahasiswa (GMGM) adalah paket perubahan, bagai dua sisi mata uang.  Kita meyakini bahwa gerakan mahasiswa adalah ruh suci yang lahir dari panggilan kemuliaan fitrah intelektualitas. Mengemban misi luhur sebagai sel social, dengan jangkauan jauh dari sentrumnya, baik secara vertikal maupun horizontal.

Ciri khas kaum muda yang melekat pada mahasiswa seperti dinamis, wawasan luas, mobilitas tinggi, fisik kuat, keterbukaan pemikiran dan idealisme yang mengkristal menjadi daya dorong bagi kelompok kecil di dalam masyarakat ini untuk menjadi agen social change  Maka tak heran jika sejak awal republik ini digagas, kelompok menengah inilah yang menjadi motor sekaligus katalisator.

Dari era perjuangan kemerdekaan hingga memasuki babak reformsi, kelompok mahasiswa tak pernah alpa menjadi aktor utama. Sederet nama telah mengisi etalase 'kepahlawanan' di negeri ini, mengukir sejarah dan menata wajah sejarah republik tercinta. Mereka berasal dari kelompok mahasiswa hingga namanya menelusup ke hati masyarakat Indonesia bahkan dikenal dunia. Sebut saja misalnya M. Yamin, Sutan Syahrir, Douwes Dekker, Sutomo, Soe Hok Gie, Hariman Siregar hingga Fahri Hamzah ataupun Anas Urbaningrum. Mereka menemukan momentum kepahlawanan diantara ruang artikulasi intelektualitas dan heroisme.

Keberhasilan gerakan mahasiswa di masa lalu melaksanakan tugasnya, tentu tak lepas dari pemahaman akan fiqhul waqi', yaitu kecerdasan membaca realitas. Berkontribusi sesuai dengan kebutuhan zaman. Di masa perjuangan kemerdekaan misalnya, gerakan merekatkan kelompok pemuda yang masih chauvinistik (kedaerahan) menjadi tugas utama untuk mencapai Indonesia merdeka. Kekuatan perlawanan baik dalam bentuk membumikan ide nasionalisme hingga perlawanan konfrontatif  (perang bersenjata) dengan kolonialis.

Di masa Orde Baru dan Orde Lama pun, yang pada awalnya menempatkan mahasiswa sebagai partner, memberi ruang kontribusi hingga menjadi bagian di dalam pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif. Karena merasa terusik dengan beberapa keputusan pemerintah yang tidak lagi akomodatif terhadap rakyat, akhirnya mahasiswa balik melawan. Menjadi momok bagi pemerintah.
Angkatan '66  dengan kolaborasi kekuatan Islam dan militer, gerakan mahasiswa berhasil menggulingkan Orde Lama  dan angkatan '74 yang melawan kebijakan liberasi (utang) rezim Soeharto kepada pemerintah Jepang.  Jika membaca sejarah gerakan mahasiswa masa lalu, maka satu simpulan simplistik bahwa gerakan mereka adalah gerakan terencana dan menyesuaikan dengan kebutuhan zaman.

Ada masa yang menuntut gerakan untuk menjadikan jalanan sebagai panggung artikulasi melalui propaganda, dan soft counter attack kepada pemerintah. Juga ada masa ketika gerakan kembali  berkontemplasi di kampus-kampus melalui forum diskusi membentuk jejaring intelektualitas.
Pun ada masa ketika gerakan mahasiswa harus terlibat di dalam pemerintahan misalnya Muhammad Yamin yang menyusun teks Pancasila hingga Syahrir yang menjadi Perdana Menteri pertama republik ini. Semua lahir dan besar dari gerakan mahasiswa yang memiliki narasi. Gerakan melalui proses grand design strategi yang jauh dari karakter pragmatisme.

Melihat realitas gerakan pasca reformasi, kita sedikit miris. Selain terjadi friksi hingga melemahkan gerakan, di masa ini mahasiswa pun justru menjadi kelompok intelktual marginal dari dunianya. Latah, tak mampu merumuskan gerakan. Bahkan ada realitas yang sangat lucu, maksud hati ingin menyuarakan aspirasi masyarakat, tetapi disisi lain masyarakat yang telah cerdas dan mampu mengartikulasi aspirasi, menjadi apatis bahkan melawan klaim advokasi yang dilakukan mahasiswa.
Ambivalensi ini tentu menjadi cambuk bagi mahasiswa untuk kembali melakukan kontemplasi dan muhasabah. Menemukan kerancuan yang kontraporduktif. Kemudian menggagas gerakan masa depan dengan pendekatan dan mainstream baru.

Menarik titik sintetis antara ancaman kegagalan reformasi dengan gerakan mahasiswa yang mengalami alienasi, maka membangkitkan gerakan moral gerakan mahasiswa (GMGM) menjadi  kewajiban untuk eksistensi. Kohesifitas (daya tarik) yang hilang hanya bisa dikembalikan dalam ruang sakral, tempaan moralitas secara berkesinambungan, sebagaimana kebutuhan kebangsaan saat ini.

Moralitas untuk menyatukan gerakan, moralitas untuk mengawal agenda reformasi, moralitas untuk mengisi ruang-ruang publik, moralitas untuk menyiapkan stock pemimpin masa depan. Karena mereka yang kini di pemerintahan sebagian besar berasal dari latar belakang aktivisme, namun toh tidak mampu menjawab ekspektasi rakyat Indonesia. Mahasiswa jangan lagi dijadikan sebagai pendorong kereta mogok. Namun harus mampu mengisi gerbong-gerbong perubahan. Selamat Hari Reformasi!

Tidak ada komentar: