17 Mei 2011

Makalah : Tokoh-tokoh Tashawuf Irfani

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling tinggi dibanding makhluk Tuhan lainnya. Manusia di anugerahi kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan kelebihan itulah manusia seharusnya mampu mengelola lingkungan dengan baik.
Tidak hanya lingkungan yang perlu dikelola dengan baik, kehidupan sosial manusiapun perlu dikelola dengan baik. Untuk itulah dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berjiwa pemimpin, paling tidak untuk memimpin dirinya sendiri.
Dengan berjiwa pemimpin manusia akan dapat mengelola diri, kelompok dan lingkungan dengan baik. Khususnya dalam penanggulangan masalah yang relatif pelik dan sulit. Disinilah dituntut kearifan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan agar masalah dapat terselesaikan dengan baik.


B.TUJUAN
1.        Tujuan Umum
Agar mahasiswa dapat menjelaskan tentang biografi tokoh-tokoh Tasawuf Irfani beserta ajaran-ajarannya.
2.        Tujuan Khusus
a.         Agar mahasiswa mengetahui dan mehamai biografi Rabi’ah Al-Adawiyah beserta ajarannya.
b.         Agar mahasiswa mengetahui dan mehamai biografi Dzu al-Nun Al-Mushri beserta ajarannya.
c.         Agar mahasiswa mengetahui dan mehamai biografi Al-Hallaj beserta ajarannya.
d.         Agar mahasiswa mengetahui dan mehamai biografi Abu Yazid Al-Busthami beserta ajarannya.

BAB II
PEMBAHASAN
TOKOH-TOKOH TASAWUF IRFANI


A.     Rabi'ah al-Adawiyah
1.      Biografi Singkat Rabi'ah al-Adawiyah
Menurut Ibnu Khalikan, nama lengkap Rabi’ah al-Adawiyah adalah Ummul Khair Rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qisiyah. Dia dilahirkan sekitar awal abad kedua Hijrah di kota Basrah Iraq. Para ahli sejarah mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun dimana Hasan Bashri memulai mengadakan majlis ta’limnya. Peristiwa itu terjadi pada tahun 95 H atau 96 H. Yang kemudian dikutip oleh  Margaret Smith dalam disertasinya  yang berjudul Rabi’ah the Mystic & Her Fellow – Saints in Islam, yang menulis bahwa Rabi’ah mungkin lahir sekitar tahun 95-99 H di Bashrah, di mana ia banyak menghabiskan kehidupannya di sana. Dalam Ensiklopedi Islam, ditulis bahwa Beliau lahir tahun 95 H / 713 M.
Rabi’ah lahir di dunia tanpa panggilan yang indah dan menawan. Cukup “Anak keempat”, yang dalam bahasa Arab disebut Rabi’ah. Ia tidak memiliki nama bagus sebagaimana lazimnya anak yang lahir pada masanya. Namanya sekedar pernyataan bahwa ia anak keempat dari keluarga Ismail al-Adawi.
Ayah Rabi'ah wafat saat ia menginjak remaja. Beberapa waktu kemudian wafat pula ibunya, sehingga Rabi'ah merasakan kepahitan hidup sebagai yatim piatu yang sempurna, tanpa ayah dan tanpa ibu. Kedua orang tuanya tidak  meninggalkan harta apapun, sehingga penderitaan Rabi'ah semakin bertumpuk, tidak merasakan cinta dan kasih sayang kedua orang tuanya. Ketika kota Bashrah mengalami kemarau, Rabi'ah Adawiyah dan saudara-saudaranya meninggalkan gubuk, menyusuri jalan mencari sesuap nasi. Nasib memisahkan Rabi'ah dengan saudara-saudaranya.
Ketika itu Rabi'ah sedang berjalan seorang diri menelusuri lorong jalan kota Bashrah. Tiba-tiba seseorang menyekap dan menculiknya. Mulutnya dibungkam dengan sehelai kain. Kemudian ia dibawa, dan dijual dengan harga enam dirham.
Kemerdekaan Rabi'ah telah dirampas. Kini ia sebagai hamba sahaya (budak). Menjadi pembantu di rumah orang yang telah membelinya. Lelaki yang bengis, biadab, kejam dan tak punya rasa belas kasih. Tubuh Rabi'ah semakin kering kerontang. Ia diperlakukan dengan kasar. Makanan yang diberikan hanyalah sisa-sisa mereka. Pakaiannya pun hanya sepotong kain yang sudah compang-camping. Meskipun demikian, betapapun pahitnya kehidupan yang dijalani, tetap diterimanya dengan tabah  dan sabar. Shalat malam tetap dilakukan secara rutin, dan lisannya tak pernah berhenti dari zikir. Istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkan.
Musibah yang bertubi-tubi malah menjadi motivasi bagi Rabi'ah untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah. sebab dengan ibadah itulah ia dapat melupakan semua penderitaan dan kesengsaraan yang dialami. Penderitaan lahir batin ia lalui dengan penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah. Ia senantiasa bermunajat, bertasbih dan beristighfar. Saat munajat kepada Allah, air matanya mengalir dari kelopak sucinya. Ia tidak memohon kepada Allah untuk membebaskannya dari siksaan yang ia hadapi, tetapi ia hanya ingin mengetahui satu hal, apakah Tuhannya telah ridha kepadanya, ataukah tidak ridha ? Rabi'ah Adawiyah tidak menginginkan apapun selain keridhaan dari Allah.
Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan melalui jendela melihat Rabi'ah sedang sujud dan berdo’a, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang sebentar pun dari mengabdi kepada-Mu.” Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut, semalaman termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi'ah, bersikap lunak padanya, dan membebaskannya.
Setelah menikmati kebebasan, Rabi'ah menjalani kehidupan sufistik, beribadah dan berkhalwat (menyepi), lebih memilih kemiskinan daripada gemerlapan kehidupan duniawi. Ia hidup menyendiri, tidak menikah, dan enggan menerima bantuan materiil dari orang lain. Dengan sikap dan kesalehannya itu, namanya sebagai orang suci dan pengkhotbah makin lama makin harum. Ia dihormati oleh orang-orang zuhud semasanya dan sering dikunjungi untuk tukar-menukar pengalaman mengenai masalah kesufian. Para sufi yang sering berkunjung antara lain Malik bin Dinar (w. 171 H), Sufyan as-Sauri (97-176 H), Syaqiq al-Balkhi (w. 194 H/810 M), dan lain-lain.
Terdapat beberapa keterangan mengenai tahun kematian Rabi'ah. Ada yang menyebut 135 H/752 M, yang lain menyebut 185 H/801 M. Menurut Ibn Jawzi dalam kitab Shodhur al-‘Aqud, Abu al-Mahasen Taghriberdi  dalam kitab an-Nujum al-Zahira, dan Ibnu Ahmad Hambali dalam kitab Shadhar at al-Dhahab, dikatakan bahwa Rabi'ah wafat pada tahun 135 H.Sedangkan menurut Abdur Ra’uf al-Munawi dalam kitab Tabaqat al-Auliya, dikatakan bahwa Rabi'ah wafat tahun 180 H. Menurut Louis Masisignon, Rabi'ah meninggal pada usia tidak kurang dari 80 tahun, yakni pada tahun 185 H (801 M). Pendapat tersebut dikutip oleh Margaret Smith, dimana ia mengatakan bahwa, Rabi'ah al-Adawiyah wafat pada tahun 185 H (801 M) dan ia dimakamkan di Bashrah. Dan pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat. Hal ini didasarkan bahwa Rabi'ah( wafat pada tahun 185 H) adalah persahabatannya dengan Rabah, dan pertemuannya dengan Sufyan al-Tsauri yang datang ke Bashrah sesudah tahun 155 H. Dan juga cerita tentang lamaran Sultan Muhammad bin Sulaiman yang menjadi Gubernur Bashrah dari dinasti Abbasiyah sejak tahun 145 H sampai dengan tahun 172 H.
2.      Ajaran Tasawuf Rabi'ah al-Adawiyah
Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Rabi'ah memang identik dengan “cinta” dan “air mata”, identik dengan citra dan kesucian. Tidak berlebihan apabila sepanjang zaman para pengkaji sejarah tasawuf, bahkan para penempuh jalan Sufi sendiri, merasakan adanya kekurangan manakala belum “menghadirkan” spirit Rabi'ah dalam ulasan dan kontemplasinya. Sebagai seorang guru dan panutan kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para Sufi, dan praktis penulis-penulis besar Sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya, sebagai seorang ahli tertinggi.
Mahabbah (rasa cinta) adalah keinginan untuk memberikan barang yang terbaik yang dimilikinya yakni hatinya, kepada kekasih. Cinta adalah kesatuan niat, kemauan dan cita-citanya dengan sang kekasih.
Cinta (mahabbah) kepada Allah adalah tujuan puncak dari jenjang-jenjang sufisme. Di dalamnya terkandung unsur Kepuasan Hati (ridha), Kerinduan (syauq), dan Keintiman (uns). Ridha mewakili – pada satu sisi – ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan, dari seorang pecinta terhadap kehendak Yang Dicinta, syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan Kekasih, dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu. Dari tahap cinta ini seorang ahli akan langsung meraih ma’rifat, dimana ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan menyatu dengan-Nya, suatu penyatuan yang terjadi bukan hanya di dunia saja, tetapi abadi hingga kehidupan akhirat.
Seorang pecinta, sebagaimana dikatakan oleh Abu Nashr al-Siraj, berada dalam tiga al-ahwal (kondisi atau tahapan) sebagai berikut : Tahapan pertama dari mahabbah adalah mahabbah al-‘Ammah (cinta kaum awam), dari cinta tersebut lahirlah kebaikan Allah dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Tahapan kedua adalah mahabbah al-Shadiqin wa al-Mutahaqiqin, yaitu cintanya orang-orang yang jujur dan terpercaya. Cinta ini terlahir karena pandangan hati kepada kekayaan Allah, kemuliaan-Nya, keagungan-Nya, ilmu-Nya, kekuasaan-Nya. Tahapan ketiga adalah mahabbah al-Shiddiqin wa al-‘Arifin, yaitu cintanya kaum orang-orang yang jujur dan ahli makrifat. Cinta ini lahir dari pandangan dan makrifat mereka atas sifat qadim-Nya cinta Allah tanpa adanya sebab. Oleh karena itu merekapun mencintai Allah tanpa sebab.
 Rabi'ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah (cinta mistik), yaitu penyerahan diri total kepada “Kekasih” (Allah). Hakikat tasawufnya adalah habbul-illah (mencintai Tuhan Allah SWT). Ia senantiasa beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan surga, yang mengandung segala kelezatan bagi nafsu, dan bagi pandangan mata. Ia beribadah juga bukan disebabkan oleh karena takut terhadap neraka yang apinya menyala-nyala. Sesungguhnya Rabi'ah Adawiyah beribadah kepada Allah, dalam keadaan cinta kepada Allah, cinta terhadap Dzat-Nya yang suci.
Ia tidak mau menjadi seperti seorang buruh yang jahat, yang apabila diberi upah merasa senang dan apabila tidak diberi upah lantas membenci. Ia juga tidak mau seperti seorang budak yang bekerja karena cambuk atau karena uang. Rabi'ah Adawiyah ingin agar manusia mengikuti jejaknya, berjalan di atas pijakan yang ia tempuh. Maksudnya, mereka menyembah Allah karena Dzat-Nya itu sendiri, bukan karena takut kepada neraka-Nya, atau karena tamak untuk mendapatkan surga-Nya.
Terkadang, ia menjelaskan sikapnya ini dengan tamsilan. Suatu hari, orang melihat Rabi'ah membawa air di tangan kiri, dan api di tangan kanannya. Orang pun bertanya, “Kemana engkau, Rabi'ah?” dengan tangkas Rabi'ah menjawab, “Saya mau ke langit untuk membakar surga dan memadamkan api neraka, agar keduanya tak menjadi sebab manusia menyembah-Nya”. Tentu saja orang awam heran melihat perilaku Rabi'ah yang tak masuk akal itu. Bukankah membakar surga dengan api dunia atau memadamkan api neraka dengan air dunia adalah kemustahilan ? Tapi orang-orang yang berilmu mengerti bahwa apa yang tersirat di balik perilaku Rabi'ah itu. Mereka tahu, ini adalah salah satu caranya, agar manusia menyembah Allah dengan ikhlas – bukan menyembah-Nya karena surga atau takut neraka.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ah sebagai berikut :
“Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu, karena takut dari siksa  neraka-Mu, maka bakarlah diriku dengan api itu. Dan jika  menyembah-Mu karena mengharapkan masuk ke surga-Mu, maka haramkanlah surga itu dari diriku. Namun, jika aku menyembah-Mu,karena cinta kepada-Mu, maka berikanlah balasan-Mu yang besar itu kepadaku. Izinkan aku menyaksikan wajah-Mu Yang Agung dan Mulia.”

1.      Biografi Singkat Dzu al-Nun al-Misri
Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-Anshari (772 -860 M) yang dijuluki Sahib al-Hut (pemilik ikan). Ia dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma’rifat. Ma’rifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah ‘ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma’rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana diketahui bahwa kalangan sufi membedakan jalan sufistik kedalam tiga macam: (1) makhafah (jalan kecemasan dan penyucian diri; tokohnya adalah Hasan al-Basri); (2) mahabbah (jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri, dengan tokohnya Rabi’ah al-Adawiyah); (3) ma’rifah (jalan pengetahuan).
2.      Ajaran Tasawuf Dzu al-Nun al-Misri
Menurutnya, ma’rifah adalah fadl (anugerah) semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Tuhannya, maka semakin pula ia dekat, khusyu’ dan mencintai-Nya. Ia termasuk meyakini bahwa ma’rifat sebenarnya adalah puncak dari etika baik vertical maupun horizontal. Jadi, ma’rifat terkait erat dengan syari’at, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh Allah. Demikian pula, dalam kehidupan sesame, seorang ‘arif akan senantiasa mengedepankan sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan keadilan.
Hakikat ma’rifat bagi Dzun al-Nun al-Misri adalah al-Haq itu sendiri. Yakni, cahaya mata hati seorang ‘arif dengan anugerah dari-Nya sanggup melihat realitas sebagaimana al-Haq melihatnya. Pada tingkatan ma’rifat, seorang ‘arif akan mendapati penyingkapan hijab (kasyf al-hijab). Dengan pengetahuan inilah, segala gerak-gerik sang ‘arif senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah. Ia menjadi mata, lidah, tangan dan segala macam perbuatan dari Allah.
غرفت ربي بربي ولو لا ربي لما عرفت ربي
“Aku ma’rifat pada Tuhanku sebab Tuhanku, andaikata bukan karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan ma’rifat kepada-Nya.”
Ia membagi ma’rifat menjadi tiga macam:
(1)     ma’rifat al-tauhid, yakni doktrin bahwa seorang mu’min bisa mengenal Tuhannya karena memang demikian ajaran yang telah dia terima,
(2)     ma’rifat al-hujjah wa al-bayan, yakni ma’rifat yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Bentuk kongkritnya, mencari dalil atau argument penguat dengan akal sehingga diyakini adanya Tuhan. Tetapi, ma’rifat kaum teolog ini belum bisa merasakan lezatnya ma’rifat tersebut;
(3)     ma’rifat sifat al-wahdaniyah wa al-fardhiyah, yakni ma’rifat kaum muqarrabin yang mencari Tuhannya dengan pedoman cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl (limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan tabir antara Tuhan dengan manusia). Karena pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati dan bukannya akal.

C.      Abu Yazid al-Bustami
1.      Biografi Singkat Abu Yazid al-Bustami
Abu Yazid Tahifur bin Isa dari Al-Bisthami dilahirkan pada tahun 188 H. di Bistham Khurasan, Persia. Tidak banyak diketahui tentang riwayat kehidupannya. Ia dibesarkan di dalam keluarga yang taat beragama. Sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke Masjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. Setelah besar ia melanjutkan pelajarannya ke berbagai daerah. Di antara gurunya adalah Abu Ali dari Sind.
Abu Yazid tidak meninggalkan karangan yang dapat dipelajari, namun demikian ajaran-ajarannya tersebar melalui lisan murid-muridnya. Salah satu sumber terpenting adalah kitab yang berjudul Al-Nur Min Kalimat Abi Thaifur karangan Al-Sahlaji.
Dari berbagai riwayat diketahui bahwa Abu Yazid adalah seorang faqih, pengikut Abu Hanifah tetapi kehidupannya berubah dengan memasuki dunia tasawuf. Menurut Abu Yazid, Wali Allah itu ada tiga macam, seorang zahid karena zuhudnya, seorang Abid karena ibadahnya, dan seorang Alim karena ilmunya.
Abu Yazid sendiri menjalani jalan pertama. Selama 30 tahun ia berkelana di padang pasir Syiria, hidup dengan zuhud, sedikit makan, sedikit minum, dan sedikit tidur. Ia mengatakan :
Orang yang arif tidak tergantung pada cita-citanya kepada yang diangan-angankannya dan seorang zahid tidak tergantung cita-citanya dari apa yang dimakan. Berbahagialah orang yang dapat menghimpun cita-citanya menjadi satu yaitu semata kepada Allah, dn hatinya tidak terganggu dengan apa yang dilihat oleh matanya dan apa yang didengar oleh telinganya di dunia ini. Barang siapa yang mengenal Allah, maka sesungguhnya ia zuhud dari segala sesuatu yang mengganggu dirinya”.
Dari zuhud tumbuh cinta yang mendalam. Mahabah yang ada pada Abu Yazid selalu mendalam dan selalu meluas hingga selalu menghanyutkan dirinya tenggelam di dalam kezuhudannya. Dalam keadaan demikian ia beroleh marifah hakiki: “Aku mengenal Allah dengan Allah dan Aku mengenal selain Allah dengan nur Allah”. Dalam maqam-maqam seperti ini ia tidak lagi dalam dirinya karena dengan dirinya ia beroleh beberapa kesalahan. “Mengira bahwa Aku telah mengingat Dia, mengenal Dia, mencintai Dia, dan memohon kepada-Nya. Tetapi setelah Aku menyadari, jelaslah bagiku bahwa mengingatnya mendahului ingatku, marifah-Nya mendahului marifahku, cinta-Nya mendahului cintaku, penetapannya mendahului permohonanku”
2.      Ajaran Tasawuf Abu Yazid al-Bustami
Mahabbah, marifah, dan maqom lainnya adalah selalu berkembang, selalu meluas, dan selalu mendalam hingga pada akhirnya ia tidak lagi berada dalam dirinya dan memasuki maqom fana. “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku sehingga Aku fana, kemudian Aku tahu pada-Nya melalui Dia maka Aku pun hidup”.  Dalam kesempatan lain Abu Yazid berkata: “Dia membuat gila pada ku sehingga aku mati,   kemudian Dia membuat aku gila padanya kemudian Aku hidup. Aku berkata, gila pada diriku adalah fana dan gila pada–Mu adalah Baqo”. Melalui konsep fana dan baqo seorang sufi meningkat dalam tajrid fana fi tauhid dan tidak ada lagi kecuali Al-Wahidul Ahad, tenggelam dan sirna dalam keesaan ilahi dalam keadaan demikian, Abu Yazid berkata: ”Menjadilah sifatku, menjadi sifat rububiyah, lidahku adalah lisan tauhid dan isyaratku adalah isyarat keabadian. Aku Abu Yazid semakin jauh dan mendalam ke dalam lautan fana, hingga menyatu dengan Tuhan (ittihad) dengan kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (sythatah)”.

Ucapan-ucapan Abu Yazid

Ucapan-ucapan  yang bersifat sythatat diucapkan oleh Abu Yazid: “Tidak ada Tuhan selain Aku, maha suci Aku, maha suci Aku , maha besar Aku”.
Keadaan Abu Yazid dan ucapan-ucapan itu menimbulkan berbagai tanggapan. Dzu nun Al-Mishri mengutus sahabatnya untuk menemui Abu Yazid. Ketika utusan itu sampai, diketuklah pintu rumah Abu Yazid terjadilah percakapan antara Abu Yazid dengan tamunya:
Abu Yazid    :  “Siapa di luar”?
Tamu           :  “Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid”!
Abu Yazid    :  “Abu Yazid siapa? Di mana dia, saya pun mencari  Abu Yazid”.
Rombongan tamu itu pun pulang dan memberitahukan kepada Dzu Nun. Mendengar keterangan itu Dzu Nun berkata: ”Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan ia sedang fana”. Kalangan sufi berbeda pendapat, ada yang berusaha untuk memberikan penafsiran sehingga sesuai dengan tasawuf yang lazim seperti Abdul Qodir Jaelani, Al-Sharaj, Al-Thusi, dan Junaidi Al-Baghdadi. Yang menolak dan tidak membenarkannya seperti Ibnu Jauzi dan Ibnu Salim. Kalangan sufi ada juga yang tidak yakin berasal dari Abu Yazid, seperti Syekhul Islam Abdullah Al-Anshari dan Imam Dzahabi. Al-Sahlaji memper-ingatkan agar orang berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan antara pendapat Abu Yazid dan pendapat lain yang merupakan pendapat sendiri tetapi dinisbahkan kepadanya.
Adapun Al-Jurzani berusaha membiarkan apa yang dikemukakan Abu Yazid dan melarang membicarakannya kecuali bagi mereka yang sudah setarap maqom Abu Yazid. Abu Yazid meninggal dunia di Bishtam pada tahun 261 H/874 M. dan dikuburkan berjajaran dengan Al-Hujwiri, Nashir Khusrow, dan Yaqut.

D.     Abu Manshur al-Hallaj
1.      Biografi Singkat Abu Manshur al-Hallaj
Nama lengkapnya Abul Mubhist Al-Husain Bin Manshur Al-Khallaj di lahirkan di Baidha Persia pada tahun 244H/858.
Dalam usia 61 tahun ia belajar kepada sufi besar Sahal bin Abdullah al-Tustari di Ahwaz. Sehabis mempelajari keilmuan dengan sufi tersebut ia pergi ke Basrah dan belajar pada Amr Ibnu Utsman Al-Makki sebagai seorang sufi terkemuka di zamannya. Tetapi tidak lama kemudian ia pindah pada tahun 264H/878 ia pergi ke Baghdad dan belajar kepada Junaid Al-Baghdadi, pemuka semua sufi, namun tidak diterima hingga meninggalkan tanpa izin.
Al Khallaj selalu hidup berpindah-pindah dalam pengembaraan yang panjang. Di dalam pengembaraan itu ia telah tinggal Tustur, Khurasan, Sijistan, Karman,  Persia, Ahwaz, Basrah dan Baghdad. Al-Khallaj juga mengembara ke daerah Timur dimulai dari Turkistan, Mesir dan beberapa daerah di India. Selama dalam perjalanan ia mendapat gelaran yang bermacam-macam. Di Baghdad ia digelari dengan Al-Mushtalam, di Tukistan dengan Al-Mukiths, di India dengan Al-Mugihst dan sebagainya.
Selama dalam pengembaraan itu telah melaksanakan ibadah haji selama tiga kali dan setelah melaksanakan haji yang ketiga itulah ia menetap di Baghdad dan mengajarkan ajaran-ajaran tasawufnya yang berbeda dengan ajaran-ajaran tasawuf sebelum dan bahkan sezaman dengannya.
Dalam menanggapi ajaran tasawuf maka masyarakat  terpecah dan stabilitas terganggu. Kalangan ahli tasawuh sendiri terpecah belah, ada yang mendukung terhadap Al-Khallaj, dan ada juga yang menolak bahkan menganggap dirinya sebagai tukang sihir. Berdasarkan laporan masyarakat, maka pemerintah segera menahan dan  menyeretnya ke pengadilan. Pengadilan memutuskan untuk menghukum mati terhadap dirinya.
Selama di penjara, Al-Khallaj banyak menulis buku dan konon hingga mencapai 48 buku. Judul-judul kitabnya itu tampak asing  dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit dipahami. Antara lain:
1.      As-Sahaihur Fi Naqshid Duhur
2.      Kaifa Kana Wakaifa Yakun
3.      Al-Abad Wa Al-Mabud
4.      Kitab Huwa-Huwa
5.      Sirru Al-Alam Wa Al-Tauhid
6.      Al-Thawasin Al-Azal
7.      dan lain-lain
Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman mati dilaksanakan, kitab yang ia karang pun ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang disimpan pendukungnya yaitu Ibnu Atha dengan judul Al-Thawasi Al-Azal. Dari kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui tentang ajaran-ajaran Al-Khallaj dalam tasawuf.
Al-Khallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut, demikian juga manusia. Melalui maqomat, manusia mampu ke tingkat fana, suatu tingkat di mana manusia telah mampu menghilangkan nasutnya dan meningkatlah lahutnya yang mengontrol dan menjadi inti kehidupan. Yang demikian itu memungkinkan untuk hululnya Tuhan dalam dirinya, atau dengan kata lain Tuhan menitis kepada hamba yang dipilihnya melalui titik sentral manusia yaitu roh.
            Ungkapannya yang sangat masyhur adalah; Telah berbaur rohmu dengan rohku, laksana berbaurnya khamar dan air bening, bila menyentuhmu tersentuhlah Aku, sebab engkau adalah Aku dalam segala hal, Akulah orang yang kurindui, dan orang kurindui adalah Aku, kamu dua roh bersatu dalam badan, kalau engkau lihat Aku engkau lihat dia, bila engkau lihat dia terlihat kami semua
2.      Ajaran Tasawuf Abu Manshur al-Hallaj
Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan “Aku adalah Al-Haq” bukanlah Al-Khallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya. Sementara itu hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan maqomat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqom fana . Fana bagi Al-Khallaj mengandung tiga tingkatan: Pertama; tingkatan memfanakan semua kecenderungan dalam jiwa dan keinginannya. Kedua; tingkatan memfanakan semua pemikiran, khayalan, perasaan, dan perbuatan hingga tersimpul semata-mata hanya kepada Allah, dan ketiga; tingkat menghilang semua kekuatan pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan fana al-fana, peleburan wujud jati manusia menjadi sadar ketuhanan melarut dalam hulul sehingga yang disadarinya hanya Tuhan.
Karena Tuhan adalah wahid, ahad, wahiid dan muwahid maka pada dasarnya tidak ada yang mengesakan Allah kecuali Allah itu sendiri. Selama manusia mengaku kedirian-Nya dalam mengesakan Allah itu, selama itu pula belum bertauhid dan masih dalam keadan syirik khaufi. Oleh karena Tuhan melarut dalam diri hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, maka tauhid si hamba yang dikehendaki itu adalah terhadap diri yang Fana Al-Fana di mana diri telah berubah kepada dia yang Al-Haq.
Salah satu teorinya yang lain adalah adanya Nur Muhammad. Al-Khallaj memandang kepada Nabi Muhammad kepada dua bentuk yang berbeda satu sama lain. Satu bentuk kepada nur Muhammad yang qodim yang telah ada sebelum adanya yang maujud ini dan dari padanya terpancar segala macam ilmu dan pengetahuan yang gaib. Yang kedua adalah bentuk nabi yang diutus keadaannya baru, dibatasi oleh tempat dan waktu dan dari sini lahir kenabian dan kewalian.
Ide nur Muhammad itu menghendaki adanya Insan Kamil sebagai manifestasi sempurna pada manusia. Dari sini Al-Khallaj menampilkan insan kamil itu bukan pada diri Nabi Muhammad sendiri tetapi kepada nabi Isa Al-Masih. Bagi Al-Khallaj Isa Al-Masih adalah Al-Syahid  ‘ala Wujudillah,  tempat tajalli dan berujudnya Tuhan. Demi-kian juga hidup kewalian yang sesungguhnya ada pada kehidupan Isa Al-Masih itu.
Dengan teori hulul dan insan kamil itu tidak dapat lagi diberikan batas diri dan bahkan batas agama, ia berbicara tentang roh universal dan jiwa universal. Oleh karena itu ia berbicara tentang agama-agama dalam kesatuan yang tidak berbeda antara yang satu dengan yang lain dan dengan satu Tuhan untuk semuanya baik dahulu maupun sekarang. Pembatasan-pembatasan dalam ibadah pun ditolak oleh Al-Khallaj seperti adanya Ka’bah sebagai pusat haji.
Demikianlah antara lain ajaran-ajaran tasawuf Al-Khallaj yang diwarnai oleh tauhid dan konsep hulul yang menjadi inti dari seluruh ajaran tasawufnya.

                        
BAB III
P E N U T U P

A.       Kesimpulan
Kecintaan (Mahabbah) Rabi’ah terhadap Allah menjadi sebuah hal yang tak terlukiskan. Apa yang dilakukannya sebetulnya merupakan ikhtiar seorang manusia untuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan penciptaNya. Disitulah ia memperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian dan kesejatian hidup. Sesuatu yang kini dirindukan oleh banyak orang. Menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenal tepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dari perasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah pengejaran cinta yang agung dari Penciptanya.
Ketika, kini, uang dan harta, tahta dan wanita, jabatan dan kedudukan, begitu didamba oleh banyak orang dan dipuja sebagai sumber kebahagiaan hidup, akankah kita ikut terlarut dalam euphoria cinta “salah kaprah” ini? Ketika Rabi’ah begitu jatuh bangun mengejar cinta Penciptanya, bersediakah kita jatuh bangun untuk mengejar Uang yang adalah benda mati ciptaan kita sendiri? Jawabannya ada pada hakekat tujuan hidup kita masing-masing.
Akhirnya  pemakalah berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi diri pemakalah sendiri. Saya sadar, makalah ini masih jauh dari sempurna, hal ini karena keterbatasan ilmu yang saya miliki. Untuk itu saran dan kritik demi kemajuan dan perbaikan makalah ini sangat diharapkan.

B.        Saran
            Apapun yang kita hadapi saat ini adalah tantangan untuk masa yang akan datang, dunia beserta segala isinya meruapakan karunia Tuhan yang harus kita syukuri dan kita nikmati, hanya saja seringkali manusia terlalaikan dengan keindahan manusia. Seri tasawuf yang dihadirkan para tokoh diatas semoga menjadikan kita lebih memaknai tentang kehidupan yang hakiki, kehidupan yang sejati dan menjadikan dunia ini sebagai tunggangan untuk menyiapkan diri menuju kehidupan yang sesungguhnya.
Wallâhu a‘lam bi ash – shawâb …
  


DAFTAR PUSTAKA


Abdul Mun’im Qandil, Figur Wanita Sufi : Perjalanan Hidup Rabi’ah Al Adawiyah, Surabaya, 1933.
AJ. Siraaj, A.H. Mahmoud, Perawan Suci dari Basrah : Jenjang Sufisme Rabi’ah Adawiyah, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2003.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 4, Cet. 4, Ichtiar Baru, Jakarta, 1997.
Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazami, Sufi Dari Zaman ke Zaman : Suatu Pengantar Tentang Tasawuf , Pustaka, Bandung, 1985.
Dr. Javad Nurbakhsh, Sufi Women,  Khaniqahi-Nimatullahi Publications, New York, 1983.
http://darisrajih.wordpress.com/2008/03/10/perindu-cinta-allah/#more-166.
Ibnu Taimiyah, Risalah Tasawuf Ibnu Taimiyah, Penerbit Hikmah, Jakarta, 2002.
Louis Massignon & Mustafa Abdur Raziq, Islam dan Tasawuf,  Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001.
Margaret Smith, M.A., Ph.D., Rabi’ah : Pergulatan Spiritual Perempuan, Risalah Gusti, Surabaya, 1997.

Tidak ada komentar: