Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id
Di dunia aktivisme, terutama aktivisme mahasiswa, kata "pragmatis" sudah tak asing lagi. Kata ini digunakan untuk melabeli tindakan seseorang yang hanya berfokus pada kepentingan diri sendiri. Seakan-akan, semua hal di dunia ini hanya bermanfaat jika memberi untung bagi dirinya.
Kata "pragmatis" sering diparadokskan dengan kata "idealis". Aktivis mahasiswa kerap disebut "idealis", sementara yang berorientasi keuntungan pribadi disebut "pragmatis". Bahkan kadang ada yang mendikotomikan aktivis dengan non-aktivis dengan parameter pragmatisme tadi. Saya tidak begitu sepakat dengan tesis kedua ini.
Benarkah demikian? Tulisan ini mencoba meredefinisi kata "pragmatis" di era modernisme lanjut (postmodern) seperti sekarang ini. Argumennya, "pragmatisme" bisa tampil dalam pelbagai wujud dan variannya.
Makna "Pragmatis"
Ada banyak literatur yang membahas "pragmatisme". Kata ini sendiri memiliki porsi dalam kajian-kajian filsafat barat. Wikipedia, sebuah ensiklopedi online terbuka, mendefinisikannya sebagai berikut, "The pragmatist proceeds from the basic premise that the human capability of theorizing is integral to intelligent practice. Theory and practice are not separate spheres; rather, theories and distinctions are tools or maps for finding our way in the world".
Artinya, pragmatisme -dalam kacamata filsafat- menitikberatkan analisa pada tindakan manusia. Sebagai turunan dari materialisme dan empirisisme yang melihat kebenaran pada aspek material (nyata), pragmatisme memandang bahwa teori pada dasarnya adalah alat untuk memenuhi tujuan hidup manusia di dunia. Aspek gagasan belum bersifat nyata jika tidak diaplikasikan dalam tindakan; tindakan itulah yang terpenting.
Pragmatisme sebagai sebuah aliran filsafat muncul di Amerika Serikat di pertengahan abad ke-20. Tokoh yang memperkenalkannya adalah John Dewey dan William Jones. William James, misalnya, beranggapan bahwa akar dari pengetahuan adalah fakta yang nyata. A tangible fact, katanya dalam sebuah kuliah. Ia mengutip Pierce, seorang penganut pragmatisme dalam kata-katanya, "All realities influence our practice, and that influence is their meaning for us. In what respects would the world be different if this alternative or that were true?" kata James mengutip Peirce.
Dalam moralitas, pragmatisme berpatokan pada rasionalitas. "Knowledge is what we should believe; values are hypotheses about what is good in action". Ini kemudian berimplikasi pada filsafat ilmu. Standard ilmiah menjadi landasan moral. Semuanya dibasiskan pada apa yang bisa dilakukan oleh manusia dalam tindakan-tindakannya. Dalam filsafat ilmu, pragmatisme punya saham yang kuat pada positivisme modern.
Saya tidak akan berpanjang-lebar menjelaskan pragmatisme. Intinya, pragmatisme berbasis pada tindakan manusia. Apa yang menguntungkan secara rasional, itulah yang dianggap baik. Intinya, imperatif kategoris -meminjam istilah Immanuel Kant- atau moral universal yang diterima orang banyak, menurut pemahaman ini, dilihat pada tindakan manusia yang rasional, yang menguntungkan dirinya.
Pragmatisme sangat berguna bagi para kolaborator dan pemburu proyek. Pertanyaannya, bagaimana dengan mahasiswa saat ini?
Dilema Mahasiswa
Dilema yang muncul pada idealisme gerakan mahasiswa cukup banyak. Pasca-reformasi, kita dihadapkan pada kampus yang berorientasi kerja. Mahasiswa diajarkan untuk dapat belajar dengan baik, sehingga cepat lulus, cepat bekerja, dan cepat mendapat penghasilan sehingga tidak lagi menjadi beban negara. Akan tetapi, di sisi lain, penanaman idealisme dalam kurikulum tidak sebanding dengan penanaman nilai pragmatis.
Beruntung, beberapa kampus masih memiliki mata kuliah berwawasan negara seperti Pancasila, Kewarganegaraan, atau Pendidikan Agama Islam di semester-semester awal. Itupun basisnya sangat teoretis, tidak pada ranah praksis. Beruntung pula masih ada program pemberdayaan masyarakat seperti KKN yagn diwajibkan untuk mahasiswa. Jika program seperti itu tidak ada lagi, apa jadinya idealisme mahasiswa?
Dengan konstruksi sistem sosial seperti ini, ada beberapa implikasi. Pertama, jika mahasiswa yang bersangkutan pandai, ia akan menjadi "intelektual menara gading". Ia hanya akan berkutat pada kepandaian akademisnya, sementara problem yang sifatnya praksis tidak menjadi ranah jangkauan. Semoga saya dan teman-teman tidak menjadi intelektual jenis ini.
Kedua, jika mahasiswa yang bersangkutan memiliki finansial yang kuat, ia akan menjadi mahasiswa yang hedonis. Aktivitas kuliah akan digabungkan dengan hura-hura. Atau, jika tidak hura-hura, kesenangan duniawi yang individualis menjadi tujuan hidup. Kuliah yang penting adalah mendapatkan keuntungan duniawi, lain dari itu selesai. Semoga kita juga terhindar dari jenis mahasiswa seperti ini.
Ketiga, jika mahasiswa yang bersangkutan memiliki kekuasaan, ia akan menindas orang lain. Praktik "gank" menjadi refleksi dari jenis ketiga ini. Pragmatisme akan berubah menjadi praktik penindasan manusia atas manusia dengan berbagai motifnya. Ini terutama terjadi di kota-kota besar yang punya kultur industrial.
Tentu masih banyak kategori mahasiswa lain jika pragmatisme menjadi basis nilai. Kita belum berbicara mengenai agama. Pragmatisme -dalam bentuknya yang ekstrem- bisa saja menolak agama karena ia tidak menguntungkan bagi diri sendiri. Kelahiran pragmatisme di Amerika Serikat hadir dalam ranah sekularisme: negara berada dalam posisi terpisah dengan agama. Tentu, ini berbeda dengan budaya keindonesiaan yang menghargai religiusitas dan penuh dengan basis moralitas.
Semoga yang saya sampaikan itu sifatnya hipotetis. Silakan saja jika ada yang ingin menolak. Tetapi, ada satu fenomena lain yang ingin saya sampaikan. Pragmatisme bisa saja muncul dari balik topeng gerakan mahasiswa. Ya, mereka yang disebut-sebut sebagai aktivis ternyata juga bisa terperosok ke dalam lubang pragmatisme.
Pragmatisme Aktivis
Dan sayangnya, masih banyak perilaku aktivis yang terjerembab pada pragmatisme. Saya punya beberapa ilustrasi untuk hal ini.
Pertama, logika bahwa gerakan mahasiswa itu harus kaya. Beberapa kawan memiliki pola pikir seperti ini setelah membaca tulisan seorang mentor tentang uang. Dilihat dari tulisannya (terutama di bagian III), tulisan beliau memang menyiratkan adanya nuansa pragmatisme. Konstruksi beliau mengenai realitas -yang penting untuk mengidentifikasi cara berpikir- mirip dengan konsep William James tentang realitas.
"Idea is a space of possibility", kata beliau. Ide takkan berarti apa-apa jika tak diterjemahkan menjadi "space of reality". Beliau bercerita mengenai tahapan penciptaan realitas, dari level gagasan menjadi level realitas. Kuncinya ada pada cara membuat realitas itu luas. Sangat materialistik, bukan? Gagasan ini sah-sah saja diterima, karena dibangun di atas tumpuan argumen yang kuat. Tetapi, jika diterjemahkan menjadi karakter gerakan, saya punya sedikit keberatan.
Bagi saya, tidak masalah jika gerakan mahasiswa harus eksis dengan adanya basis pembiayaan. Tetapi, tentu itu tak jadi tujuan. Aktivitas fundraising adalah instrumen untuk menggenapkan idealisme gerakan. Bahkan, dalam konteks saat ini, tujuan gerakan mahasiswa bukanlah untuk menjadi kaya, tetapi justru untuk membantu mereka yang miskin dan dhuafa, yang tertindas secara ekonomi ataupun oleh struktur sosial-politik yang ada.
Logika bahwa gerakan mahasiswa harus kaya, perlu sedikit digeser menjadi logika baru: gerakan mahasiswa harus mendorong fakir-miskin untuk keluar dari bayang-bayang kefakiran dan kemiskinan. Alternatif solusinya kemudian menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan sosial murni, dengan pijakan intelektualitas.
Kedua, logika bahwa gerakan mahasiswa harus eksis untuk dapat mempengaruhi kebijakan. Pernah, dalam sebuah forum, terlontar ucapan dari seorang senior gerakan. "Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menunjukkan eksistensi gerakan kita. Bagaimana mungkin kita dapat mempengaruhi kebijakan jika orang tidak tahu siapa kita?" Bagi saya, pernyataan ini lucu. Sebab, selain bernilai riya, ucapan ini juga menyiratkan fakta bahwa poin terpenting dalam gerakan adalah citra.
Aktivitas kehumasan adalah aktivitas yang sangat vital bagi gerakan mahasiswa. Saya tak membantah hal itu. Tapi, sekali lagi, citra gerakan bukan tujuan. Lucu jika ada gerakan yang hadir hanya untuk eksistensi diri. Untuk apa? Ini jelas bentuk pragmatisme.
Maka dari itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, intensi atau "nawaitu" dari bergerak. Hal ini sudah saya utarakan di tulisan sebelumnya. Kedua, cara bergerak. Apakah ini sesuai dengan idealisme yang tekstual atau sudah melenceng. Ketiga, tujuan bergerak. Harus dicermati lagi, untuk apa mahasiswa bergerak. Tujuan ini yang menentukan sejauh mana kemanfaatan itu dirasakan.
Artinya, saya sampai pada kesimpulan: pragmatisme itu bukan sekadar status mahasiswa. Ternyata, mereka yang mengaku aktivis pun bisa juga pragmatis. Ini yang perlu diubah dari saat ini.
Meneguhkan Idealisme
Saya sudah menceritakan persoalan proyek bagi gerakan mahasiswa di tulisan sebelumnya ("Gerakan Mahasiswa, Gerakan Proyek?"). Hingga saat ini, saya masih berpendapat bahwa mahasiswa masih memiliki idealisme, nilai yang dipegang sebagai sebuah pijakan dalam bergerak, yang termanifestasi dalam ideologi gerakannya. Ia menjelma menjadi alat kontrol gerakan dan sandaran idealisme secara tekstual.
Di tulisan sebelumnya, saya sudah menyatakan bahwa secara tekstual, idealisme bisa berwujud pada filosofi dan ideologi gerakan yang telah dirumuskan. Dan secara kontekstual, idealisme adalah konsistensi seorang aktivis pada nilai yang melekat erat pada gerakan tersebut. Praktik tidak dibasiskan pada pertimbangan "diri-sendiri" saja. Ada sesuatu beyond itu yang mendeterminasi tindakan manusia. Hal itu adalah nilai; moralitas; agama; dan idealisme yang berasal dari konstruksi gagasan manusia.
Menurut saya, ada dua hal yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam kerangka idealisme. Pertama, sejauh mana tindakan tersebut sesuai dengan basis idealisme tekstual yang dirumuskan oleh sebagai basis idealismenya. Kedua, sejauh mana tindakan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya. Dua hal ini penting untuk menghindarkan seseorang pada pola pikir pragmatis.
Adalah salah dan sesat pikir jika kita membuat paradoks antara mahasiswa "aktivis" dan mahasiswa "non-aktivis". Dikotomi ini tidak benar jika parameternya adalah idealis dan pragmatis. Idealisme tidak harus disimbolkan pada aktivisme. Ia adalah tindakan seseorang yang berpijak pada nilai dan kemanfaatan bagi lingkungan dan masyarakat. Seorang aktivis wajib memiliki hal ini. Tetapi, yang tidak bergiat dalam aktivisme pun juga harus memiliki hal ini.
Saya ingin meminjam istilah "zuhud" -dalam literatur tasawuf- sebagai alat untuk membaca idealisme. Ibnu Taimiyah pernah berkata, "Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang ditakuti akan bahayanya di akhirat". Dengan bahasa lain, zuhud berarti senantiasa mengedepankan idealisme ketika bertindak.
Saya tidak sedang menganjurkan sufisme. Tidak mungkin bagi kita untuk meninggalkan kehidupan dunia sebagaimana dianjurkan para sufi ketika tanggung jawab untuk membebaskan rakyat tertindas masih melekat pada diri kita. Tetapi, yang menjadi catatan, perilaku zuhud adalah antitesis dari perilaku pragmatis. Parameter bukan pada keuntungan diri sendiri, tapi kebermanfaatan bagi orang lain.
Idealisme memang mahal. Baru beberapa waktu lalu saya berbincang dengan beberapa orang. Ada yang menjadi aktivis LSM, ada yang menjadi peneliti politik, ada pula yang menjadi dosen. Ternyata, pragmatisme tidak pandang profesi. Menjadi seorang aktivis LSM atau dosen pun, yang namanya godaan proyek selalu mengintai. Di sinilah pembentukan karakter menjadi urgen. Apakah kita siap mempertahankan idealisme, atau justru menyerah pada tuntutan perut?
Ikhtitam
Sudahlah, saya akhiri saja tulisan sederhana ini. Saya tak berpretensi menyalahkan pragmatisme secara keseluruhan. Toh, tak mungkin juga kita selamanya memegang idealisme dengan kaku. Tentu ada fleksibilitas. Tetapi, moral imperatif kategoris -sebagaimana kata Kant- yang berbasis pada nilai kebaikan, bukan keuntungan, harus menjadi pilar.
Di sinilah pentingnya agama. Benar kata Rasulullah, "Agama itu nasihat". Ia adalah nasihat untuk senantiasa berbuat baik demi kemanfaatan orang lain. Terpenting, sebagai aktivis mahasiswa, agenda membebaskan rakyat tertindas harus menjadi agenda utama.Wallahu a'lam bish shawwab.
*) Penulis adalah Alumnus SMAN 1 Banjarmasin, kini menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Aktif menulis di berbagai media massa lokal dan nasional. Sekarang juga bergiat di Lingkar Studi Bulaksumur Yogyakarta, Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya, "Gerakan Mahasiswa, Gerakan Proyek?" Bisa dilihat di http://www.facebook.com/note.php?saved&¬e_id=10150183067894299#!/notes/ahmad-rizky-mardhatillah-umar/g erakan-mahasiswa-gerakan-proyek/10150183008114299
rizky_mardhatillah@yahoo.co.id
Di dunia aktivisme, terutama aktivisme mahasiswa, kata "pragmatis" sudah tak asing lagi. Kata ini digunakan untuk melabeli tindakan seseorang yang hanya berfokus pada kepentingan diri sendiri. Seakan-akan, semua hal di dunia ini hanya bermanfaat jika memberi untung bagi dirinya.
Kata "pragmatis" sering diparadokskan dengan kata "idealis". Aktivis mahasiswa kerap disebut "idealis", sementara yang berorientasi keuntungan pribadi disebut "pragmatis". Bahkan kadang ada yang mendikotomikan aktivis dengan non-aktivis dengan parameter pragmatisme tadi. Saya tidak begitu sepakat dengan tesis kedua ini.
Benarkah demikian? Tulisan ini mencoba meredefinisi kata "pragmatis" di era modernisme lanjut (postmodern) seperti sekarang ini. Argumennya, "pragmatisme" bisa tampil dalam pelbagai wujud dan variannya.
Makna "Pragmatis"
Ada banyak literatur yang membahas "pragmatisme". Kata ini sendiri memiliki porsi dalam kajian-kajian filsafat barat. Wikipedia, sebuah ensiklopedi online terbuka, mendefinisikannya sebagai berikut, "The pragmatist proceeds from the basic premise that the human capability of theorizing is integral to intelligent practice. Theory and practice are not separate spheres; rather, theories and distinctions are tools or maps for finding our way in the world".
Artinya, pragmatisme -dalam kacamata filsafat- menitikberatkan analisa pada tindakan manusia. Sebagai turunan dari materialisme dan empirisisme yang melihat kebenaran pada aspek material (nyata), pragmatisme memandang bahwa teori pada dasarnya adalah alat untuk memenuhi tujuan hidup manusia di dunia. Aspek gagasan belum bersifat nyata jika tidak diaplikasikan dalam tindakan; tindakan itulah yang terpenting.
Pragmatisme sebagai sebuah aliran filsafat muncul di Amerika Serikat di pertengahan abad ke-20. Tokoh yang memperkenalkannya adalah John Dewey dan William Jones. William James, misalnya, beranggapan bahwa akar dari pengetahuan adalah fakta yang nyata. A tangible fact, katanya dalam sebuah kuliah. Ia mengutip Pierce, seorang penganut pragmatisme dalam kata-katanya, "All realities influence our practice, and that influence is their meaning for us. In what respects would the world be different if this alternative or that were true?" kata James mengutip Peirce.
Dalam moralitas, pragmatisme berpatokan pada rasionalitas. "Knowledge is what we should believe; values are hypotheses about what is good in action". Ini kemudian berimplikasi pada filsafat ilmu. Standard ilmiah menjadi landasan moral. Semuanya dibasiskan pada apa yang bisa dilakukan oleh manusia dalam tindakan-tindakannya. Dalam filsafat ilmu, pragmatisme punya saham yang kuat pada positivisme modern.
Saya tidak akan berpanjang-lebar menjelaskan pragmatisme. Intinya, pragmatisme berbasis pada tindakan manusia. Apa yang menguntungkan secara rasional, itulah yang dianggap baik. Intinya, imperatif kategoris -meminjam istilah Immanuel Kant- atau moral universal yang diterima orang banyak, menurut pemahaman ini, dilihat pada tindakan manusia yang rasional, yang menguntungkan dirinya.
Pragmatisme sangat berguna bagi para kolaborator dan pemburu proyek. Pertanyaannya, bagaimana dengan mahasiswa saat ini?
Dilema Mahasiswa
Dilema yang muncul pada idealisme gerakan mahasiswa cukup banyak. Pasca-reformasi, kita dihadapkan pada kampus yang berorientasi kerja. Mahasiswa diajarkan untuk dapat belajar dengan baik, sehingga cepat lulus, cepat bekerja, dan cepat mendapat penghasilan sehingga tidak lagi menjadi beban negara. Akan tetapi, di sisi lain, penanaman idealisme dalam kurikulum tidak sebanding dengan penanaman nilai pragmatis.
Beruntung, beberapa kampus masih memiliki mata kuliah berwawasan negara seperti Pancasila, Kewarganegaraan, atau Pendidikan Agama Islam di semester-semester awal. Itupun basisnya sangat teoretis, tidak pada ranah praksis. Beruntung pula masih ada program pemberdayaan masyarakat seperti KKN yagn diwajibkan untuk mahasiswa. Jika program seperti itu tidak ada lagi, apa jadinya idealisme mahasiswa?
Dengan konstruksi sistem sosial seperti ini, ada beberapa implikasi. Pertama, jika mahasiswa yang bersangkutan pandai, ia akan menjadi "intelektual menara gading". Ia hanya akan berkutat pada kepandaian akademisnya, sementara problem yang sifatnya praksis tidak menjadi ranah jangkauan. Semoga saya dan teman-teman tidak menjadi intelektual jenis ini.
Kedua, jika mahasiswa yang bersangkutan memiliki finansial yang kuat, ia akan menjadi mahasiswa yang hedonis. Aktivitas kuliah akan digabungkan dengan hura-hura. Atau, jika tidak hura-hura, kesenangan duniawi yang individualis menjadi tujuan hidup. Kuliah yang penting adalah mendapatkan keuntungan duniawi, lain dari itu selesai. Semoga kita juga terhindar dari jenis mahasiswa seperti ini.
Ketiga, jika mahasiswa yang bersangkutan memiliki kekuasaan, ia akan menindas orang lain. Praktik "gank" menjadi refleksi dari jenis ketiga ini. Pragmatisme akan berubah menjadi praktik penindasan manusia atas manusia dengan berbagai motifnya. Ini terutama terjadi di kota-kota besar yang punya kultur industrial.
Tentu masih banyak kategori mahasiswa lain jika pragmatisme menjadi basis nilai. Kita belum berbicara mengenai agama. Pragmatisme -dalam bentuknya yang ekstrem- bisa saja menolak agama karena ia tidak menguntungkan bagi diri sendiri. Kelahiran pragmatisme di Amerika Serikat hadir dalam ranah sekularisme: negara berada dalam posisi terpisah dengan agama. Tentu, ini berbeda dengan budaya keindonesiaan yang menghargai religiusitas dan penuh dengan basis moralitas.
Semoga yang saya sampaikan itu sifatnya hipotetis. Silakan saja jika ada yang ingin menolak. Tetapi, ada satu fenomena lain yang ingin saya sampaikan. Pragmatisme bisa saja muncul dari balik topeng gerakan mahasiswa. Ya, mereka yang disebut-sebut sebagai aktivis ternyata juga bisa terperosok ke dalam lubang pragmatisme.
Pragmatisme Aktivis
Dan sayangnya, masih banyak perilaku aktivis yang terjerembab pada pragmatisme. Saya punya beberapa ilustrasi untuk hal ini.
Pertama, logika bahwa gerakan mahasiswa itu harus kaya. Beberapa kawan memiliki pola pikir seperti ini setelah membaca tulisan seorang mentor tentang uang. Dilihat dari tulisannya (terutama di bagian III), tulisan beliau memang menyiratkan adanya nuansa pragmatisme. Konstruksi beliau mengenai realitas -yang penting untuk mengidentifikasi cara berpikir- mirip dengan konsep William James tentang realitas.
"Idea is a space of possibility", kata beliau. Ide takkan berarti apa-apa jika tak diterjemahkan menjadi "space of reality". Beliau bercerita mengenai tahapan penciptaan realitas, dari level gagasan menjadi level realitas. Kuncinya ada pada cara membuat realitas itu luas. Sangat materialistik, bukan? Gagasan ini sah-sah saja diterima, karena dibangun di atas tumpuan argumen yang kuat. Tetapi, jika diterjemahkan menjadi karakter gerakan, saya punya sedikit keberatan.
Bagi saya, tidak masalah jika gerakan mahasiswa harus eksis dengan adanya basis pembiayaan. Tetapi, tentu itu tak jadi tujuan. Aktivitas fundraising adalah instrumen untuk menggenapkan idealisme gerakan. Bahkan, dalam konteks saat ini, tujuan gerakan mahasiswa bukanlah untuk menjadi kaya, tetapi justru untuk membantu mereka yang miskin dan dhuafa, yang tertindas secara ekonomi ataupun oleh struktur sosial-politik yang ada.
Logika bahwa gerakan mahasiswa harus kaya, perlu sedikit digeser menjadi logika baru: gerakan mahasiswa harus mendorong fakir-miskin untuk keluar dari bayang-bayang kefakiran dan kemiskinan. Alternatif solusinya kemudian menjadikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan sosial murni, dengan pijakan intelektualitas.
Kedua, logika bahwa gerakan mahasiswa harus eksis untuk dapat mempengaruhi kebijakan. Pernah, dalam sebuah forum, terlontar ucapan dari seorang senior gerakan. "Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menunjukkan eksistensi gerakan kita. Bagaimana mungkin kita dapat mempengaruhi kebijakan jika orang tidak tahu siapa kita?" Bagi saya, pernyataan ini lucu. Sebab, selain bernilai riya, ucapan ini juga menyiratkan fakta bahwa poin terpenting dalam gerakan adalah citra.
Aktivitas kehumasan adalah aktivitas yang sangat vital bagi gerakan mahasiswa. Saya tak membantah hal itu. Tapi, sekali lagi, citra gerakan bukan tujuan. Lucu jika ada gerakan yang hadir hanya untuk eksistensi diri. Untuk apa? Ini jelas bentuk pragmatisme.
Maka dari itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, intensi atau "nawaitu" dari bergerak. Hal ini sudah saya utarakan di tulisan sebelumnya. Kedua, cara bergerak. Apakah ini sesuai dengan idealisme yang tekstual atau sudah melenceng. Ketiga, tujuan bergerak. Harus dicermati lagi, untuk apa mahasiswa bergerak. Tujuan ini yang menentukan sejauh mana kemanfaatan itu dirasakan.
Artinya, saya sampai pada kesimpulan: pragmatisme itu bukan sekadar status mahasiswa. Ternyata, mereka yang mengaku aktivis pun bisa juga pragmatis. Ini yang perlu diubah dari saat ini.
Meneguhkan Idealisme
Saya sudah menceritakan persoalan proyek bagi gerakan mahasiswa di tulisan sebelumnya ("Gerakan Mahasiswa, Gerakan Proyek?"). Hingga saat ini, saya masih berpendapat bahwa mahasiswa masih memiliki idealisme, nilai yang dipegang sebagai sebuah pijakan dalam bergerak, yang termanifestasi dalam ideologi gerakannya. Ia menjelma menjadi alat kontrol gerakan dan sandaran idealisme secara tekstual.
Di tulisan sebelumnya, saya sudah menyatakan bahwa secara tekstual, idealisme bisa berwujud pada filosofi dan ideologi gerakan yang telah dirumuskan. Dan secara kontekstual, idealisme adalah konsistensi seorang aktivis pada nilai yang melekat erat pada gerakan tersebut. Praktik tidak dibasiskan pada pertimbangan "diri-sendiri" saja. Ada sesuatu beyond itu yang mendeterminasi tindakan manusia. Hal itu adalah nilai; moralitas; agama; dan idealisme yang berasal dari konstruksi gagasan manusia.
Menurut saya, ada dua hal yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam kerangka idealisme. Pertama, sejauh mana tindakan tersebut sesuai dengan basis idealisme tekstual yang dirumuskan oleh sebagai basis idealismenya. Kedua, sejauh mana tindakan tersebut bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya. Dua hal ini penting untuk menghindarkan seseorang pada pola pikir pragmatis.
Adalah salah dan sesat pikir jika kita membuat paradoks antara mahasiswa "aktivis" dan mahasiswa "non-aktivis". Dikotomi ini tidak benar jika parameternya adalah idealis dan pragmatis. Idealisme tidak harus disimbolkan pada aktivisme. Ia adalah tindakan seseorang yang berpijak pada nilai dan kemanfaatan bagi lingkungan dan masyarakat. Seorang aktivis wajib memiliki hal ini. Tetapi, yang tidak bergiat dalam aktivisme pun juga harus memiliki hal ini.
Saya ingin meminjam istilah "zuhud" -dalam literatur tasawuf- sebagai alat untuk membaca idealisme. Ibnu Taimiyah pernah berkata, "Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang ditakuti akan bahayanya di akhirat". Dengan bahasa lain, zuhud berarti senantiasa mengedepankan idealisme ketika bertindak.
Saya tidak sedang menganjurkan sufisme. Tidak mungkin bagi kita untuk meninggalkan kehidupan dunia sebagaimana dianjurkan para sufi ketika tanggung jawab untuk membebaskan rakyat tertindas masih melekat pada diri kita. Tetapi, yang menjadi catatan, perilaku zuhud adalah antitesis dari perilaku pragmatis. Parameter bukan pada keuntungan diri sendiri, tapi kebermanfaatan bagi orang lain.
Idealisme memang mahal. Baru beberapa waktu lalu saya berbincang dengan beberapa orang. Ada yang menjadi aktivis LSM, ada yang menjadi peneliti politik, ada pula yang menjadi dosen. Ternyata, pragmatisme tidak pandang profesi. Menjadi seorang aktivis LSM atau dosen pun, yang namanya godaan proyek selalu mengintai. Di sinilah pembentukan karakter menjadi urgen. Apakah kita siap mempertahankan idealisme, atau justru menyerah pada tuntutan perut?
Ikhtitam
Sudahlah, saya akhiri saja tulisan sederhana ini. Saya tak berpretensi menyalahkan pragmatisme secara keseluruhan. Toh, tak mungkin juga kita selamanya memegang idealisme dengan kaku. Tentu ada fleksibilitas. Tetapi, moral imperatif kategoris -sebagaimana kata Kant- yang berbasis pada nilai kebaikan, bukan keuntungan, harus menjadi pilar.
Di sinilah pentingnya agama. Benar kata Rasulullah, "Agama itu nasihat". Ia adalah nasihat untuk senantiasa berbuat baik demi kemanfaatan orang lain. Terpenting, sebagai aktivis mahasiswa, agenda membebaskan rakyat tertindas harus menjadi agenda utama.Wallahu a'lam bish shawwab.
*) Penulis adalah Alumnus SMAN 1 Banjarmasin, kini menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Aktif menulis di berbagai media massa lokal dan nasional. Sekarang juga bergiat di Lingkar Studi Bulaksumur Yogyakarta, Artikel ini merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya, "Gerakan Mahasiswa, Gerakan Proyek?" Bisa dilihat di http://www.facebook.com/note.php?saved&¬e_id=10150183067894299#!/notes/ahmad-rizky-mardhatillah-umar/g
Tidak ada komentar:
Posting Komentar