22 Februari 2012

Serpihan Intelektual KAMMI



“Tanpa rasa cinta yang mendalam terhadap KAMMI, kita tidak punya kemauan dan ketulusan untuk memberi dan berkorban. Pengorbanan bukanlah ‘ritual’ kewajiban sebagai anggota KAMMI. Pengorbanan di KAMMI haruslah menjadi ‘ritual’ cinta.”

SUATU ketika saya merenung, apa gerangan yang bisa saya berikan untuk KAMMI. Jika dihitung, maka harta saya tak seberapa. Alih-alih untuk KAMMI, untuk kebutuhan diri sendiri, istri dan anak saja selalu ‘kepepet’. Kalau ditelisik, gagasan saya juga seadanya. Alih-alih untuk berbagi, untuk diri sendiri saja masih mencari. Ah, daripada banyak berpikir dan berkhayal yang tidak-tidak, lebih baik saya melakukan sesuatu.

Ya, pada momentum usia 14 tahunnya KAMMI ini saya ingin memberi hadiah kepada KAMMI sebagai satu bentuk syukur kepada Allah Swt. dan wujud terima kasih kepada sesama aktivis KAMMI. Saya menulisnya dalam satu serpihan yang saya namai SERPIHAN INTELEKTUAL KAMMI : Upaya Membangun Tradisi.
Mungkin aktivis KAMMI ada yang berpikiran, “Ah itu tema istimewa yang berlebihan”. Betul, saya sadar bahwa judul ini terlalu bombastis—apalagi di KAMMI saya hanya Anggota Biasa (AB) yang berada pada “kulit luar” atau “akar rumput” dan bukan “isi dalam” atau “langitnya” KAMMI. Bahkan dalam konteks yang lebih jauh, bisa jadi saya bukan bagian dari KAMMI yang “KAMMI”. Saya teringat ungkapan Ust. Rahmat Abdullah, “Ada yang bersama dengan kita padahal bukan bagian dari kita, dan ada sebagian dari kita walau mereka tidak bersama kita”.
Sebagaimana saya yang hanya AB itu, serpihan ini saya memahaminya sebagai serpihan tak bertema juga tak berisi. Ya, saya terlalu “gagah” menamainya sebagai Serpihan Intelektual KAMMI, padahal hanya “cemilan” kosong seorang AB KAMMI yang kini masih nimprung di Bidang Pembinaan Kader KAMMI Pusat. Ini bukan soal rendah diri, tapi sadar dan tahu diri.
Di pengantar buku Mengapa Aku Mencintai KAMMI : Serpihan Hati Para Pejuang yang diterbitkan oleh Penerbit Muda Cendekia (Bandung 2010, hal. v-vi), saya mengatakan, [“Tidak ada yang lebih indah dalam sejarah perasaan manusia seperti saat-saat ketika ia sedang jatuh cinta. Bukan karena dunia di sekeliling kita berubah pada kenyataannya. Tapi saat-saat jatuh cintahlah yang seketika mengubah persepsi kita tentang dunia di sekeliling kita”, demikian ungkapan Ust. Anis Matta dalam bukunya Serial Cinta.
Namun cinta di sini tidak dimaknai sebagai ‘perasaan syahwat’ yang tak terkendali. Sebagaimana para pecinta palsu memahami cinta. Di sini, cinta benar-benar cinta. Cintanya para pecinta. Bagaimana tidak, KAMMI yang masih berusia muda—ibarat gadis cantik itu—membuat mereka tergila-gila. Yang membuat mereka ‘menggodanya’ tapi juga ‘menikmatinya’. Memberi makna terhadap diri mereka sendiri, dan juga untuk KAMMI tempat mereka memulai karya.
Mengapa? Selain namanya yang memang menujukan representasi kecintaan anak muda pecinta Islam (agama mereka) dan Indonesia (negeri mereka)—sebagaimana Al-Fatih dalam menaklukan Konstantinopel—,lebih dari itu, suasana yang terbangun dalam ruang gerakan KAMMI, di mana mereka hidup, bergerak dan melangkah memang sarat dengan keindahan, penuh heroisme, kaya kenangan dan juga pengorbanan. Bahkan juga cinta itu sendiri, cinta persaudaraan dan cinta perjuangan.
Bukti cinta mereka terhadap KAMMI dan juga kader-kadernya tak berhenti di lorong perjuangan dalam periode tertentu, tapi juga sampai di negeri keabadian yang niscaya. Hingga hari ini dan untuk selamanya. Ruang kontribusi  mereka kepada KAMMI tidak hanya dibangun di atas dan atas nama cinta, bahkan lebih dari itu. Walau kata cinta lebih tepat untuk menunjukan segalanya.
Mereka menunaikan semuanya bukan dengan pelemahan atas jiwa juang mereka yang kuat. Kuat karakternya, kuat juga jiwanya. Namun, justru dengan penguatan jiwa mereka yang semakin kuat, bahkan tahan banting. Hal ini terlihat dalam peran mereka selama di KAMMI yang terrekam dalam cerita dan diksi tulisan-tulisan mereka yang punya kekhasan, lugu (berbicara sesederhana mungkin), terbuka (berbicara apa adanya) dan secara emosional terlihat tak berjarak dengan kepribadian mereka sendiri bahkan kader-kader KAMMI.”]
Saya sadari bahwa karya ini tidak sedahsyat karya-karya aktivis KAMMI yang lain, sebagaimana yang saya ungkapkan di atas. Dimana hampir semua yang mereka suguhkan adalah daftar pekerjaan dan gagasan yang telah mereka kontribusikan sekaligus daftar impian yang segera mereka wujudkan. Semuanya merupakan kerja nyata, gagasan jenial, dan tentu saja punya narasi jangka panjang. Potret ideal sebuah gerakan modern.
Karena itu, saya malu menamai karya ini sebagai buku. Akan lebih elegan jika saya menamainya “Serpihan”. Serpihan adalah lintasan pikiran, suara hati dan gagasan “nakal” yang berserakan dalam kertas-kertas kusam. Adapun  “Intelektual KAMMI” adalah ekspresi cinta saja. Ya, sebagai wujud cinta kepada KAMMI. Sama sekali bukan sebagai bentuk kontribusi ide untuk KAMMI. Ah, itu terlalu jauh. Intinya, saya ingin berbicara secara bebas saja mengenai apa saja yang “berbau” KAMMI ketika “bergulat” di KAMMI. Hanya itu.
Ya, serpihan ini adalah kumpulan sebagian rekaman dan tulisan atau “coretan-coretan” saya pada momentum acara diskusi atau menjadi pemateri pada acara KAMMI—dan umumnya Aktivis Dakwah Kampus (ADK)—di beberapa kota di Indonesia. Karena serpihan, maka sejak awal perlu saya akui bahwa kelak aktivis KAMMI akan sulit menemukan narasi ilmiah atau ide yang matang di dalamnya. Justru karena itulah saya menyusunnya menjadi satu serpihan sederhana, harapannya aktivis KAMMI di seluruh penjuru dunia bisa memberi masukan, mengkritik, memperdebatkan, bahkan mungkin menggugat saya secara intelektual.
Saya punya harapan bahwa apapun yang saya suguhkan mampu memicu dan memacu aktivis KAMMI untuk membangun gerakannya secara sadar dan massif. Dalam konteks kekinian dan masa depan, aktivis KAMMI mesti memiliki semangat dan tekad dalam membangun kompetesi diri. Hanya dengan begitulah aktivis KAMMI bisa mengambil posisi dan peran strategis dalam menata masa depan bangsa dan peradaban dunia yang lebih maju.
Dalam dinamika pemikiran yang begitu kompleks dan tantangan masa depan yang nyaris tak terdeteksi, aktivis KAMMI di manapun perlu membangun kesadaran esensial bahwa tak ada kebatilan pemikiran yang terkalahkan kecuali dengan kekuatan pemikiran atau kekuatan ilmu pengetahuan, dan tak ada problematika dan tantangan gerakan yang terselesaikan kecuali dengan ilmu pengetahuan. Bahkan sejarah peradaban Islam memberi satu pelajaran dahsyat bahwa perubahan dan peradaban yang gemilang hanya dilahirkan dari satu gerakan intelektual atau pembangunan tradisi secara massif. Tradisi yang saya maksud adalah tradisi intelektual berupa baca, tulis dan diskusi—tentu saja penelitian.
Ah saya malu berbicara gagasan, tapi punya keinginan untuk memberi nasehat kepada sesama aktivis KAMMI. Maaf ya, saya ingin menyampaikan beberapa hal : jangan saling merendahkan “derajat” pengkaderan sesama aktivis KAMMI, jangan mudah “menuduh” yang aneh-aneh sesama aktivis KAMMI, jangan angkuh dan sombong atas amanah dakwah, jangan nodai KAMMI dengan orientasi pribadi dan kepentingan sesaat, jangan “munafik” di hadapan atau di belakang aktivis KAMMI, dan jangan… Pokoknya janganlah tampilan fisik dan amanah lembaga atau institusi dijadikan sebagai pemicu untuk menganggap yang lain rendah, kecil, cemeng dan tak melakukan apa-apa. Jangaaan!
Saya juga tentu layak menyampaikan terima kasih kepada saudara-saudara tercinta yang kadang tak terbilang, mereka yang nyaris tak dipandang, mereka yang matang dan dewasa terhadap dinamika dan keragaman, mereka yang jauh dari orientasi duniawi semata menuju duniawi sekaligus ukhrawi, mereka yang menghela dari kepentingan sesaat demi kepentingan jangka panjang, mereka yang tak lelah mengkampanyekan gerakan tutup aurat, mereka yang berkarya dan menyuarakan kebenaran di berbagai media massa, mereka yang tidak menghitung ulang kelelahan dalam berdakwah, mereka yang berjuang tanpa menakar jumlah potensi dan materi yang dikorbankan, mereka yang selalu menangis di ujung malam ketika menghadap Sang Kuasa, mereka yang selalu terpaut hati dan pikiran dengan saudara—saudara mereka, mereka yang terjaga lidah dan sikapnya dari ucapan dan langkah-langkah yang menyakitkan saudara mereka yang lain, mereka yang mata hati atau nuraninya tajam dalam memandang persoalan dan dinamika perjuangan,  mereka yang malu berdusta kepada sesama demi kepentingan perut dan syahwat…. Ya untuk kalian semua wahai saudara-saudara saya di jalan Allah!
Jujur, di KAMMI saya menemukan kekuatan iman, ukhuwah, cinta, ilmu, amal dan perjuangan. Di KAMMI juga saya menemukan visi, misi, nilai, prinsip dan orientasi kehidupan. Bagi saya, KAMMI adalah rumah tempat saya mencari dan menemukan jati diri, tempat saya berteduh dan menatap kehidupan.  Bahkan KAMMI adalah tempat menanam berbagai karya sederhana. Di rumah ini saya menemukan berbagai keunikan yang susah untuk dianggap sepele.
Sebagian aktivis KAMMI sangat tahu bagaimana kondisi saya selama ini di KAMMI, termasuk saat saya melangsungkan pernikahan pada 4 Oktober 2010 yang lalu. Ya, saya menikah di KAMMI dengan seorang muslimah KAMMI. Dan yang menjadi keluarga, saksi dan yang hadir adalah aktivis KAMMI. Benar-benar terasa KAMMI-nya. Mereka rela tak masuk kuliah, libur kerja dan tidak mengajar sehari agar bisa hadir di acara pernikahan saya.
Di KAMMI saya tersadarkan bahwa betapa saya hanyalah manusia biasa yang banyak dosa dan maksiat, yang punya jiwa namun kering, yang punya otak tapi sedikit gagasan dan yang punya potensi namun sering mengabaikan. Ah saya memang perlu menata diri. Banyak menghitung “kekurangan” diri, sehingga membuatnya menjadi “kelebihan”.
Saya menyadari bahwa hingga kini saya masih memiliki kekuatan. Kekuatan saya adalah aktivis KAMMI. Di atas “kekotoran” dan “keterbatasan” diri saya, saudara-saudara saya di KAMMI mengingatkan, meluruskan dan memberi saya pencerahan untuk memperbaiki diri dan segera bangkit melanjutkan perjalanan. Bukan bicara di belakang dengan berpura-pura baik padahal bertopeng kepalsuan, bukan “menghukumi” tanpa memberi pencerahan.
Banyak kisah dan pengalaman yang terajut selama di KAMMI, baik tentang diri saya sendiri yang kadang tergopoh-gopoh maupun tentang mereka yang ikhlas dan tulus itu. Dan jujur saja, saya sulit mengingat dan mencatatnya satu persatu, apalagi membubuhkannya dalam satu buku dokumentasi yang ilmiah dan apik. Biarkanlah tinta sejarah yang menorehkannya kelak, bahwa mereka, aktivis KAMMI itu, memiliki kesadaran keberlanjutan perjuangan seperti elang yang menghadang angin yang akan terus saja menerjang. Mereka adalah elang-elang muda. “… Maka masa depan Indonesia—bahkan umat manusia—kata Imron Rosyadi, adalah elang-elang muda itu. Elang muda yang tumbuh dalam lingkungan kebaikan dan cinta. Elang muda yang berhasil memenangkan kecenderungan kebaikannya (taqwa) atas ego kejahatannya (fujuur). Yang akan terus menerus tumbuh besar untuk menghadang angin. Terus menerus hingga angin kelelahan dan pulang.”
Saya pernah dan insya Allah akan terus di KAMMI bersama aktivis KAMMI. Saya menyaksikan bagaimana aktivis KAMMI merumuskan dan mengejahwantahkan berbagai agenda gerakan, sebuah upaya berkontribusi : melayani masyarakat, membangun Indonesia dan menata peradaban baru. Ah cinta ini terlalu istimewa untuk disisihkan begitu saja hanya karena keangkuhan dan kesombongan diri. Karena itu, saya berupaya untuk selalu di KAMMI, ya bersama kalian yang selalu ikhlas dan tulus berjuang di organisasi KAMMI yang dideklarasikan pada 29 Maret 1998 di Universitas Muhammadiyah Malang-Jawa Timur ini.
Banyak hal yang saya temukan dalam etalase perjuangan bersama aktivis KAMMI, namun mungkin lebih banyak yang berserak di catatan pribadi seperti di laptop, kertas kusam, web, blog atau sejenisnya. Atau juga di pelbagai bacaan, termasuk buku-buku di rak-rak buku masing-masing aktivis KAMMI—itupun jika mereka memilikinya. Sungguh sebuah gambaran nyata betapa negeri ini kaya sumber daya, bahwa Indonesia masih memiliki harapan untuk bangkit. Ya, di pundak aktivis KAMMI-lah masa depan negeri ini dipertaruhkan dan di pundak aktivis KAMMI juga-lah kebangkitan dunia Islam dititipkan.
Pada akhirnya, kegelisahan akan selalu ada bagi saya dan mungkin juga aktivis KAMMI yang hendak memikirkan apa yang pantas untuk diperbincangkan dan dilakukan ke depan. Kegelisahan itu sendiri sulit memiliki daya ledak saat ia hanya berada dalam bungkaman pemikiran semata, tanpa sesekali dilukiskan dengan nyata lewat pergumulan intelektual berupa tulisan, diskusi bahkan perdebatan sengit sesame aktivis. Dukungan referensi seadanya dan pengalaman pribadi dalam mengkaji atau menjadi pemandu kajian tentang tema-tema terkait diharapkan akan menambah masifnya tradisi intelektual semacam menjamurnya tradisi baca-tulis dan semaraknya diskusi dalam ruang dinamika gerakan KAMMI dan elemen umat Islam yang lain ke depan.
Tentu, serpihan sederhana ini lahir dari tangan yang tidak memiliki otoritas yang memadai untuk berbicara mengenai tema-tema pemikiran atau yang berbau “intelektual” di KAMMI. Bahkan akan tampak pengetahuan saya hanya secuil, dan sangat jauh dari nalar ilmiah dan karakter dialektika kaum intelektual. Karena itu, ide dalam serpihan ini tidak berhak saya klaim secara “merdeka” jika ia benar-benar ide intelektual KAMMI—dan apalagi islami. Kekurangan dan kelemahan tersebut akan lebih bijak jika saya jadikan sebagai “kelebihan” untuk memberanikan diri berbicara tentang apa yang saya tahu, yang pernah saya baca, yang pernah saya sampaikan dan yang pernah saya saksikan. Hanya itu. Selebihnya, aktivis KAMMI lebih tahu, dan saya mesti ber-istighfar untuk kekurangan dan kelemahan tersebut, terutama karena saya memberanikan diri mengatasnamakan diri sebagai aktivis KAMMI—tepatnya Bidang Pembinaan Kader KAMMI Pusat.
Serpihan ini walaupun tidak sistematis saya anggap sebagai setitik upaya, agar jangan ada lagi interupsi yang tak didengar, lantaran telinga-telinga tuli enggan mendengar dan para pemburu dunia sungkan menggubris. Agar jangan ada lagi ide yang tak punya kesempatan untuk dibukukan, lantaran setiap generasi belum punya obsesi untuk melakukan peran menyusun kata-kata dalam kertas-kertas yang terlihat kusam. Padahal semua orang bisa melakukan peran ini, terutama aktivis dan intelektual muda, walaupun ditulis di antara “rintihan kesepian” dan “kepenatan diri” yang tak kenal jeda.
Akhirnya, pilihan sikap ada pada masing-masing aktivis KAMMI, apakah mau mengambil manfaat atau tidak dari serpihan ini, itu terserah masing-masing. Yang jelas, serpihan ini saya suguhkan sebagai wujud rasa cinta kepada KAMMI dan aktivisnya, negeri tercinta Indonesia dan Islam sebagai dien. Tentu yang tak kalah pentingnya adalah sebagai upaya membangun dan mewariskan tradisi intelektual dalam etalase pemikiran dan dinamika gerakan KAMMI. Salam motivasi, salam aksi! [Syamsudin Kadir, Bidang Pembinaan Kader KAMMI Pusat 2011-2013]

Tidak ada komentar: