22 Februari 2012

ZAID IBNUL KHATTHAB

‘Rajawali Pertempuran Yamamah’

Pada suatu hari Nabi saw. duduk dikelilingi sejumlah orang­-orang Islam. Selagi pembicaraan berlangsung, tiba-tiba Rasulullah terdiam sejenak, kemudian beliau menghadapkan bicaranya kepada semua yang ada di sekelilingnya dengan ucapan:
“Sesungguhnya di antara kalian ada seorang laki-laki, gerahamnya di dalam neraka, lebih besar dari gunung Uhud. . . !”

Semua yang hadir dalam majlis beserta Rasulullah saw. ini senantiasa, diliputi ketakutan dan kecemasan akan timbulnya fitnah dalam Agama kelak. Masing-masing mereka merasa kecut dan takut, kalau-kalau ia lah yang akan menerima nasib yang paling jelek dan kesudahan yang terkutuk itu. Tetapi mereka semua, yang mendengar pembicaraan waktu itu, kehidupannya telah berakhir dengan kebaikan, mereka telah menemui ajal mereka sebagai syuhada di jalan Allah. Yang tinggal masih hidup hanyalah Abu Hurairah dan Rajjal bin ‘Unfuwah.
Setelah gugur sebagai syuhada para shahabat tersebut di atas, Abu Hurairah merasa seluruh persendiannya gemetar dan hatinya diliputi ketakutan, kalau-kalau ramalan Nabi itu me­nimpa dirinya. Matanya tak mau terpejam ditidurkan, dan belum tenang rasa cemasnya, sampai taqdir menyingkapkan tabir orang yang bernasib celaka itu. Orang yang bernama Rajjal itu murtad dari Islam dan ia bergabung dengan Musailamah al-Kaddzab, malah mengakui kenabian palsunya.
Ketika itu ternyatalah apa yang diramalkan Rasul dengan nubuatnya mengenai nasib jelek dan kesudahan yang celaka itu. Rajjal bin ‘Unfuwah ini pergi di suatu hari kepada Rasul saw. berbai’at dan masuk Islam. Sesudah ia menganut Islam itu kembalilah ia kepada kaumnya. Ia tak pernah datang lagi ke Madinah, kecuali sesudah Rasul wafat dan terpilihnya Abu Bakar ash-Shiddiq jadi Khalifah Kaum Muslimin. Kepada Abu Bakar telah disampaikan orang berita tentang keadaan penduduk Yamamah dan bergabungnya mereka dengan Musai­lamah. Rajjal mengusulkan kepada ash-Shiddiq agar ia sendiri diutus kepada mereka untuk mengembalikan mereka kepada Islam. Usul itu diterima oleh Khalifah.
Maka berangkatlah Rajjal ke negeri Yamamah . Sewaktu ia menyaksikan jumlah mereka sangat banyak serta menakutkan dan disangkanya bahwa orang-orang itu pasti menang.
Maka jiwa khianatnya membisikkan agar mulai hari itu, ia menyeberang saja ke pihak gerombolan “Al-Kaddzab” si pembohong itu yang disangkanya akan jaya dan menang, lalu ditinggalkannya Islam, dan bergabung ke dalam barisan Musai­lamah yang bermurah hati kepadanya dengan mengobral janji-­janji.
Bahaya Rajjal terhadap Islam lebih mengkhawatirkan dari bahaya Musailamah sendiri. Sebabnya karena ia dapat me­nyalahgunakan keislamannya yang lalu, dan masa-masa hidupnya bersama Rasul di Madinah, serta hafalnya akan ayat-ayat Quran yang tidak sedikit, begitupun dikirimnya ia sebagai utusan oleh Abu Bakar, Khalifah Kaum Muslimin. Semua itu disalahgunakan­nya secara keji untuk memperkuat kekuasaan Musailamah dan mengukuhkan kenabian palsunya.
Dengan sungguh-sungguh ia pergi menyebarluaskan kepada orang banyak, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. berkata yang maksudnya: Bahwa beliau menjadikan Musailamah bin Habib sebagai serikatnya dalam perkara itu. Sekarang, karena Rasul telah wafat, maka orang yang paling berhaq membawa bendera kenabian dan wahyu sesudahnya ialah Musai­lamah.
Jumlah orang-orang yang bergabung kepada Musailamah semakin bertambah banyak, disebabkan kebohongan-kebohongan Rajjal ini, dan karena penyalahgunaan keislaman dan hubungan­nya dengan Rasulullah di masa silam.
Berita kebohongan Rajjal ini sampai ke Madinah. Kemarahan orang-orang Islam menjadi berkobar karena tindakan si murtad ini, yang akan menyesatkan manusia sampai sebegitu jauh, dan yang dengan kesesatan itu akan memperluas daerah pepe­rangan, yang mau tak mau harus diterjuni Kaum Muslimin.
Maka orang Islam yang paling murka dan terbakar kemarah­annya untuk menjumpai Rajjal, ialah seorang shahabat yang mulia, yang cemerlang namanya dalam buku-buku riwayat dan sejarah dengan nama tersayang Zaid ibnul Khatthab. Pasti anda pernah mendengarnya
Ia adalah saudara dari Umar ibnul Khatthab. Benar, saudaranya yang lebih tua dan lebih dahulu. Ia lebih tua dari Umar, tentu ia lebih dahulu lahirnya. Dan ia lebih dulu masuk Islam sebagaimana ia lebih dahulu pula syahid di jalan Allah.
Zaid adalah seorang pahlawan yang kenamaan. Ia bekerja secara diam-diam. Kediamannya itu memancarkan permata kepahlawanannya.
Keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Agamanya, merupakan keimanan yang teguh. Ia tidak pernah ketinggalan dari Rasulullah saw. dalam setiap kejadian penting maupun peperangan. Di setiap pertempuran niatnya telah dipatri­kan menang atau syahid.
Di saat perang Uhud, sewaktu pertempuran sedang menjadi-­jadi antara orang-orang musyrik dan orang-orang Mu’min, Zaid bin Khatthab menebas dan memukul. Ia terlihat oleh adik­nya Umar bin Khatthab sewaktu baju besinya terlepas ke bawah,
hingga ia berada dalam kedudukan yang mudah dijangkau musuh, maka seru Umar: “Hai Zaid, ambit lekas baju besiku, pakailah untuk berperang” Dijawab oleh Zaid: “Aku juga menginginkan syahid, sebagaimana yang kau inginkan hai Umar!” Dan ia terus bertempur tanpa baju besi secara mati-matian dan dengan keberanian yang luar biasa.
Telah kita katakan bahwa Zaid r.a., dengan semangat ber­kobar-kobar ingin sekali mendapatkan Rajjal, dengan maksud untuk menghabisi nyawanya yang keji itu dengan tangannya sendiri. Menurut pandangan Zaid, bukan saja ia seorang yang murtad, bahkan lebih dari itu, ia juga seorang pembohong, munafik dan pemecah-belah. Ia murtad bukanlah karena dibawa oleh kesadarannya, tetapi karena mengharapkan keuntungan dengan kemunafikan dan kebohongan terkutuk. Dan Zaid dalam kebenciannya pada kemunafikan dan kebohongan serupa benar dengan saudaranya Umar.
Tak ada yang lebih membangkitkan kejijikan dan mengobar­kan kemarahannya seperti kemunafikan dan kebohongan dengan tujuan hina dan maksud yang rendah ini!
Untuk kepentingan tujuan-tujuan yang rendah itulah, Rajjal memainkan peranan berbuat dosa, menyebabkan bertambahnya jumlah golongan yang bergabung dengan Musailamah secara menyolok. Dan dengan ini sebenarnya ia menyeret sebagian besar orang-orang kepada kematian dan kebinasaan dengan menemui ajal mereka di medan perang murtad kelak, pertama disesatkannya mereka, kemudian dibinasakannya. Dan untuk tujuan apa ? Untuk tujuan ambisi dan ketamakan tercela yang telah mempengaruhi dirinya dan dibangkitkan oleh hawa nafsunya.
Maka Zaid mempersiapkan dirinya untuk menyempurnakan keimanannya dengan menumpas bahaya fitnah ini, bukan hanya terhadap pribadi Musailamah, malah lebih-lebih lagi terhadap seorang yang lebih berbahaya daripadanya dan lebih berat dosanya, yaitu Rajjal bin ‘Unfuwah
Saat pertempuran Yamamah bermula dengan keadaan seram dan amat mengkhawatirkan. Khalid bin Walid menghimpun balatentara Islam, lalu dibagi-baginya tugas untuk menempati beberapa kedudukan dan diserahkannya panji-panji kepada seseorang. Siapakah dia ? Tiada lain dari Zaid bin Khat­thab.
Banff Hanifah, pengikut Musailamah berperang dengan berani dan mati-matian. Pada mulanya neraca pertempuran berat kepada fihak musuh, dan telah banyak di antara Kaum Muslimin yang gugur menemui syahid. Zaid melihat gejala turunnya , mental dan gairah tempur merasuki hati sebagian Kaum Mus­limin. Ia lalu mendaki sebuah tempat yang ketinggian dan berseru kepada Leman-temannya:
“Wahai saudara-saudaraku tabahkanlah hati kalian, gempur musuh, serang mereka habis-habisan. Demi Allah, aku tidak akan bicara lagi sebelum mereka dibinasakan Allah atau aku menemui-Nya swt. dan menyampaikan alasan-alasanku kepada hadlirat-Nya”
Kemudian ia turun dari tempat yang ketinggi­an itu dengan menggertakkan gerahamnya, sambil mengatupkan  kedua bibirnya tanpa menggerakkan lidahnya untuk mengucap­kan sepatah bisikan pun.
Ia memusatkan serangannya ke arah Rajjal. Diterobosnya barisan-barisan seperti panah lepas dari busurnya, terus mencari Rajjal sampai kelihatan olehnya bayangan orang buruannya itu. Sekarang ia maju lagi menerjang ke kiri dan ke kanan. Dan setiap bayangan orang buruannya itu ditelan gelombang manusia yang bertempur, Zaid berusaha mengejar dan mendekatinya lalu menghantamkan pedangnya. Tetapi gelombang manusia yang sangat hebat, menelan Rajjal sekali lagi, diikuti terus oleh Zaid yang menyusup di belakangnya agar manusia bedebah itu tidak luput dari tangannya. Dan akhirnya ia dapat me­megang batang lehernya dan menebaskan pedangnya ke kepala­nya yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan serta pengkhianatan itu.
Dengan tewasnya si pembuat kebohongan ini, mulailah berjatuhan pula tokoh-tokoh yang lain. Comas dan takut men­jalari Musailamah sendiri, begitupun Muhkam bin Thufail serta seluruh balatentara Musailamah! Terbunuhnya Rajjal telah tersebar luas di kalangan mereka tak ubah bagai api yang berkobar ditiup angin kencang.
Sebenarnya Musailamah  telah memberikan janji-janji yang muluk-muluk dengan kemenangan mutlak kepada para peng­ikutnya, dan bahwa ia bersama Rajjal bin ‘Unfuwah dan Muhkam bin Thufail setelah kemenangan itu, akan membawa mereka ke masa depan gemilang dengan menebarkan agama dan membina kerajaan mereka.
Demikianlah Zaid ibnul Khatthab telah menyebabkan ke­hancuran,mutlak dalam barisan Musailamah.
Adapun orang-orang Islam sendiri demi berita tewasnya Rajjal dan kawan-kawannya tersebar di antara mereka, maka tekad dan semangat mereka membesar seperti gunung, bahkan korban-korban yang luka bangkit lagi dengan pedangnya tanpa memperdulikan luka mereka.
Bahkan mereka yang telah berada di bibir maut yang tak ada tanda-tanda hidup lagi kecuali sisa gerak dan isyarat mata, sewaktu berita gembira itu sampai ke telinga mereka, merasakan­nya seperti mimpi dan hiburan yang indah. Seandainya dapat, mereka ingin kembali hidup untuk bertempur lagi dengan menyaksikan kemenangan yang mengagumkan di akhir ke sudahannya.
Tetapi apalah gunanya untuk mereka yang demikian, sebab semua pintu surga telah terbuka lebar untuk menerima mereka, dan sesungguhnya mereka sekarang sedang menantikan nama­-nama mereka dipanggil.
Zaid ibnul Khatthab mengangkat kedua tangannya ke langit dan dengan rendah hati memohon kepada Tuhannya serta bersyukur atas bantuan nikmat-Nya. Selama waktu yang singkat itu, rupanya ia kembali kepada pedangnya dan sikap diamnya. setelah bersumpah takkan berbicara sampai kemenangan sem­purna tercapai, atau ia sendiri mencapai syahid . Sesungguh­nya keadaan perang berjalan menguntungkan Muslimin dan kemenangan mutlak datang mendekat dengan cepatnya …. Ketika itu di kala Zaid telah yakin bahwa kemenangan sudah berada di ambang pintu, belum pernah ia mengenal penutup kehidupan yang lebih merangsang daripada sekarang. la berharap kiranya Allah mengaruniai-Nya mati syahid di perang Yamamah ini. Angin surga pun berhembuslah memenuhi jiwanya dengan kerinduan dan mengisi lekuk matanya dengan genangan air serta membangkitkan semangat dan tekadnya yang tak kunjung padam. Ia menyerang terus mencari tujuan ter­akhirnya yang agung. Dan gugurlah pahlawan itu sebagai syahid. Bahkan katakanlah: ia telah naik selaku syahid. Ia telah naik dengan kebesaran, kemuliaan dan kebahagiaan. Dan balatentara Islam pun kembalilah ke Madinah dengan mem­bawa kemenangan. Selagi Umar bersama Khalifah Abu Bakar menyambut kedatangan mereka, dilayangkannya pandangannya dengan penuh kerinduan, mencari-cari abangnya yang kem­bali.
Zaid adalah seorang yang tinggi jangkung, karenanya mudah dikenal dari jauh. Tetapi belum sampai Umar bersusah payah mencarinya, salah seorang di antara Kaum Muslimin yang kembali, mendekatinya dan menyampaikan belasungkawa atas gugurnya Zaid.
Berkatalah Umar:
“Rahmat Allah bagi Zaid
la mendahuluiku dengan dua kebaikan
Ia masuk Islam lebih dahulu
Ia syahid lebih dahulu pula
Sekalipun tidak sedikit kemenangan-kemenangan yang diperoleh, di mana Islam berjaya dan berbahagia, namun tak pernah hilang dari fikiran al-Faruq, gelaran bagi Umar, agak sekejap pun akan abangnya Zaid, dan sering-sering ia ber­kata: “Bila angin kerinduan berhembus tercium olehku harum­nya Zaid”
Sungguh, kerinduan benar-benar membawa bau wanginya Zaid dari nama baiknya dan budinya yang tinggi. Bahkan, Seandainya Amirul Mu’minin mengidzinkan, akan kutambahkan ke dalam pantunnya yang indah itu, beberapa kalimat yang akan melengkapi kemegahan tersebut, demikian bunyinya:
Setiap angin kemenangan Islam berhembus, semenjak peristiwa Yamamah, akan tercium selalu oleh Islam bau wangi.. nya Zaid, pengurbanan Zaid, kepahlawanan Zaid dan kebesaran Zaid”
Yah, keluarga al-Khatthab telah diberi berkah di bawah, naungan bendera Rasulullah saw. Mereka mendapat berkah di hari mereka masuk Islam, diberi berkah di kala mereka berjihad dan mencari syahid, serta diberi berkah di hari mereka dibangkitkan kelak.

Tidak ada komentar: