25 Februari 2012

THUFAIL BIN ‘AMR AD DAUSI

‘Suatu Fithrah Yang Cerdas’

Di bumi Daus, dari keluarga yang mulia dan terhormat, muncullah tokoh kita ini. la dikaruniai bakat sebagai pe­nyair, hingga nama dan kemahirannya termasyhur di kalangan suku-suku. Di musim ramainya pekan ‘Ukadh, tempat berkumpul dan berhimpunnya manusia, untuk mendengar dan menyaksikan penyair-penyair Arab yang datang berkunjung dari seluruh pelosok serta untuk menonjolkan dan membanggakan penyair masing-masing, maka Thufeil mengambil kedudukannya di barisan terkemuka. Walaupun bukan pada musim ‘Ukadh, ia Sering pula pergi ke Mekah.
Pada suatu ketika, saat ia berkunjung ke kota suci itu, Rasul­ullah telah mulai melahirkan da’wahnya. Orang-orang Quraisy takut kalau-kalau Thufeil menemuinya dan masuk Islam, lalu menggunakan bakatnya sebagai penyair itu membela Islam, hingga merupakan bencana besar bagi Quraisy dan berhala­ berhala mereka.

Oleh sebab itu mereka menelingkunginya selalu dan menyedia­kan segala kesenangan dan kemewahan untuk melayani dan menerima kedatangannya sebagai tamu, lalu menakut-nakutinya agar tidak berjumpa dengan Rasulullah saw. katanya:  ”Muham­mad memiliki ucapan laksana sihir, hingga dapat mencerai ­beraikan anak dari bapak dan seseorang dari saudaranya, serta seorang suami dari istrinya. Dan sesungguhnya kami ini cemas terhadap dirimu dan kaummu dari kejahatannya, maka janganlah ia diajak bicara, dan jangan dengarkan apa kata­nya.
Dan marilah kita dengarkan Thufeil menceritakan sendiri kisahnya katanya:  ”Demi Allah, mereka selalu membuntutiku, hingga aku hampir saja membatalkan maksudku untuk me­nemui dan mendengar ucapannya. Dan ketika aku pergi ke Ka’bah, kututup telingaku dengan kapas, agar bila ia berkata, aku tidak mendengar perkataannya. Kiranya ia kudapati sedang shalat dekat Ka’bah, maka aku berdiri di dekatnya, taqdir Allah menghendaki agar aku mendengarkan sebahagian apa yang dibacanya, dan terdengarlah olehku perkataan yang baik.
Lalu kataku kepada diriku: “Wahai malangnya ibuku ke­hilangan daku. Demi Allah, aku ini seorang yang pandai dan jadi penyair, dan mampu membedakan mana yang baik dari yang buruk! Maka apa salahnya jika aku mendengarkan apa yang diucapkan oleh laki-laki itu? Jika yang dikemukakannya itu barang baik, dapatlah kuterima, dan seandainya jelek, dapat pula kutinggalkan. Kutunggu sampai ia berpaling hendak pulang ke rumahnya, lalu kuikuti hingga ia masuk rumah, maka kuiringkan dari belakang dan kukatakan kepadanya:  ”Wahai Muhammad! Kaummu telah menceritakan padaku bermacam­-macam, tentang dirimu!
Dan demi Allah, mereka selalu menakut­-nakutiku terhadap urusanmu, hingga kututupi telingaku dengan kapas agar tidak mendengar perkataanmu. Tetapi iradat Allah menghendaki agar aku mendengarnya, dan terdengarlah olehku ucapan yang baik, maka kemukakanlah padaku apa yang menjadi urusanmu itu … !”
Rasul pun mengemukakan padaku terperinci tentang Agama Islam dan dibacakannya al-Quran. Sungguh! Demi Allah, tak pernah kudengar satu ucapan pun yang lebih baik dari itu, atau suatu urusan yang lebih benar dari itu.
Maka masuklah aku ke dalam Islam, dan kuucapkan syahadat yang haq, lalu kataku: “Wahai Rasulullah! Sesungguh­nya aku ini seorang yang ditaati oleh kaumku, dan sekarang aku akan kembali kepada mereka, serta akan menyeru mereka kepada Islam. Maka du’akanlah kepada Allah agar aku diberi-Nya suatu tanda yang akan menjadi pembantu bagiku mengenai soal yang kuserukan pada mereka itu. Maka sabda Rasulullah saw. “Ya Allah! Jadikanlah baginya suatu tanda.
Dalam kitab suci-Nya Allah Ta’ala telah memuji “orang­-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti yang terbaik di antaranya”. Nah, sekarang kita bertemu dengan salah seorang di antara mereka itu, dan ia merupakan suatu gambaran yang tepat mengenai fithrah yang cerdas.
Demi telinganya mendengar sebagian ayat-ayat mengenai petunjuk dan kebaikan yang diturunkan Allah atas kalbu hamba­Nya, maka seluruh pendengaran dan seluruh hatinya terbuka selebar-lebaruya, dan diulurkannya tangannya untuk bai’at kepada Rasulnya.
Dan tidak hanya sampai di sana, tetapi dengan secepatnya dibebaninya dirinya dengan tanggung jawab menyeru kaum dan keluarganya kepada Agama yang haq dan jalan yang lurus ini.
Oleh sebab itu, baru saja ia sampai di rumah dan kampung halamannya Daus, dikemukakannyalah kepada bapaknya ‘Aqidah dan keinginan yang terkandung dalam hatinya, dan diserunya ia kepada Islam, yakni setelah menceritakan perihal Rasul yang menyebarkan Agama itu, tentang kebesaran, kesucian, amanah dan ketulusan serta ketaatannya kepada Allah Robbul­’alamin.
Dan pada waktu itu juga bapaknya masuk Islam. Lalu ia beralih kepada ibunya, yang juga menganut Islam. Kemudian kepada istrinya yang mengambil tindakan yang serupa. Dan tatkala hatinya menjadi tenteram karena Islam telah meliputi rumahnya, ia pun berpindah tempat kepada kaum keluarga, bahkan kepada seluruh penduduk Daus. Tetapi tak seorang pun di antara .mereka yang memenuhi seruannya memeluk Islam, kecuali Abu Aurairah r.a
Kaumnya itu menghinakan dan memencilkannya, hingga akhirnya hilanglah keshabarannya terhadap mereka. Maka dinaikinya kendaraannya menempuh padang pasir dan kembali kepada Rasulullah saw. mengadukan halnya dan membekali diri dengan ajaran-ajarannya.
Dan tatkala tibalah ia di Mekah, segeralah ia ke rumah Rasul, dibawa oleh hatinya yang rindu. Katanya kepada Nabi saw.:  ”Wahai Rasulullah ... Saya kelabakan menghadapi riba dan perzinahan yang merajalela di desa Daus. Maka mohonkanlah kepada Allah agar Ia menghancurkan Daus.”
Tetapi alangkah terpesonanya Thufeil ketika dilihatnya Rasulullah mengangkatkan kedua tangannya ke langit serta katanya:  ”Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan datang­kanlah mereka ke sini dengan memeluk Islam … !” Lalu sambil berpaling kepada Thufeil, katanya:  ”Kembalilah kamu kepada kaummu, serulah mereka dan bersikap lunak-lembutlah kepada mereka”
Peristiwa yang disaksikannya ini memenuhi jiwa Thufeil dengan keharuan dan mengisi ruhnya dengan kepuasan, lalu dipujinya Allah setinggi-tingginya, yang telah menjadikan Rasul, insan pengasih ini sebagai guru dan pembimbingnya, dan men­jadikan Islam sebagai Agama dan tempat berlindungnya.
Maka bangkitlah ia pergi kembali ke kampung halaman dan kaumnya. Dan di sana, ia terns mengajak mereka kepada Islam secara lunak lembut sebagai dipesankan oleh Rasulullah saw.
Dalam pada itu, selama tenggang waktu yang dilaluinya di tengah-tengah kaumnya, Rasulullah telah hijrah ke Madinah, dan telah terjadi perang Badar, Uhud dan Khandak. Tiba-tiba ketika Rasulullah sedang berada di Khaibar, yakni setelah kota itu diserahkan Allah ke tangan Muslimin, satu rombongan besar yang terdiri dari delapan puluh keluarga Daus datang menghadap Rasulullah sambil membaca tahlil dan takbir. Mereka lalu duduk di hadapannya mengangkat bai’at secara bergantian.
Dan tatkala selesailah peristiwa mereka yang bersejarah dan upacara bai’at yang diberkahi itu, Thufeil pergi duduk seorang diri, merenungkan kembali kenangan-kenangan lama­nya dan mengira-ngirakan langkah yang akan diambilnya untuk masa mendatang.
Maka teringatlah ia akan saat kedatangannya kepada Rasul­ullah memohon agar ia menadahkan tangannya ke langit untuk mengucapkan do’a “Ya Allah, hancurkanlah orang-orang Daus, tetapi ternyata Rasulullah menyampaikan per­mohonan lain yang menggugah keharuannya dengan ucapan sebagai berikut: “Ya Allah, tunjukilah orang-orang Daus, dan bawalah mereka ke sini setelah menganut Islam … !”
Sungguh, Allah telah menunjuki orang-orang Daus dan Ia telah mendatangkan mereka sebagai Kaum Muslimin. Mereka terdiri dari 80 kepala keluarga beserta penghuni rumahnya dan merupakan bagian terbesar dari penduduk, serta meng­ambil kedudukan mereka di barisan suci di belakang Rasulullah al- Amin.
Thufeil melanjutkan usahanya bersama jama’ah yang telah beriman itu. Tatkala tibalah saat pembebasan Mekah ia ikut rombongan yang memasukinya, yang jumlahnya sepuluh ribu orang, yang sekali-kali tidak merasa bangga atau besar kepala, hanya sama-sama menundukkan kening karena hormat dan ta’dhim, mensyukuri ni’mat Allah yang telah membalas usaha mereka dengan kemenangan nyata, dan pembebasan Mekah yang tak usah menunggu lama.
Thufeil melihat Rasulullah menghancurkan berhala-berhala di Ka’bah dan membersihkan dengan tangannya kotoran dan najis yang telah lama berkarat. Putera Daus itu teringat akan sebuah berhala milik Amr bin Himamah. Amr ini Sering mem­bawanya memuji berhala itu sewaktu ia menginap di rumahnya sebagai tamunya, hingga ia berlutut di hadapannya dan meren­dahkan diri dan memohon kepadanya.
Datanglah sudah saatnya bagi Thufeil sekarang ini untuk menghapus dan melebur dosa-dosanya di hari itu. Ketika itu pergilah ia kepada Rasulullah saw. meminta idzin untuk pergi membakar berhala milik Amr bin Humamah tadi, yang biasa disebut “Dzal kaffain”, atau “si Telapak tangan dua”.
Rasulullah memberinya idzin, maka pergilah ia ke tempat berhala itu lalu membakarnya dengan api yang bernyala; setiap api itu surut, dinyalakannya kembali, dan sementara itu mulut­nya asyik berpantun:
“Hai Dzal kaffain, aku ini bukan hambamu, Kami lebih dulu lahir daripadamu!
Nah, terimalah api ini untuk pengisi perutmu
.
Demikianlah Thufeil melanjutkan hidupnya bersama Nabi, sahalat di belakangnya dan belajar kepadanya serta berperang dalam rombongannya. Dan ketika Rasulullah naik ke Rafiqul Ala, Thufeil berpendapat bahwa dengan wafatnya Rasulullah itu, tanggung jawabnya sebagai seorang Muslim belumlah ber­henti, bahkan boleh dikata baru saja mulai.
Ketika pertempuran melawan orang-orang murtad berkobar, Thufeil menyingsingkan lengan bajunya, lalu terjun mengalami pahit getirnya dengan semangat dan kegairahan dari seorang yang rindu menemui syahid. la ikut dalam perang riddah itu, pertempuran demi pertempuran.
Pada pertempuran Yamamah, ia berangkat bersama Kaum Muslimin dengan membawa puteranya ‘Amr bin Thufeil. Baru saja perang mulai, telah dipesankannya kepada puteranya itu agar berperang mati-matian menghadapi tentara Musailamah si pembohong itu, bahkan walau akan mati syahid sekalipun. Dibisikkannya pula kepada puteranya itu bahwa menurut fira­satnya, dalam pertempuran kali ini ia akan menemui ajalnya.
Setelah itu disiapkannya pedangnya dan diterjuninya pertempuran dengan semangat berqurban dan berani mati. Bukan hanya membela nyawanya dengan mata pedangnya, tetapi pedangnya pun dibelanya dengan nyawanya.
Hingga ketika ia wafat dan tubuhnya rubuh, pedangnya masih teracung dan siap sedia, untuk ditebaskan oleh tangannya yang sebelah yang tidak mengalami cedera apa-apa.
Maka dalam pertempuran itu tewaslah Thufeil ad-Dausi r.a. memenuhi syahidnya, dan jasadnya pun rubuh disebab­kan tusukan senjata, sementara sinar matanya seakan hendak memberi isyarat kepada puteranya yang tak kunjung dilihatnya dekat arena. Yah, isyarat agar ia waspada dan tidak menyusul dan mengikuti langkahnya.
Tetapi sungguh, rupanya puteranya itu tak hendak ketinggal­an, lalu menyusul ayahandanya pula, memang tidak pada waktu itu, hanya beberapa lama setelahnya. Di pertempuran sebagai di Syria, ketika Amr bin Thufeil turut mengambil bagian ebagai pejuang, di sanalah ia menemui apa yang dicitanya
Sementara ia hendak menghembuskan nafasnya yang peng­habisan, diulurkannya tangannya yang kanan dan dibentangkannya telapaknya seakan hendak menjawab dan menyalami tangan seseorang. Yah, siapa tabu, mungkin waktu itu ia hendak bersalaman dengan ruh bapaknya.

Tidak ada komentar: