21 Februari 2012

UTSMAN BIN MAZH’UN


‘Yang Pernah Mengabaikan Kesenangan Hidup Duniawi’

Seandainya anda hendak bermaksud menyusun daftar nama shahabat Rasulullah saw. menurut urutan masa masuknya ke dalam Agama Islam, maka pada urutan keempat belas tentulah da akan tempatkan Utsman bin Mazh’un.
Anda ketahui pula bahwa Utsman bin Mazh’un ini seorang muhajirin yang mula pertama wafat di Madinah, sebagaimana ia adalah orang Islam pertama yang dimakamkan di Baqi’.
Dan akhirnva ketahuilah bahwa shahabat mulia yang sedang anda tela’ah riwayat hidupnya sekarang ini, adalah seorang suci yang agung tapi bukan dari kalangan yang suka memencil­an diri, ia seorang suci yang terjun di arena kehidupan. dan kesuciannya itu berupa amal yang tidak henti-hentinya dalam menempuh jalan kebenaran, serta ketekunannya yang pantang menyerah dalam mencapai kemashlahatan dan ke­baikan.

Tatkala Agama Islam cahayanya mulai menyinar dari kalbu Rasulullah saw. dan dari ucapan-ucapan yang disampaikannya di beberapa majlis, baik secara diam-diam maupun terang-terang­, maka Utsman bin Mazh’un adalah salah seorang dari bebe­rapa gelintir manusia yang segera menerima panggilan Ilahi dan menggabungkan diri ke dalam kelompok pengikut Rasul­ullah . . . . Dan ia ditempa oleh berbagai derita dan siksa, sebagai­mana dialami oleh orang-orang Mu’min lainnya, dari golongan berhati tabah dan shabar.
Ketika Rasulullah saw. mengutamakan keselamatan golongan kecil dari orang-orang beriman dan teraniaya ini, dengan jalan menyuruh mereka berhijrah ke Habsyi, dan beliau siap meng­hadapi bahaya seorang diri, maka Utsman bin Mazh’un terpilih sebagai pemimpin rombongan pertama dari muhajirin ini. Dengan membawa puteranya yang bernama Saib, dihadapkannya muka dan dilangkahkannya kaki ke suatu negeri yang jauh, meng­hindar dari tiap daya musuh Allah Abu Jahal, dan kebuasan orang Quraisy serta kekejaman siksa mereka.
Dan sebagaimana muhajirin ke Habsyi lainnya pada kedua -hijrah tersebut, yakni yang pertama dan yang kedua, maka tekad dan kemauan Utsman untuk berpegang teguh pada Agama Islam kian bertambah besar.
Memang, kedua hijrah ke Habsyi itu telah menampilkan corak perjuangan tersendiri yang mantap dalam sejarah ummat Islam. Orang-orang yang beriman dan mengakui kebenaran Rasulullah saw. serta mengikuti Nur Ilahi yang diturunkan kepada beliau, telah merasa muak terhadap pemujaan berhala dengan segala kesesatan dan kebodohannya. Dalam diri mereka masing-masing telah tertanam fitrah yang benar yang tidak bersedia lagi menyembah patung-patung yang dipahat dari batu atau dibentuk dari tanah liat.
Dan ketika mereka berada di Habsyi, di sana mereka meng­hadapi suatu agama yang teratur dan tersebar luas, mempunyai gereja-gereja, rahib-rahib serta pendeta-pendeta. Serta agama itu jauh dari agama berhala yang telah mereka kenal di negeri mereka, begitu juga cara penyembahan patung-patung dengan bentuknya yang tidak asing lagi serta dengan upacara-upacara ibadat yang biasa mereka saksikan di kampung halaman mereka. Dan tentulah pula orang-orang gereja di negeri Habsyi itu telah , berusaha sekuat daya untuk menarik orang-orang muhajirin ke dalam agama mereka, dan meyakinkan kebenaran agama Masehi.
Tetapi semua yang kita sebutkan tadi mendorong Kaum Muhajirin berketetapan hati dan tidak beranjak dari kecintaan mereka yang mendalam terhadap Islam dan terhadap Muhammad ,Rasulullah saw     Dengan hati rindu dan gelisah mereka menunggu suatu saat yang telah dekat, untuk dapat pulang ke kampung halaman tercinta, untuk ber’ibadat kepada Allah yang Maha Esa dan berdiri di belakang Nabi Besar, baik dalam mesjid di waktu damai, maupun di medan tempur di saat memper­tahankan diri dari ancaman kaum musyrikin.
Demikianlah Kaum Muhajirin tinggal di Habsyi dalam ke­adaan aman dan tenteram, termasuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang dalam perantauannya itu tidak dapat melupakan rencana-rencana jahat saudara sepupunya Umayah bin Khalaf an bencana siksa yang ditimpakan atas dirinya.
Maka dihiburlah dirinya dengan menggubah sya’ir yang berisikan sindiran dan peringatan terhadap saudaranya itu, katanya:
“Kamu melengkapi panah dengan bulu-bulunya Kamu runcing ia setajam-tajamnya
Kamu perangi orang-orang yang suci lagi mulia
Kamu celakan orang-orang yang berwibawa
Ingatlah nanti saat bahaya datang menimpa
Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata”
Dan tatkala orang-orang muhajirin di tempat mereka hijrah itu beribadat kepada Allah dengan tekun serta mempelajari ayat-ayat al-Quran yang ada pada mereka, dan walaupun dalam perantauan tapi memiliki jiwa yang hidup dan bergejolak , tiba-tiba sampailah berita kepada mereka bahwa orang-orang Quraisy telah menganut Islam, dan mengikuti Rasulullah ber­sujud kepada Allah.
Maka bangkitlah orang-orang muhajirin mengemasi barang­-barang mereka, dan bagaikan terbang mereka berangkat ke Mekah, dibawa oleh kerinduan dan didorong cinta pada kampung halaman. Tetapi baru Saja mereka sampai di dekat kota, ter­nyatalah berita tentang masuk Islamnya orang-orang Quraisy itu hanyalah dusta belaka. Ketika itu mereka merasa amat terpukul karena telah berlaku ceroboh dan tergesa-gesa. Tetapi betapa mereka akan kembali, padahal kota Mekah telah berada di hadapan mereka ?
Dalam pada itu orang-orang musyrik di kota Mekah telah mendengar datangnya buronan yang telah lama mereka kejar­-kejar dan pasang perangkap untuk menangkapnya. Dan sekarang, datanglah sudah saat mereka, dan nasib telah membawa mereka ke tempat ini.
Perlindungan, ketika itu merupakan suatu tradisi di antara tradisi-tradisi Arab yang memiliki kekudusan dan dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung masuk dalam perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, maka ia akan berada dalam suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tak boleh ditumpahkan dan keamanan dirinya dan perlu di­khawatirkan.
Sebenarnya orang-orang yang mencari perlindungan itu tidaklah sama kemampuan mereka untuk mendapatkannya. Itulah sebabnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil, ter­masuk di antaranya Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Walid bin Mughirah. Ia masuk ke dalam kota Mekah dalam keadaan aman dan tenteram, dan menyeberangi jalan serta gang-gangnya, menghadiri tempat-tempat pertemuan tanpa khawatir akan kedhaliman dan marabahaya.
Tetapi Ibnu Mazh’un, laki-laki yang ditempa al-Quran dan dididik oleh Muhammad saw. ini memperhatikan keadaan se­kelilingnya. Dilihatnya saudara-saudara sesama Muslimin, yakni golongan faqir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya, tiada mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan orang yang sedia melindungi mereka.
Dilihatnya mereka diterkam bahaya dari segala jurusan, dikejar kedhaliman dari setiap jalan. Sementara ia sendiri aman tenteram, terhindar dari gangguan bangsanya. Maka ruhnya yang biasa bebas itu berontak, dan perasaannya yang mulai bergejolak, dan menyesallah is atas tindakan yang telah di­ambilnya.
Utsman keluar dari rumahnya dengan niat yang bulat dan tekad yang pasti hendak menanggalkan perlindungan yang dipikul Walid. Selama itu perlindungan tersebut telah menjadi penghalang baginya untuk dapat meni’mati derita di jalan Allah dan kehormatan senasib sepenanggungan bersama saudaranya  Kaum Muslimin merupakan tunas-tunas dunia beriman dan generasi alam baru yang esok pagi akan ter­pancar cahaya ke seluruh penjuru, cahaya keimanan dan ke­tauhidan ….
Maka marilah kita dengar cerita dari saksi mata yang melukiskan bagi kita peristiwa yang telah terjadi, katanya:
“Ketika Utsman bin Mazh’un menyaksikan penderitaan yang dialami oleh para shahabat Rasulullah saw., sementara ia sendiri pulang pergi dengan aman dan tenteram disebabkan perlindungan Walid bin Mughirah, katanya: ‘Demi Allah, sesungguhnya mondar-mandirku dalam keadaan aman di­sebabkan perlindungan seorang tokoh golongan musyrik, sedang teman-teman sejawat dan kawan-kawan seagama menderita adzab dan siksa yang tidak kualami, merupakan suatu kerugian besar bagiku.
Lalu ia pergi mendapatkan Walid bin Mughirah, katanya: ‘Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindungan anda, dan sekarang ini saya melepaskan diri dari perlindungan anda. . .
“ kenapa wahai keponakanku  . . . ?” ujar walid , mungkin ada salah seorang anak buahku  mengganggu mu . . . ?”
“Tidak’, ujar Utsman, ‘hanya saya ingin berlindung kepada Allah, dan tak suka lagi kepada lain-Nya … !’ Karenanya pergilah anda, ke mesjid serta umumkanlah maksudku ini secara terbuka seperti anda, dahulu mengumumkan per­lindungan terhadap diriku!’
Lalu pergilah mereka berdua ke mesjid, maka kata Walid: ‘Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan perlindungan terhadap dirinya”.
Ulas Utsman: “Betullah kiranya apa yang dikatakan itu . . ternyata ia seorang yang memegang teguh janjinya . “ hanya keinginan saya agar tidak lagi mencari perlindungan kecuali kepada Allah Ta’ala.
Setelah itu Utsman pun berlalulah, sedang di salah satu gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid bin Rabi’ah menggubah sebuah sya’ir dan melagukannya di hadapan mereka,. hingga Utsman jadi tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka. Kata Lubaid:
“Ingatlah bahwa apa juga yang terdapat di bawah kolong ini selain daripada Allah adalah hampa!”
“Benar ucapan anda itu”, kata Utsman menanggapinya.
Kata Lubaid lagi: “Dan semua kesenangan, tak dapat tiada lenyap dan sirna!” “Itu dusta!”, kata Utsman, “karena kesenangan surga takkan lenyap.”
Kata Lubaid: “Hai orang-orang Quraisy! Demi Allah, tak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang selama ini. Bagai­mana sikap kalian kalau ini terjadi?”
Maka berkatalah salah seorang di antara mereka: “Si tolol ini telah meninggalkan agama kita . . . ! Jadi tak usah digubris apa ucapannya!”
Utsman membalas ucapannya itu hingga di antara mereka tejadi pertengkaran. Orang itu tiba-tiba bangkit mendekati Utsman lalu meninjunya hingga tepat mengenai matanya, sementara Walid bin Mughirah masih berada di dekat itu dan menyaksikan apa yang terjadi.
Maka katanya kepada Utsman: “Wahai ke­ponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, maka sungguh, benteng perlindunganmu amat tangguh … !”
Ujar Utsman: “Tidak, bahkan mataku yang sehat ini amat membutuhkan pula pukulan yang telah dialami saudaranya di jalan Allah . . . ! Dan sungguh wahai Abu Abdi Syamas, saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu”
“Ayohlah Utsman”, kata Walid pula, “jika kamu ingin, kem­balilah masuk ke dalam perlindunganku.”
“Terima kasih . . .!” ujar Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu.
Ibnu Mazh’un meninggalkan tempat itu, tempat terjadinya .peristiwa tersebut dengan mata yang pedih dan kesakitan, tetapi jiwanya yang besar memancarkan keteguhan hati dan kese­jahteraan serta penuh harapan.
Di tengah jalan menuju rumahnya dengan gembira ia men­dendangkan pantun ini:
“Andaikata dalam mencapai ridla Ilahi
Mataku ditinju tangan jahil orang mulhidi
Maka Yang Maha Rahman telah menyediakan imbalannya
Karena siapa yang diridlai-Nya pasti berbahagia
Hai ummat, walau menurut katamu daku ini sesat
daku ‘kan tetap dalam Agama Rasul, Muhammad
Dan tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan Agama yang haq
Walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena”.
Demikian Utsman bin Mazh’un memberikan contoh dan teladan utama yang memang layak dan sewajarnya. Dan demikianlah pula lembaran kehidupan ini menyaksikan suatu pribadi utama yang telah menyemarakkan wujud ini dengan harum semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa dan kata-kata bersayapnya yang abadi dan mempesona:
“Demi Allah, sesungguhnya sebelah mataku yang sehat ini amat membutuhkan pukulan yang telah dialami saudara­nya di jalan Allah. Dan sungguh, saat ini saya berada dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu.”
Dan setelah dikembalikannya perlindungan. kepada Walid, Maka Utsman menemui siksaan dari orang-orang Quraisy. Tetapi dengan itu ia tidak merana, sebaliknya bahagia, sungguh-sungguh bahagia.
Siksaan itu tak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan bertambah murni.
Demikianlah, ia maju ke depan bersama saudara-saudara yang beriman, tidak gentar oleh ancaman, dan tidak mundur oleh bahaya.
Utsman melakukan hijrah pula ke Madinah, hingga tidak diusik lagi oleh Abu Lahab, Umayah, ‘Utbah atau oleh gembong­-gembong lainnya yang telah sekian lama menyebabkan mereka tak dapat menidurkan mata di malam hari, dan bergerak bebas di siang hari.
la berangkat ke Madinah bersama rombongan shahabat­-shahabat utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati mereka telah lulus dalam ujian yang telah mencapai puncak kesulitan dan kesukarannya, dan dari pintu gerbang yang luas dari kota itu nanti mereka akan melanjutkan pengembaraan ke seluruh pelosok bumi, membawa dan mengibarkan panji­-panji Ilahi, serta menyampaikan berita gembira dengan kalimat­-kalimat dan ayat-ayat petunjuk-Nya ….
Dan di kota hijrah Madinah. al-Munawwarah itu tersingkap­lah kepribadian yang sebenarnya dari Utsman bin Mazh’un, tak ubah bagai batu permata yang telah diasah, dan ternyatalah kebesaran jiwanya yang istimewa. Kiranya ia seorang ahli ibadah, seorang zahid, yang mengkhususkan diri dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Hahi.
Dan ternyata bahwa ia adalah orang suci dan mulia lagi bijaksana, yang tidak mengurung diri untuk tidak menjauhi kehidupan duniawi, tetapi orang suci luar biasa yang mengisi kehidupannya dengan amal dan karya serta jihad dan berjuang di jalan Allah.
Memang, ia adalah seorang rahib di larut malam, dan orang berkuda di waktu siang, bahkan ia adalah seorang rahib baik di waktu siang maupun di waktu malam, dan di samping itu sekaligus juga orang berkuda yang berjuang siang dan malam … !
Dan jika para shahabat Rasulullah saw. apalagi di kala itu, semua berjiwa zuhud dan gemar beribadat, tetapi Ibnu Mazh’un memiliki ciri-ciri khash. Dalam zuhud dan ibadatnya ia amat . tekun dan mencapai puncak tertinggi, hingga corak kehidupannya, baik siang maupun malam dialihkannya menjadi shalat yang terus-menerus dan tasbih yang tiada henti-hentinya.
Rupanya ia setelah merasakan manisnya keasyikan beribadat itu, ia pun bermaksud hendak memutuskan hubungan dengan segala kesenangan dan kemewahan dunia.
Ia tak hendak memakai pakaian kecuali yang kasar, dan tak hendak makan makanan selain yang amat bersahaja.
Pada suatu hari ia masuk masjid, dengan pakaian usang yang telah sobek-sobek yang ditambalnya dengan kulit unta, semen­tara Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabatnya. Hati Rasulullah pun bagaikan disayat melihat itu, begitu juga para shahabat, air mata mereka mengalir karenanya. Maka tanya Rasulullah saw. kepada mereka:
“Bagaimana pendapat kalian, bila kalian punya pakaian satu stel untuk pakaian pagi dan sore hari diganti denganstelan lainnya, kemudian disiapkan di depan kalian suatu perangkat wallah makanan sebagai ganti perangkat lainnya yang telah diangkat,. serta kalian dapat me­nutupi rumah-rumah kediaman kalian sebagaimana Ka’bah bertutup … ?
“Kami ingin hal itu dapat terjadi, wahai Rasulullah ujar mereka, “hingga kita dapat mengalami hidup ma’mur dan bahagia … !”
Maka sabda Rasulullah saw. pula: “Sesungguhnya hal itu telah terjadi. Keadaan kalian sekarang ini lebih baik dari keadaan kalian waktu lalu.
Tetapi Ibnu Mazh’un yang turut mendengar percakapan itu bertambah tekun menjalani kehidupan yang bersahaja dan menghindari sejauh-jauhnya kesenangan dunia.
Bahkan sampai-sampai kepada menggauli isterinya ia tak hendak dan menahan diri, seandainya hal itu tidak diketahui oleh Rasulullah saw. yang segera memanggil dan menyampaikan kepadanya:
“Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu …. I 
Ibnu Mazh’un amat disayangi oleh Rasulullah saw. Dan tatkala ruhnya yang suci itu berkemas-kemas hendak berangkat, hingga dengan demikian ia merupakan orang muha­jirin pertama yang wafat di Madinah, dan yang mula-mula merintis jalan menuju surga, maka Rasulullah saw. berada di sisinya.
Rasulullah saw. membungkuk menciumi kening Ibnu Mazh’un serta membasahi kedua pipinya dengan air yang berderai dari kedua mata beliau yang diliputi santun dan duka cita hingga di saat kematiannya. Wajah Utsman tampak bersinar gilang­-gemilang.
Dan bersabdalah Rasulullah saw. melepas shahabatnya yang tercinta itu:
“Semoga Allah memberimu rah mat, wahai Abu Saib Kamu pergi meninggalkan dunia, tak satu keuntungan pun yang kamu peroleh daripadanya, serta tak satu kerugian pun yang dideritanya daripadamu.”
Dan sepeninggal shahabatnya, Rasulullah yang amat pe­nyantun itu tidak pernah melupakannya, selalu ingat dan memujinya …. Bahkan untuk melepas puteri beliau Rukayah, Yakni ketika nyawanya hendak melayang, adalah kata-kata berikut:
“Pergilah susul pendahulu kita yang pilihan. Utsman bin Mazh’un … I”

Tidak ada komentar: