20 Februari 2012

USAID BIN HUDHAIR


Pahlawan Hari Saqifah

Ia mewarisi akhlaq mulia dari nenek moyangnya turun­ temurun. Ayahnya Hudlairul Kata’ib adalah seorang pe­mimpin Aus dan termasuk salah seorang bangsawan Arab di zaman jahiliyah, dan salah seorang hulubalang mereka yang perkasa, seorang penyair pernah berpantun mengenai ayahnya ini:
“Andainya maut mau menghindar dari orang perkasa niscaya ia akan membiarkan Hudlair ketika ini menutupkan pintunya Ia hanya akan berkeliling, sampai malam datang menjelma Lalu mengambil tempat duduk dan berdendang dengan asyiknya”.

Usaid mewarisi ketinggian martabat ayahnya; ia adalah salah seorang pemimpin Madinah dan bangsawan Arab dan pemanah pilihan yang tak banyak jumlahnya. Sewaktu Islam telah memilih dirinya dan ia ditunjuki ke jalan yang mulia lagi terpuji bertambah memuncaklah kemuliaannya, dan bertambah tinggi martabatnya, yakni di kala ia mengambil kedudukan menjadi salah seorang pelopor penganut Agama Islam dan pembela Allah serta pembela Rasul-Nya.
Sewaktu Rasulullah mengirim Mush’ab bin Umeir ke Madinah untuk mengajari orang-orang Muslimin Anshar yang telah meng­angkat bai’at kepada Nabi untuk membela Islam di Baitul Aqabah yang pertama, dan untuk menyeru orang-orang lain kepada Agama Allah, pada waktu itu Usaid bin Hudlair dan Sa’ad bin Muadz, kedua-duanya adalah pemimpin kaum­nya  duduk merundingkan tentang perantau asing yang datang dari Mekah mengenyampingkan agama mereka serta menyeru kepada Agama baru yang belum mereka kenal.
Di majlis Mush’ab dan As’ad bin Zurarah ini, Usaid melihat banyak orang yang dengan penuh minat dan perhatian men­dengarkan kalimat-kalimat petunjuk yang mengajak mereka kepada Allah yang diserukan Mush’ab bin Umeir. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kedatangan Usaid yang melampiaskan segala kemarahan dengan berangnya. Mush’ab lalu berkata: “Sudikah anda duduk mendengarkannya? Bila ada sesuatu yang menyenangkan anda, anda dapat menerimanya, dan jika anda tidak menyukainya, kami hentikan apa yang tidak anda sukai itu”
Usaid adalah seorang yang cemerlang otaknya, tenang hati­nya, sehingga digelari oleh penduduk Madinah dengan al-Kamil, si “sempurna” yakni gelar yang dimiliki ayahnya dulu. Maka tatkala diperhatikannya Mush’ab mengandalkan hukum logika dan akal itu, ditancapkannya tombaknya ke tanah, lalu berkata kepada Mush’ab:  ”Benar kata anda itu! Nah, cobalah anda kemukakan apa yang ada pada anda!”
Mush’ab lalu membacakan ayat-ayat al-Quran dan men­jelaskan seruan Agama baru ini, Agama yang haq, dan Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk menyampaikan dan mengibarkan benderanya. Orang-orang yang menghadiri majlis ini sama mengatakan: “Demi Allah sebelum mengucapkannya telah terlihat pada wajah Usaid sikap keislamannya. Kita mengenalnya pada cahaya muka dan sikap lunaknya”
Belum lagi selesai Mush’ab dengan pembicaraannya, Usaid pun berseru dengan amat terkesan: “Alangkah baiknya kata­-kata ini dan alangkah indahnya. Apa yang kalian lakukan bila kalian hendak masuk Agama ini’ Jawab Mush’ab:
“Anda bersihkan badan, pakaian, dan ucapkan syahadat yang haq, kemudian anda shalat”
Sesungguhnya kepribadian Usaid, benar-benar kepribadian yang lurus, kuat dan murni, begitu ia mengenal jalannya, ia tidak ragu-ragu lagi maju melangkah menyambutnya dengan kebulatan hati. Usaid tegak berdiri untuk menerima Agama yang telah membuka pintu hatinya dan menyinari dasar jiwanya, lalu ia mandi dan membersihkan diri, kemudian sujud kepada Allah Tuhan semesta alam, menyatakan keislamannya dan menyampaikan perpisahan kepada masa-masa kemusyrikan dan jahiliyah.
Kewajiban Usaid sekarang ini ialah segera kembali kepada Sa’ad bin Mu’adz, untuk menyampaikan laporan dari tugas yang dibebankan kepadanya semula, yaitu untuk mengancam Mush’ab bin Umeir dan mengusirnya. Dan iapun kembalilah kepada Sa’ad. Belum lagi Usaid sampai ke dekat mereka, Sa’ad mengatakan kepada orang-orang sekelilingnya: “Aku ber­sumpah, sungguh Usaid telah datang sekarang ini, tetapi dengan air muka yang berlainan dari sewaktu ia pergi tadi” Benar. ia pergi dengan muka yang masam berkerut dengan rasa amarah dan permusuhan, dan kembali dengan wajah yang di­liputi rahmat dan nur, sakinah kedamaian.
Usaid memutuskan akan mempergunakan kecerdikannya. la tahu benar bahwa Sa’ad bin Mu’adz sama betul dengan dirinya tentang kebersihan jiwa, kekerasan kemauan, ketenangan berfikir dan ketepatan penilaian. Dan ia mengetahui bahwa tak akan ada penghalang antaranya dengan Islam sesudah men­dengar sendiri apa yang telah didengarnya tadi tentang kalam Allah, yang begitu baik dibacakan dan diuraikan kepada mereka oleh utusan Rasulullah, Mush’ab bin Umeir.
Tetapi seandainya dikatakannya kepada Sa’ad: “Sebenarnya aku telah masuk Islam, pergilah pula kamu masuk Islam”, niscaya akan mengundang pertentangan yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan. Kalau begitu, baiklah dibangkitkannya semangat keberanian Sa’ad sebagai suatu cara untuk mendorongnya pergi ke majlis Mush’ab sampai ia mendengar dan menyaksikannya sendiri. Maka bagaimana jalan selanjutnya untuk mencapai ini ?
Sebagaimana telah kita sebutkan dahulu, Mush’ab menjadi tamu di rumah As’ad bin Zurarah sedang As’ad bin Zurarah adalah anak bibi dari Sa’ad bin Mu’adz. Maka kata Usaid kepada Sa’ad: “Sungguh, aku telah mendapat berita bahwa Bani Haritsah telah berangkat ke rumah As’ad bin Zurarah hendak membunuhnya, padahal mereka tahu bahwa ia adalah anak bibinya”
Didorong oleh rasa amarah dan semangat pembelaan, Sa’ad bangkit langsung mengambil tombaknya dan dengan bergegas pergi ke tempat As’ad dan Mush’ab yang ketika itu sedang berkumpul bersama Kaum Muslimin lainnya. Sewaktu ia sampai ke dekat majlis, ia tidak menemukan keributan ataupun kegaduhan, yang ada malah sakinah atau ketenangan yang meliputi seluruh jama’ah, sedang di tengah-tengah mereka berada Mush’ab bin Umeir membacakan ayat-ayat Allah dengan penuh khusyu’, sementara yang lain menyimakkannya dengan penuh perhatian.
Ketika itu mengertilah Sa’ad akan siasat yang telah diatur Usaid untuk menjebaknya, yaitu agar ia datang ke majlis ini dan dapat mendengarkan sendiri pembicaraan Mush’ab bin Umeir sebagai utusan Islam. Dan tidak salah firasat Usaid mengenai shahabatnya! Tak lama setelah Sa’ad mendengarkan­nya, maka dibukakan Allah lah dadanya untuk menerima Islam, dan secepat kilat iapun telah mengambil kedudukannya di barisan orang-orang beriman yang mula pertama.
Dalam hati serta akal Usaid bersinar cahaya iman yang kuat. Keimanan memberinya bekal sifat hati-hati, penyantun dan penilaian yang tepat yang menjadikannya sebagai orang kepercayaan.
Dalam peperangan Bani Musthaliq meledaklah dendam yang terpendam di dada Abdullah bin Ubai tokoh munafiqin maka katanya kepada orang-orang sekitarnya dari penduduk Madinah: “Kalian telah menempatkan mereka di negeri kalian, dan kamu berbagi harta dengan mereka. Ketahuilah, demi Allah, seandainya kalian tak memberikan lagi apa yang ada di tangan kalian kepada mereka niscaya mereka akan berpindah ke lain negeri, bukan negeri kalian ini! Ingat demi Allah, kalau nanti kita kembali ke Madinah, niscaya orang-orang mulia akan mengusir orang-orang yang hina dari sana”
Seorang shahabat yang mulia Zaid bin Arqam mendengar kalimat-kalimat, bahkan racun kemunafikan yang membakar ini. Karenanya menjadi kewajibannya untuk memberitahukannya kepada Rasulullah saw. Perasaan Rasul sangat tertusuk kebetulan Usaid menemui kalian, Nabi saw. pun bertanya kepadanya:
Belum sampaikah kepadamu apa yang diucapkan oleh shahabatmu?
Shahabat yang mana ya Rasulallah? Ujar Usaid.
Abdullah bin Ubai.
Ucapan apa yang anda dengar?
Katanya, seandainya ia kembali ke Madinah, maka yang mulia akan mengeluarkan yang hina daripadanya.
Demi Allah, andalah yang akan mengeluarkannya dari Madinah insya Allah. Demi Allah dialah yang rendah, dan andalah yang mulia … !
Kemudian kata Usaid pula: “Ya Rasulallah, kasihanilah dia, demi Allah, ketika Allah membawa anda kepada kami, kaumnya sedang menyiapkan mahkota untuk ditaruh di atas kepalanya karena ia akan mereka angkat menjadi raja di kota Madinah; ia memandang Islam telah merenggut kerajaan itu dari tangannya”
Dengan daya pikir yang mendalam, sikap yang tenang dan ucapan yang jelas, Usaid senantiasa berhasil memecahkan per­soalan-persoalan dengan analisa-analisanya yang nyata, tepat dan tajam.
Di hari Saqifah, tak lama setelah wafatnya Rasulullah saw. Segolongan orang Anshar yang dikepalai oleh Sa’ad bin Ubadah mengumumkan bahwa mereka lebih berhak memegang khilafah, sewaktu debat dan tukar fikiran semakin panas, maka pendirian Usaid   sebagaimana kita ketahui ia adalah seorang tokoh Anshar mempunyai pengaruh besar dalam menjernihkan suasana, dan kalimat-kalimat yang diucapkannya laksana cahaya fajar di waktu subuh dalam menentukan arah.
Usaid berdiri mengucapkan pidato yang ditujukan kepada kaumnya dari golongan Anshar, katanya:  ”Tuan-tuan me­ngetahui bahwa Rasulullah saw. adalah dari golongan Muhajirin ? Karenanya khalifah juga sewajarnyalah dari golongan Muhajirin! Dan sesungguhnya kita, adalah pembela Rasulullah. maka kewajiban kita sekarang untuk membela khalifah­nya. Ternyata kata-kata itu menjadi si tawar dan si dingin.
Usaid bin Hudlair r.a. hidup sebagai seorang ahli ibadah dan yang taat, yang mengurbankan jiwa dan hartanya di jalan kebaikan dan menjadikan wasiat Rasulullah saw. terhadap orang Anshar sebagai pedoman dan sikap hidupnya:
“Shabar dan tabahlah kalian sampai kalian men­jumpai aku di telaga surga . . . . “.
Oleh karena Agama dan akhlaqnya ia dimuliakan dan dicintai Abu Bakar Shiddiq dan begitu pula la memperoleh kedudukan yang serupa di hati Amirul Mu’minin Umar dan di hati semua shahabat yang lain.
Mendengar alunan suaranya bila ia sedang membaca al­Quran seolah-olah beroleh harta rampasan yang sangat digemari oleh para shahabat. Suaranya khusyu’ mempesona dan menerangi jiwa, hingga menurut Rasulullah saw. Malaikat pernah mendekati pembacanya di suatu malam khusus untuk mendengarkan­nya.
Pada bulan Sya’ban tahun 20 Hijriah, berpulanglah Usaid. Amirul Mu’minin tidak mau ketinggalan turut serta memikul sendiri jenazahnya di atas bahunya dalam mengantarkan ke makamnya. Di bawah tanah Baqi’, di sanalah para shahabat menyimpan tubuh seorang Mu’min besar. Mereka kembali ke kota dengan mengenangkan jasa-jasanya sambil mengulang ­ulang sabda Rasul yang mulia tentang dirinya: “Sebaik-baik laki-laki, Usaid bin Hudlair.

Tidak ada komentar: