25 Mei 2012

Makalah: Fiqih Udhiyah / Qurban


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Pengantar
Syariat Qurban merupakan warisan ibadah yang paling tua. Karena bequrban mulai diperintahkan saat Nabiyullah Adam ‘alaihis salam tidak menemukan cara yang adil dalam menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun sudah diputuskan menikah secara silang. Sampai akhirnya Allah swt mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil melaksanakan qurban untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil berqurban dengan ternaknya –unta- dan Qabil berqurban dengan tanamannya –gandum-.

Sampai disini Allah swt sebenarnya ingin menguji hamba-hamba-Nya, mana yang dengan suka-rela menerima perintahnya, dan mana yang menentangnya. Habil dengan ikhlas mempersembahkan udhiyahnya dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan perintah berudhiyah, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.
Sebenarnya istilah yang baku bukan berqurban, tetapi menyembelih hewan udhiyah. Sebab kata “Qurban” artinya mendekatkan diri kepada Allah. Padahal yang disunnahkan adalah melakukan ibadah ritual yaitu menghilangkan nyawa hewan udhiyah, baik dengan cara dzabh (menyembelih) atau nahr (menusuk leher unta dengan tombak), sebagai bentuk ritual peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Syariat berudhiyah dilanjutkan dengan Nabi-Nabi berikutnya.
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (udhiyah), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34
Peristiwa berudhiyah paling fenomenal dibuktikan oleh Bapak Tauhid, Khalilullah, Ibrahim Alaihissalam. Ibrahim yang menanti seorang putra sejak lama itu diperintahkan Allah swt untuk menyembelih putra semata wayangnya, Isma’il alaihissalam. Ujian berat menyergapnya, antara melaksanakan perintah Allah swt atau membiarkan hidup putranya dengan tidak melaksanakan perintah Allah swt, toh putranya nanti akan melanjutkan perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional. Bisa menjadi pembelaan diri dan pembenaran pilihan.
Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.

B.   Tujuan Penulisan
1.    Agar mahasiswa mengetahui tentang Sejarah singkat Udhiyah.
2.    Agar mahasiswa mengetahui pengertian dan landasan di syari’atkannya ritual ibadah Udhiyah.
3.    Agar mahasiswa mengetahui dan memahami udhiyah sebagai bagian ibadah dan juga sebagai mu’amalah bagi ummat islam.
4.    Agar menusia mengetahui dan memahami hikmah disyari’atkannya udhiyah bagi ummat Islam.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Sejarah
Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika putra-putra nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk. Allah SWT berfirman:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
Qurban lain yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah qurban keluarga Ibrahim AS, saat beliau diperintahkan Allah SWT untuk mengurbankan anaknya, Ismail AS. Disebutkan dalam surat As-Shaaffaat 102: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Kemudian qurban ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai bagian dari Syariah Islam, syiar dan ibadah kepada Allah SWT sebagai rasa syukur atas nikmat kehidupan.
Syariat itu kembali diaktualisasikan oleh nabi akhir zaman, Nabiyullah Muhammad saw dan kita sebagai umatnya. Perintah itu digambarkan dalam surat pendek, surat Al-Kautsar: 1-3.
“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.”
Sebelum Allah swt memerintahkan berudhiyah, terlebih dulu Allah swt mengingatkan betapa nikmat pemberian Allah swt begitu banyak “Al Kaustar”, atau juga berarti telaga kautsar di surga.
Kalau kita mencoba merenung, nikmat Allah swt yang besar adalah nikmat diciptakanya kita sebagai manusia. Makhluk Allah swt yang paling mulia dan paling baik bentuknya, “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tiin:4)
Nikmat menjadi peran khalifatullah fil ardli, perwakilan Allah swt untuk memakmurkan bumi dan isinya. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah:30)
Nikmat anggota badan yang begitu menakjubkan dan luar biasa. Betapa sangat mahalnya kesehatan itu ketika satu mata dihargai ratusan juta. Makanya Allah swt kembali mengingatkan “Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak memperhatikan?” (Adz-Dzariyat: 21)
Dan yang paling besar anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Ini digambarkan Allah sendiri, ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma’idah: 3)

B.   Pengertian Udhiyah
Kata qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri, sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah Islam sebagai udhiyah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang disembelih di hari ‘Idul Adha. Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu (Syarh Minhaj).
Udhiyah atau dalam bahasa kita disebut qurban dalam istilah fuqaha (para ahli fiqih) adalah: “Binatang peliharaan yang disembelih pada hari-hari penyembelihan disebabkan datangnya hari raya Idul Adha, untuk mendekatkan diri kepada Allah”.  Sedangkan kata al-Udhiyah itu sendiri diambil dari kata dhuha, yang artinya waktu dhuha. Dikatakan demikian lantaran waktu shalat Idul Adha dan menyembelihnya Rasulullah SAW adalah pada waktu dhuha. Demikianlah Rasulullah SAW menyembelih binatang qurbannya pada waktu dhuha setelah shalat Idul Adha. Ini bukan berarti selain waktu dhuha dilarang menyembelih, bahkan seandainya menyembelih qurban dilakukan pada sore atau malam hari, selama dalam waktu yang dibolehkan maka penyembelihan itu tetap sah, karena waktu dhuha itu adalah waktu yang disunnahkan. (Faedah ini dikatakan oleh Dr. Abdurrahman ad-Dahsy ketika mensyarah kitab Umdatul ahkam dalam bab Muqaddimah bab al-Adhahi. Demikian juga dinamai hari itu adalah Idul Adha karena hari itu disyariatkan menyembelih binatang qurban (udhiyah). Kemudian udhiyah dipakai dalam bahasa kita dengan istilah qurban, diambil dari kata taqarruban atau qurbanan, yang artinya mendekatkan diri kepada Allah.

C.   Dasar Hukum Disyari’atkannya Udhiyah
Hukum qurban menurut jumhur ulama adalah sunnah muaqqadah sedang menurut mazhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah SWT berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ2
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsaar: 2).
Rasulullah SAW bersabda:
من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا
“Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain: “Jika kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara kalian hendak berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)” (HR Muslim).
Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki kemudahan, dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut pendapat Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak mendapatkan keutamaan pahala sunnah.
Disyariatkannya qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah SWT, bentuk ketaatan kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat kehidupan dengan berqurban yang berarti menyembelih binatang dapat dilihat dari dua sisi.
Pertama, bahwa penyembelihan binatang tersebut merupakan sarana memperluas hubungan baik terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara sesama muslim. Semua itu merupakan fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas nikmat Allah SWT kepada manusia, dan inilah bentuk pengungkapan nikmat yang dianjurkan dalam Islam:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS Ad-Dhuhaa 11).
Kedua, sebagai bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah SWT. Allah menciptakan binatang ternak itu adalah nikmat yang diperuntukkan bagi manusia, dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih binatang ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.
Berqurban merupakan ibadah yang paling dicintai Allah SWT di hari Nahr, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari ‘Aisyah RA. bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tidaklah anak Adam beramal di hari Nahr yang paling dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban itu akan datang di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya darah akan cepat sampai di suatu tempat sebelum darah tersebut menetes ke bumi. Maka perbaikilah jiwa dengan berqurban”.

D.   Udhiyah Sebagai Ibadah dan Mu’amalah
1)   Udhiyah Sebagai Ibadah
Setelah Allah swt menyebut nikmat-nikmat yang begitu banyak itu, Allah swt mengingatkan hamba-hamba-Nya agar mau melaksanakan perintah-perintah-Nya: perintah shalat lima waktu atau shalat Idul Adha dan berudhiyah sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya.
Bahkan Rasulullah saw memerintahkan berudhiyah dengan bahasa yang tegas dan lugas bahkan disertai ancaman. Ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan tempat shalat atau dengan istilah lain tidak diakui menjadi umat Muhammad.
Dari Abu Hurairah ra., Nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berudhiyah, maka janganlah ia menghampiri (mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Berudhiyah tidak sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan udhiyah, namun lebih dari itu, berudhiyah berarti ketundukan total terhadap perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal yang dilarang-Nya. Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah, apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan karenanya melaksanakan dengan baik tanpa ragug-ragu? Laksana Nabiyullah Ibrahim.
Berudhiyah adalah berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berudhiyah.
Atau seperti Qabil yang menuruti logika otaknya dan kemauan syahwatnya, sehingga dengan perintah berudhiyah itu, ia malah melanggar perintah Allah swt dengan membunuh saudara kembarnya sendiri? Ia berusaha mensiasati perintah Allah swt dengan kemauannya sendiri yang menurutnya baik. Namun di situlah letak permasalahannya: ia tidak percaya perintah Allah swt.?
Berudhiyah juga berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu menyuruh kepada kemunkaran dan kejahatan.
Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berudhiyah dengan ilmunya. Pengusaha ia berudhiyah dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berudhiyah demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berudhiyah untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya.
Kita berani menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok namun bertentangan dengan perintah Allah swt.
Dengan semangat ini, bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi pertiwi ini. Biidznillah.
Karena itu Allah swt menegaskan dalam firman-Nya,
”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Hajj:37)
Dan berudhiyahlah. Udhiyah menjadi kebiasaan yang melegakan, bukan menjadi beban dan keterpaksaan. Karena memang udhiyah tidak sekedar memotong hewan.
Ada hikmah lain yang sangat penting di balik syariat ibadah ber-udhiyah, yakni adanya keterkaitan yang sangat erat antara udhiyah (berqurban, menyembelih hewan qurban) dan tadhiyah (berkorban secara umum), baik secara bahasa maupun secara makna. Secara bahasa, udhiyah dan tadhiyah berasal dari kata dhahha yudhahhi yang berarti berqurban dan berkorban sekaligus. Adapun secara makna, ber-udhiyah adalah bagian dari tadhiyah, karena memang esensi dari ibadah qurban (ber-udhiyah) adalah pengorbanan itu sendiri.
Apalagi jika kita mengingat bagaimana pada mulanya sunnah udhiyah ini harus dilaksanakan oleh Khalilullah Ibrahim ‘alaihis-salam, dimana beliau diperintahkan untuk berkorban dan berqurban dengan menyembelih putra tercinta beliau, Nabi Ismail ‘alaihis-salam, meskipun akhirnya ditukar dengan sembelihan kambing yang besar, setelah terbukti secara nyata ketaatan dan kesabaran beliau berdua dalam memenuhi perintah Allah (lihat QS. Ash-Shaaffaat [37]: 102-107).
Maka ibadah ber-udhiyah, dengan demikian, akan menanamkan dalam diri kita dan diri setiap pequrban kecintaan dan semangat untuk selalu siap berkorban dengan apa saja yang kita miliki di jalan jihad dan dakwah, yang merupakan syarat untuk mencapai kemenangan Islam dan mengembalikan ’izzah (kemuliaan) serta kekuatan kaum muslimin sebagai umat terbaik (khairu ummah). Maka marilah kita selalu ber-udhiyah (berqurban) dan ber-tadhiyah (berkorban) agar kita dan umat kita tidak selalu menjadi atau dijadikan korban! Ingat, kita adalah umat pequrban dan bukan umat korban.

2)   Udhiyah Sebagai Mu’amalah
Diantara kutamaannya sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah, adalah menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama.
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim).
Adapun beberapa hikmah hikmahnya adalah meneladani Nabi Ibrahim dan kepedulian sosial. Sebagaimana disebutkan dalah hadits Rasulullah Saw, sesunguhnya hari ini (Idul Adha) hari jamuan makan-minum dan mengagungkan Allah Swt.
Kaitannya dalam mu’amalah atau kehidupan sosial, maka ‘udhiyah mengendung berbagai hikmah, diantaranya:
Pertama, untuk mengenang nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim dengan digagalkannya penyembelihan putranya, Ismail AS, yang ditebus dengan seekor kambing dari surga.
Kedua, untuk membagi-bagikan rizqi yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia saat Hari Raya ‘Idul Adha, yang memang menjadi hari membahagiakan bagi umat Islam, agar yang miskin juga merasakan kegembiraan seperti yang lainnya. Sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw (artinya): “Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan dzikir kepada Allah” (HR. Muslim)
Ketiga, untuk memperbanyak rizqi bagi orang yang berqurban, karena setiap hamba yang menafkahkan hartanya di jalan Allah akan mendapatkan balasan berlipat ganda.


BAB III
P E N U T U P

A.   Kesimpulan
Sesuatu yang perlu diperhatikan bagi umat Islam adalah bahwa berqurban (udhiyah), qurban (taqarrub) dan berkorban (tadhiyah), ketiganya memiliki titik persamaan dan perbedaan. Qurban (taqarrub), yaitu upaya seorang muslim melakukan pendekatan diri kepada Allah dengan amal ibadah baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman (dalam hadits Qudsi): “Siapa yang memerangi kekasih-Ku, niscaya aku telah umumkan perang padanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku (taqarrub) dengan sesuatu yang paling Aku cintai, dengan sesuatu yang aku wajibkan. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang sunnah, maka Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya dimana ia mendengar, menjadi penglihatannya dimana ia melihat, tangannya dimana ia memukul dan kakinya, dimana ia berjalan. Jika ia meminta, niscaya Aku beri dan jika ia minta perlindungan, maka Aku lindungi” (HR Bukhari).
Berqurban (udhiyah) adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan mengorbankan sebagian kecil hartanya, untuk dibelikan binatang ternak. Menyembelih binatang tersebut dengan persyaratan yang sudah ditentukan. Sedangkan berkorban (tadhiyah) mempunyai arti yang lebih luas yaitu berkorban dengan harta, jiwa, pikiran dan apa saja untuk tegaknya Islam. Dalam suasana dimana umat Islam di Indonesia sedang terkena musibah banjir, dan mereka banyak yang menjadi korban. Maka musibah ini harus menjadi pelajaran berarti bagi umat Islam. Apakah musibah ini disebabkan karena mereka menjauhi Allah SWT dan menjauhi ajaran-Nya? Yang pasti, musibah ini harus lebih mendekatkan umat Islam kepada Allah (taqqarub ilallah). Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan yang tidak tertimpa musibah banjir ini dituntut untuk memberikan kepeduliannya dengan cara berkorban dan memberikan bantuan kepada mereka yang terkena musibah. Dan di antara bentuk pendekatan diri kepada Allah dan bentuk pengorbanan kita dengan melakukan qurban penyembelihan sapi dan kambing pada hari Raya ‘Idul Adha dan Hari Tasyrik. Semoga Allah menerima qurban kita dan meringankan musibah ini, dan yang lebih penting lagi menyelamatkan kita dari api neraka.

B.   Saran
Selain hikmah yang terkandung dalam syariat udhiyah di atas, terdapat pelajaran lain yang dapat kita ambil dari ibadah udhiyah ini.
1.    Secara Vertical (حَبْلٌ مِّنَ اللهِ/ hablumminallah)
Secara vertical berarti ini menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah atas semua nikmat yang telah diberikan kepada kita. Serta melahirkan kesadaran bahwa semua nikmat itu merupakan karunia Allah. Selain itu, ibadah udhiyah dapat menjadi tolok ukur ketakwaan dan keimanan seseorang.
Semakin tinggi ketakwaan seseorang, maka semakin mudah dan semakin besar keinginannya untuk melaksanakan syariat udhiyah. Begitu pula kebalikannya, semakin rendah keimanan seseorang, maka semakin enggan dirinya untuk mengeluarkan hartanya dalam rangka melaksanakan syariat udhiyah.
2.    Secara Horizontal (حَبْلٌ مِّنَ النَّاسِ / hablumminannas)
Ditinjau dari segi horizontal maka kita akan melihat sisi hablumminannas. Bagaimana syariat udhiyah mengajarkan kita agar memelihara rasa solidaritas dan sosial dengan orang-orang di sekitar kita.
Ketika seseorang menyembelih hewan qurban, maka tidak semuanya akan dimakan sendiri. Akan tetapi sebagian dagingnya bagi diri dan keluarganya sedangkan yang lainnya akan dibagi.
Begitu banyak hikmah dan pelajaran dalam syariat udhiyah, tentunya sebagai seorang muslim harus memiliki semangat yang tinggi dalam melaksanakan syariat ini. Bahkan untuk menghasung umatnya dalam ber-udhiyah rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barang siapa yang memiliki kemampuan, namun tidak mau berkurban, maka janganlah sekali-kali mendekati tempat shalat kami (lapangan shalat ‘Iid).” (Hadits hasan, Shahih Ibnu Majah 3114)
Begitu kerasnya peringatan rasulullah SAW, tidak lain dan tidak bukan kecuali untuk menyadarkan mereka yang memiliki kelapangan namun enggan melaksanakan syariat ini.
Lantas, bagaimana yang tidak memiliki kemampuan? Bagi yang belum mampu melaksanakan udhiyah, hendaknya mulai sekarang menancapkan niat untuk ber-udhiyah tahun dengan dengan disertai usaha keras dengan menabung sedikit demi sedikit. Semoga dengan niat ikhlas disertai usaha keras, Allah mengabulkan niatan kita. Bukan tidak mungkin mimpi hari ini menjadi kenyataan esok hari. Wallahu a’lam bish showab

  
DAFTAR PUSTAKA

Fiqhu al Sunnah, Sayid Sabiq, Dar al Fath, Cairo, 1990.

Tidak ada komentar: