BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Pengantar
Syariat Qurban merupakan
warisan ibadah yang paling tua. Karena bequrban mulai diperintahkan saat
Nabiyullah Adam ‘alaihis salam tidak menemukan cara yang adil dalam menikahkan
anak-anaknya yang kembar. Meskipun sudah diputuskan menikah secara silang. Sampai
akhirnya Allah swt mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil
melaksanakan qurban untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil berqurban
dengan ternaknya –unta- dan Qabil berqurban dengan tanamannya –gandum-.
Sampai disini Allah swt
sebenarnya ingin menguji hamba-hamba-Nya, mana yang dengan suka-rela menerima
perintahnya, dan mana yang menentangnya. Habil dengan ikhlas mempersembahkan
udhiyahnya dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam
menjalankan perintah berudhiyah, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia
membunuh saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat
manusia.
Sebenarnya istilah yang baku
bukan berqurban, tetapi menyembelih hewan udhiyah. Sebab kata “Qurban” artinya
mendekatkan diri kepada Allah. Padahal yang disunnahkan adalah melakukan ibadah
ritual yaitu menghilangkan nyawa hewan udhiyah, baik dengan cara dzabh
(menyembelih) atau nahr (menusuk leher unta dengan tombak), sebagai bentuk
ritual peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Syariat berudhiyah
dilanjutkan dengan Nabi-Nabi berikutnya.
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (udhiyah), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syariatkan penyembelihan (udhiyah), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” QS. Al-Hajj : 34
Peristiwa berudhiyah paling
fenomenal dibuktikan oleh Bapak Tauhid, Khalilullah, Ibrahim Alaihissalam.
Ibrahim yang menanti seorang putra sejak lama itu diperintahkan Allah swt untuk
menyembelih putra semata wayangnya, Isma’il alaihissalam. Ujian berat
menyergapnya, antara melaksanakan perintah Allah swt atau membiarkan hidup
putranya dengan tidak melaksanakan perintah Allah swt, toh putranya nanti akan
melanjutkan perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional. Bisa
menjadi pembelaan diri dan pembenaran pilihan.
Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.
Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt. Perintah itu dikomunikasikan dengan putranya Isma’il. Betapa bangganya sang ayah yang mendengar ketegasan putranya, “Wahai Ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Engkau akan menemukan diriku termasuk orang yang penyabar.
B.
Tujuan
Penulisan
1.
Agar mahasiswa mengetahui tentang Sejarah
singkat Udhiyah.
2.
Agar mahasiswa mengetahui pengertian dan
landasan di syari’atkannya ritual ibadah Udhiyah.
3.
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami
udhiyah sebagai bagian ibadah dan juga sebagai mu’amalah bagi ummat islam.
4.
Agar menusia mengetahui dan memahami hikmah
disyari’atkannya udhiyah bagi ummat Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam
yang sudah ada semenjak manusia ada. Ketika putra-putra nabi Adam AS
diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT menerima qurban yang baik dan
diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk. Allah SWT berfirman:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ ءَادَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا
قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ
لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya,
ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah seorang dari
mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata
(Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS
Al-Maaidah 27).
Qurban lain yang diceritakan dalam Al-Qur’an adalah
qurban keluarga Ibrahim AS, saat beliau diperintahkan Allah SWT untuk
mengurbankan anaknya, Ismail AS. Disebutkan dalam surat As-Shaaffaat 102:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku
sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Kemudian qurban ditetapkan oleh Rasulullah SAW sebagai bagian dari Syariah
Islam, syiar dan ibadah kepada Allah SWT sebagai rasa syukur atas nikmat
kehidupan.
Syariat itu kembali
diaktualisasikan oleh nabi akhir zaman, Nabiyullah Muhammad saw dan kita
sebagai umatnya. Perintah itu digambarkan dalam surat pendek, surat Al-Kautsar:
1-3.
“Sesungguhnya kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu;
dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang
terputus.”
Sebelum Allah swt
memerintahkan berudhiyah, terlebih dulu Allah swt mengingatkan betapa nikmat
pemberian Allah swt begitu banyak “Al Kaustar”, atau juga berarti telaga
kautsar di surga.
Kalau kita mencoba merenung,
nikmat Allah swt yang besar adalah nikmat diciptakanya kita sebagai manusia.
Makhluk Allah swt yang paling mulia dan paling baik bentuknya, “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (At-Tiin:4)
Nikmat menjadi peran
khalifatullah fil ardli, perwakilan Allah swt untuk memakmurkan bumi dan
isinya. “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah:30)
Nikmat anggota badan yang
begitu menakjubkan dan luar biasa. Betapa sangat mahalnya kesehatan itu ketika
satu mata dihargai ratusan juta. Makanya Allah swt kembali mengingatkan “Dan pada diri kalian, apakah kalian tidak
memperhatikan?” (Adz-Dzariyat: 21)
Dan yang paling besar
anugerah Allah swt adalah nikmat Iman dan Islam. Ini digambarkan Allah sendiri,
”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Ma’idah: 3)
B.
Pengertian
Udhiyah
Kata qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa
Arab, artinya pendekatan diri, sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang
ternak sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam
istilah Islam sebagai udhiyah.
Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang disembelih
waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang disembelih di hari ‘Idul Adha.
Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih di hari-hari
Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban)
kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu (Syarh Minhaj).
Udhiyah atau dalam bahasa
kita disebut qurban dalam istilah fuqaha (para ahli fiqih) adalah: “Binatang
peliharaan yang disembelih pada hari-hari penyembelihan disebabkan datangnya
hari raya Idul Adha, untuk mendekatkan diri kepada Allah”. Sedangkan kata al-Udhiyah itu sendiri diambil
dari kata dhuha, yang artinya waktu dhuha. Dikatakan demikian lantaran waktu
shalat Idul Adha dan menyembelihnya Rasulullah SAW adalah pada waktu dhuha.
Demikianlah Rasulullah SAW menyembelih binatang qurbannya pada waktu dhuha
setelah shalat Idul Adha. Ini bukan berarti selain waktu dhuha dilarang
menyembelih, bahkan seandainya menyembelih qurban dilakukan pada sore atau malam
hari, selama dalam waktu yang dibolehkan maka penyembelihan itu tetap sah,
karena waktu dhuha itu adalah waktu yang disunnahkan. (Faedah ini dikatakan
oleh Dr. Abdurrahman ad-Dahsy ketika mensyarah kitab Umdatul ahkam dalam bab
Muqaddimah bab al-Adhahi. Demikian juga dinamai hari itu adalah Idul Adha
karena hari itu disyariatkan menyembelih binatang qurban (udhiyah). Kemudian
udhiyah dipakai dalam bahasa kita dengan istilah qurban, diambil dari kata
taqarruban atau qurbanan, yang artinya mendekatkan diri kepada Allah.
C.
Dasar
Hukum Disyari’atkannya Udhiyah
Hukum qurban menurut jumhur ulama adalah sunnah
muaqqadah sedang menurut mazhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah SWT berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ2
“Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS
Al-Kautsaar: 2).
Rasulullah
SAW bersabda:
من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا
“Siapa yang
memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat shalat kami” (HR Ahmad,
Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain: “Jika kalian melihat awal
bulan Zulhijah, dan seseorang di antara kalian hendak berqurban, maka tahanlah
rambut dan kukunya (jangan digunting)” (HR Muslim).
Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu
dan memiliki kemudahan, dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak
melakukannya, menurut pendapat Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat
jumhur ulama dia tidak mendapatkan keutamaan pahala sunnah.
Disyariatkannya qurban sebagai simbol pengorbanan
hamba kepada Allah SWT, bentuk ketaatan kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat
kehidupan yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas
nikmat kehidupan dengan berqurban yang berarti menyembelih binatang dapat
dilihat dari dua sisi.
Pertama, bahwa
penyembelihan binatang tersebut merupakan sarana memperluas hubungan baik
terhadap kerabat, tetangga, tamu dan saudara sesama muslim. Semua itu merupakan
fenomena kegembiraan dan rasa syukur atas nikmat Allah SWT kepada manusia, dan
inilah bentuk pengungkapan nikmat yang dianjurkan dalam Islam:
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS Ad-Dhuhaa 11).
Kedua, sebagai
bentuk pembenaran terhadap apa yang datang dari Allah SWT. Allah menciptakan
binatang ternak itu adalah nikmat yang diperuntukkan bagi manusia,
dan Allah mengizinkan manusia untuk menyembelih binatang
ternak tersebut sebagai makanan bagi mereka. Bahkan penyembelihan ini
merupakan salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah SWT.
Berqurban merupakan ibadah yang paling dicintai Allah SWT
di hari Nahr, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat At-Tirmidzi dari
‘Aisyah RA. bahwa Nabi SAW bersabda:
“Tidaklah anak Adam beramal di hari Nahr yang paling
dicintai Allah melebihi menumpahkan darah (berqurban). Qurban itu akan datang
di hari Kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. Dan sesungguhnya darah akan
cepat sampai di suatu tempat sebelum darah tersebut menetes ke bumi. Maka
perbaikilah jiwa dengan berqurban”.
D.
Udhiyah
Sebagai Ibadah dan Mu’amalah
1)
Udhiyah Sebagai Ibadah
Setelah Allah swt menyebut
nikmat-nikmat yang begitu banyak itu, Allah swt mengingatkan hamba-hamba-Nya
agar mau melaksanakan perintah-perintah-Nya: perintah shalat lima waktu atau
shalat Idul Adha dan berudhiyah sebagai bukti rasa syukur kepada-Nya.
Bahkan Rasulullah saw
memerintahkan berudhiyah dengan bahasa yang tegas dan lugas bahkan disertai
ancaman. Ancaman untuk tidak dekat-dekat dengan tempat shalat atau dengan
istilah lain tidak diakui menjadi umat Muhammad.
“Dari Abu Hurairah ra., Nabi Muhammad saw bersabda, “Barang siapa yang
mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berudhiyah, maka janganlah ia menghampiri
(mendekati) tempat shalat kami”. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Berudhiyah tidak
sekedar mengalirkan darah binatang ternak, tidak hanya memotong hewan udhiyah,
namun lebih dari itu, berudhiyah berarti ketundukan total terhadap
perintah-perintah Allah swt dan sikap menghindar dari hal-hal yang
dilarang-Nya. Allah swt ingin menguji hamba-hamba-Nya dengan suatu perintah,
apakah ia dengan berbaik sangka kepada-Nya dan karenanya melaksanakan dengan
baik tanpa ragug-ragu? Laksana Nabiyullah Ibrahim.
Berudhiyah adalah
berarti wujud ketaatan dan peribadatan seseorang, dan karenanya seluruh sisi
kehidupan seseorang bisa menjadi manifestasi sikap berudhiyah.
Atau seperti Qabil
yang menuruti logika otaknya dan kemauan syahwatnya, sehingga dengan perintah
berudhiyah itu, ia malah melanggar perintah Allah swt dengan membunuh saudara
kembarnya sendiri? Ia berusaha mensiasati perintah Allah swt dengan kemauannya
sendiri yang menurutnya baik. Namun di situlah letak permasalahannya: ia tidak
percaya perintah Allah swt.?
Berudhiyah juga
berarti upaya menyembelih hawa nafsu dan memotong kemauan syahwat yang selalu
menyuruh kepada kemunkaran dan kejahatan.
Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berudhiyah dengan ilmunya. Pengusaha ia berudhiyah dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berudhiyah demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berudhiyah untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya.
Seandainya sikap ini dimiliki oleh umat Islam, subhanallah, umat Islam akan maju dalam segalanya. Betapa tidak, bagi yang berprofesi sebagai guru, ia berudhiyah dengan ilmunya. Pengusaha ia berudhiyah dengan bisnisnya yang fair dan halal. Politisi ia berudhiyah demi kemaslahatan umum dan bukan kelompoknya. Pemimpin ia berudhiyah untuk kemajuan rakyat dan bangsanya dan begitu seterusnya.
Kita berani
menyembelih kemauan pribadi yang bertentangan dengan kemauan kelompok, atau
keinginan pribadi yang bertentangan dengan syariat. Bahkan kemauan kelompok
namun bertentangan dengan perintah Allah swt.
Dengan semangat ini,
bentuk-bentuk kejahatan akan bisa diminimalisir bahkan dihilangkan di bumi
pertiwi ini. Biidznillah.
Karena itu Allah swt
menegaskan dalam firman-Nya,
”Daging-daging unta dan
darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah
menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya
kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
(Al-Hajj:37)
Dan berudhiyahlah.
Udhiyah menjadi kebiasaan yang melegakan, bukan menjadi beban dan keterpaksaan.
Karena memang udhiyah tidak sekedar memotong hewan.
Ada hikmah lain yang
sangat penting di balik syariat ibadah ber-udhiyah, yakni adanya keterkaitan
yang sangat erat antara udhiyah (berqurban, menyembelih hewan qurban) dan
tadhiyah (berkorban secara umum), baik secara bahasa maupun secara makna.
Secara bahasa, udhiyah dan tadhiyah berasal dari kata dhahha yudhahhi yang
berarti berqurban dan berkorban sekaligus. Adapun secara makna, ber-udhiyah
adalah bagian dari tadhiyah, karena memang esensi dari ibadah qurban
(ber-udhiyah) adalah pengorbanan itu sendiri.
Apalagi jika kita
mengingat bagaimana pada mulanya sunnah udhiyah ini harus dilaksanakan oleh
Khalilullah Ibrahim ‘alaihis-salam, dimana beliau diperintahkan untuk berkorban
dan berqurban dengan menyembelih putra tercinta beliau, Nabi Ismail
‘alaihis-salam, meskipun akhirnya ditukar dengan sembelihan kambing yang besar,
setelah terbukti secara nyata ketaatan dan kesabaran beliau berdua dalam
memenuhi perintah Allah (lihat QS. Ash-Shaaffaat [37]: 102-107).
Maka ibadah
ber-udhiyah, dengan demikian, akan menanamkan dalam diri kita dan diri setiap pequrban
kecintaan dan semangat untuk selalu siap berkorban dengan apa saja yang kita
miliki di jalan jihad dan dakwah, yang merupakan syarat untuk mencapai
kemenangan Islam dan mengembalikan ’izzah (kemuliaan) serta kekuatan kaum
muslimin sebagai umat terbaik (khairu ummah). Maka marilah kita selalu
ber-udhiyah (berqurban) dan ber-tadhiyah (berkorban) agar kita dan umat kita
tidak selalu menjadi atau dijadikan korban! Ingat, kita adalah umat pequrban
dan bukan umat korban.
2)
Udhiyah Sebagai Mu’amalah
Diantara kutamaannya
sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Aisyah, adalah menyembelih qurban termasuk
amal salih yang paling utama.
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha
menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah
anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian
merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim).
Adapun beberapa
hikmah hikmahnya adalah meneladani
Nabi Ibrahim dan kepedulian sosial. Sebagaimana disebutkan dalah hadits
Rasulullah Saw, sesunguhnya hari ini (Idul Adha) hari jamuan makan-minum dan
mengagungkan Allah Swt.
Kaitannya dalam mu’amalah atau kehidupan sosial, maka ‘udhiyah mengendung
berbagai hikmah, diantaranya:
Pertama,
untuk mengenang nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim dengan
digagalkannya penyembelihan putranya, Ismail AS, yang ditebus dengan seekor
kambing dari surga.
Kedua, untuk
membagi-bagikan rizqi yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia saat
Hari Raya ‘Idul Adha, yang memang menjadi hari membahagiakan bagi umat Islam,
agar yang miskin juga merasakan kegembiraan seperti yang lainnya. Sebagaimana
telah disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw (artinya): “Hari Raya Qurban adalah hari untuk makan, minum dan
dzikir kepada Allah” (HR. Muslim)
Ketiga, untuk memperbanyak
rizqi bagi orang yang berqurban, karena setiap hamba yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah akan mendapatkan balasan berlipat ganda.
BAB
III
P E
N U T U P
A.
Kesimpulan
Sesuatu yang perlu diperhatikan bagi umat Islam adalah
bahwa berqurban (udhiyah), qurban (taqarrub) dan berkorban (tadhiyah),
ketiganya memiliki titik persamaan dan perbedaan. Qurban (taqarrub), yaitu
upaya seorang muslim melakukan pendekatan diri kepada Allah dengan amal ibadah
baik yang diwajibkan maupun yang disunnahkan. Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman (dalam hadits Qudsi):
“Siapa yang memerangi kekasih-Ku, niscaya aku telah umumkan perang padanya.
Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku (taqarrub) dengan sesuatu yang
paling Aku cintai, dengan sesuatu yang aku wajibkan. Dan jika hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang sunnah, maka Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya
dimana ia mendengar, menjadi penglihatannya dimana ia melihat, tangannya dimana
ia memukul dan kakinya, dimana ia berjalan. Jika ia meminta, niscaya Aku beri
dan jika ia minta perlindungan, maka Aku lindungi” (HR
Bukhari).
Berqurban (udhiyah) adalah salah satu bentuk
pendekatan diri kepada Allah dengan mengorbankan sebagian kecil hartanya, untuk
dibelikan binatang ternak. Menyembelih binatang tersebut dengan
persyaratan yang sudah ditentukan. Sedangkan berkorban (tadhiyah) mempunyai
arti yang lebih luas yaitu berkorban dengan harta, jiwa, pikiran dan apa
saja untuk tegaknya Islam. Dalam suasana dimana umat Islam di Indonesia sedang
terkena musibah banjir, dan mereka banyak yang menjadi korban. Maka musibah ini
harus menjadi pelajaran berarti bagi umat Islam. Apakah musibah ini disebabkan
karena mereka menjauhi Allah SWT dan menjauhi ajaran-Nya? Yang pasti, musibah
ini harus lebih mendekatkan umat Islam kepada Allah (taqqarub ilallah).
Melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan yang tidak tertimpa
musibah banjir ini dituntut untuk memberikan kepeduliannya dengan cara
berkorban dan memberikan bantuan kepada mereka yang terkena musibah. Dan di
antara bentuk pendekatan diri kepada Allah dan bentuk pengorbanan kita dengan
melakukan qurban penyembelihan sapi dan kambing pada hari Raya ‘Idul Adha dan
Hari Tasyrik. Semoga Allah menerima qurban kita dan meringankan musibah ini,
dan yang lebih penting lagi menyelamatkan kita dari api neraka.
B.
Saran
Selain hikmah yang terkandung dalam syariat udhiyah di
atas, terdapat pelajaran lain yang dapat kita ambil dari ibadah udhiyah ini.
1. Secara
Vertical (حَبْلٌ مِّنَ اللهِ/ hablumminallah)
Secara vertical berarti ini menunjukkan rasa syukur kita kepada Allah atas
semua nikmat yang telah diberikan kepada kita. Serta melahirkan kesadaran bahwa
semua nikmat itu merupakan karunia Allah. Selain itu, ibadah udhiyah dapat
menjadi tolok ukur ketakwaan dan keimanan seseorang.
Semakin tinggi ketakwaan seseorang, maka semakin mudah dan semakin besar
keinginannya untuk melaksanakan syariat udhiyah. Begitu pula
kebalikannya, semakin rendah keimanan seseorang, maka semakin enggan dirinya
untuk mengeluarkan hartanya dalam rangka melaksanakan syariat udhiyah.
2. Secara
Horizontal (حَبْلٌ مِّنَ النَّاسِ / hablumminannas)
Ditinjau dari segi horizontal maka kita akan melihat sisi hablumminannas.
Bagaimana syariat udhiyah mengajarkan kita agar memelihara rasa solidaritas dan
sosial dengan orang-orang di sekitar kita.
Ketika seseorang menyembelih hewan qurban, maka tidak semuanya akan dimakan
sendiri. Akan tetapi sebagian dagingnya bagi diri dan keluarganya sedangkan
yang lainnya akan dibagi.
Begitu banyak hikmah dan pelajaran dalam syariat udhiyah, tentunya sebagai
seorang muslim harus memiliki semangat yang tinggi dalam melaksanakan syariat
ini. Bahkan untuk menghasung umatnya dalam ber-udhiyah rasulullah SAW
bersabda:
مَنْ كَانَ
لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Barang
siapa yang memiliki kemampuan, namun tidak mau berkurban, maka janganlah
sekali-kali mendekati tempat shalat kami (lapangan shalat ‘Iid).” (Hadits
hasan, Shahih Ibnu Majah 3114)
Begitu kerasnya peringatan rasulullah SAW, tidak lain
dan tidak bukan kecuali untuk menyadarkan mereka yang memiliki kelapangan namun
enggan melaksanakan syariat ini.
Lantas, bagaimana yang tidak memiliki kemampuan? Bagi
yang belum mampu melaksanakan udhiyah, hendaknya mulai sekarang menancapkan
niat untuk ber-udhiyah tahun dengan dengan disertai usaha keras dengan menabung
sedikit demi sedikit. Semoga dengan niat ikhlas disertai usaha keras, Allah
mengabulkan niatan kita. Bukan tidak mungkin mimpi hari ini menjadi kenyataan
esok hari. Wallahu a’lam bish showab
DAFTAR
PUSTAKA
Fiqhu
al Sunnah, Sayid Sabiq, Dar al Fath, Cairo, 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar