Asas Penyikapan
Sebuah keputusan syuro akan bisa
dijalankan dengan baik oleh sebuah komunitas, maka syuro yang dilaksanakan
haruslah sebuah syuro yang bermutu. Ada beberapa nilai yang menentukan
mutu sikap dan keputusan da'wah, yaitu:
- Sejauh mana keputusan itu tepat dengan situasi,
tempat, momentum, orang dan institusinya. Tidak hanya benar, tapi benar
yang tepat, karena benar dan tepat adalah substansi sebuah keputusan.
- Sejauh mana keputusan da'wah itu efektif dalam
mencapai tujuan yang ingin dicapai. Efektivitas sebagian terkait dengan
kebenaran dan ketepatan, lainnya adalah pada pengekspresian.
- Sejauh mana kita dapat mempertahankan konsistensi dalam
penyikapan dan pengambilan keputusan. Konsistensi yang menentukan warna
dasar dari karakter kita secara kolektif: apakah itu berupa kebenaran atau
kepentingan, idealisme atau pragmatisme.
Ketiga hal di
atas terkait dengan dua sisi yang selalu melekat pada sikap dan keputusan
da'wah.
- Sisi pertama adalah muatan kebenaran syar'i
- Sisi kedua adalah cara yang kita tempuh (proses)
Muatan dan Proses
Muatan di
sini adalah muatan kebenaran (syar'i) yang ditentukan oleh referensi, metode
yang kita gunakan. Metode berupa ijtihad, tidak lain adalah dengan
menggabungkan dua pengetahuan sekaligus, yaitu:
- Fiqhi wahyu: pegetahuan tentang sariat Islam yang
mendalam
- Fiqhi realitas: pengetahuan yang mendalam dan
mendetil tentang realitas kehidupan dakwah yang kita hadapi.
Yang
dilakukan dalam ijtihad adalah bagaimana memberlakukan kebenaran-kebenaran
wahyu Allah SWT dalam realitas kehidupan manusia. Secara substansi, ajaran
syariat Islam berorientasi pada kebaikan dan kepentingan hidup manusia.
Sebagaimana Ibnu Taimiyah: "...dimana
ada kemashlahatan bagi manusia, di situ pasti terdapat syariat Alloh SWT".
Dengan
kata lain syariat Islam mengakomodasi segala hal yang menciptakan kemashlahatan
sebanyak-banyaknya bagi manusia. Jadi asas penentuan sikap dan pengambilan
keputusan adalah 'asumsi'
mashlahat yang terdapat dalam perkara itu. Asumsi bersifat relatif, sedangkan
yang digunakan dalam sebuah ijtihad adalah asumsi yang kuat (zhonn rajih). Yang terkait
dengan proses adalah lembaga pengambilan keputusan atau apa yang disebut
'syuro'. Karena kemashlahatan itu didefinisikan melalui sejumlah asumsi dasar,
dengan merujuk pada realitas, rasionalitas dan idealitas sudah tentu akal
kolektif lebih baik dari akal individu. Karena itu keputusan bersama lebih baik
daripada keputusan individu.
Resiko Sebuah Keputusan
Yang
menjadi pertanyaan umum terkait dengan masalah syuro adalah apakah keputusan
yang lahir dari syuro tidak mungkin salah? Prinsip ini (keunggulan akal
kolektif atas akal individu) sering dipertentangkan dengan masalah pengendalian
kolektif atas proses kreativitas individu. Adanya anggapan keputusan syuro
selalu benar dapat menjadikan para pengambil keputusan abai terhadap antisipasi
resiko.
Hakikat
yang perlu dipahami dalam syuro dan keputusannya adalah:
- Para pengambil keputusan adalah manusia biasa, tidak
makhsum. Yang dilakukan adalah ijtihad jama'i yang bersifat relatif, dalam
arti ada resiko kesalahan;
- Penentuan dan pendefinisian mashlahat ‘ammah
pada suatu masa dan situasi tertentu adalah ruang yang sangat dinamis terus
berubah dan berkembang dalam tempo cepat. Bisa jadi mashlahat hari ini adalah mudhorot esok
hari.
Antisipasi Resiko
Produk syuro selalu mengandung resiko
kesalahan atau setidaknya tempo kebenaran yang sangat pendek, dalam
pendefinisian mashlahat ammah dan mudhorot yang bersifat asumtif. Kesalahan
yang terjadi sebagai produk syuro, masih memberikan ruang perbaikan (perubahan
keputusan) dan keuntungan dikarenakan 2 hal:
- Secara
kolektif telah diambil prosedur pengambilan keputusan yang benar. Sehingga
dapat dengan mudah ditemukan letak kesalahan2nya
, yaitu pada asumsi yang mendasari keputusan atau perkembangan baru yang
tidak terduga sama sekali. Jika keputusan itu berasal dari individu maka
kesalahannya terletak pada prosedur dan muatan keputusan sekaligus.
- Ijtihad jama'i lebih bisa ditanggung resikonya
secara bersama-sama. Meskipun bisa jadi keputusan syuro mungkin berasal
dari gagasan seorang individu anggota majelis syuro. Distribusi beban
tanggung jawab tersebar secara merata sehingga dapat memperkuat tingkat
soliditas organisasi dan menjaga rasa saling percaya antara sesama anggota
dan antara junud engan qiyadah (pimpinan). Ijtihad jama'i ini merupakan
ruang yang sangat dinamis dan terus berubah.
Optimalisasi Sebuah Syuro
Hal yang
berkaitan dengan antisipasi resiko adalah bagaimana menghasilkan sebuah
keputusan syuro yang bermutu. Ini
bisa diartikan dengan bagaimana mengoptimalkan syuro. Secara umum ada 2 fungsi
syuro:
- fungsi
psikologis dan
- fungsi
instrumental
Fungsi psikologis terlaksana jika:
- Ada
jaminan kemerdekaan dan kebebasan yang penuh bagi setiap peserta syuro
untuk mengekspresikan pikiran2nya secara wajar dan apa adanya. Jika ruang
ekspresi tidak terwadahi dengan baik akan terjadi konflik yang kontra
produktif dalam syuro. Peserta syuro harus mempunyai kelapangan dada untuk
menerima keunikan-keunikan individu lainnya.
- Kemerdekaan
dan kebebasan sebagai landasan menciptakan keterbukaan dan transparansi.
Rasa aman dan bebas dari rasa takut, rasa nyaman karena diterima secara
wajar, apa adanya akan menjadi suasana yang kondusif bagi terciptanya
kreativitas dan keragaman yang produktif.
Fungsi syuro yang sesungguhnya adalah
mewadahi keragaman sebagai sumber kreativitas dan keunggulan kolektif. Tapi
yang menjamin terciptanya keseimbangan yang optimal antara kebebasan
berekspresi dan penerimaan yang wajar apa adanya adalah kekhlasan
pertanggujawaban dan kelapanagn dada setaiap peserta syuro. Fungsi instrumental
sebuah syuro jika mekanisme pengambilan keputusan berjalan dengan baik maka
organisasi itu akan punya soliditas dan resisitensi yang tinggi terhadap
berbagai bentuk goncangan yang bisa mengakhiri organisasi.
Fungsi
instrumental ini hanya terlaksana apabila beberapa syarat terpenuhi:
- Sumber informasi yang cukup untuk menjamain bahwa
keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Fakta
yang akurat disertai analisis yang tepat akan memudahkan kita menyusun
rencana keputusan baik dengan pendekatan syariat maupun pendekatan da'wah.
Informasi akurat berkorelasi positif
dan kuat (signifikan) dengan keputusan yang tepat. Kaidah ushul fiqh menyatakan
hukum yang kita berlakukan atas sesuatu merupakan bagian dari persepsi kita
tentang suatu itu.
- Tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang relatif
harus dimiliki setiap peserta syuro sangat menentukan mutu analisis
pikiran dan gagasan yang dilontarkan.
Faktor lain adalah dominasi akal
atas emosi (rajahatul 'aql) serta sikap rasional yang konsisten. Sikap itu
menjamin sikap emosional dan temperamental yang sebagian besar kontraproduktif,
tidak terjadi dalam syuro.
- Adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang
menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro-syuro terkelola
dengan baik (seleksi, penyaringan dan integrasi ilmiah). Pikiran-pikiran
baru yang sulit dibayangkan lahir dari seorang individu.
Tradisi ilmiah mengharuskan kita
menghilangkan sikap apriori, merasa benar sendiri, mudah mencurigai niat orang
lain, meremehkan pendapat orang lain, berbicara tanpa dasar informasi dan ilmu
pengetahuan, mengklaim gagasan orang sebagai gagasan sendiri, kasar dan tidak
beradab dalam majelis, ngotot yang tidak proporsional, ngambek dan bersikap
kekanak-kanakan, mudah menuduh dan memojokkan orang lain dst.
Mengelola
Ketidaksetujuan Terhadap Hasil Syuro
Pengalaman
keikhlasan yang penting adalah tunduk dan patuh pada sesuatu yang kita tidak
setujui dan taat dalam keadaan terpaksa. Dalam kaitan ini sangat relevan muncul
pertanyaan, bagaimana mengelola ketidaksetujuan terhadap hasil syuro?
Sebelum
sampai kepada jawaban pertanyaan tersebut ada baiknya kita lakukan
langkah-langkah berikut, sebagaimana dalam tulisan Anis matta.
- Bertanya pada diri sendiri, apakah pendapat kita
telah terbentuk melalui suatu 'upaya ilmiah' seperti kajian, perenungan,
pengalaman lapangan yang mendalam sehingga kita punya landasan kuat untuk
mempertahankannya.
Dalam kaitan ini harus dibedakan
pendapat yang lahir dari proses sistematis dengan sekedar 'lintasan pikiran'.
Seyogyanya kita mengindari pendapat hanya untuk sekedar berbicara (asbun).
Karena itu adalah kebiasaan buruk, akan tetapi ngotot adalah kebiasaan yang
lebih buruk lagi. Jika memang pendapat kita telah lahir dari proses yang
sistemastis maka tawadhu adalah sikap yang lebih utama. Pendapat kita memang
benar, tapi mungkin salah. Dan pendapat mereka salah, tapi mungkin benar.
2.
Apakah pendapat kita merupakan 'kebenaran obyektif 'atau
'obsesi jiwa' tertentu sehingga menjadi ngotot. Jika obsesi jiwa, maka tidak
lain ini adalah salah satu bentuk hawa nafsu, maka segera bertobat karena ini
adalah salah satu jebakan setan. Jika pendapat kita adalah kebenaran obyektif
dan bukan berasal dari obsesi jiwa, yakinlah bahwa syuro pun membela hal yang
sama. Sebagaimana salah satu sabda Rasululloh SAW: "ummatku tidak akan pernah bersepakat
atas suatu kesesatan" .
- Seandainya kita tetap percaya pendapat kita lebih
benar dan pendapat umum yang menjadi keputusan syuro lebih lemah atau
bahkan salah, hendaklah kita percaya "mempertahankan
kesatuan dan keutuhan shaf jama'ah da'wah lebih utama dan penting dari
sekedar memenangkan pendapat yang boleh jadi benar".
Karena berkah dan pertolongan hanya turun kepada jama'ah yang bersatu padu
dan utuh.
Seandainya pilihan syuro itu
terbukti salah, dengan keutuhan shaff da'wah, Alloh SWT akan mengurangi dampak
negatif dari kesalahan itu berupa misalnya:
o
Mengurangi tingkat resikonya atau mencipatakan kesadaran
kolektif yang baru yang mungkin tidak akan pernah tercapai tanpa pengalaman
salah seperti itu.
o
Mengubah jalan peristiwa kehidupan sehingga muncul
situasi baru yang memungkinkan pilihan syuro itu ditinggalkan dengan cara
logis.
- dalam ketidaksetujuan itu kita belajar banyak makna
imaniyah:
o
makna keikhlasan yang tidak terbatas,
o
makna tajarrud dari semua hawa nafsu,
o makna ukhuwah dan persatuan,
o makna tawadhu dan kerendahan hati
§ tentang menempatkan diri yang tepat
dalam kehidupan berjamaah
§ tentang cara kita memandang diri kita
dan orang lain secara tepat,
o makna tradisi ilmiah yang kokoh dan
kelapanagan dada yang tidak terbatas,
o makna
keterbatasan ilmu kita di hadapan ilmu Alloh SWT yang tidak terbatas
o makna tsiqoh kepada jama'ah
Jangan pernah merasa lebih besar dari
jama'ah atau lebih cerdas dari kebanyakan orang. Yang perlu diperkokoh adalah
tradisi ilmiah kita, dalam bentuk:
- memperkokoh
tradisi pemikiran dan perenungan yang mendalam
- memperkuat daya tampung hati terhadap beban
perbedaan,
- memperkokoh kelapangan dada dan kerendahan hati.
Semua
ini akan menentukan apakah kita matang secara tarbawi atau tidak.
Syubhat di Sekitar Sikap Kritis
Sikap
kritis diperlukan dalam jama'ah sebagai kontrol, pengendalian dan perbaikan
yang berkesinambungan. Sikap kritis dan kultur introspeksi menjadi instrumen
penting dalam proses penyempurnaan kehidupan berjamaah. Umar bin Khoththob
mengucapkan terima kasih kepada siapapun yang menghadiahkan 'aibnya' kepadanya.
Al
Mutarabbi (penyair Arab) : “...orang yang sempurna adalah yang 'aibnya dapat
dihitung ...”
Akan
tetapi ada beberapa syubhat dari implementasi sikap kritis, terutama saat sikap
kritis bertemu dengan suasana keterbukaan dan kebebasan menyampaikan pendapat.
- Apabila sikap kritis itu bersumber dari kebencian
bukan dari semangat untuk saling memperbaiki. Benci menjadikan kita
bersikap kritis bahkan sangat kritis, sedangkan cinta bisa menjadikan kita
bersikap longgar. Rasululloh SAW selalu berdoa untuk diberi kemampuan
untuk diberi kemampuan bersikap adil ketika sedang suka dan ketika sedang
benci.
- Apabila sikap kritis itu lahir dari keinginan untuk
berbeda dengan orang lain dan dijadikan sarana untuk memperjelas identitas
diri sendiri. Karena
sikap kritis adalah citra yang baik.
- Apabila
sikap kritis ini dijadikan cara untuk mendapatkan 'image' sebagai
pemberani. Bahwa dirinya tidak takut pada siapa2 termasuk pada atasan,
berani menanggung resiko dari sikap kritisnya.
- Apabila
sikap kritis itu dijadikan kedok untuk merusak nama baik orang lain atau
membuka aib sesama. MIsalnya mengkritik di depan umum, tidak dianjurkan
dalam Islam.
- Apabila
sikap kritis berkembang menjadi ghibah. Kritik meski bermuatan kkebenaran
disampaikan tidak pada orang yang tepat akan tidak efektif.
Kritik akan efektif memperbaiki
seseorang atau suatu keadaan apabila unsur-unsurnya terpenuhi:
- ada
niat yang benar dari si pengkritik bahwa yang dilakukan sebagai kewajiban
munashohah sesama muslim dan ia mengharapkan pahala dengan melaksanakan
kewajiban,
- ada
kesalahan obyektif yang harus dikritik. Baik kesalahan personal maupun
kesalahan kebijakan.
- kritik
disampaikan dengan cara yang benar dan tepat sesuai dengan adab-adab
munshohah dalam Islam
Menyikapi
Orang Kreatif dan Kritis
Sikap kritis umumnya merupakan
indikator kesehatan hidup berjama'ah. Karena instrumen dan proses perbaikan
berkesinambungan bekerja dengan baik. Suatu ketika Umar bin Khottob berkata,
"Semoga Alloh SWT merahmati seseorang yang telah menghadiahkan aibku
kepadaku".
Yang perlu dikhawatirkan adalah sikap
kritis berkembang secara tidak positif dan memicu konflik pribadi yang tidak
sehat. Apa dan bagaimana seharusnya para pemimpin amal Islami menyikapi kritik
dan kreativitas yang pasti selalu ditemui sepanjang kehidupan berjamaah.
- Pemimpin
harus bersikap dingin-sedingin2nya terhadap kritik yang ditujukan
kepadanya atau kepada kebijakan2nya. Selama kritik itu merupakan indikator
kesehatan jamaah tidak ada alasan untuk bereaksi secara berlebihan karena
bisa mengarah kepada konflik pribadi yang kontra produktif.
- Pemimpin
harus punya kerendahan hati yang memadai untuk mau mendengar berbagai
kritik yang ditujukan kepadanya. Sikap dingin tidak sama dengan cuek,
apatis, atau masa bodoh.
Sikap
dingin adalah sikap mempertahankan kondisi emosional yang stabil sehingga tidak
terganggu bekerja dalam lautan kritik. Karena mendengar adalah pekerjaan
seorang pemimpin. Dengan menjadi pendengar yang baik seorang pemimpin telah
menunjukkan kematangan pribadi. Ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang
memiliki kerendahan hati, obyektivitas, kesediaan yang permanen untuk mengikuti
kebenaran dari manapun.
- Seorang
pemimpin harus bersikap obyektif dalam menanggapi berbagai kritik yang
ditujukan kepadanya. Kritik yang baik dan benar adalah hadiah terbaik yang
harus disyukuri para pemimpin. Karena inilah Alloh melindungi pemimpin
dari kesalahan yang mungkin terjadi seandainya kritik itu tidak
disampaikan.
- Seorang
pemimpin harus tetap mempertahankan prasangka baiknya terhadap semua
pengkritiknya. Ada orang yang berniat baik tapi gagal berkomunikasi atau
punya kultur karakter yang kasar, sehingga kritik yang baik dan benar
tidak tersampaikan dengan cara yang tidak baik.
Prasangka
baik adalah bagian dari sikap tasamuh dan kasih sayang yang diperlukan untuk
hidup langgeng dalam berjamaah. Dibutuhkan pemimpin yang senantiasa menyisakan
ruang dalam dirinya untuk berdamai saling memahami, bersepakat dan bekerja sama
kembali.
- Yang
menentukan sikap seorang pemimpin adalah pemahamannya yang dalam tentang
visi dan misi da'wah, marhalah dimana dia bekerja, strategi yang disusun
dengan berbagai konsiderannya, kebijakan yang dia ambil serta berbagai
pertimbangan dasarnya, langkah2 taktis tertentu yang ia lakukan dan
mengapa ia melakukan itu.
Ia
harus mandiri dan independen dalam berpendapat. Sikap inilah yang menjadi dasar
untuk menentukan bagaimana sebuah kritik itu dikelola dan diakomodasi dalam
kerangka kebijakan dasarnya atau sebaliknya ditolak atau ditunda masa
akomodasinya.
Keragaman yang Produktif
Dalam konteks qiyadah-jundiyah yang
juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengelola perbedaan pendapat dalam
jamaah da'wah dan mengubahnya menjadi faktor produktif bagi da'wah? Beberapa tradisi yang kuat yang dengan
sendirinya akan mengubah keragaman menjadi faktor produktif.
- Tradisi
ilmiah
o Da'wah bekerja pada domain yang sangat
luas dan rumit, yang tidak mungkin dicerna, dianalisis dan disikapi tanpa
penguasaan ilmu pengetahuan dan kemampuan berfikir sitematis dan obyektif. Ada
tiga landasan utama tradisi ilmiah:
§ sistematika berpikir yang solid
§ struktur pengetahuan yang kokoh
§ kemampuan pembelajaran yang cepat
o Dengan tradisi ilmiah kita mencegah
setiap orang berbicara dari pikiran yang hampa dan hati yang kosong, dari
kesembronoan dan kelatahan. Tradisi ilmiah mengajarkan makna pertanggungjawaban
atas kata yang kita ucapkan.
- Tradisi
verbalitas
o
Tradisi
ilmiah hanya bisa tumbuh dengan baik apabila diwadahi dengan keterbukaan yang
wajar.
o
Tradisi
ini berkembang bila secara individual punya tradisi verbalitias yaitu kebiasaan
mengungkapkan pikiran secara wajar, alami dan apa adanya.
o
Dengan
tradisi verbalitas kita mengajarkan makna keberanian yang natural dan
kehormatan yang wajar.
- Tradisi
pembelajaran kolektif
o Baik individu maupun jama'ah
berkembang melalui referensi normatif maupun pengalaman sejarah. Da'wah yang
kita lakukan adalah mata rantai perjalanan manusiawi dan relatif . Walaupun
Alloh sanggup membuat seluruh penduduk bumi beriman seketika, tapi Ia
menghendaki itu terjadi melalui da'wah yang dilakukan manusia. Kemampuan kita
untuk belajar secara kolektif hanya dapat ditingkatkan jika kita memiliki
semangat dan kejujuran yang memadai untuk belajar, seperti:
§ kemauan untuk mendengar semua pendapat
yang beragam,
§ mencerna
§ menganalisis
§ memikir ulang pendapat2 orang lain
o Dengan tradisi ini kita bisa
mengakselarasi pertumbuhan kapasitas da'wah .
- Tradisi
toleransi
Dengan tradisi ini kita harus
membiasakan diri untuk memiliki:
- kelapangan
dada
- kerendahan
hati
- membebaskan
diri dari kepicikan
- prasangka
buruk
- mengkondisikan
diri untuk menghargai waktu
Karena
sebuah gagasan terkadang harus diuji di lapangan dan perlu waktu. Tapi membuat
seseorang mentoleransi orang lain adalah menunjukkan keluasan ilmu dan
wawasannya. Itu yang membantunya memahami orang secara tepat. Memahami alasan-alasan
yang mendorong seseorang memiliki sebuah sikap.
Mengokohkan
Tradisi Ilmiah
Beberapa ciri tradisi ilmiah yang
kokoh, yang dapat mengubah keragaman menjadi produktivitas kolektif:
- berbicara
dan bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan,
- tidak
bersikap apriori dan tidak memberikan penilaian terhadap sesuatu sebelum
mengetahuinya dengan akurat,
- selalu
membandingkan pendapatnya dengan pendapat kedua dan ketiga sebelum
menyimpulkan atau mengambil keputusan,
- mendengar
lebih banyak daripada berbicara,
- gemar
membaca dan secara sadar menyediakan waktu khusus untuk itu,
- lebih
banyak diam dan menikmati saat-saat perenungan dan kesendirian,
- selalu
mendekati permasalahan secara komprehensif, integral, obyektif dan
proporsional,
- gemar
berdiskusi dan proaktif dalam mengembangkan wacana, ide-ide tapi tidak
suka berdebat kusir,
- berorientasi pada kebenaran dalam diskusi dan bukan
pada kemenangan,
- berusaha
mempertahankan sikap dingin dalam bereaksi terhadap sesuatu dan tidak
bersikap emosional serta meledak-ledak,
- berfikir
secara sistematis dan berbicara secara teratur,
- tidak
pernah merasa berilmu secara permanen dan karenanya selalu ingin belajar,
- menyenangi
hal-hal yang baru dan menikmati tantangan serta perubahan
- rendah hati dan bersedia menerima
kesalahan,
- lapang
dada dan toleran dalam perbedaan,
- memikirkan
ulang gagasannya sendiri atau gagasan oang lain dan senantiasa menguji
kebenarannya,
- selalu
memikirkan gagasan-gagasan baru secara produktif .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar