9 Mei 2012

Makalah: Struktur Fitrah Manusia dan Hubungannya dengan Kegiatan Belajar Mengajar (Filsafat Pendidikan)


Oleh: Tia Noermayanti

BAB I
PENDAHULUAN

Allah menciptakan manusia dalam struktur yang paling baik diantara makhluk yang lain. Struktur manusia terdiri dari jasad dan ruhaniah atau unsur fisiologis dan unsur psikologis.
Dalam struktur jasad dan ruhiyat itu Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang yang dalam psikologis disebut potensial atau disposisi, yang menurut aliran psikologis behaviorisme disebut prepoten reflexesi (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang).
Dalam pandangan Islam, pada dasarnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Kesucian manusia itu dikenal dengan istilah fitrah.

Di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah Rasul, terdapat perspektif tentang fitrah manusia. Tidak ada seorangpun yang menggunakan istilah “fitrah” selain disebutkan di dalam al-Qur’an.
Kata fitrah ini mengandung sejumlah pengertian ditinjau dari berbagai sudut pandang oleh para pemikir muslim. Sebagian mereka mengartikan fitrah sebagai potensi beragama yang dibawa manusia semenjak di dalam rahim ketika mengikat perjanjian dengan Tuhan, sebagian lainnya mengartikan sebagai kemampuan-kemampuan jasmaniah dan rohaniah. Kendati demikian perbedaan tersebut menuju kepada satu tujuan yaitu menciptakan seorang muslim yang mampu mengemban tugas dan fungsinya sebagai ‘abd maupun sebagai khalifah di muka bumi. Pandangan tersebut sangat bertolak belakang dengan pandangan para ahli Barat terhadap potensi manusia dalam beberapa aliran psikologi yang jauh dari nilai-nilai religius. Selanjutnya makalah ini mencoba menguraikan pokok-pokok penting berkenaan dengan fitrah manusia, seperti makna fitrah manusia, struktur fitrah manusia, serta hubungannya dengan kegiatan pembelajaran.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fitrah Manusia
Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk Allah lainnya, terangkum dalam kata fitrah. Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara ( فطر ) yang berarti menjadikan. Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr ( الفطر ) yang berarti belahan atau pecahan. Fitrah mengandung arti “yang mula-mula diciptakan Allah”, “keadaan yang mula-mula”, “yang asal”, atau “yang awal”.
Kata fitrah disebut dalam al-Qur’an, surat Ar-Rum ayat 30, yang artinya:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”.
Secara umum, para pemikir muslim cenderung memaknainya sebagai potensi manusia untuk beragama (tauhid). Di pihak lain, ada juga yang memaknai fitrah sebagai iman bawaan yang telah diberikan Allah sejak manusia dalam alam rahim. Menurut pandangan Islam, pada dasarnya manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci. Kesucian manusia itu dikenal dengan istilah fitrah.
Jika dihubungkan dengan manusia maka yang dimaksud dengan fitrah adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaan manusia sejak lahir atau keadaan semula. Ditegaskan pula bahwa fitrah mengandung pengertian bahwa Allah menciptakan ciptaan-Nya (makhluk) dan menentukan tabiatnya untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian pengertian fitrah berhubungan dengan hal penciptaan (bawaan) sesuatu sebagai bagian dari potensi yang dimiliki.
Muhammad bin Asyur, seperti dikutip Quraish Shihab mendefinisikan fitrah sebagai berikut:

اَلْفِطْرَةُ هِيَ النِّظَامُ الَّذِي أَوْجَدَهُ اللهُ فِى كُلِّ مَخْلُوْقٍ، وَاْلفِطْرَةُ الَّتِيْ تَخُصُّ نَوْعَ اْلإِنْسَانِ هِيَ مَا خَلَقَهُ اللهُ عَلَيْهِ
    
                                                                                                   جَسَدًا أَوْ عَقْلاً
“Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan akal dan jasmaninya”.
Dalam batasan ini fitrah diartikan sebagai potensi jasmaniah dan akal yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan potensi tersebut, manusia mampu melaksanakan “amanat” yang dibebankan oleh Allah kepadanya.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa fitrah manusia merupakan semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah swt. Potensi-potensi manusia dalam konteks ini, menurut Hasan Langgulung adalah suatu keterpaduan yang terangkum dalam al-Asma’ al-Husna Allah (sifat-sifat Allah). Batasan ini memberikan suatu pengertian dalam ilustrasi jika Allah memiliki sifat al-‘Ilmu (Maha Mengetahui), maka manusia pun memiliki potensi untuk bersifat sebagaimaan sifat al-‘Ilmu-Nya. Demikian pula jika Allah memiliki sifat al-Sama’ (Maha Mendengar), al-Bashar (Maha Melihat) dan sebagainya, maka otomatis manusia pun memiliki potensi untuk bersifat tersebut. Akan tetapi bukanlah berarti kemampuan manusia (makhluk) sama tingkatannya dengan kemampuan Allah (Khaliq). Hak ini disebabkan karena berbedanya hakekat antara keduanya. Sifat Allah merupakan sifat yang Maha Sempurna. Sedangkan potensi manusia merupakan potensi makhluk yang serba terbatas. Akibat dari keterbatasan itu, manusia menjadi makhluk yang senantiasa membutuhkan bantuan dan pertolongan dari Tuhannya dalam upaya memenuhi semua kebutuhannya. Keadaan ini menyadarkan manusia akan keterbatasannya dan ke-Mahakuasaan serta kesempurnaan Allah.
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada orang yang dilahirkan (di dunia) kecuali dalam keadaan fitrah. Maka orang tualah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana binatang ternak yang telah melahirkan anak-anaknya, apakah engkau membersihkan unta yang termasuk binatang ternak ?”. Kemudian Abu Hurairah ra. mengatakan: bacalah jika kalian semua menghendakinya; (tetaplah atas) fitrah Allah swt. yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. (HR. Bukhari).

B. Struktur Fitrah Manusia
Di antara keunikannya, manusia bukan hanya terstruktur dari jasmani, tetapi juga ruhani. Ruh bukan sekedar spirit yang bersifat aradh (accident), tetapi satu jauhar (substance) yang dapat bereksistensi dengan sendirinya di alam ruhani.
Manusia diciptakan oleh Allah selain menjadi hamba-Nya, juga menjadi penguasa (Khalifah) di atas bumi. Selaku hamba dan khalifah , manusia telah diberi kelengkapan dan kemampuan jasmaniah dan rohaniah yang dapat dikembangtumbuhkan secara optimal kemampuan-kemampuan tersebut dapat dicapai.
Diantara keistimewaan manusia yang juga merupakan fitrah yang dibawa oleh manusia, yaitu diantaranya :
1.  Tindakan (bertindak)
Sebagai makhluk hidup manusia selalu melakukan aktifitas atupun tindakan setiap harinya, seperti bernafas, bergerak, makan, minum, berteriak, melihat, menyentuh, menangis dan sebagainya. Berdasarkan psyschologi mengakui adanya daya pada manusia yang menyebabkan tindakan-tindakan keluar yang mengarahkan kepada yang baik.
2. Nafsu
Nafsu merupakan dorongan dari dalam diri manusia untuk memuaskan keinginannya. Nafsu cenderung dari dalam diri manusia karena terarahkan karena sesuatu, mungkin jadi kebiasaan, mugkin juga nafsu itu tidak terkendalikan, misalnya nafsu makan/minum jika tidak terkendalikan bisa jadi orang menjadi pemabuk, ataupun nafsu birahi dapat menguasai manusia.
3. Ingatan
Ingatan merupakan kemampuan untuk menyimpan hasil pengindraan. Setidaknya manusia mempunyai gambar objek pengindraan itu, maka masih ingatlah ia akan hasil pengindraan yang tertera padanya, kalau saja ia sudah tidak mempunyai gambaran maka ia dikatakan lupa. Hasil pengindraan itu di simpan oleh manusia ada yang secara mudah, ada juga dengan susah payah, maka manusia akan mengingat-ngingat pengindraannya semula.
4. Moralitas / Tanggung Jawab
Moralitas disini adalah adanya baik dan buruk pada tingkah laku manusia. Tidaklah semua tindakan manusia sama nilainya. Jadi dalam beberapa tindakan orang akan sadar akan baik buruk tindakan itu. Oleh sebab itu maka ia dituntut untuk mempertanggung jawabkan tindakannya itu.
5. Tertawa
Orang dapat tersenyum dan tertawa jika ia melihat, mendengar atau merasa barang sesuatu. Ketika tertawa kita mengetahui bahwa ada kalanya sebab kita mengerti sesuatu. Mungkin tertawa yang benar-benar, tidak terbahak-bahak, atau jika kita membaca sesuatu yang sungguh lucu, ataupun ada humor tidak mungkin kita dapat tertawa jika kita tidak mengerti. Maka dari itu, bahwa manusia ada hubungannya antara tertawa dan mengerti.
6. Bahasa
Manusia itu mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk memaparkan isi hati kita. Ada tiga macam bahasa, yaitu: bahasa isyarat, bahasa lisan dan bahasa tulisan.
Ø  Jenis-jenis Fitrah Manusia
1.    Daya intelektual (Quwwat al-‘Aql) yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
2.    Daya ofensif (Quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3.    Daya defensif (Quwwat al-ghadab), yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya.
Di dalam diri manusia tersimpan banyak potensi, bahkan meliputi seluruh dimensi manusia itu sendiri. Mulai dari potensi yang bersifat fisik (jasad) hingga potensi yang abstrak yang bersifat rohani namun memberikan pengaruh yang demikian besar terhadap diri manusia secara keseluruhan. Hanya saja potensi-potensi tersebut tidak dapat berkembang dengan sendirinya. Untuk itu perlu suatu sarana yang efektif untuk mengembangkannya agar teraktualisasi dalam kehidupannya sehari-hari. Fitrah (potensi) ini dapat dikembangkan oleh manusia melalui pendidikan.
Ø  Cara Pengembangan Fitrah Manusia
Dalam rangka mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani maupun rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan cara yang efektif untuk mengembangkan fitrah manusia tersebut. Dengan proses pendidikan, manusia mampu membentuk kepribadiannya, mentransfer kebudayaannya dari suatu komunitas kepada komunitas lainnya, mengetahui nilai baik dan buruk, dan lain sebagainya.
Untuk menciptakan suasana kondusif bagi terlaksananya proses tersebut, diperlukan bentuk interaksi proses belajar mengajar yang mampu menyentuh dan mengembangkan seluruh aspek manusia (peserta didik). Ketersentuhan seluruh aspek diri manusia akan mempermudah terangsangnya reaksi dan perhatian, serta keinginan peserta didik melaksanakan proses belajar mengajar secara efektif.
Namun demikian, bila dilihat secara obyektif bentuk interaksi pendidikan yang dikembangkan akhir-akhir ini, terkesan mengalami kegagalan dalam melaksanakan visinya yang ideal. Hal ini dapat dilihat dari kesimpangan kepribadian peserta didik di era ini. Ketika mereka mampu mengembangkan aspek intelektualitasnya, pada waktu bersamaan mereka telah kehilangan aspek sosial dan religisitasnya, atau sebaliknya. Hal ini disebabkan berbagai faktor. Di antara faktor tersebut adalah bahwa bentuk interaksi pendidikan yang ditawarkan masih bersifat parsial dan belum mampu mengembangkan seluruh aspek peserta didik secara integral. Pelaksanaan kebijakannya masih terkesan "paket khusus" dan kurang demokratis. Akibatnya, interaksi yang ditawarkan kurang menarik bahkan membosankan. Bila ini terjadi, maka proses pendidikan tidak akan mampu berjalan secara efektif dan efisien. Fenomena ini terjadi karena pendidik belum mampu mengenal pribadi peserta didiknya secara utuh dan belum terakumulasi pada suatu sistem yang kondusif bagi pengembangan kepribadian peserta didik.
Merujuk kepada makna manusia yang ditunjukkan oleh Allah dalam al-Quran, secara teknis upaya pengembangan fitrah manusia dapat dilakukan dengan cara memformat interaksi pendidikan yang proporsional dan ideal.
Ø  Tujuan Pengembangan Fitrah Manusia
Di atas telah dikemukakan bahwa cara yang paling efektif untuk mengembangkan fitrah manusia adalah melalui pendidikan. Dalam hal ini tentunya pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan Islam. Dengan demikian berarti tujuan pengembangan fitrah manusia itu pada hakikatnya juga merupakan upaya pencapaian tujuan pendidikan Islam itu sendiri.
Menurut Abdul Munir Mulkhan, tujuan pendidikan Islam adalah sebagai proses pengaktualan akal peserta didik yang secara teknis dengan kecerdasan, terampil, dewasa dan berkepribadian muslim yang paripurna. Memiliki kebebasan dengan tetap menjaga nilai kemanusiaan yang ada pada diri manusia untuk dikembangkan secara proporsional Islami. Hasil kongres pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islam abad, menyebutkan bahwa pendidikan Islam haruslah bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh, secara seimbang, melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, parasaan dan indera. Karena itu, pendidikan harus mencapai pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, spritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, dan bahasa secara individual maupun kolektif. Mendorong semua aspek ke arah kebaikan dan mencapai kesempurnaan, tujuan akhirnya adalah dengan perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia. Ringkasnya tujuan pendidikan Islam adalah mewujudkan manusia sempurna (al-Insan al-Kamil) serta mampu menjalankan tugas dan fungsinya, baik sebagai 'abd (hamba Allah) maupun sebagai khalifah di muka bumi.
Berdasarkan penjelasan di atas dipahami dengan jelas bahwa tujuan pengembangan fitrah manusia itu secara optimal adalah agar mereka mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Dengan demikian mereka akan memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat nantinya. Sebab jika potensi itu tidak mendapatkan upaya pengembangan niscaya manusia tidak dapat pula melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut yang menyebabkan mereka akan menderita dan sengsara dalam menjalani hidup dan kehidupannya karena tidak mendapat keridhaan dari Allah swt. Selain itu perlu pula dicatat bahwa tidak ada kehidupan yang lebih bahagia selain kehidupan yang mendapat keridhaan dari Tuhan yang telah menciptakan dirinya.

A.   Struktur Fitrah Manusia Hubungannya dengan Kegiatan Proses Pembelajaran atau Pendidikan
Manusia diciptakan Allah menjadi hamba-Nya, juga menjadi penguasa (khalifah) di atas bumi. Selaku hamba dan khalifah, manusia telah diberi kelengkapan kemampuan jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (mental psikologis) yang dapat di kembangkan seoptimal. Untuk mengembangkan atau menumbuhkan kemampuan dasar jasmaniah dan rohaniah tersebut, maka pendidikan merupakan sarana yang menentukan sampai dimana titik optimal kemampuan-kemampuan tersebut dapat dicapai.
Namun, proses pengembangan kemampuan manusia melalui pendidikan tidaklah menjamin akan terbentuknya watak dan bakat seseorang untuk menjadi baik menurut kehendak Pencipta-Nya, mengingat Allah sendiri telah menggariskan bahwa di dalam diri manusia terdapat kecenderungan dua arah, yaitu ke arah perbuatan fasik (menyimpang dari peraturan) dan ke arah ketaqwaan (menaati peraturan/perintah), sepeti firman Allah dalam al-Qur’an Surat as-Syams, ayat 7-10, yang artinya:
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ   $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ   ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ   ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢yŠ ÇÊÉÈ

“…Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jwanya da sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”  
Dengan demikian, manusia diberi kemungkinan untuk mendidik diri dan orang lain menjadi sosok pribadi yang beruntung yang sesuai kehendak Allah melalui berbagai metode ikhtiariah-Nya. Disini tercermin bahwa manusia memiliki kemauan bebas (free will) untuk menentukan dirinya melalui upayanya sendiri. Ia tidak akan mendapatkan sesuatu kecuali menurut usahanya, sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Najm, ayat 39 dan 40, yang artinya: “Bahwa seseorang tidaklah akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” Dengan kata lain, rahmat dan hidayah serta taufik-Nya tidak akan diperoleh manusia tanpa melalui ikhtiar yang benar dan sungguh-sungguh dijalan Allah.
            Konsep manusia dalam islam dapat diambil dari ayat al-Qur’an dan hadits (QS. al-Mukminun: 12-16) dan hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim yang menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah swt. kedalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nutfah, 40 hari darah beku, dan 40 hari mudh.
Dari ayat dan hadis di atas menjelaskan bahwa manusia tersusun dari dua unsur materi (tubuh) dan immateri (ruh yang mempunyai dua daya yaitu daya rasa dan daya fikir). Kedua unsur tersebut merupakan sasaran pendidikan yang harus diperhatikan oleh guru dalam setiap proses belajar mengajar. Dengan mengoptimalkan kedua daya tersebut merupakan asas penting dalam proses pendidikan yang bermuara pada perumusan dasar tujuan pendidikan islam.
Adapun pendidikan yang dimaksud ini adalah pertolongan orang dewasa terhadap anak supaya anak ini mencapai kedewasaan seluruhnya. Manusia dewasa maksudnya manusia yang dapat menanggung dan bertanggung jawab atas tindakannya. Manusia yang bertanggung jawab ini adalah manusia yang dapat mengatakan dengan sepenuh keyakinan, bahwa tindakan yang dilakukannya itu adalah baik dan tindakan ini dilakukan atas pilihannya sendiri atas keyakinan tersebut.
Tahu akan baik dan buruk, harus melakukan yang baik tanpa ada paksaan, tanggung jawab terhadap tindaknnya terhadap diri sendiri dan lingkungannya, kepribadiannya, itu semua karena pada hakekatnya manusia mempunyai pengetahuan dan kehendak. Tanpa budi yang rohani serta tanpa kehendak manusia tidak dapat di didik. Tetapi sebaliknya jika manusia dapat di didik, disebabkan oleh karena mungkin di didik oleh sifat-sifatnya yang rohani.
Ada yang mengatakan manusia itu “animal educandum” artinya manusia itu ialah binatang yang harus dan dapat di didik. Manusia dapat di didik karena ia dapat di didik demi jiwanya yang rohani yang berbudi dan berkehendak. Fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan seleksi melalui proses kependidikan atas diri pribadi manusia. Proses seleksi tersebut menuju kepada dua arah:
1.    Menyeleksi bakat dan kemampuan apa saja yang dimiliki manusia, untuk selanjutnya dikembangkan melalui proses kependidikan.
2.    Menyeleksi sampai dimanakah kemampuan manusia dapat dikembangkan guna melaksanakan tugas hidupnya dalam hidup bermasyarakat.
Maka dari itu, proses kependidikan bagi manusia adalah usaha yang sistematis dan berencana untuk menyeleksi kemampuan belajar manusia agar dapat berkembang sampai pada titik optimal kemampuannya, yaitu kemampuan mengembangkan potensi kapabilitasnya semaksimal mungkin, melalui proses belajar-mengajar.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Fitrah merupakan semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah swt.
Jenis-jenis Fitrah Manusia:
1. Daya intelektual
2. Daya ofensif
3. Daya defensif
Dalam rangka mengembangkan fitrah (potensi) manusia, baik potensi jasmani maupun rohani, secara efektif dapat dilakukan melalui pendidikan. Sedangkan tujuan pengembangan fitrah manusia itu secara optimal adalah agar kita sebagai manusia mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai hamba Allah swt. dan khalifah di muka bumi.

B. Saran
Sebagai manusia makhluk ciptaan Allah swt. yang telah di beri akal dan fikiran yang berbeda dengan makhluk lainnya, kita wajib bersyukur dan beriman kepada-Nya serta harus mampu mengembangkan akal dan fikiran kita untuk mencari pengetahuan bagi bekal hidup.   

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayyin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Latief, Juraid Abdul. 2006. Manusia Filsafat dan Sejarah. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Poedjawijatna. 1987. Manusia dengan Alamnya. Jakarta: Bina Aksara.
Poedjawijatna. 2005. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Weij Van der. 1988. Filsuf-filsuf  Besar tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia.
Wiramihardja, Sutardjo. 2007. Pengantar Filsafat. Bandung: PT Refika Aditama.
Yunus. 1999. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Citra Sarana Grafika.

Tidak ada komentar: