…Nan setitiak jadikan lawuik
Nan sekapa jadikan gunuang…
Yang setitik jadikan lautan
Yang sekepal jadikan gunung
Siang itu disebuah taman kanak-kanak. Ibu guru meminta anak-anak untuk menggambar bebas. Ada yang menggambar pemandangan. Ada gunung dan sawah. Ada sungai dan pantai. Ada hutan dan taman. Ada yang menggambar suasana. Bibi berbelanja ke pasar dengan bersepeda. Nenek menyulam dan kakek membaca Koran. Dan beberapa gambar lain yang ‘biasa-biasa’ saja.
Seorang anak lelaki dikelas itu agak lain. Dia penuhi kertas gambarnya yang berukuran A3 dengan sapuan crayon berwarna hitam. Hanya hitam. Hitam seluruhnya, sepenuhnya. Gurunya tercenung. Tapi Bu Guru tak sempat bertanya karena sebentar kemudian waktu pulang tiba. Sambil menepukan tangan didepan dada Bu Guru berkata, “Gambarnya diselesaikan di rumah ya anak-anak. Minggu depan dikumpulkan.”
Tak dinyana, dirumahnya pun anak ini meneruskan keanehannya. Berlembar-lembar kertas A3 dipenuhinya dengan sapuan warna hitam hingga berkali-kali sang ibu harus ke took alat tulis untuk membelikannya satu set crayon. Dan ia hanya memakai crayon berwarna hitam. Hari demi hari, setiap ada kesempatan dan waktu, anak ini selalu menambah karya gelapnya. Di rumah. Juga di sekolah. Tumpukan kertas gambar yang telah dikerjakannya membuat sang ayah geleng-geleng kepala. Sang Ibu cemas. Dan mereka pun mengontak sekolah, hingga menyepakati satu kata : Psikiater! Anak mereka akan ditangani sekelompok psikiater anak kenamaan.