7 April 2011

Membangun Ketahanan Sekolah (Bag. 4)


Oleh : Didi Supriadie

PENGEMBANGAN BUDAYA DAN KETAHANAN SEKOLAH

Kita awali dengan ekstrak ajaran Lev Semyonovich Vygotsky, “The Genesis of Higher Mental Functions”, dalam J.V. Wertsch (ed), The concept of Activity in Soviet Psychology (Arnomk, New Yiork Sharpe, 1981) : 164 (Baca: dari Alexander Ardichvili (2003) : “Kebudayaan adalah produk kehidupan social dan aktivitas sosial manusia. Oleh karena itu, dengan mengangkat aspek perkembangan budaya dari perilaku, maka kita secara langsung juga mempertimbangkan aspek perkembangan sosialnya”. Terlepas dari “siapa Vigotsky ?”, dan kalaupun masih cukup banyak pakar yang mendefinisikan kebudayaan/budaya; namun ada hal yang menarik, ketika sekolah menjadi sebuah komunitas (social) yang melakukan aktivitas terkait dan berpijak pada landasan kemasyarakatan, maka sekolah berkewajiban untuk mengembangkan aspek-aspek budaya kepada anak didiknya sehingga mereka memiliki keterampilan sosial, dan norma sosial untuk hidup di masyarakat.
Budaya (baca: yang digunakan oleh Murdock (71) atau Barry (80), Matsumoto (96), atau kebudayaan yang dipakai oleh Koentjaraningrat (88), Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2003), atau lainnya akan menjadi konsep yang dipakai pada tulisan ini (baca: sama seperti bahasa kamus “cultural” atau “culture”). Koentjaraningrat (1988), meyakini kebudayaan sebagai produk, baik itu berupa gagasan ataupun sudah berwujud sebgai suatu perilaku tampak maupun material, dan ia mengartikan kebudayaan yang mencakup keseluruhan dari : 1) gagasan, 2) kelakuan, dan 3) hasil-hasil kelakuan. Artinya apa yang ada dalam pikiran manusia, yang dilakukan dan dihasilkan oleh kelakuan manusia adalah kebudayaan, dan budaya adalah konstruk kata bendanya. Williams (dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005), mengungkapkan bahwa istilah “budaya” sejalan dengan perubahan-perubahan historis dapat direfleksikan ke dalam tiga arus penggunaan istilah; yaitu : 1) yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang individu, sebuah kelompok, atau masyarakat, 2) yang mencoba menekankan khazanah kegiatan intelektual dan artistic sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, benda-benda seni, dan teater) Dalam penggunaan ini budaya kerap didentikkan dengan istilah “kesenian”(the Arts), 3) yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat (hal. 8). Kemudian budaya juga dipaparkan dari peta kebinekaan pengertiannya (dari dua tokoh Antropologi yaitu : Kroeber dan Kluckhon) yakni menggambarkan enam pemahaman pokok; yakni : 1) Definisi deskriptif: 2) Definisi Historis, 3) Definisi Normatif, 4) Definisi Psikologis, 5) Definisi Struktural, dan 6) Definisi Genetis.
1)         Definisi Deskriptif. Definisi ini cenderung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya,
2)         Definisi histories Definisi ini cenderung melihat budaya sebagai warisan yang dialih-turunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya,
3)         Definisi normatif Definisi ini bisa mengambil dua bentuk. Pertama budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang konkret. Kedua menekankan peran gugusan nilai tanpa mengacu pada perilaku. 
4)         Definisi psikologis Definisi ini cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai piranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya,
5)         Definisi structural, Definisi ini menunjuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi,
6)         Definisi genetis, Definisi ini melihat asal-usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan, dan definisi ini cenderung melihat budaya lahir dari interaksi antar manusia dan tetap bisa bertahan karena ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya (hal. 9).
Sedangkan Tri Dayakisni dan Salis Yniardi (2003), mendefinisikan budaya ataupun kebudayaan lebih dari sekedar suatu produk yang massif melainkan juga seperangkat nilai, keyakinan, norma yang hidup dinamis dan menjadi bagian internal tak terpisahkan dari manusia. Matsumoto (96), menjelaskan : “culture as the set of attitudes, values, beliefs, and behaviors shared by a group of people, but different for each individual, communicated from one generation to the next”. (Budaya merupakan seperangkat sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh sekelompok orang, memiliki derajat perbedaan pada setiap individu dan dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya). Mengadopsi analisisnya Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi (2003), yang cenderung sepakat dengan pendapat Matsumoto, yang menggambarkan bahwa budaya adalah suatu konstruk social dan sekaligus konstruk individu. Selain itu definisi di atas menekankan pada dua hal, yaitu : 1) adanya penyebaran/pembagian kepemilikan (sharing) dari aspek-aspek kehidupan dan perilaku, 2) adanya hal-hal/sesuatu (things) yang dibagikan kepemilikannya (shared). Pembagian kepemilikan (sharing), menegaskan adanya derajat kepemilikan bersama dari individu-individu yang menjadi anggota kelompok dalam meyakini dan memgang nilai, sikap, kepercayaan, norma, ataupun perilaku yang sama. Kepemilikan bersama tidak hanya bersifat fisik (sharing in the physical sense), melaikan lebih dari itu adalah kepemilikan kesadaran psikologis akan kesamaan diantara anggota kelompok (sharing in the psychological consiousnes), yakni kesadaran bahwa mereka adalah satu budaya. Sedangkan apa yang dibagi (things), lebih dri sekedar atribut fisik (baca: hal-hal yang observable), yang dibagi adalah ide/gagasan, sikap, nilai, dan keyakinan, dan kesadaran bersama akan satu budaya. Dalam konteks ini (Muji Strisno dan Hendar Putranto : hal 8), menyatakan bahwa kita bisa memahami mengapa seseorang disebut “berbudaya” dan “tidak berbudaya”. Istilah budaya/kebudayaan terkait dan diterapkan untuk entitas yang lebih besar yaitu masyarakat sebagai keseluruhan dan dipadankan dengan kata “peradaban” (civilization).
Sekolah (sebagai lembaga pendidikan), memiliki amanat untuk mengembangkannya secara integratif dan tidak terbatasi oleh nilai-nilai yang terkandung dalam mata pelajaran saja; melainkan lebih dari itu adalah sebagai esensi-esensi nilai budaya/kebudayaan secara utuh yang berakar di masyarakat. Budaya/kebudayaan harus diterapkan dalam konteks yang lebih luas untuk pengembangan akal budi dan sikap perilaku manusia lewat pembelajaran. Sekolah yang sengaja dilembagakan dan diperan-fungsikan untuk mengembang kan potensi anak didiknya sebagai individu yang datang dari keluarga dan lingkungan masyarakat (baca: yang telah memiliki aspek-aspek kehidupan dan perilaku serta kesadaran untuk secara bersama dalam satu budaya, yakni sikap, nilai moral, keyakinan, dsb.), maka sekolah memiliki multiperan, yakni : berperan sebagai subtitusi keluarga dan orang tua, subtitusi masyarakat juga subtitusi bangsa dan pemerintah. A. Malik Fajar , sebagai Mendiknas pada saat itu (2004), mengingatkan pada awal pidato Pencananngan Gerakan Anti Narkoba di Sekolah : “Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa suatu bangsa dan negara yang kuat sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya. Hanya generasi yang aktif, kreatif, cerdas, memiliki kepribadian, berakhlak mulia dan memiliki keimanan yang kuat yang mampu menangkal segala pengaruh negatif yang datang dari manapun”. Dan lebih lanjut beliau mengingatkan : “… kita khususnya para kepala sekolah dan guru serta kalangan pendidik menyadari akan fungsi lembaga pendidikan. …Lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam mengarahkan dan menciptakan iklim yang kondusif untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan bagi terbentuknya manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan berkepribadian yang tangguh” (Jakarta, 2 Agustus 2004). Artinya, sekolah menjadi “refresentasi” untuk membangun ketahanan dan pengembangan budaya (baca: manakala kita bersepakat) bahwa budaya seperti yang diurai para pakar di atas dan ditegaskan oleh pengambil kebijakan di akhir bahasan. Persoalannya adalah, bagaimana sekolah dibijaki oleh sebuah piranti yang dapat dikembangkan secara operasional. Mari kita “memutar mundur” (flashback), Masihkah ingat “Wawasan Wiyata Mandala” ?. Konsep ini memang lebih ditujukan kepada satuan pendidikan jenjang sekolah dasar, namun secara filosofis konsep “Wawasan Wiyata Mandala” memiliki relevansi untuk digunakan pada jenajng yang lebih tinggi ataupun pendidikan usia dini. Konsep ini dibangun untuk menjadikan sekolah sebagai pusat kebudayaan, sekolah tidak hanya memprogramkan, mengajarkan, mengarahkan, mebimbing, serta mengembangkan kemampuan intelektual, tetapi lebih dari itu; yakni pengembangan seluruh aspek dan potensi pribadi anak, sehingga anak tidak menjadi kering. Menyikapi persoalan ini, kembali H.A.R. Tilaar, mengungkapkan: “Pada masa Orde Baru sebenarnya telah dikembangkan konsep Wawasan Wiyata Mandala. Di dalam konsep tersebut sekolah dianggap sebagai suatu pusat kebudayaan. Artinya program pendidikan di sekolah bukan hanya mengembangkan kemampuan intelektual tetapi juga pengembangan seluruh aspek kepribadian anak. Demikian pula sekolah tidak terasing dari kehidupan masyarakatnya tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat. Dengan demikian sebenarnya model pendidikan yang dianjurkan dewasa ini, pendidikan dari dan oleh masyarakat (Community-base education) sebenarnya telah terangkum dengan wawasan Wiyata Mandala. Sayang sekali pelaksanaan konsep ini hanya terbatas pada tingkat konseptual saja. …. Jiwa dari Wawasan Wiyata Mandala mati di tengah jalan. Akibatnya ialah pendidikan terasing dari masyarakat, dan selanjutnya pendidikan terlepas dari kebudayaan” (2000 : 222).
Inilah (baca: mungkin) bentuk kekecewaan , kritik, kegemasan, harapan seorang pakar yang peduli terhadap perlunya membangun ketahanan budaya dalam upaya membangun ketahanan diri anak-anak bangsa. Gambaran kekecewaan di atas, sangat berdasar karena individu (sasaran didik) perlu mengembangkan ”sosioemosional”-nya. Urie Bronfenbrenner (John W. Santrock (2004), Educational Psychology, Alih Bahasa Tri Wibowo, 2007) melalui ”Teori Ekologi”-nya, kiranya patut untuk disimak. Teori ekologi Bronfenbrenner ini memfokuskan pada konteks sosial dimana anak-anak tinggal dengan orang-orang yang mempengaruhi perkembangan anak. Teori ini mengemukakan ”lima sistem lingkungan yang merentang dari interaksi interpersonal sampai ke pengaruh kultur yang lebih luas. Lima sistem itu disebut sebagai : 1) mikrosistem, 2) mesosistem, 3) eksosistem, 4) makrosistem, dan 5) kronosistem.
1)     MikrosistemAdalah setting dimana individu menghabiskan waktu. Konteks dalam sistem ini antara lain adalah keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tetangga. Teori ini menjelaskan bahwa individu berinteraksi langsung dengan lingkungannya seperti orang tua, guru, teman seusia, dan orang lain. Kemudian menurut teori ini ditegaskan bahwa murid bukan penerima pengalaman secara pasif di dalam setting ini, tetapi murid adalah orang yang berinteraksi secara timbal balik dengan orang lain dan membantu mengkonstruksi setting tersebut.
2)     Mesosistem Adalah kaitan antar-mikrosistem. Sebagai contoh yang duikemukakannya adalah hubungan antara pengalaman dalam keluarga dengan pengalaman di sekolah, dan antara keluarga dan teman sebaya.
3)     Eksosistem (Exosystem) Sistem ini terjadi ketika pengalaman di stting lain (dimana murid tidak berperan aktif) mempengaruhi pengalaman murid dan guru dalam konteks mereka sendiri. Pada sistem ini dicontohkan sebagai berikut : Dewan sekolah dan dewan pengawas taman di dalam suatu komunitas. Mereka memegang kuat dalam menentukan kualitas sekolah, taman, fasilitas rekreasi, dan perpustakaan. Keputusan mereka bisa membantu atau menghambat perkembangan anak.
4)     Makrosistem Adalah kultur yang lebih luas. Kultur adalah istilah luas yang mencakup peran etnis dan faktor sosioekonomi dalam perkembangan anak. Kultur adalah konteks terluas di mana murid dan guru tinggal, termasuk nilai dan adat istiadat masyarakat. Sebagai misal adalah konteks persoalan pemeranan gender; ada sekolah yang menekankan secara tradional serta memberi keberpihakan kepada gender tertentu, tetapi ada yang lebih variatif dan mendukung nilai kesetaraan antara pria dan wanita. Selain itu sistem ini melihat aspek lain dari faktor ”sosioekonomi” murid yakni faktor perkembangan dalam kemiskinan. Kemiskinan dapat mempengaruhi perkembangan anak dan merusak kemampuan mereka untuk belajar, meskipun beberapa anak di lingkungan yang miskin sangat ulet.
5)     Kronosistem Adalah kondisi ”sosiohistoris” dari perkembangan anak. Louv (1990) dalam John W. Santrock (AB : Tri Wibowo, 2007), mengungkapkan bahwa ”murid-murid sekarang ini tumbuh sebagai generasi yang tergolong pertama mendapatkan perhatian setiap hari, tumbuh dalam lingkungan elektronik yang dipenuhi oleh komputer dan bentuk media baru, tumbuh dalam revolusi seksual, dan generasi pertama yang tumbuh di dalam kota yanmg semrawut dan tak terpusat, yang tidak lagi jelas batas antara kota, perdesaan atau sub kota” (hal. : 85).
Selain hal di atas, John W. Santrock memberikan perhatian terhadap ”Teaching Strategis”-nya dalam mendidik anak dari teori Urie Bronfenbrenner (Valsiner, 2000) mengajarkan bahwa : 1) Pandanglah anak sebagai sosok yang terlibat dalam berbagai sistem lingkungan dan dipengaruhi oleh sistem-sistem itu. Lingkungan itu antara lain sekolah dan guru, orang tua dan saudara kandung, komunitas dan tetangga, teman dan rekan sebaya,, media, agama dan kultur; 2) Perhatikan antara sekolah dan keluarga, jalin hubungan ini melalui saluran formal dan informal; dan 3) Sadari arti penting komunitas, status sosioekonomi, dan kultur dalam perkembangan anak. Konteks sosial yang luas ini bisa sangat mempengaruhi perkembangan anak. Menyimak teori Urie Bronfenbrenner, tentunya banyak ajaran tentang mendidik anak dalam konteks sosial yang lebih luas; dan ada hal yang terpenting, bahwa mendidik anak mulai dari setting terkecil ke stting yang lebih luas dan lebih dari satu. Artinya, sekolah dan guru sangat penting mempertimbangkan bahwa belajar bukan hanya dalam setting kelas dan atau apa yang terjadi di kelas, akan tetapi dalam konteks yang luas seperti keluarga, lingkungan dan kelompok sebayanya. Artinya, ketika kembali kepada apa yang dikemukakan oleh Willams dengan tiga arus penggunaan istilah dan enam pemahaman pokok pendefinisian budaya, atau seperti yang dikemukakan oleh Tri Dayakisni dan Salis Yuniardi, bahwa budaya/kebudayaan adalah konstruk sosial juga konstruk individu dan merupakan sesuatu totalitas yang dimiliki dan dibagikan pemiliknya kepada anggota kelompoknya untuk diyakini, dipegang dan dikembangkan; maka kiranya sekolah berkepentingan untuk memetakan khazanah intelektualitas, sosioemosionalitas, spiritualitas, estetika dan artistika secara holistik seperti pada definisi deskriptif, psikologis, normatif, struktural, dan genetis; serta gambaran cara hidup, berkegiatan, keyakinan dan adat kebiasaan masyarakat yang harus diwariskan dari generasi kepada generasi beriklutnya seperti yang dimaksudkan pada definisi historis dan genetis.

Tidak ada komentar: