Oleh : Didi Supriadie
MEMBELAJARKAN NILAI- GARDA MEMBANGUN KETAHANAN SEKOLAH
Ada tiga orang munafik : jika bicara ia dusta, jika janji tidak ditepati, dan jika dipercaya berkhianat
( HR Buchori dan Muslim)
Sesungguhnya pada dirimu ada dua hal yang Allah mencintai keduanya, yaitu kelamhlembutan dan ketenangan (HR Muslim)
Bergaulah dekat dengan orang-orang yang suka bertaubat, karena mereka adalah orang-orang berhati lembut (Umar Bin Khotob)
Inspirasi yang cukup menarik dalam upaya membangun ketahanan sekolah adalah melalui upaya membelajarkan nilai bagi sasaran didik agar menjadi anak-anak bangsa yang kuat berbasis nilai moral dalam menjalankan hidup dan kehidupannya. Sebuah buku berjudul Mengajarkan Nilai-nilai Kepada Anak, karya Linda dan Richard Gyre (Alih bahasa oleh Alex Tri K.W.) yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta tahun 1997 (menjadi rujukan utama pada sebagaian bahasan bab ini), adalah sebuah buku yang sangat relevan dengan substansi yang dibahas yakni tentang ”Membangun Ketahanan Sekolah”. Kesesuaian ini dimaksudkan bahwa nilai yang ditanamkan kepada anak merupakan pondasi dan ”garda” dalam membangun ketahanan diri anak dan ketahanan sekolah. Linda adalah guru dan musisi handal dan dinobatkan sebagai salah seorang wanita muda Amerika yang berprestasi oleh National Council of Women; sedangkan Richard Gyre, adalah Konsultan Manajemen, dan Ia adalah Direktur White House Conference on Children and Parents. Kedua orang ini adalah pembawa acara di Radio dan TV untuk kemasan program untuk membantu orangtua agar lebih baik mendidik anaknya. Tutur kunci pada sinopsis buku ini mengungkap kearifan yaitu : ” Salah satu hadiah terbaik yang dapat Anda berikan kepada anak Anda adalah kesadaran yang tinggi akan nilai-nilai”.
Mendidik anak mengembangkan nilai seperti kejujuran, kesetiaan, dan disiplin diri sama pentingnya dengan mengajari mereka membaca atau menyebrangi jalan dengan aman. Nilai-nilai yang diajarkan kepada anak merupakan alat terbaik untuk melindungi mereka dari penmgaruh teman sebaya dan godaan budaya asing yang tidak relevan dan tidak dikenal oleh anak. Memberikan pendidikan tentang nilai diarahkan agar anak-anak dapat memilih, memilah dan membuat keputusan seendiri dan bukan meniru teman-temannya atau karena takut ketinggalan jaman. Sebagai khasanah pemahaman tentang mengajarkan nilai yang merupakan upaya membangun garda ketahan sekolah; bahasan ini dimulai dengan pertanyaan : Mengapa, Kapan, Dimana, dan Bagaimana Mengajarkan Nilai, Dimensi-dimensi Nilai, serta mengembangkan Tata krama dalam umpaya membangun ketahanan sekolah.
1. Mengapa, Kapan, Dimana, dan Bagaim, ana Mengajarkan Nilai
1.1 Mengapa
Beberapa alasan yang mendasari mengapa kita mengajarkan nilai kepada anak-anak yaitu sebagai berikut :
a. Karena orangtua kita mengajarkan yang sama kepada kita
b. Karena sudah menjadi tradisi
c. Karena dapat menjadikan masyarakat menjadi aman
d. Karena kita percaya bahwa nilai-nilai itu benar
e. Karena (hasil penelitian) menunjukan bahwa moralitas dan perilaku yang didasarkan pada nilai membantu kemandirian, kemerdekaan, dan percaya diri.
Manakala alasan di atas diberi pembenaran atau masih terdapat hal belum tertuliskan dan tidak berkesepahaman; maka kita dapat mengambil alasan universal, bahwa ”mengajarkan nilai kepada anak adalah awal paling nyata dan paling efektif untuk kebahagiaan mereka”. Kebijakan pewarisan telah mengajarkan bahwa kebahagiaan perilaku dan kelompok berkait erat dengan perilaku yang berlandaskan nilai-nilai moral. Oleh karena itu, tugas orang tua itu berkewajiban ”mewariskan” dan atau mengajarkan nilai-nilai dan hubungan sebab akibatnya. Ralph Waldo Emerson (yang diadopsi oleh Linda and Gyre), mengungkapkan bahwa ”setiap rahasia ada penyingkapannya, setiap kejahatan ada hukumannya, setiap perbuatan baik ada ganjarannya, setiap kesalahan ada pembetulannya, tanpa hura-hura pasti ada sebab ada akibat, ada awal ada akhir, ada benih ada buah, semua tidak dapat dipungkiri, karena akibatnya sudah bertunas dalam sebab, akhir sudah hadir dalam awal, dan bakal buah sudah ada dalam benih”. Mengapa mengajarkan nilai, suatu alasan yang menarik untuk direnungkan : ”karena buah kepuasan dan kebahagian dasar ada dalam benih berupa nilai-nilai yang jelas dan nyata.
1.2 Kapan
Kapan, pertanyaan yang dimaknai sebagai pertanyaan yang erat kaitannya denga tahap perkembangan anak dan pada tahap perkembangan mana mulai dapat menerima pendidikan nilai. Linda and Gyre mengangkat fenomena tahun 1960-an tentang ”Gaya orang tua permisif” (liberal, demokratis dan/atau pembela kebebasan); dan prinsip yang dianutnya adalah gagasan untuk menghindari pengajaran moral kepada anak-anak sampai mereka cukup tua untuk memilih sistem nilai mereka sendiri. Gaya dan prinsip yang dianut sederti diuraikan di atas, telah potensial menghasilkan suatu generasi orang muda dewasa yang meraih rekor dalam hal penyalahgunaan obat bius (narkoba/psikotropika), keluarga berantakan, bunuh diri, dan ketidakbahagiaan; dan ini membuktikan bahwa pendekatan semacam itu terbukti mendatangkan bencana.
Mengjarkan nilai-nilai kepada anak perlu dilakukan sedini mungkin, semua tahapan usia perkembangan anak adalah potensial untuk diberi ajaran. Semua lembaga, seperti rumah (orangtua), masyarakat, dan pemerintah bertanggungjawab untuk mengajarkan nilai kepada anak dan warga bangsanya. Mengajarkan nilai (Linda and Gyre) harus dimulai dari rumah (kelurga), kemudian pada usia prasekolah, mereka akan belajar di lembaga pendidikan (Taman Kanak-kanak) dan/atau teman sebayanya di lingkungan bermainnya. Hal yang patut mendapat perhatian, pada usia sekolah seringkali mereka menguji, mengembangkan dan kadang-kadang mereka mengubah nilai-nilai. Sedangkan menjelang remaja mereka memperjuangkan dan mulai merangkai sistem nilai mereke sendiri yang terlepas dari sistem nilai orangtua mereka.
Ada implikasi tentunya bagi orangtua, guru (sekolah), dan masyarakat sekitar untuk terus mengajarkan nilai-moral dan memberi teladan bahwa sistem nilai yang mereka wariskan atau ajarkan adalah telah memberikan kekuatan dalam membetengi diri sehingga tidak hanyut terbawa arus oleh sistem nilai lain yang tidak jelas asal muasalnya. Implikasi lain bahwa kita harus menunjukan keberanian bahwa anak-anak itu penting memiliki nilai moral untuk ketahanan dirinya dalam mengarungi hidup dan kehidupan yang akan dijalaninya.
1.3 Dimana
Jawaban terhadap pertanyaan ini merupakan peneguhan bahwa mengajarkan nilai adalah sangat penting, dan harus diberikan sedini mungkin (pada usia dini), dan mengajarkan nilai-nilai moral harus dimulai dari rumah/keluarga (orangtua), sebab kurun waktu 4-5 tahun sebelum memasuki lembaga pendidikan prasekolah atau sekolah adalah waktu yang potensial untuk memperoleh pengaruh lain yang tidak relevan dengan tatanan nilai yang diharapkan. Selain itu, mengajarkan dalam keluarga akan sangat kuat pengaruhnya bagi ketahan moral anak, karena orangtua akan menjadi teladan (raw model) dalam kehidupan keseharian anak. Implikasinya adalah bahwa sekolah (Kepala TK/Sekolah, dan tenaga kependidikan lainnya) harus menjadi subtitusi dan multi peran bagi anak, sehingga anak merasa ”at home”, nyaman, aman, dan menjadikan komunitas sekolah sebagai teladan bagi tumbuhkembang kepribadian anak.
1.4 Siapa
Mengajarkan nilai kepada anak-anak dengan cinta dan penuh ketulusan serta kasih sayang, cenderung hanya dapat dilakukan oleh orangtua sendiri (kalapun beberapa kasus tidak demikian). Orang tua yang hanya mengandalkan pendidikan nilai kepada oranglain atau lembaga lain, tak ubahnya seperti ”Kontraktor Umum” yang membangun rumah mendelegasikan kepada tukang kayu, tukang batu, tukang listrik, dan sebagainya, dan sama halnya dengan orangtua yang berharap subkontraktor seperti guru (sekolah), pembina pramuka, guru agama, dan sebagainya dapat mewakili untuk membangun moralitas dan sistem nilai pada anak. Artinya orang tua tidak boleh mengingkari tugas dan tanggung jawab moralnya. Namun demikian pada tatanan manajemen sekolah saat ini tugas fungsi dan peran orangtua, masyarakat, dan sekolah telah disinergikan melalui kemitraan antara keluarga, masyarakat dan sekolah dalam wadah ”Komite Sekolah”. Sinergitas tugas fungsi dan peran ini akan menjadi garda ketahanan sekolah melalui pendidikan nilai-moral secara bersama-sama.
1.5 Apa
Kejelasan tentang apa yang harus diajarkan mengenai nilai-nilai itu merupakan suatu yang teramat penting. Sebab kita dan terlebih orangtua menginginkan kejelasan tentang hal-hal yang penting bagi kita dan pentingnya bagi anak-anak. Untuk kejelasan substansi atau tentang apa yang diajarkan, ada baiknya menyimak hal berikut : a. Pendefinisi tentang Nilai
”Nilai” yang benar dan diterima secara universal adalah nilai yang menghasilkan suatu perilaku dan perilaku itu berdampak positif, baik bagi yang menjalankan maupun bagi orang lain. b. Kriteria Pentingnya menurunkan kriteria dimaksudkan agar dapat memisahkan dari substansi lain seperti keterampilan, atribut atau karakteristik yang mungkin juga berdapak positif.
”Nilai” adalah suatu kualitas yang dibedakan menurut : a) Kemampuan berlipat ganda atau bertambah meskipun secara serius diberikan kepada orang lain, dan b) Kenyataan (atau hukum) bahwa makin banyak nilai yang diberikan kepada orang lain, makin banyak pula nilai serupa yang dikembalikan dan diterima oleh orang lain, sebagai contoh : ”Kejujuran” didefinisikan sebagai sdebuah nilai karena perilaku itu menguntungkan baik bagi yang memprektikan maupun bagi orang lain yang terkena akibatnya. c. Substansi Nilai-nilai Menurut Linda and Gyre secara substansial nilai-nilai itu dikatagorikan kepada a) Values of Being (Nilai-nilai nurani), dan b) Values of giving (Nilai-nilai memberi).
2. Dimensi Nilai dan Pedoman Umum Membelajarakannya
a. Dimensi Nilai
Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa nilai-nilai dikelompokan menjadi dua katagori, yaitu : a) Values of Being (Nilai-Nilai Nurani). Nilai-nilai nurani berawal dari berkembangnya kualitas diri atau sikap dalam diri kita yang menentukan perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Sedangkan dimensi-dimensi dari nilai-nilai nurani; seperti (a) Kejujuran, (b) Keberanian, (c) Cinta damai, (d) Keadaan diri (potensi), (e) Disiplin diri (tahu batas), dan (f) Kemurnian (kesucian). Katagori berikutnya adalah b) Values of giving (Nilai memberi). Nilai-nilai memberi (Values of giving) merupakan nilai yang menggambarkan bentuk memberikan layanan, komitmen, dan akuntabilitas diri. Sedangkan dimensi-dimensinya adalah sebagai berikut : (a) Musyawarah (setia/dapat dipercaya), (b) hormat, (c) Cinta (Kasih sayang), (d) Peka (tidak egois), (e) Ramah, dan (f) Adil.
a. Pedoman Umum Membelajarkan Nilai
Membelajarkan Nilai Nurani : a) Membelajarkan Kejujuran Membelajarkan anak-anak berlaku jujur sungguh sebuah tantangan; sebab realitas yang sering ditemukan adalah ketidakjujuran. Olehb karena itu keteladanan merupakan cara yang sangat efektif. Kejujuran terhadap orang lain, lembaga, masyarakat, terhadap diri sendiri adalah kekuatan yang tidak harus disembunyikan.
Rambu-rambu umum untuk membelajarkan nilai kepada anak-anak adalah (a) bersikaplah jujur kepada anak Anda, dan tunjukanlah bahwa itu akan selalu ditepati, (b) Janganlah menyuruh anak mewakili Anda untuk berbohonh (Contoh : Ibu sedang pergi, padahal ada), (c) Jangan mengucapkan ancaman yang tidak dilaksanakan. Oleh karena itu secara umum beri pujian dan kesempatan untuk mengulang serta tunjukan sebab akibat. b) Membelajarkan Keberanian Membelajarkan anak untuk berani, menuntut suatu resiko ekstra, karena akan berhadapan dengan sejumlah tantangan dan resiko-resiko emosional. Beberapa contoh : (a) Berani mencoba hal-hal yang baik meskipun sulit, (b) Berani menentang arus mayoritas yang menuju ke arah salah, (c) Berani mengikuti kata hati yang baik kendati tersisih dan menderita karenanya, dan (d) Berani bersikap ramah dan bersahabat.
Rambu-rambu umum untuk membelajarkan keberanian yang dapat dikembangkan adalah melalui cerita, permainan, sandiwara, dan diskusi. Mereka belajar memahami dan mempraktikannya melalui contoh dan teladan serta pujian. Hargailah usaha mereka, berilah ganjaran betapapun kecilnya keberanian yang ditunjukan anak. Ajarilah mereka lewat contoh (tunjukan keberanian kita). Jelaskan perbedaan keberanian dan kekasaran, antara kurang berani dengan pemaki. Selanjutnya bantu anak-anak memahami hal-hal yang mendukung keberanian; dasari setiap tindakan dengan kesiapan, keyakinan, dan kepercayaan. c) Mengajarkan Cinta Damai Cinta damai berarti pengendalian emosi dan menghindarkan diri dari perilaku atau perbuatan merugikan orang lain. Cinta damai disebut sebagai nilai karena berakibat baik bagi orang lain dan diri kita sendiri, sehingga dapat merasa lebih baik dan berfungsi lebih baik.
Beberapa sinopsis tentang tutur cinta damai seperti : (a) Sikap tenang dan sabar, yakni kecenderungan untuk berusaha menerima pendapat orang lain alih-alih membantah atau menentangnya. (b) Memahami bahwa perbedaan jarang terselesaikan melalui konflik, serta besikap keras kepala pada seseorang menunjukan bahwa ia mempunyai masalah atau merasa tidak aman dan karena itu mengharapkan pengertian Anda, (c) Kesediaan memahami perasaan orang lain alih-alih lekas bereaksi terhadap mereka. Intinya adalah “pengendalian emosi”.
Rambu-rambu umum untuk membelajarkan cinta damai kepada anak-anak perlu diawali dengan pentingnya pemahaman bahwa anak-anak membutuhkan kesabaran, dengan kesabaran dapat memberikan rasa aman. Sikap cinta damai dan emosi yang terkendali adfalah nilai penting dan ampuh dalam menciptakan suasana cinta damai dan kasih sayang. Oleh karena itu ciptakan suasana damai di dalam rumah, di dalam kelas, susun dan berikan contoh serta mengajak anak-anak untuk bersikap tenang, kemudian berikan mereka pujian. d) Membelajarkan “Keadaan diri dan Potensi”
“Keadaan diri dan potensi” adalah sebuah nilai yang sangat berdaya guna untuk membantu orang lain melalui sikap tanggung jawab dan upaya-upaya baik yang dimiliki. Nilai ini berkait erat dengan usaha mengenal diri sendiri untuk berbuat yang terbaik dan untuk menerima konsekuensi, baik atas siapa diri kita dan atas apa yang kita perbuat. “Kesadaran diri” banyak berhubungan dengan menanggung kesalahan atau bertanggungjawab atas hal-hal negatif yang terjadi. Sedangka “potensi” banyak menyumbang dan mencari kebanggaan yang benar dari kemampuan kita menjadi sesuatu dan berbuat sesuatu. Beberapa sinopsi yang berkait dengan keadaan diri dan potensi seperti : (a) Individualitas, yakni kesadaran atas bakat dan keunikan serta perkembangannya , (b) Sikap bertanggungjawab atas perbuatan sendiri, dan mengatasi kecenderungan menyalahkan orang lain ketika mengalami kesulitan, (c) Percaya akan kemampuan diri.
Rambu-rambu umum untuk membelajarkan anak tentang keadaan diri dan potensi, awali dengan pemahaman bahwa anak-anak bukanlah “sebongkah tanah lempung” yang dapat dibentuk sesuka hati. Mereka adalah benih-benih yang masing-masing mempunyai kelebihan dan potensi yangberbeda. Akan sangat tragis bila semua oerang tua mengaku bahwa anak adalah prioritas yang utama, tetapi hanya menyediakan tujuh menit sehari untuk menangani anak secara individu.Oleh karena itu gunakan diri Anda sebagai model/contoh, perhatikan mereka, berikan pujian saat anak menunukan citra diri (Self Image) dan keandalan diri (Self Reliance). e) Membelajarkan Disiplin diri dan Tahu batas Disiplin diri (self dicipline) dimaknakan sebagai kesanggupan menggerakan dan mengatur diri serta waktu sendiri, sanggup mengendalikan emosi diri, sanggup mengendalikan nafsu sendiri (tahu batas).
Disiplin diri (Self Dicipline) dan tahu batas ( Moderation) adalah dua sisi mata uang yang sama. Displin diri menjauhkan kita dari kemalasan atau berbuat terlalu sedikit, sedangkan tahun batas menjauhkan kita dari mencoba berbuat sesuatu secara berlebihan.
Rambu-rambu umum untuk membelajarkan disiplin diri dan tahu batas, diawali dengan memahami beberapa analog disiplin diri seperti displin dalam masalah fisik, mental, keuangan. Srdangkan tahu batas dianalogkan dengan tahu batas waktu, bicara, makan, kekuatan tubuh dan pikiran, sadar tentang bahaya bila menganut pandangan-pandangan ekstrim dan memihak, selain itu disiplin diri merupakan kemampuan menyeimbangkan spontanitas dengan disiplin diri. Beberapa rambu membelajarkan disiplin diri dan tahu batas adalah dengan memberi contoh (raw model), membantu anak mengendalikan diri, dan sebagainya. f) Membelajarkan Kemurnian dan Kesucian
Hidup pada jaman dimana wabah HIV/AIDs menghantui dunia dan setiap orang secara individu, lebih mudah bagi masyarakat untuk setuju tentang keharusan menjaga kesucian dalam perkawinan dan baiknya mempertahankan kesucian sebelum perkawinan. Sulit untuk membantah alasan nalar dan keuntungan emosional dari dipertahankannya kesucian perkawinan. Tanggungjawab positif untuk menuju kearah itu harus ditanamkan dan dimulai sejak dini (dari usia dini). Terdapat dua alas penting mengapa orangtua atau sekolah mengajarkan seksualitas dan moralitas seksual kepada anak-anak; yakni : a) Orangtua/sekolah dapat membelajarkan anak dalam suasana yang hangat dan akrab, bebas dari noda, steril dan akadmis seperti di sekolah, dan b) Bila orangtua yang membelajarkan anak sifat seks yang pribadi dan akrab dapat menciptakan saling percaya dan terjalinnya hubungan emosional antara orangtua dan anak.
Rambu-rambu membelajarkan kemurnian dan kesucian, dimulai dengan kesadaran bahwa menjaga nilai kesucian sebelum dan sesudah perkawinan dan peran seksualitas di dalamnya. Kesadaran tentang akibat jangka panjang (dan meluas) yang dapat ditimbulkan oleh kehidupan seksual yang tidak bermoral. Membelajarkan anak dengan contoh tentang kemurnian sejelas dan senyata mungkin bahwa seks dan kematanagan seksual dijadikan pokok bahasan yang terbuka namun dalam batas kewajaran dalam keluarga dan secara akademis di sekolah merupakan cara yang baik dalam mengembangkan wawasan dan peneguhan sikap tentang kemurnian dan kesucian. Membelajarkan Nilai Memberi a) Membelajarkan Musyawarah (Setia, dapat dipercaya) Setia kepada keluarga, kepada pekerjaan, kepada negara, kepada sekolah, dan kepada organisasi serta lembaga lain dan kepada siapa kita harus bertanggungjawab, siap mendukung, siap melayani, dapat dipercaya dan konsisten dalam melaksanakan janji adalah nilai-nilai kesetiaan dan dapat dipercaya yang mutlak harus dimiliki oleh anak. Rambu-rambu umum untuk membelajarkan anak tentang setia dan dapat dipercaya dapat dilakukan dengan cara menmunjukan bahwa kita dapat dipercaya, dan anak-anak menyadari bahwa kita sebagai teladan bagi mereka.
Mengucapkan terima kasih dan memberikan pujian kepada anak-anak sebagai wujud rasa percaya terhadap mereka merupakan cara yang dapat mendukung anak untuk selalu berbuat suatu kesetiaan dan dapat dipercaya.
b) Membelajarkan hormat
Hormat merupakan dasar (dan seringkali menjadi penggerak) untuk beberapa nilai dasar lain. Yang paling mendasar dari nilai hormat adalah dilakukan dan dibuktikan oleh diri sendiri (Self Evident). Anak-anak yang beklajar menerapkan dan memahami prinsip ini akan menjadi anggota masyarakat, teman, dan pemimpin yang lebih baik. Hormat kepada kehidupan, hormat kepada hak milik, hormat kepada ayah-ibu, hormat kepada orang yang lebih tua, hormat kepada alam, dan hormatkepada keyakinan serta hak oerang lain; adalah perilaku yang beradab dan sopan. Hormat kepada diri sendiri dan menghindari umpatan kepada diri sendiri adalah dimensi-dimensi penting untuk dpelajri oleh anak. Rambu-rambu umum untuk membelajarkan rasa hormat (nilai hormat) tentunya tidak mudah, namun akan cukup menarik. Hal penting untuk diingat adalah bahwa hormat tidak akan diberikan kecuali bila itu juga diterima. Menanamkan dan menghormati anak-anak akan memberikan dasar yang kuat kepada mereka untuk menghormati dirinya dan meghormati orang lain. Hormati mereka, maka kita akan dihormati, maka ciptakan atmosfir yang tepat untuk saling menghormati. Berikan teladan, peluang untuk memperbaiki diri, serta berikan pujian; karena semua ini akan menjadi hal yang sangat positif. c) Membelajarkan Cinta dan Kasih Sayang Sayang kepada diri sendiri dengan lebih dari sekadar setia dan hormat., sayang kepada teman, tetangga, juga sayang kepada orang yang membenci kita adalah dimensi-dimensi yang penting untuk dipahamkan kepada anak-anak.
Mengutamakan tanggungjawab seumur hidup untuk sayang kepada keluarga, merupakan dimensi cinta-kasih dan sayang tanpa syarakat serta selalu memberikan kesempatan untuk melayani mereka. Rambu-rambu umum untuk membelajarkan anak tentang cinta dan kasih sayang; dimulai dengan mengembangkan rasa cinta dan kasih sayang tanpa syarat, penuh pengertian dan penerimaan membuat kita merasa hangat, tanpa beban, dan memotivasi diri untuk merespons dan membalas. Buatlah pemisahan yang jelas antara ketidaksenangan terhadap perilaku dan cinta kepada anak, dan yakinkan bahwa cinta kita tanpa syarat, kembangkan sikap melayani, sediakan kesempatan untuk memberi maaf. Cinta dan kaasih sayang diajarkan dalam suatu kerangka dimana hukuman digantikan ddengan “restitusi” (maaf dan pengampunan). Sampaikan kepada anak-anak bahwa manakala mereka berbuat salah, tidak mengendalikan emosi atau melanggar hukum; lakukan permintaan maaf, lakukan ganti rugi, dab berjanji “tidak akan berbuat lagi”. Pujilah mereka manakala mereka menyatakan penyesalan. d) Membelajarkan Kepekaan dan tida egois
Kepekaan dan empati merpakan nilai-nilai yang penting dan merupakan kualitas yang terkait dengan kedewasaan. Persoalan yang muncul, apakah nilai ini dapat diajarkan kepada anak-anak ?. Sebuah asumsi sebagai jawaban terhadap pertanyaan ini diberikan oleh Linda dan Gyre bahwa :anak-anak mempunyai bakat alam untuk bersifat peduli dan peka. Anak yang mulai menginjak masa remaja yang biasanya mempunyai dunia yang terpusat pada dirinya sendiri tetap memiliki kepekaan dan empati. Bagi anak-anak usia dini dapat dimulai untuk belajar tentang kepekaan dan kepedulian yang disesuaikan dengan usianya.
Rambu-rambu umum untuk membelajarkan anak tentang kepekaan dan empati, dimulai dengan membelajarkan anak untuk peduli kepada orang lain, merasakan kebersamaan dan menanamkan kasih sayang kepada orang lain, empati (peduli atau merasakan apa yang dirasakan oerang lain), toleransi dan mengembangkan rasa persaudaraan serta peka terhadap kebutuhan orang lain, adalah dimensi-dimensi yang penting diajarkan kepada anak. Kepakaan dan tidak egois tidak hanya diajarkan sebagai nilai, melainkan sebagai bentuk kemampuan yang dapat dilakukan oleh anak.
Berikan mereka pujian betapapun kecilnya perbuatan kepekaan mereka. Berikan tanggung jawab dan ajari mereka dengan contoh serta dengarkan keluhan atau cerita mereka; sebab ini akan menanamkan rasa sensitivitas. Kemudian ungkapkan permintaan maaf dan beritahu mereka tentang apa yang Anada rasakan akibat perbuatan mereka; dan ingat bahwa kepedulian kepada orang lain tidak datang dengan sendirinya. 3. Mengembangkan Tata Krama Membangun Ketahan Sekolah
Mengkaji ulang rumusan pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UURI No. 20/2003), maka salahsatu tanggung jawab sekolah adalah mengupayakan secara terencana suasana belajar dan proses pembelajaran peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya dalam rangka memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Selain itu sekolah juga memiliki tugas fungsi dan peran pengganti orangtua, masyarakat dan bahkan pemerintah, bangsa dan negara untuk mendidik, membelajarkan, membimbing anak-anak yang tidak hyanya kompeten secara akademik,tetapi anak tersebut harus memiliki komopetensi tata krama, nilai moral, budi pekerti dan kemampuan spiritual maupun sosio-emosional.
Sekolah, dikembangkan dengan filosofi, visi, misi, strategi; sehingga menjelma sebagai sosok yang dapat dipercaya untuk membantu anak-anak bangsa ini tumbuhkembang sesuai potensi dirinya dan sesuai dengan harapan orangtua/keluarga, harapan dirinya, harapan masyarakat dan harapan bangsa dan negara. Oleh karena itulah maka mengembangkan sekolah harus berbasis kepada pandangan hidup yang dijunjung, berbasis spiritualitas, berbasis kemasyarakatan, berbasis kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, berbasis perkembangan anak, serta berbasis pada tata aturan dan kaidah-kaidah pendidikan (paedagogik maupun andragogik). Ketika sejumlah harapan tersebut harus tercapai, artinya harus dilakukan upaya pengkajian dan sinergitas, kolegialitas, sehingga sekolah akan menjadi kuat mengusung tugas fungsi dan perannya. Banyak kasus yang terjadi di sekolah; seperti kekerasan fissik maupun psikologis yang dilakukan oleh guru kepada siswanya, kasus siswa melakukan kekerasan terhadap guru, kausus kekerasan antar siswa baik fisik maupun nirfisik, dan atau tidak harmonisnya hubungan antar sejawat serta hubungan atas-bawah (pimpinan sekolah dengan guru atau tenaga kependidikan lainnya). Kasus lainnya adalah menurunnya rasa saling hormat, menghargai, santun baik antara siswa sebaya maupun terhadap kakak kelasnya, terhadap guru dan anggota komunitas sekolah lainnya serta implikasinya terhadap anggota keluarga dan warga masyarakat, bangsa dan lingkungannya. Apa yang kiranya harus dilakukan dan ditata ulang manakala kasus-kasus tersebut benar adanya dan bahkan mungkin lebih dari itu, sebab ini menjadi sebuah gambaran bahwa betapa rawannya ketahan sekolah (kalupun ini berangkat secara kasuitis). Adalah suatu keniscayaan manakala tata kehidupan sosial di sekolah tidak mulai dikaji ulang dan ditata ulang; yang salahsatunya melalui pengembangan tata krama sebagai upaya membangun ketahan sekolah.
Pemahaman dasar dan tentunya sangat mendasar dari masyarakat (awam/pada umumnya), bahwa sekolah selain membekali kompetensi akademik (pintar), adalah mendidik, membelajarkan anak-anak bangsa ini untuk memiliki norma dan tata nilai sesuai dengan tata laku lingkungannya, budaya bangsa dan agamanya. Oleh karena itu sekolah berkewajiban untuk mengembangkan bentuk perwujudan perilaku (manifested behaviour) yang sesuai dengan norma dan tata nilai, selain yang hanya dapat dipersepsikan (perceived behaviour). Artinya sekolah sebagai lembaga yang memiliki komunitas dan berwujud sebagai masyarakat berbentuk kecil (small community) dipandang penting untuk mengembangkan tata krama dan/atau tata laku dalam kehidupan sekolah dan dilakukan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari di sekolah; sehingga dapat berdampak terhadap kehidupan anak-anak di dalam keluarga (rumah), masyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Departemen Pendidikan Nasional (2001), Manajemen Peningkatan Mutu berbasis Sekolah Buku 4 mengenai Tatakrama dan Tata tertib Kehidupan Sosial sekolah bagi SLTP, mengungkapkan pada latar belakangnya bahwa : ”Dunia pendidikan kita dewasa ini menghadapi berbagai masalah yang amat kompleks yang perlu mendapatkan perhatian kita semua. Salah satu masalah tersebut adalah menurunnya tatakrama kehidupansosial dan etika moral dalam praktik kehidupan sekolah yang mengakibatkan sejumlah ekses negatif yang amat merisaukan masyarakat. Ekses tersebut antara lain semakin maraknya penyimpangan berbagai norma kehidupan agama dan sosial kemasyarakatan yang terwujud dalam bentuk : kurang hormat terhadap guru dan pegawai sekolah, kurang disiplin terhadap waktu dan tidak mengindahkan peraturan, kurang memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan, perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang dan lain-lainnya”. Hal ini adalah ancaman dan tidak dapat dibiarkan dan tentunya harus segera diatasi agar tidak terus mengancam anak-anak bangsa dan tatanan sosial, agama, negara dan bangsa. Sekolah adalah garda ketahanan nilai moral, sopan santun, aturan dan kaidah yang dapat memberikan sumbangan terhadap ketahan diri anak, ketahanan keluarga, masyarakat, dan bangsa ini. Oleh karena itu mengembangkan tatakrama dan tata laku kehidupan sosial sekolah menjadi penting.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), Edisi Ketiga, Depdiknas, Balai Pustaka, Jakarta, menyebutkan tata dimaknai sebagai aturan atau kaidah. Sedangkan tata krama serta tata laku disebutkan bahwa : tatakrama dimaknai sebagai adat sopan santun, sedangkan tata laku dimaknai sebagai kebiasaan yang dianggap sebagai cara berperilaku yang diterima sebagai kaidah-kaidah pengatur. Ketika tatakrama dan tata laku dimaknai sebagaimana disebutkan di atas, maka terdapat kata lain yang maknanya tidak berbeda, yaitu ”adab”. Adab (dalam sumber yang sama) dimaknai sebagai kehalusan dan kebaikan budi perkerti, kesopanan, dan akhlak. Ada yang menarik untuk terus ditelusuri, ketika bertemu kata adab, kita bertemu lagi dengan pemaknaan adab itu adalah akhlak. H.M. Ridwan Ibrahim Lubis (2003) melakukan kajian tentang apa itu akhlaq yang diturunkan dalam tulisannya tentang Pembinaan Akhlaq Al-Quran Untuk Anak Remaja; Ia memulai uraiannya dengan sabda Rasul Allah yaitu : Bu’itstu liutamima makarimal akhlaqi” (Saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia). Kemudian Allah berfirman dalam Surat At Tin ”... Laqod kholaqonal insana fii ahsani taqwiim” (Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya). Kata ”khlaqa” artinya ”menjadikan”, dan kata ”khalaqa” itu dimaknai sebagai kejadian manusia. Kita memahami bahwa kejadian manusia itu baik dan sempurna, yakni sempurna kejadian lahir dan bathin. Manusia mempunyai kelengkapan lahiriyah yaitu jasmaniah dan kelengkapan bathiniah ialah rohani. Kata ”akhlaq” berasal dari kata ”khalaqa” yang artinya kejadian manusia, maka akhlak dapat diartikan sebagai : ”tingkah laku perbuatan manusia terrpuji lahir dan bathin”. Akhlak merupakan bagian integral dalam aktivitas manusia; dan oleh karenanya akhlak mencakup segala aspek kehidupan manusia yang disesuaikan dengan ajaran Allah. Akhlak memiliki kandungan makna Illahiyah dan Insaniyah; yang cakupannya :
§ Akhlak seseorang terhadap Allah SWT
§ Akhlak seseorang terhadap dirinya sendiri
§ Akhlak seseorang terhadap manusia lainnya
§ Akhlak seseorang terhadap orangtuanya
§ Akhlak seseorang terhadap alam lingkungannya.
Tatakrama, tata laku, adab, dalam kehidupan sekolah hendaknya berbasis pada nilai-nilai agama (akhlak mulia), nilai-nilai sosial budaya dan kearifan lokal, hak-hak individu sebagai manusia dan kaidah-kaidah yang mendukung proses pembelajaran yang efektif dan menjadikan sekolah sebagai lembaga ketahan nilai moral. Nalai dasar yang perlu dirumuskan dalam mengembangkan tatakrama dan tata laku dalam kehidupan sosial di sekolah, aspek-aspeknya antara lain (diadopsi dari MPMBS tentang Pedoman Tatakra dan tata Tertib Kehidupan Sosial Sekolah Bagi SLTP): ketaqwaan, sopan santun pergaulan, kedisiplinan, ketertiban, kebersihan/kesehatan/ kerapihan, dan keamanan.
1. Ketaqwaan
Nilai ini merupakan nilai universal yang melandasi keseluruhan nilai-nilai yang dikembangkan sekolah dalam membentuk kepribadian siswa. Beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan dan dilakukan :
a) Berdoa sebelum maupun ketika mengakhiri pembelajaran,
b) Melaksanakan ibadah bersama di sekolah sesuai dengan agama siswa masing-masing, dan tidak mengganggu pemeluk agama lain,
c) Melaksanakan dan mengikuti kegiatan keagamaan yang dilaksanakan dilaksanakan bersama dengan tuntutan agama masig-masing (antara lain memperingati hari-hari besar keagamaan, membantu fakir miskin dan anak yatim piatu, dsb),
d) Mendoakan dan atau menjenguk yang sakit atau ditimpa musibah (seperti : Kepala Sekolah, guru, pegawai sekolah, teman atau keluarga lainnya,
e) Saling mengingatkan jika lalai melaksanakan ibadah secara arif dan bijaksana,
f) Menegur dan mencegah teman yang melanggar hukum agama atau tatakrama dan tata laku kehidupan sekolah.
2. Sopan Santun Pergaulan
Tata pergaulan antar siswa dan antar anggota komunitas sekolah lainnya merupakan salah satu unsur sikap dan perilaku yang harus dilakukan secara sopan dan santun. Beberapa kegiatan yang berkait dengan nilai ini antara lain adalah :
a) Mengucapkan salam kepada sesama teman, kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan lainnya,
b) Saling menghormati antar sesama teman, menghargai perbedaan dalam memilih teman belajar, teman bermain, bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah, dan menghargai perbedaan agama, latar belakang sosial budaya, serta latar belakang sosial ekonomi,
c) Menghormati ide, pikiran dan pendapat, hak orang lain, dan hak milik teman dan anggota komunitas sekolah lainnya,
d) Berani menyampaikan pendapat secara sopan tanpa menyinggung perasaan orang lain,
e) Membiasakan diri mengucapkan terima kasih apabila memperoleh bantuan atau jasa dari orang lain,
f) Berani mengakui kesalahan dan meminta maaf apabila merasa melanggar hak orang lain atau berbuat salah kepada orang lain (berani bertanggungjawab),
g) Menggunakan bahasa (kata) yang sopan dan beradab, yang membedakan hubungan dengan orang lebih tua dan teman sebaya; serta tidak menggunakan kata-kata kotor dan kasar, cacvian, dan porno.
3. Kedisiplinan/Ketertiban
Disiplin atau tertib adalah nilai yang berkait dengan sikap konsisten dalam melakukan sesuatu perbuatan. Beberapa kegiatan yang perlu dikembangkan di sekolah
a) Tepat waktu dan atau menepati jadwal (belajar, pengembalian barang pinjaman dari sekolah, perpustakaan, penggunaan lab dan sumber belajar lainnya),
b) Menumbuhkembangkan sifat sabar dan membiasakan perilaku antri bagi siswa dan anggopta komunitas sekolah lainnya dalam mengikuti berbagai kegiatan sekolah maupun luar sekolah yang berlangsung bersama-sama,
c) Menjaga suasana ketenangan belajar baik di kelas, perpustakaan, laboratoriyum, maupun di tempat belajar lainnya.
4. Kebersihan/Kesehatan/Kerapihan
Kebersihan adalah bagian dari iman. Kebersihan itu pangkal dari kesehatan. Kebersihan dan kesehatan akan ditopang oleh perilaku rapi dalam bersikap, bertindak dan berperilaku. Beberapa kegiatan yang perlu dikembagkan dari nilai-nilai ini adalah :
a) Membiasakan siswa dan anggota komunitas sekolah lainnya untuk membuang sampah pada tempatnya, dan menegurnya apabila tidak menaatinya,
b) Mengatur jadwal piket untuk melaksanakan tugas membersihkan ruang kelas, taman sekolah dan linmgkungan sekolah,
c) Membiasakan siswa menjaga kebersihan, kesehatan badan, dan kerapihan pakaian (bersih dan sopan), rambut, kuku, dsb,
d) Tidak menginjinkan siswa merokok dan makan minum yang berakibat terhadap kesehatan fisik maupun psikhis,
e) Melarang keras Kepala sekolah, Guru dan tenaga kependidikan serta anggota komunitas sekolah lainnya merokok dan makan minum yang berakibat terhadap kesehatan fisik maupun psikhis di lingkungan sekolah.
5. Keamanan
Rasa aman adalah kebutuhan dasar bagi sesmua orang, termasuk siswa. Rasa aman akan melandasi rasa nyaman dan leluasa dalam melaksanakan kegiatan. Beberapa kegiatan yang perlu dikwembangkan diantaranya adalah :
a) Menjaga keamanan lingkungan sekolah yaitu barang/perlengkapan atau fisik sekolah baik yang datang dari dalam maupun luar sekolah,
b) Menjaga keamanan diri, teman, anggota komunitas sekolah dari pengaruh negatif dari luar maupun dalam sekolah,
c) Menjaga keamanan siswa dan anggota komunitas sekolah lainnya dari pengaruh negatif yang disebarluaskan melalui bahan ajar atau melalui sumber multimedia lainnya.
6. Kejujuran
Perilaku yang tidak bertentangan dengan hati nurani (kebenaran); itulah kejujuran. Dalam rangka membentuik kepribadian siswa, kejujuran merupakan salah satu nilai dasar yang sangat penting dikembangkan di sekolah. Beberapa kegiatannya sebagai upaya menanamkannilai kejujuran adalah :
a) Membiasakan diri untuk berkata benar dan tidak memfitnah orang lain,
b) Membiasakan diri untuk selalu menepati janji,
c) Membiasakan diri untuk tidak berbuat kebohongan dan kecurangan,
d) Membiasakan diri untuk tidak menyontek.
7. Tanggung jawab
Tanggung jawab adalah nilai dasar yang cukup penting untuk ditanamkan kepada siswa. Bertanggung jawab mengandung arti berkewajiban menanggung atau memikul tanggung jawab. Beberapa yang dapat dikembangkan adalah :
a) Mengerjakan/melaksanakan tugas yang diberikan guru atau sekolah secara sungguh-sungguh,
b) Menaati kebijakan sekolah secara sungguh-sungguh (memakai seraga sekolah),
c) Melaksanakan piket sekolah dengan sebaik-baiknya.
8. Kebersamaan
Kebersamaan adalah suatu tekad yang dilakukan secasra bersama dalam rangka mencapai suatu tujuan. Kebersamaan merupakan wujud kepedulian terhadap sesama. Beberapa kegiatan yang dapat dikembanghkan seperti :
a) Mengumpulkan dana untuk membantu teman yang tidak mampu,
b) Mengunjungi, mendoakan teman dan anggota komunitas sekolah lainnya yang terkena musibah dan atau melakukan kunjungan untuk silaturahmi,
c) Mengikluti dan melaksanakan kerja bakti sekolah,
d) Melerai siswa yang sedang berkelahi, dsb.
9. Keadilan
Keadilan adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan tidak memihak. Nilai dasar ini dapat dikembangkan melalui kegiatan :
a) Membiasan pola perilaku antri seperti dalam menggunakan fasilitas belajar (buku, lab, membayar iuran sekolah, mengambil air wudlu, dll),
b) Membagi tugas kelompok dan anggotanya secara merata jumlahnya maupun kemampuannya,
c) Melatih keberanian untuk membela kebenaran,
d) Tidak meperlakukan orang lain secara semena-mena.
10. Respek
Respek adalah menaruh rasa hormat atas perbuatan yang mulia. Nilai dasar ini sdangat penting dimiliki oleh setiap individu, oleh karena itu disekolah dapat dikembangkan kegiatan seperti :
a) Menghargai pendapat, gagasan, dan pemikiran tema(dalam diskusi),
b) Mau menerima saran dan kritik dari orang lain,
c) Memberikan pujian atas hasil karya orang lain,
d) Membiasakan memberi bantuan untuk kepentingan orang banyak.
Mengembangkan tatakrama dan tatalaku sosial di sekolah seperti diurai di atas menjadi sangat penting dalam upaya membangun ketahan diri anak-anak dan anggota komunitas sekolah lainnya; sehingga kemampuan dan pembiasaan yang dilakukan di sekolah dapat diimplementasikan di masyarakat lingkungannya. Apa yang diuraikan di atas merupakan contoh-contoh yang tentunya dapat dikembangkan lebih lanjut di lembaga masing-masing dapat dikembangkan sesuai dengan kearifan lokal. Hal yang penting untuk dilakukan adalah mengembangkan pola tatakrama dengan tata hubungan yang rinci; umpanya siswa dengan siswa, siswa dengan pimpinan sekolah, guru dan tenaga kependidikan atau anggota komunitas sekolah lainnya, pimpinan dengan guru dan anggota komunitas sekolah lainnya, dan hubungan kesejawatan. Aselain itu pula dapat dikembangkan tatakra dan tata hubungan antara siswa dan anggota komunitas sekolah dengan orangtuia serta masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar