7 April 2011

Membangun Ketahanan Sekolah (Bag. 2)

Oleh : Didi Supriadie

 PENDIDIKAN (MEMBANGUN KETAHANAN SEKOLAH)

“Yang berbahaya bagi suatu pekerjaan adalah meremehkan, meninggalkan muhasabah, melepaskan begitu saja dan menggampangkan persoalan, sebab hal-hal itu akan mengantarkan pada kehancuran. Dan itulah keadaan orang-orang yang terperdaya, menutup mata dari segala akibat, menantang keadaan dan bersandar hanya pada ampunan. Ia melambatkan diri melakukan muhasabah dan tidak melihat akibat yang bakal ia derita…”
 (Ibnu Qoyim Al-Jauziyyah)

Pendidikan, seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang : Sistem Pendidikan Nasional, adalah “ usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran untuk memberdayakan peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengemdalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa dan Negara. (Bab I, Pasal 1, (butir 1) ). Pada (butir 2-nya), dimaktubkan bahwa “ Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”. Oleh karena itu pendidikan nasional melakukan .
Pembaharuan system melalui pembaruan visi, misi, fungsi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional (baca: sebagaimana termaktub dalam “Penjelasan UURI N0. 20, tahun 2003): Visi pendidikan nasional adalah terwujudnya system pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa semua Warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan yang selalu berubah”.
Misi Pendidikan Nasional : 1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia, 2) Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar, 3) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral, 4) Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar nasional dan global; dan 5) Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsipnotonomi dalam konteks Negara kesatuan Republik Indonesia.
Fungsi dan tujuan Pendidikan nasional, adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat. Berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Strategi Pembangunan Pendidikan Nasional, meliputi : 1) pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia, 2) pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; 3) proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 4) evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; 5) peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan; 6) penyediaan sarana
belajar yanmg mendidik; 7) pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; 8) penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; 9) pelaksanaan wajib belajar; 10) pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; 11) pemberdayaan peran masyarakat; 12) pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan 13) pelaksanaan pengawasan dalam system pendidikan nasional.
Menyimak hal di atas, pendidikan secara filosofis diamanahkan untuk dibangun dan kembangkan melalui perencanaan yang mendasar, karena pendidikan harus memiliki kejelasan tentang kemana anak/sasaran didik akan diarahkan ?, untuk mengembangkan potensi diri anak (kecerdasan (intelektual, emosional, spiritual, social dan keterampilan), subtansi apa yang harus dikemas dan disajikan dalam proses pembelajaran ?, Pendekatan, strategi, dan cara bagaimana yang perlu disiapkan dan diimplementasikan oleh para fasilitator ?, dan bagaimana kita dapat mengukur dan mengetahui bahwa pada saatnya anak/sasaran didik itu sampai kepada yang diharapkan?
Itulah kerangka dasar yang tentunya perlu dijabarkan. Pertanyaan pertama terkait dengan rumusan kualifikasi dan/atau kompetensi yang diharapkan dicapai, dimiliki secara permanent dan dapat dimplementasikan oleh anak/sasaran didik, dan seringkali kita menyebutnya dengan “tujuan” (tujuan pendidikan, tujuan lembaga/sekolah, tujuan mata pelajaran/bidang studi, tujuan dari setiap pokok bahasan dan pokok materi). Pertanyaan kedua berkait dengan subtansi matapelajaran/bidang studi apa yang harus dikemas sebagai bahan yang harus dipelajari (baca: mana yang terkait dengan pengembangan kompetensi akdemik (intelektual), emosional, spiritual, ekonomik, dan social-pribadi. Pertanyaan ketiga berkait dengan bagaimana proses belajar dan pembelajaran itu dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan kaidah pendidikan dan pembelajaran pada tataran praksisnya ( Pendekatan, strategi, didaktik metodologik/ andragogik ), sehingga suasana belajar dan proses pembelajaran menjadi lebih kondusif mengantar anak/sasaran didik kepada tujuan yang diharapkan. Pertanyaan keempat terkait dengan evaluasi dan segala aspeknya dalam rangka penilaian dan uji keterukuran pencapaian tujuan. Persoalan yang muncul dan perlu mendapat perhatian adalah bagaimana menselaraskan arantara hal-hal yang bersifat filosofis (ideal) dengan implementasinya (actual), karena kerapkali terjadi “gap” antara tataran ideal dengan tataran actual (implemtasi). Persoalan ini akan menjadi sangat penting, karena manakala “gap” terjadi, maka tujuan/kompetensi, harapan visi, misi, fungsi dan tujuan, strategi; dan filosofi lembaga pendidikan/sekolah menjadi tidak memiliki peran dan fungsi dalam pembangunan bangsa, dan akan berdampak luas terhadap ketahanan masyarakat, bangsa dan Negara. Oleh karena itu, kiranya kita dapat membuat suatu formula : “kita membangun ketahanan lembaga pendidikan (sekolah) dalam rangka membangun ketahanan masyarakat, bangsa, dan Negara”, atau sebaliknya : “kita membangun ketahanan masyarakat, bangsa dan Negara dalam rangka membangun ketahanan sekolah”.
Membaca ulang visi, misi, fungsi dan tujuan, serta strategi pembangunan pendidikan nasional, selain menjadi “legal framework” untuk mengembangan pendidikan pada level makro, mezzo, maupun mikro, tetapi juga bermuatan “filoshofical value’s” yang menggambarkan harapan (goal expectations) bahwa pendidikan (baca: sekolah dalam hal ini) tidak hanya memfasilitasi, mengarahkan, membimbing, mengembangkan potensi anak menjadi cerdas (intelektual/ akademiknya saja), namun undang-undang mengamanatkan lebih dari itu; yakni perlunya mengembangkan kecerdasan emosional, spiritual, social pribadi; bahkan kecerdasan ekonomik. Sejalan dengan itu Noeng Muhadjir (93 : 14) mengemukakan bahwa pendidikan itu memiliki tiga fungsi; yaitu : 1) menumbuhkan kreativitas subyek didik, 2) menjaga lestarinya nilai-nilai insani dan nilai-nilai Illahi, dan 3) menyiapkan tenaga kerja produktif. Kalau mengadopsi pendapat Richard Kindsvatter, Wiliam Wilen, dan Margaret Ishler (Dynamics of Effective Teaching, 1996), mereka mengklasifikasi tujuan (Goal and objectives) menjadi tiga kawasan (domains) yakni : “1) Cognitive domain- objectives that have as their purpose the development of students’ intellectual abilities and skill; 2) Affective domain-objectives that have as their purpose the development of students’ emotional growth and values development and clarification; 3) Psychomator domain – objectives that have as their purpose the development of students’ motor and coordination abilities and skill” (160-161). Sejalan dengan hal ini, kita diajak dan bahkan diingatkan oleh H.A.R. Tilaar (baca : dari Multiple Intelligences (Gardner : 1993) dan The Diciplined Mind (Gardner 1999); bahwa “dalam era reformasi kita bertekad untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat yang demokratis. Masyarakat yang demokratis terdiri dari para anggotanya yang cerdas. Manusia yang cerdas bukan hanya semata-mata memiliki kecerdasan intelek tetapi berbagai kecerdasan seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan etika serta estetika” (200 : 208). Lebih lanjut Tlaar( 2000 : 209), menjelaskan “… anggota masyarakat yang cerdas yang menjadi pilar-pilar dari masyarakat Indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya (educated and civilized human being)”.
“Muhasabah”, “tausiyah” , meraba diri (introspeksi) dan saling memberi wasiat adalah sesuatu yang amat penting. Mengapa ?, karena ketika kita muhasabah; pikiran kita (kecerdasan mental-intelektual) harus menyatu dengan hati (qolbu/kecerdasan emosional/rasa). Ketika kita saling memberi tausiyah, kecerdasan mental-intelektual, logika, harus selaras dengan kecerdasan emosional, kebersihan hati, keterampilan social, etiket, bahkan estetikannya. Sebagai contoh, ada “Tembang pitutur” yang biasa dilantunkan anak-anak sebelum salat di Langgar-langgar/ Masjid/Surau (baca: terutama di P. Jawa), yang sekarang cukup dikenal oleh semua kalangan (anak-anak sampai manula); yakni “Salawat Tamba Ati” atau “Lima resep batin”, yang dicuplik dari Kitab Kifayatul Atqia’ wa Minhajul Ashfia (Kelengkapan Orang Taqwa dan jalan Orang Suci), karangan Syaikh Muhammad Syatha Ad-Dimyati (A. Suryana Sudrajat, Menimba Kearifan, 2001) isinya miwejang jalan apa yang mesti ditempuh seseorang untuk mencapai derajat kesalihan. Syair tembangnya sebagai berikut :
Lima Obat Hati
Tamba ati iku lima ing wernane Ingkang dingin maca Quran sak maknane Kaping done salat bengi lakonana Kaping telu zikir bengi ingkang suwe Kaping pate wetengira luweana Kaping lima alim salih kumpulana Salah sawiji sapa kang bisa nglakoni Insya Allah Ta’ala nyembadani
Ini salah satu upaya pendidikan yang mengemas pesan moral dengan strategi pembiasaan ( ada waktu dan durasi ), ada logika, etika, dan estetikanya, karena tembang ini memerlukan kemampuan pikir, rasa/emosional, maupun spiritual; dan sekaligus merupakan barikade untuk membangun ketahanan moral anak. Selain itu, Bambang Sudibyo (Menteri Pendidikan Nasional saat ini), menmsosialisasikan program membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan “Empat Olah”, yaitu : “Olah Hati, Olah Pikir, Olah Rasa, dan Olah Raga”.
Kembali kepada muhasabah dan tausiyah. Seluruh uraian di atas, baik peraturan perundangan (sebagai legal framework) pembangunan pendidikan yang telah disiapkan dan terus dikembangan oleh pemerintah melalui kebijakan strategisnya, pandangan para pakar (pendidikan maupun bidang lainnya); peneliti, juga para poilitisi, pemerhati pendidikan serta aspirasi masyarakat (ASMARA), berteguh hati untuk melakukan “revitalisasi” pemeranan pendidikan untuk melakukan upaya-upaya strategis membangun anak bangsa ini kaffah dan berkualitas melalui pendekatan yang holistik dalam proses penyelenggaraannya. Semua ini adalah energi, kekuatan (power) yang harus terus disinergikan, dipelihara dan dikembangkan terus menerus. Persoalannya adalah bagaimana semua ini terimplementasikan dan dapat diaktualisasikan ?. Ada lintasan pikir untuk dapat mengejawantahkan hal-hal di atas, yakni “…sekolah” sebagai salah satu lembaga pendidikan (baca: Satuan Pendidikan menurut UURI N0. 20 th.2003) yang begitu disakralkan untuk dapat menjadi kepanjangan tangan semua pihak (Pemerintah, Orang tua, Mayarakat, Pemerhati, Peneliti, Politisi, bahkan anak-anak itu sendiri) sebagai “barikade ketahanan” pengembangan diri, IPTEK, seni, nilai-nilai social, moral, emosional, spiritual, ekonomikal, dsb. Persoalan lainnya adalah keberadaan sekolah itu sendiri, yang sejatinya mengemban amanah “filsafati”, idealisme (visi, misi), seperti diurai di atas; namun senyatanya sekolah (baca: seperti yang kita pahami) menghadapi problematika yang begitu dilematis. Sekolah menjadi “ujung tombak” untuk berperan menyelesaikan masalah pendidikan (baca: akses, mutu, relevansi, daya saing, tata kelola dan pencitraan public), bahkan menjadi “implementor” inovasi konsep pendidikan/pembelajaran dan manajemen. Selain itu sekolah dihadapkan pada kenyataan; fisik bangunan sekolah/kelas, selain kurang, juga buruk/rusak (baca: dari mulai katagori ringan hingga ruksak berat bahkan total), kualifikasi, kompetensi, jumlah guru amat memperihatinkan, sarana prasarana lainnya (baca: lab, perpustakaan, sarana olah raga, sarana ibadah, ekskul; dsb) tidak dimiliki oleh sebagian besar sekolah. Hal yang nir fisik seperti etos kerja, komitmen, kemampuan manajerial masih sangat perlu ditingkatkan. Hal penting lainnya yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah perlunya “membangun atmosfir ketahanan sekolah melalui pengembangan kultur sosial, tatakrama, dan tata tertib sekolah”. Hal terakhir menjadi penting, karena sekolah banyak ditenggarai hanya memfasilitasi pengembangan potensi kecerdasan intelektual saja, sekolah seringkali hanya dimaknai sebagai “schooling”. Pola pikir ini pernah diingatkan oleh Doddy Achdiat Tisna Amidjaja (1991), bahwa pendidikan .. bergeser dari konsep “schooling” kepada konsep belajar…”, dan kita juga dipicu oleh pencanangan “Empat Pilar Pendidikan Abad ke 21 oleh UNESCO (1996) dalam Learning : The Treasure Within, yaitu : 1) Learning to know (belajar untuk mengetahui), 2) Learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu/bekerja terampil, 3) Learning to be (belajar untuk menjadi seseorang /pribadi), 4) Learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama). Selain itu di era informasi dan globalisasi ini, sekolah sebagai lebaga pendidikan, kiranya penting untuk mempersiapkan sasaran didiknya untuk memiliki banyak hal (Nana Syaodih S) seperti : 1)“Knowing Much” (berusaha tahu banyak), 2) “Doing Much” (berusaha berbuat banyak ), 3) “Being Exellence” (berusaha mencapai keunggulan), 4) “Being Sociable” (berusaha menjalin hubungan dan kerja sama dengan orang lain), 5) “Being Morally” (berusaha memegang teguh nilai-nilai moral). Selain itu dapat ditambahkan dengan “Being Cultural” (Berusaha memegang teguh nilai-nilai budaya). Artinya, sekolah sejatinya harus memiliki ketahanan yakni tidak berubah sifat, filosofi, visi dan misi, tujuan dan peranfungsinya sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan kaidah yang bersandar pada pilar pendidikan, watak belajar dan pembelajaran sebagai esensi pendidikan, kaidah kilmuan, nilai-moral spiritual, nilai budaya, sosio-emosional, dan kecakapan hidup; sehingga sekolah akan menjadi “Garda ketahanan keilmuan, moral-spiritual, cultural, sosial dan kemampuan ekonomikal”.

Tidak ada komentar: