BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Awal abad ke-21 ini ditandai oleh perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut telah menghadapkan masalah agama kepada suatu kesadaran kolektif, bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini hendaknya tidak dilihat sebagai suatu upaya untuk menyeret agama, untuk kemudian diletakkan dalam posisi sub-ordinate dalam hubungannya dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sedemikian cepat itu. Alih-alih, hal itu hendaknya dipahami sebagai usaha untuk menengok kembali keberagaman masyarakat beragama. Dengan demikian revitalisasi kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan tersebut dapat juga diartikan sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap perubahan yang terjadi secara cepat.
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini sungguh sangat memprihatinkan. Berbagai macam kasus atau perilaku sosial yang amoral sering kali terjadi, mulai dari perampokan, pelecehan seksual, pencurian, minum-minuman keras, narkoba, kekerasan dan lain sebagainya. Padahal, di Indonesia banyak lembaga-lembaga pendidikan. Seharusnya dengan adanya lembaga pendidikan maka kondisi bangsa juga akan menjadi baik.
Hal di atas sungguh sangat paradoks. Di satu sisi Indonesia mempunyai banyak lembaga pendidikan, mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi (PT). Namun di sisi lain, Indonesia mengalami dekadensi moral. Sehingga menjadikan situasi sosial masyarakat sangat tidak kondusif.
Lebih-lebih masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim, dan juga mayoritas pelaku kejahatan sosial juga mengaku dirinya muslim. Satu hal yang menjadi tanda tanya besar. Kenapa bangsa Indonesia yang mayoritas muslim masih banyak ditemukan kejahatan-kejahatan di masyarakat?.
Menurut penulis letak kesalahannya adalah pada pendidikan moralnya yang kurang optimal. Dalam hal ini, pendidikan Islam memegng peranan penting untuk merubah kondisi sosial masyarakat Indonesia. Karena Islam adalah agama yang telah menyebarkan nilai-nilai sosial mulia, seperti nilai moralitas, humanitas dan religiusitas. Maka sudah saatnya pendidikan Islam sadar akan perannya di tengah kondisi bangsa yang morat-marit ini.
Oleh karena itu penyusun mengucapkan terimakasih kepada dosesn yang telah memberikan tugas pembuatan makalah dengan judul Respon Lembaga Pendidikan Islam terhadap Perubahan Sosial; Suatu Teori tentang Pendidikan Islam dalam Pengembangan Masyarakat. Dengan harapan, pendidikan Islam bisa lebih diperhatikan lagi oleh para praktisi pendidikan. Karena peran pendidikan Islam dalam perubahan dan pengebangan kualitas sosial Indonesia sangat besar. Sehingga saya rasa pembahasan ini sangat perlu diulas, walaupun sudah banyak akademisi yang telah mengkaji tentang pendidikan dan perubahan sosial.
B. Tujuan Pembuatan Makalah
- Agar mahasiswa memahami tentang bagaimana menjadi seorang guru Agama Islam yang ideal dan sesuai dengan perkembangan zaman.
- Agar mahasiswa mengetahui tentang syarat-syarat dasar dan utama seorang guru terutama guru Pendidikan Islam.
- Mahasiswa dapat membekali dirinya untuk terus berkembang dan berproses sehingga pada nantinya mampu merelaisasikan kecakapan dan keahlian yang dimiliki dalam tekhnik mengajar dan mendidik.
BAB II
P E M B A H A S A N
A. Pengertian dan Teori Perubahan Sosial
1. Pengertian Perubahan Sosial
Perubahan merupakan fenomena sosial dan terjadi dalam waktu yang tidak terprediksi secara pasti. Masyarakat selalu mengalami perubahan seiring dengan perubahan ruang dan waktu serta kemajuan pemikiran, terutama saat ini didominasi oleh kemajuan teknologi informasi, komunikasi bahkan transportasi. Perubahan tersebut mempengaruhi perilaku, interaksi individu maupun kelompok dalam masyarakat. Sebagaimana Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang di dalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
Perubahan sosial menurut Wilbert Moore merupakan perubahan penting dari struktur sosial, yaitu perubahan pola-pola perilaku dan interaksi sosial, yang merupakan struktur norma, nilai dan fenomena kultural. Orang yang memandang masyarakat sebagai sistem yang berada dalam keseimbangan dan yang mencoba menganalisis aspek struktural dari sistem (masyarakat) itu akan mengakui bahwa keseimbangan (equiliberium) hanya dapat dipertahankan melalui perubahan tertentu di dalam sistem tersebut. Perubahan ini terjadi akibat tanggapan atas kekuatan eksternal yang menimpa sistem itu.
2. Teori Perubahan Sosial
Dalam makalah ini penulis mengunakan analisis teori perubahan sosial Ferdinand Tonnies. Menurut teorinya, perubahan sosial adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan .Perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya komunikasi; cara dan pola pikir masyarakat; faktor internal lain seperti perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, terjadinya konflik atau revolusi; dan faktor eksternal seperti bencana alam dan perubahan iklim, peperangan, dan pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Ada pula beberapa faktor yang menghambat terjadinya perubahan, misalnya kurang intensifnya hubungan komunikasi dengan masyarakat lain; perkembangan IPTEK yang lambat; sifat masyarakat yang sangat tradisional; ada kepentingan-kepentingan yang tertanam dengan kuat dalam masyarakat; prasangka negatif terhadap hal-hal yang baru; rasa takut jika terjadi kegoyahan pada masyarakat bila terjadi perubahan; hambatan ideologis; dan pengaruh adat atau kebiasaan. Sinisme pondok pesantren salaf terhadap hal-hal yang baru memang masih tampak, tetapi pada akhirnya bisa menerima seuatu yang baru, sehingga terjadi perubahan di dalam institusi tersebut. Meskipun lembaga pendidikan Islam dapat menerima perubahan, terutama kebutuhan dalam teknologi informasi dan telekomunikasi, tetapi tetap selektif. Kebudayaan dan tradisi yang sudah berjalan di lembaga pendidikan Islam tetap memiliki nilai yang tinggi, sehingga tetap bertahan dan hidup, setidaknya di wilayah lembaga pendidikan Islam tersebut.
B. Perubahan Sosial dan Islam
Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam, tentu sangat memperhatikan keadaan masyarakat. Hal ini terlihat dari bukti sejarah, bagaimana Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat Arab. Kemudian terus berkembang hingga Islam tersebar ke seuruh penjuru dunia. Dan sudah barang tentu, Islam membangun masyarakat melalui pendidikan. Karena proses pendidikan merupakan saah satu cara yang efektif dalam membangun umat. Allah SWT berfirman: ”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka mau merubah diri mereka sendiri”
Untuk melakukan sebuah perubahan, maka ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh manusia sebagai pelaku perubahan, yaitu:
- Membangun kecerdasan dan memperluas wawasan
Manusia sebagai makhluk yang luar biasa mempunyai potensi yang luar biasa besarnya sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka mebangun peradaban. Kemajuan suatu bangsa pada umumnya ditentukan oleh bangsa itu dalam mendayagunakan sumber daya manusia melalui pergumulannya mengembangkan ilmu pengetahuan. Maka sudah barang tentu di dalam proses pendidikan manusia menempati sebagai subjek dan objek pendidikan itu sendiri.
Banyak indikasi di dalam al-Quran yang memerintahkan supaya manusia, khususnya umat Islam bersikap cerdas dan selalu menambah wawasan keilmuannya, di antaranya, pertama, Allah memerintahkan manusia agar senntiasa berpikir dan menggunakan pikirannya untuk memecahkan permasalahan-permasalahan hidup yang dihadapi. Dan potensi untuk menambah wawasan tersebut sudah Allah sediakan untuk manusia, seperi penglihatan, pendengaran dan perasaan.
- Membangun etos kerja
Untuk menuju kepada sebuah perbahan sosial yang signifikan, Islam sangat memperhatikan etos kerja. Karena etos kerja-lah yang akan menjadi pendorong bagi manusia untuk bergerak menuju arah perubahan. Hal ini telah dibuktikan oleh sejarah, bagaimana nabi Muhammad SAW bisa menguasai daerah Arab dan sekitarnya dan kemudian akhirnya Isam tersebar di seluruh penjuru dunia serta dapat mengubah peradaban manusia. Semua itu karena etos kerja umat Islam sangat kuat. Untuk itu, menurut Malik Fadjar ada beberapa hal penting yang perlu kita ketahui, yaitu:
Pertama, Di dalam Islam, motivasi dasar yang harus diletakkan oleh setiap muslim dalam menjalankan hidup ini adalah pengabdian kepada Allah semata. Islam mengajarkan dalam hidup dan segala aspeknya termasuk dalam mengelola pendidikan dan melakukan perubahan sosial harus diniatkan sebagai pengabdian kepada Allah.
Kedua, al-Quran menegaskan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan prestasi dalam hidup adalah dengan bekerja. Karena pada dasarnya seseorang tidak akan memperoleh sesuatu kecuali sesuai dengan apa yang ia usahakan. Ketiga, Dalam hidup dan bekerja, Islam menganjarkan akan pentingnya berorientasi pada masa depan, kerja keras, teliti, hati-hati, menghargai waktu, penuh rasa tanggung jawab, dan berorientasi pada prestasi.
Artinya menurut Malik Fadjar adalah hidup harus punya cita-cita, hidup dalam Islam harus hemat dan berpola sederhana seta tidak konsumtif dan berlebihan atau tidak kikir. Selain itu, kerja santai, tanpa rencana, malas, boros tenaga, waktu dan biaya adalah bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dan semua masalah yang menjadi tanggung jawabnya harus dihadapi dengan penuh rasa tanggung jawab (responsibility) dan penuh perhitungan. Islam juga menilai, sebaik-baik pekerjaan adalah yang dikerjakan dengan sebaik-baiknya (ahasana ’amala).
C. Respon Lembaga Pendidikan Islan Terhadap Arus Perubahan Sosial
Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak, perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini pendidikan Islam terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak jelas.
Dalam perkembangannya pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisonalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek dokriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh dasarnya.
Dalam telaah sosiologis, pendidikan Islam sebagai sebuah pranata selalu mengalami interaksi dengan pranata sosial lainnya. Ketika berhubungan dengan nilai-nilai dan pranata sosial lain di luar dirinya, pendidikan islam menampilkan respon yang tidak sama. Nilai-nilai itu misalnya adalah modernisasi, perubahan pola kehidupan dari masyarakat agraris ke masysrakat industrial, atau bahkan post-industrial, dominasi ekonomi kapitalis yang dalam beberapa hal membentuk pola pikir masyarakat yang juga kapitalistik dan konsumtif. Berdasarkan penggambaran dua jenis pendidikan di atas, maka respon yang dilahirkan terhadap penetrasi nilai-nilai kontingen ini bisa diwujudkan ke dalam dua respon: asimilasi dan alienasi.
Respon yang bersifat asimilatif mengandalkan terjadinya persentuhan dan penerimaan yang lebih terbuka dari nilai-nilai dasar pendidikan Islam dengan nilai kontingen, baik yang tradisonal maupun modern. Karena sifatnya yang asimilatif, kategori respon ini agak mengkhawatirkan, karena bisa saja nilai-nilai baru yang berpenetrasi ke dalam masyarakat di mana pendidikan Islam itu berlangsung akan lebih dominan daripada nilai-nilai dasar Islamnya. Sebaliknya, respon yang bersifat alternatif akan menjadikan Islam sebagai sebuah entitas yang ‘terkurung’ dalam satu ‘ruang asing’ yang terpisah dari entitas dunia lain. Sistem pendidikan Islam yang memberikan wibawa terlampau besar kepada tradisi (terutama teks tradisional) dari guru, serta lebih membina hafalan daripada daya pemikiran kritis; walaupun sejak zaman reformasi Islam, lebih lagi pada dasawarsa terakhir, dunia Islam menyaksikan berbagai usaha melepaskannya, sikap tradisionalis tersebut sampai sekarang masih menguasai dunia pendidikan Muslim.
Perubahan masyarakat yang terpenting pada awal abad ke-21 ini, ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi yang sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi ‘kecil’ dan mudah dijangkau. Apa yang terjadi di belahan bumi paling ujung dapat segera diketahui oleh masyarakat yang berada di ujung lain. ² Dalam konteks ekonomi politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang oleh Kenichi Ohmae disebut the end of the nation state.³
Dari sisi politik, dapat dikatakan bahwa masyarakat global dewasa ini sangat dekat dengan isu-isu popular, seperti keterbukaan, hak asasi manusia, dan demokratisasi. Demikian pula, dari sudut ekonomi, perdagangan, dan pasar internasional. Atau sebagaimana dikatakan oleh Ahmed dan Donnan. They locked together in what has been referred to as the economic world system.
Adapun jika melihat diskursus diatas, maka respon lembaga pendidikan Islam dewasa ini dapat dikatakan terbagi kepada 2 (dua) bagian, dimana kedua respon ini memiliki daya positif yang perlu kita kaji secara seksama.
Pertama, lembaga pendidikan Islam yang tetap berpegang teguh pada tradisi ilmiah konvensional. Lembaga pendidikan Islam yang memiliki corak seperti ini masih dapat kita temukan pada pondok-pondok pesantren salaf, dimana mereka tetap mempertahankan metode pengajian dan pembelajaran yang dilaksanakan sama dengan (tanpa perubahan) dengan system yang telah ada semenjak lembaga pendidikan tersebut didirikan. Karena asumsi mereka perubahan yang ada, terutama perubahan yang terjadi dari sisi ekonomi, globalisasi dikhawatirkan dapat merusak tatanan pendidikan keislaman dan akhlak peserta didik.
Kedua, lembaga pendidikan Islam yang terbuka dan senantiasa menyesuaikan perkembangan zaman. Lembaga seperti ini dapat ditemukan pada pondok pesantren modern serta lembaga pendidikan Islam yang telah menyelenggarakan Madrasah. Dimana mereka tidak hanya mengajarkan tentang kurikulum keagamaan sebagai pondasi pembinaan keimanan dan akhlak peserta didik, tetapi lembaga pendidikan Islam jenis ini pun menerapkan system tekhnologi dan informasi untuk menerjemahkan ilmu kepada peserta didiknya.
Namun bagaimanapun, berpedoman ruang lingkup pendidikan Islam yang ingin dicapai, maka kurikulum pendidikan Islam itu berorientasi kepada tiga hal, yaitu:
1. Tercapainya tujuan hablum minallah (hubungan dengan Allah)
2. Tercapainya tujuan hablum minannas (hubungan dengan manusia)
3. Tercapainya tujuan hablum minal’alam (hubungan dengan alam).
D. Perubahan Sosial dan Lembaga Pendidikan Islam
Permasalahan pokok pendidikan Islam di Indonesia itu melahirkan beberapa problema lainnya seperti struktural, kulktural dan sumber daya manusia. Pertama, secara struktural lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri berada langsung di bawah kontrol dan kendali Departemen Agama, termasuk pembiayaan dan pendanaan. Problema yang timbul adalah alokasi dana yang dikelola oleh Departemen Agama sangat terbatas. Dampaknya kekurangan fasilitas dan peralatan dan juga terbatasnya upaya pengembangan dan kegiatan non fisik. Idealnya pendanaan pendidikan ini tidak melihat kepada struktural, tetapi melihat kepada cost per siswa atau mahasiswa.
Berkenaan dengan masalah struktural ini juga lembaga pendidikan Islam dihadapkan pula dengan persoalan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Bagaimana kebijakan Departemen Agama tentang hal ini. Di satu sisi masalah pendidikan termasuk salah satu dari bagian yang pengelolaannya di serahkan ke daerah, sedangkan masalah agama tetap berada pengelolaannya di pusat.
Sehubungan dengan itu perlu dikaji secara cermat dan arif yang melahirkan kebijakan yang tetap mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan Islam dan juga perlakuan yang adil dan merata dari segi pendalaman.
Kedua kultural, lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren dan madrasah banyak yang menganggapnya sebagai lembaga pendidikan “kelas dua”. Sehingga persepsi ini mempengaruhi masyarakat muslim untuk memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan tersebut. Pandangan yang menganggap lembaga pendidikan Islam tersebut sebagai lembaga pendidikan “kelas dua” dapat dilihat dari outputnya, gurunya, sarana dan fasilitas yang terbatas. Dampaknya adalah jarangnya masyarakat muslim yang terdidik dan berpenghasilan yang baik, serta yang memiliki kedudukan/jabatan, memasukkan anaknya ke lembaga pendidikan Islam seperti di atas.
Ketiganya sumber daya manusia, para pengelola dan pelaksana pendidikan di lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari guru dan tenaga administrasi perlu ditingkatkan. Tenaga guru dari segi jumlah dan profesional masih kurang. Guru bidang studi umum (Matematika, IPA, Biologi, Kimia dan lain-lain) masih belum mencukupi. Hal ini sangat berdampak terhadap output-nya.
Hakikat yang sesungguhnya dari pendidikan Islam itu, adalah pendidikan yang memperhatikan pengembangan seluruh aspek manusia dalam suatu kesatuan yang utuh tanpa kompartementalisasi, tanpa terjadi dikhotomi. Pemisahan antara pendidikan agama dan pendidikan umum, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian umat Islam, tentulah tidak sesuai dengan konsep pendidikan. Pemisahan yang seperti itu, dijadikan landasan pemikiran oleh Konferensi Dunia tentang pendidikan Islam untuk diraih.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan berbagai hal tersebut di atas, maka dapat disimpulkan ke dalam hal-hal berikut ini:
1. Pendidikan Agama sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak rahasia alam raya dan manusia.
2. Lembaga Pendidikan Islam memiliki respon yang berbeda terhadap perkembangan dan arus perubahan social, dimana respon itu tetap memiliki daya positif dan tetap berpegang teguh pada tatanan keislaman dan tetap membangun sebuah tradisi untuk kemaslahatan umat serta pengembangan generasi Islam agar mampu menghadapi tantangan dimasa yang akan dating.
3. Pendidikan Islam bertujuan membentuk pribadi muslim sepenuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah maupun rohaniah, menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta dengan cara mengembangkan aspek struktural, kultural dan berupaya meningkatkan sumber daya manusia guna mencapai taraf hidup yang paripurna.
4. Era globalisasi memunculkan era kompetisi yang berbicara keunggulan, hanya manusia unggul yang akan survive di dalam kehidupan yang penuh persaingan, karena itu salah satu persoalan yang muncul bagaimana upaya untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Membentuk manusia unggul partisipatoris, yakni manusia yang ikut serta secara aktif dalam persaingan yang sehat untuk mencari yang terbaik. Keunggulan partisipatoris dengan sendirinya berkewajiban untuk menggali dan mengembangkan seluruh potensi manusia yang akan digunakan dalam kehidupan yang penuh persaingan juga semakin tajam.
B. Saran
Ada dua event yang hampir bersamaan munculnya pada saat bangsa Indonesia memasuki milenium ketiga. Pertama globalisasi, diakibatkan kemajuan ilmu dan teknologi terutama komunikasi dan transportasi sehingga dunia semakin menjadi tanpa batas. Dalam budaya global ini ditandai dalam bidang ekonomi perdagangan akan menuju terbentuknya pasar bebas, baik dalam kawasan ASEAN, Asia Pasifik bahkan akan meliputi seluruh dunia. Dalam bidang politik akan tumbuh semangat demokratisasi.
Dalam bidang budaya akan terjadi pertukaran budaya antarbangsa yang berlangsung begitu cepat yang saling mempengaruhi, dalam bidang sosial akan muncul semangat konsumeris yang tinggi disebabkan pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan konsumeris akan berupaya memproduk barang-barang baru yang akan bertukar dengan cepat pada setiap saat dan merangsang manusia untuk memilikinya.
Event kedua adalah reformasi, dalam era reformasi ini diharapkan akan muncul Indonesia baru. Wajah baru Indonesia ini akan memunculkan perbedaan yang kontras dengan wajah lamanya. Wajah baru Indonesia itu adalah wajah baru yang akan memunculkan masyarakat madai, yakni masyarakat berperadaban dengan menekankan kepada demokratisasi dan hak-hak asasi manusia, serta hidup dalam berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Mukhtar, M.Pd., Desain Pembelajaran PAI, CV. Misaka Galiza, Jakarta, 2003
Drs. Muhaimin, MA., Paradigma Pendidikan Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.
Dr. Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.
Depag RI., Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam Pada SD, CV. Multigaya, Jakarta, 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar