Oleh : Didi Supriadie
MEMBANGUN KETAHANAN SEKOLAH MENGHIDARKAN KONTINJENSI
“Berpeganglah kamu pada kebenaran, sekalipun ia akan membunuhmu”
(Pesan Moral : Umar Bin Khotob)
Tinggalkan apa yang kamu anggap tidak berguna. Jauhkanlah musuhmu, waspadalah terhadap teman-temanmu, kecuali yang kamu nilai jujur. Orang jujur itu tiada bandingannya Jangan berkawan dengan orang jahat, nanti ia akan mengajarkan kejahatan kepadamu, dan jangan beberkan rahasiamu kepadanya. Dan jika kamu tengah menghadapi sesuatu masalah yang pelik, mintalah pertimbangan orang-orang yang takut kepada Allah Azza Wajalla”
(Pesan Moral: Umar Bin Khotob; dari Muhammad Bin Syhab).
Bebagai pengamat menyebutkan bahwa sekarang ini berkembang fenomena pengingkaran terhadap tegaknya aturan, baik oleh orang perorang, kelompok, masyarakat, maupun oleh para pengambil kebijakan. Fenomena ini telah mendorong terjadinya “krisis multidimensional” (baca: ekonomi, politik, birokratik, bahkan moral). Muncul berbagai pertanyaan dan keinginan untuk mencari akar bermulanya krisis ini terjadi, sehimgga diharapkan semua orang memiliki kepekaan terhadap krisis (Sense of crisis).
Pencarian akar masalah bermulanya krisis terus digali dan dikaji. Tidak mudah memang, karena salah-salah bisa menimbulkan fitnah, bahkan menjadi kontra produktif bagi bangsa yang sedang membangun; bahkan mungkin saja bisa terjadi konflik horizontal. Namun demikian, krisis ini harus dihentikan, berbagai elemen (baca: dari berbagai profesi dan kompetensinya) terus mencarinya. Salah satu temuan yang semapat dilansir menyebutkan indikasi bahwa : “perilaku manusia (baca: orang perorang, kelompok, pelaku birokrasi, dsb, karena tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebangsaan dan moral keagamaan. Indikator yang ditunjuk adalah, ekonomi tidak sehat, politik menjadi kotor, ketidak pastian hukum, reformasi kebablasan, moral tidak lagi menjadi takaran dalam menjalani hidup dan kehidupan, sehingga mengakibatkan etiket, tatakrama, nilai menjadi longgar”.
Tidak perlu tergesa-gesa memberikan reaksi dan memberikan pembenaran terhadap uraian di atas, tetapi (paling tidak), hal ini menjadi bahan renungan dan bahan untuk melakukan “muhasabah”; seperti yang dilakukan oleh Guru Besar Ilmu Pendidikan Prof. DR. H. Soedijarto, ia melansir sebuah pertanyaan : “ Apakah yang salah dengan pendidikan di Indonesia, sehingga setelah lebih dari lima puluh (baca: 50) tahun merdeka terjadi krisis multidimensional seperti ini ?. Pertanyaan ini dijawabnya sendiri dan mengajukan sebuah hipotesis (baca: yang cukup penting); bahwa krisis dan dampaknya tidak lain adalah menifestasi dari sikap dan tingkah laku manusia Indonesia. Lebih lanjut diungkapkan bahwa sikap dan tingkah laku manusia sendiri merupakan hasil sebuah proses pendidikan yang panjang, baik pendidikan di sekolah, di lingkungan maupun di lembaga-lembag pendidikan lainnya dalam masyarakat luas”(1998 :2). Mencermati ungkapan di atas, terdapat hal yang menjadi “icon”; yaitu sikap dan perilaku manusia serta pendidikan (baca: lembaga, proses pendidikannya, dan hasil lulusannya). “Dunia sedang berubah”
Reformasi disegala bidang terus berjalan. Sahutan, yel-yel rakyat, masyarakat, pejabat terus bergema; bahkan… telah menjadi “jargon” politik para politisi dan para pakar dalam berbagai bidang serta disiplin ilmu. Kesemuanya ini berangkat dari semangat dan nuansa yang amat mulia; bahwa bangsa (baca: dan anak-anak bangsa) Negara ini harus selamat dan memiliki masa depan yang gemilang. Perubahan memang sedang terjadi, dan akan terus terjadi, karena sifatnya; bahwa masyarakat adalah “dinamis”. Gambaran dinamisnya masyarakat, telah diungkap dua puluh (baca :20) tahun yang lau oleh Soedjatmoko (Mantan Rektor Universitas PBB-Tokyo Jepang periode 1980-1987) : “bahwa ciri utama perubahan yang sedang terjadi di masyarakat adalah pesatnya perubahan social dan budaya. Pesatnya demikian besar sehingga semua lembaga di dunia, baik bidang pemerintahan maupun di bidang masyarakat luas seolah-olah kewalahan untuk mencoba menyesuaikan diri pada perubahan yang terjadi”. “Dunia sedang berubah” Pesatnya perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni terus mendorong terjadinya “dunia yang mengglobal”; sehingga batas Negara, sekat bangsa menjadi “imajiner”. Konsekuensi dari perubahan ini berdapak terhadap kesiapan kita untuk menghadapi pergeseran nilai sosial, budaya, perubahan pola dan gaya hidup. Kondisi seperti ini menuntut semua orang dan bangsa ini untuk terus memperkuat ketahanan bangsa, masyarakat, ketahanan sekolah/lembaga pendidikan, ketahanan lembaga-lembaga masyarakat, ketahanan diri, ketahan keluarga. Hal ini menjadi penting karena dalam tatanan dunia seperti ini, “proses kontinjensi” menjadi sulit diprediksi. “Dunia sedang berubah” Tuntutan reformasi terus bergulir dengan format dan tutntutan yang beragam sesuai dengan apa dan siapa pelakunya.
Ketika kita (baca: paling tidak saya) memutar mundur (flashback) untuk “menekuri” kemudian bertanya pada diri sendiri (muhasabah); mengapa anak-anak pelajar, mahasiswa tawuran ?, mengapa para mahasiswa mereaksi kebijakan rektornya dengan demonstrasi dan bahkan menjadi anarkhis?, Mengapa pemilihan pimpinan perguruan tinggi menjadi ribut dan saling demo ?, Mengapa guru-guru demonstrasi ?, Mengapa buruh berdemonstrasi ?, dan akhirnya menjadi kerusuhan masal; serta mengapa (terkadang) dikaitkan dengan faktor “pendidikan” (bahkan pendidikan yang dituding bersalah) ?. Sulit memang …, semua kemungkinan dapat terjadi dengan berbagai alasan dan sumber masalah yang melatarbelakanginya. Kehawatiran dengan takaran dan dimensi yang beragam sudah barang tentu terjadi di masyarakat. Bagi warga (komunitas), jajaran yang berada di lingkungan pengelola dan pelaksana pendidikan dari pusat sampai sekolah, telah diberi pesan oleh Menteri Pendidikan Nasional ( Malik Fajar, pada saat itu), melalui Surat Edaran Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 131/MPN/2002, tentang Rencana Tindakan Menghadapi Kontinjensi di Lingkungan Pendidikan Nasional; yang di dalamnya memaklumkan bahwa : tuntutan reformasi yang terus bergulir sampai sekarang telah menyebabkan perubahan tatanan nilai dan mengubah paradigma berpikir, bersikap, dan perilaku masyarakat. Hal ini pula yang telah mengakibatkan situasi politik nasional cenderung labil dan tidak pasti. Kondisi ini menuntut kesiapan seluruh jajaran aparatur di lingkungan pendidikan nasional untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang akan muncul (baca: kontinjensi) di lingkungan pendidikan nasional baik di pusat maupun di daerah.
Prediksi dan antisipasi tersebut menunjuk kepada suatu kehawatiran yang mendalam mengenai kemungkinan terjadinya “perubahan tatan nilai” anak-anak, siswa/mahasiswa, bahkan masyarakat secara luas dari kemungkinan-kemungkinan munculnya perilaku yang tidak sesuai dengan tatanan yang dianut ; baik yang bersumber dari eksternal maupun internal. Mengutip buku “Rencana Tindakan Menghadapi Kontinjensi” (2002), menyebutkan bahwa bentuk-bentuk kontinjensi itu seperti :
1. Kerusuhan massal yang bersumber eksternal akibat dari kebijakan di luar pendidikan, yang telah menciptakan bentuk-bentuk ketidakstabilan dan rasa ketidakpuasan masyarakat, telah memacu terjadinya kerusuhan masal yang dapat memberikan dampak buruk terhadap pendidikan.
2. Keurusahan masal yang bersuber eksternal telah berimbas dan menimbulkan potensi kerusuhan di lingkungan pendidikan sendiri, seperti demonstrasi guru, tawuran pelajar, demonstrasi karyawan, demonstrasi pelajar, dan demontrasi mahasiswa.
3. Kerusuhan yang bersumber internal disebabkan oleh ketidakpuasan karena factor-faktor yang berkaitan dengan kesejahteraan guru, persoalan pembiayaan pendidikan, penerimaan siswa baru (PSB), penerimaan mahasiswa baru (PMB), pemilihan pimpinan perguruan tinggi, dan bentuk-bentuk pelayanan pendidikan lainnya yang dapat menyebabkan timbulnya ketidakpuasan serta ikut memacu terjadinya kerusuhan masal.
Menyimak hal di atas, membangun dan mengembangkan ketahan sekolah akan menjadi penting, kerena bentuk kontijensi seperti diuarai di atas, erat terkait dengan sejauh mana anak-anak kita (baca: siswa/mahasiswa) bahkan masyarakat luas memahami, memiliki ketahanan dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan budaya, norma intelektual, emosional, social, spiritual, dsb. Hal ini tentu akan terpulang kepada kita yang bergerak sebagai pelaku pendidikan untuk terus berupaya dengan suatu komitmen membangun ketahan dan mengembangan budaya di lembaga pendidikan kita melalui kaidah paedagogik, profesionalitas, didaktik-metodologik, andragogik serta kearifan local yang lekat dengan masyarakatnya; seperti kata Carl Rogers, “Freedom to Learn for the 80’s” (baca: dalam Eleanor Fienberg dan Walter Fienberg: 2003) : “Ketika saya mulai mempercayai mahasiswa … saya berubah dari seorang guru dan evaluator menjadi fasilitator dalam proses belajar”.
Membangun dan mengembangkan Ketahan Sekolah”, jika dikaitkan dengan persoalan “kontinjensi” yang begitu sering kita dengar, baca, lihat langsung ataupun dari tayangan televisi; rasanya teramat miris, bahkan terkadang menjadi takut. Namun nuansa qalbu mendorong keinginan memberi tanggung jawab moral (baca: paling tidak mewasiati diri) sebagai orang tua (dari anak-anak), sebagai guru, pelaku pendidikan, sebagai warga bangsa untuk turut menumbuhkembangkan anak-anak bangsa ini menjadi generasi yang sehat fisiknya, pikirnya, emosinya, spiritualnya, serta perilakunya; sehingga kelak menjadi manusia yang “kaffah” dan memiliki ketahanan diri mengahadapi dunia yang terus berubah pesat dengan segala dinamikanya. Amin…….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar