7 April 2011

Membangun Ketahanan Sekolah (Bag. 3)

Oleh : Didi Supriadie

SEKOLAH SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN

“Katakalah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu” (Ali Imran : 31) “Dan ikutilah dia (Muhammad) supaya kamu mendapat petunjuk”. (Al-A’raaf:158) “Dan bahwa( yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (Al-An’am : 153)

Kita memulai dengan fatwa Harlod Ordway Rugg (Pemimpin gerakan pendidikan progresif Amerika), dalam bukunya : That Men May Understand: An American in the LongArmistice, New York, Doubleday, Doran, 1941); mengungkapkan bahwa : “Tidak ada jalan yang mudah untuk memasuki zaman baru. Di persimpangan tempat kita berdiri, hanya ada jalan yang sulit bagi pendidikan dan terutama untuk menciptakan kesepakatan bersama. Dalam proses ini, sekolah dapat dan harus menunjukkan kepemimpinan. Melalui kajian terhadap masyarakat dan permasalahannya, sekolah harus mengabdikan diri bagi pengembangan generasi muda yang peka, berpikiran jernih, berani, dan percaya diri, dapat memahami kehidupan … sebagaimana saat ini dan mempunyai determinasi untuk melahirkan peradaban besar bagi mereka dan anak-anak mereka. Untuk itu, kehidupan dan program sekolah harus dirancang langsung dari kebudayaan masyarakat, bukan dari kurikulum klasik. Sekarang bukan saatnya membangun sekolah yang berpusat kepada mata pelajaran, tapi sekolah yang benar-benar berpusat pada masyarakat serta sekolah yang berpusat pada anak” (dari Stephen J. Thornton, Fifty Modern Thinkers on Education (2001), dari Joy A. Palmer (2003). Jerome Bruner, The Culture of Education, (1996), memberi ajaran bahwa : “Pendidikan bukan sekedar persoalan teknik pengolahan informasi, bahkan bukan penerapan “teori belajar” di kelas atau menggunakan “ujian prestasi” yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered “achievemen testing”). Pendidikan merupakan usaha yang kompleks untuk menyesuaikan kebudayaan dengan kebutuhan anggotanya, dan menyesuaikan anggotanya dengan cara mereka mengetahui kebutuhan kebudayaan”. Dalam buku yang sama, Bruner meninjau kembali persoalan-persoalan pendidikan, dan Ia menyebutkan bahwa pendidikan tidak dilihat secara tepat sebagai fungsi sekolah yang diarahkan pada pikiran setiap anak didik. Menurutnya, “Sekolah yang didirikan saat ini bukanlah solusi untuk masalah pendidikan, tapi justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri”.
Kemajuan pendidikan akan tercapai bila pendidikan dilihat sebagai fungsi kebudayaan … (Howard Gardner dari Bruner, 2003). Kritik yang luar biasa, dan sekaligus suatu “kegemasan” serta kecemasan melihat/mengkaji persoalan pendidikan khususnya kiprah sekolah sebagai lembaga pendidikan yang menjadi tumpuan melakukan reformasi atau melakukan revitalisasi fungsi dan peran, sehingga sekolah menjadi pranata sosial yang berbudaya; “…fungsi lembaga tersebut (baca : sekolah sebagai lembaga pendidikan) tidak lain ialah memelihara, mengembangkan, dan mewujudkan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh masyarakat pemiliknya”, lebih lanjut ia mengingatkan bahwa : “Tanpa nilai-nilai kebudayaan maka pada hakikatnya lembaga-lembaga pendidikan… tidak mempunyai hak hidup”(Tilaar,2000:210). Ada kritik yang cukup pedas (baca: kalaupun tidak lantas dikatakan menghujat sekolah) ia adalah H.Syaukani, HR (baca: seorang politisi, dan birokrat), yang mengatakan bahwa “… sekolah kita tidak mampu berbuat apa-apa ketika perannya dipertaruhkan, Sekolah disinyalir mengalami kemandulan dan stagnasi dalam menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa ini. Yang muncul justru perilaku kontraproduktif budaya sekolah dan pembangunan bangsa. KKN merambah di berbagai wilayah pemerintahan. Narkoba, tawuran antar pelajar dan seks bebas para remaja hal yang “lumrah”. Semua itu mengindikasikan bahwa pengelolaan sekolah selama ini, telah tercerabut dari ruh dan nilai paedagogis. Sekolah telah keluar dari relnyan sebagai tempat untuk membuat peserta didik merasa dirinya punya arti dan nilai bagi masyarakatnya..”.(2002: 79), kalaupun pada tahun 2007, ia (Syaukani) terperosok dan perilakunya tidak sesuai dengan yang dikatakannya (itulah manusia) , dan marilah kita lihat apa yang dikatakannya saja; walaupun terkadang kearifan ini membuat ”sakit mata” dan ”sakit telinga” karena yang dilihat dan dengar menjadi kontroversi. Dilema dan juga problema, apa yang terurai diatas menjadi “dilematis” bahkan “problematis”. Pemahaman tentang sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan, tentunya telah dibangun melalui dan dengan kerangka “norma”. Sekolah dibangun dengan landasan filosofis, psikologis, sosilogis, organisatoris; dan dikokohkan dengan pilar relijik, akademik, ekonomik, social pribadi; bahkan dibijaki dengan system yang sangat normatif, karena berpijak pada “legal framework” dan atau “legal aspect” (peraturan perundangan). Ada ajaran dari Piaget, yang tidak hanya mendefinisikan pendidikan; tetapi menjelaskan implikasinya bagi sekolah dan guru/pendidik. Piaget mendefinisakan pendidikan : “sebagai penghubung dua sisi, “di satu sisi, individu yang sedang tumbuh (dan) di sisi lain, nilai social, intelektual, dan moral yang menjadi tanggung jawab pendidik untuk mendorong individu tersebut”. Individu berkembang sejak lahir dan terus berkembang. Perkembangan itu bersifat kausal bagi penyelidikan psikososial. Namun, terdapat komponen normatif juga karena pendidik menuntut nilai, Nailai adalah norma yang berfungsi sebagai petunjuk dalam mengidentifikasi apa yang diwajibkan, diperbolehkan, dan dilarang. Pendidikan adalah hubungan normatif antara individu dan nilai. …pendidikan meliputi semua nilai, … dan tidak mengistimewakan satu nilai di atas nilai lain. Keputusan diserahkan kepada pendidik yang menghadapi permasalahan. Hal ini berarti nilai-nilai intelektual selama belajar di sekolah sama maknanya dengan nilai moral selama hidup. Guru dalam satu generasi menggunakan nilai ( intelektual, moral ) mereka dalam pendidikan untuk generasi berikutnya. Dengan demikian mereka langsung mengarah ke permasalahan mendasar. Mengajar dan belajar adalah tindakan yang bersifat normatif-bukan hanya bersifat kausal. Pendidikan adalah pertukaran sarat nilai yang keberhasilannya tergantung pada transmisi dan transformasi” ( Lislie Smith, dalam Joy A. Palmer (ed), 2003 : 75-76).
Sekolah, didirikan, dikembangkan, diperanfungsikan mengusung norma (baca: norma relijik/spiritual, norma social, norma emosional, norma intelektual/akademik, norma ekonomikal, dst.) dan ini salah satu yang diungkap Piaget, bahwa “ pendidikan/sekolah” menjadi “pertukan sarat nilai” yang menuntut tata kelola yang efektif dalam mentransformasikannya kepada sasaran didik; sehingga mereka tidak hanya menjadi “pintar” (baca: intelektuanya) sebab jika hanya “pintar” saja, anak berpotensi menjadi “snobbish” atau “snobbery”; dan hal ini “mungkin” dapat mengakibatkan “misbehaviors), karena norma inteletualitasnya tidak dibarengi dengan norma dan kecerdasan spiritual, emosiaonal, social, dsb. Simone Weil (dari :Richard Smith, 2003), memberi ajaran : “ Kecerdasasan hanya bisa dibimbing oleh hasrat. Bila ada hasrat, pasti ada kesenangan dan kegembiraan… Kecerdasan hanya tumbuh dan berkembang dalam kegembiraan… .Inilah peran yang dimainkan dalam studi kita, menjadikannya persiapan untuk kehidupan spiritual”. Hal ini seperti yang diamanatkan Nel Noddings (baca: David J. Flinders (2003), bahwa : “Kepentingan dalam menjaga kehidupan anak-anak dan membantu mengembangkan pertumbuhan individu mereka merupakan kepentingan yang mendesak pada kehidupan moral dan pendidikan moral”. Artinya, kita (baca: dan sekolah kita) perlu menghilangkan “kegamangan” untuk melakukan upaya-upaya kreatif, kritis (baca: tidak hanya menjadi tukang kritik), (tetapi) dan masuklah pada “kedalaman” permasalahan yang dihadapi sekolah; kemudian berkesepahaman, ber-komitmen, agar “kesakralan” sekolah yang selama ini (baca: melekat pada masyarakat), keberadaannya (baca: posisi, peran dan fungsinya) menjadi tepat, efektif, normatif dan fungsional sebagai “garda yang mengantarkan, mengarahkan, membimbing, anak-anak bangsa untuk mengembangkan potensinya secara optimal dan utuh (kaffah). Kemudian anak-anak memiliki ketahan ilmu dan budaya yang dibangun dengan kepemilikan kecerdasan melalui norma intelektual, norma emosional, spiritual, norma sosial, dst.”; dan karenanya anak-anak dimungkinkan dapat dengan cerdas membaca fenomena kehidupan yang dihadapinya. John White, mengingatkan bahwa : “ Bukan hanya guru dan orang tua yang bertanggung jawab memikirkan tujuan pendidikan, melainkan setiap warga bangsa ini berkepentingan dengannya. “Akan seperti apa masyarakat kita ?”, adalah pertanyaan yang tidak dapat mereka elakkan. Pertanyaan ini berkaitan dengan pertanyaan tentang pendidikan, sehingga kedua pertanyaan tersebut tidak dapat dipisahkan…”, sebagaimana juga Saranson, berpendapat bahwa : “Kita tidak bisa memperoleh gambaran dan kajian yang relevan sampai kita mengikuti bahwa gambaran proses perubahan mencakup … asumsi-asumsi… paling mendasar yang menentukan tiga hubungan social umum, yakni hubungan antarprofesi dalam lingkungan sekolah, hubungan antara pelbagai profesi di sekolah dan anak didik, hubungan antara pelbagai profesi di sekolah dengan pelbagai pihak dalam masyarakat yang lebih luas”.
Ada kearifan dari Saranson, ketika memahami bagaimana sekolah harus dioperasionalkan. Sekolah sebagai suatu komunitas; tentunya memiliki system tata kelola (manajemen), ranji (struktur), warga (personel edukatif dan non edukatif) seperti : guru, kepala sekolah, siswa, bagian tata usaha, penjaga sekolah, anggota masyarakat yang tergabung dalam komite sekolah/ madrasah, dan anggota masyarakat lainnya (baca: untuk SD/MI), sedangkan untuk SMP/MTs, SMA/MA, SMK, terdapat wakil kepala sekolah, konselor, psikolog, laboran, pustakawan, pengembang kurikulum, ahli media; bahkan bagi sekolah tertentu memiliki konsultan sekolah/pendidikan (experts). Seperti pesan Saranson, pertama, warga komunitas sekolah tersebut (baca: dalam posisi, kualifikasi, dan kompetensi yang beragam) perlu membangun komunikasi, komitmen, memahami tufoksi (baca: tugas pokok dan fungsi), dan membangun sinergitas, kolegialitas secara professional sehingga filosofi, visi, misi dan strategi pengembangan program sekolah dapat berjalan dengan baik, efektif, dan efisien. Kedua, warga komunitas sekolah tersebut secara professional memfasilitasi, membimbing, mengarahkan, membelajarkan, dan mengembangkan komunikasi dengan anak-anak (sasaran didik) melalui kaidah-kaidah edukatif, paedagogik, didaktik-metodologik, andragogik (partisipatorik) ,demokratik (cooperative, romantic ,joyfull), mengembangkan kepercayaan (position of trust) bagi anak. Ketiga, sekolah tentunya tidak boleh menjadi “menara gading” dan jauh dari masyarakat, karena sekolah berada di tengah-tengah masyarakat, sekolah adalah lembaga untuk mendidik anak masyarakat yang kesehariannya berada di masyarakat; dan pada suatu saat mereka akan menjalini hidup dan kehidupannya di masyarakat. Artinya, sekolah sebagai sebuah lemmbaga pendidikan perlu mengembangkan program yang berlandaskan/ berbasis masyarakat (baca: system nilai, social budaya, perkembangan IPTEK, serta tuntutan kebutuhan masyarakat). Oleh kerena itu melibatkan masyarakat dalam arti yang lebih luas (mungkin) tidak hanya mengajak masyarakat berpartisipasi memperbaiki fisik sekolah, dan “merembug” besaran iuran, namun sejatinya bahwa komunitas sekolah bersama masyarakat perlu melakukan olaborasi, membangun “pencitraan sekolah” yang mampu mengembangkan system budaya yang kuat; sehingga anak-anak baik dalam proses maupun setelah keluar dari lembaga pendidikan (sekolah) memiliki “ketahanan” ilmu, teknologi, nilai, moral, sikap hidup, seni, budaya sesuai dengan harapan dirinya, keluarga, masyarakat bangsa dan negara. serta dapat memecahkan masalah yang dihadapinya.

Tidak ada komentar: