7 April 2011

Membangun Ketahanan Sekolah (Bag. 7)

Oleh : Didi Supriadie

PROTEKSI TINDAK KEKERASAN DI SEKOLAH

Menjalani kehidupan pada era global seperti sekarang ini menjadi begitu kompleks. Kompleksitasnya mungkin diakibatkan oleh berbagai dinamika yang terjadi, seperti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong individu harus berkompetisi, ketimpangan sosial ekonomi di masyarakat yang berdampak terhadap semakin besarnya angka kemiskinan (dalam rentang angka 15 –20% dari jumlah penduduk). Keadaan ini berpotensi terhadap “konflik peran” dan dapat mendorong perilaku-perilaku yang tidak normatif karena penuh kekecewaan dan keputusasaan. Kondisi seperti ini bukan tidak mungkin berpengaruh terhadap perilaku anak, dan sangat mungkin terekspresikan oleh anak pada saat mereka berada di lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan teman sebaya, dan lingkungan pembelajaran dengan menunjukkan perilaku yang menyimpang dari skenario yang dirancang guru atau sekolah. Kondisi ini tentunya harus segera dianalisis lebih telik, komprehensif dan penuh kearifan agar anak dapat melakukan aktivitasnya dengan baik, aman dan nyaman sesuai dengan kaidah pembelajaran. Kompleksitas kehidupan yang paradoksal seringkali berdampak terhadap pola hidup masyarakat dalam menyikapinya.
Guru adalah setatus sosial yang disandang oleh seseorang yang dalam kesehariannya hidup dalam masyarakat yang tidak berbeda dengan yang dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan sasaran didik pada khussusnya; tidak mustahil menghadpi, mengalami dan menjalani tekanan-tekanan dalam komplesitas kehidupan di masyarakatnya dengan berbagai sebab yang melatarbelakanginya; dan bukan tidak mungkin berakibat dan menjadikan kekecewaan. Ketika itu terjadi, kekecewaan yang dialaminya akan berpotensi mempengaruhi suasana hati, sosioemosional dan kinerjanya. Persoalan-persoalan ini kiranya sangat penting untuk dipahami oleh para pemangku kepentingan seperti Kepala Dinas Pendidikan (pada berbagai tingkatan), Pengurus Yayasan, Pembina Pendidikan (Pengawas, Supervisor), Kepala Sekolah, maupun Anggota Komite Sekolah, orangtua dan masyarakat untuk segera mengambil langkah strategis dan penuh kearifan melalui upaya-upaya yang diperkirakan dapat mencegah perilaku menyimpang serta berakibat patal dan merugikan semua pihak. Rapat sekolah selain menjadi agenda rutin membahas persoalan administrif dan akademik, kiranya dapat dijadikan ajang silaturrahim, komumnikasi, tausiyah, dan musabah seputar masalah anggota komunitas baik pribadi maupun yang menyangkut persoalan kinerja. Pertemuan sekolah seperti ini dapat dikembangkan dan dikemas menjadi forum ilmiah untuk membahas isu-isu actual, esensial, dan krusial bagi guru dan komunitas sekolah. Sebagai contoh, adalah isu kekerasan dalam pembelajaran dan/atau isu kekerasan di sekolah, seperti kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, kepala sekolah terhadap guru dan tenaga kependidikan, siswa terhadap siswa, tawuran siswa dengan siswa sekolah lain, serta bentuk-bentuk pelecehan lain). Selain itu kekerasan yang terjadi dalam pembelajaran baik dalam bentuk verbal maupun nonverbal; adalah isu yang sangat hangat, karena maraknya informasi yang dapat dibaca, didengar, dan dilihat oleh masyarakat, bahkan menjadi keresahan yang mendalam bagi orang tua, masyarakat, bahkan pemerintah.
Isu kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru terhadap siswa dan atau sebaliknya, atau kekerasan antar siswa (tawuran siswa) atau kekerasan dalam bentuk pelecehan sudah cukup banyak kita lihat, dengar, saksikan atau diantara kita ada yang mengalami secara langsung. Kasus kekerasan di sekolah baik fisik maupun verbal. Kasus anak SD gantung diri karena dicemooh temannya atau dikeluarkan dari kelas sebab tidak memakai seragam sekolah, guru menghukum siswa dengan kata-kata yang kotor, merendahkan, karena siswa tidak dapat menjawab pertanyaan guru. Selain itu ada guru yang menjewer kuping atau memukul siswanya karena tidak patuh pada aturan dan/atau tidak patuh pada keinginan guru, atau siswa tertentu yang cenderung mengedepankan kekuasaannya karena status sosial orang tuanya lebih tinggi dari siswa lainya atau lebih tinggi kedudukannya dari gurunya, dsb.), praktek pelecehan seksual oleh guru terhadap siswa; adalah contoh kasus kekerasan yang kerap terjadi di sekolah. Kasus-kasus seperti ini tentu memerlukan perhatian yang cukup mendalam, serius, mulai dari kajian konseptual, penelitian empiris di lapangan sehingga dapat dicarikan solusi guna mengeliminasi tindakan-tindakan kekerasan tersebut. Mengembangkan budaya sekolah melalui atmosfir pembelajaran yang lebih kondusif; aman , nyaman, dan menyenangkan dapat menumbuhkembangkan anak-anak dengan baik dan menjadi produk pendidikan yang bermanfaat untuk membangun bangsa ini dari keterpurukan dan ketertinggalan dari sisi intelektualitas, moralitas, dan spiritualnya. Kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, baik fisik maupun verbal seringkali berdalih atas nama memberikan ajaran (funishment); karena apa yang dilakukan oleh siswa tidak sesuai dengan kaidah atau tata krama, namun tidak disadari bahwa tindakan yang dilakukan guru pun mengakibatkan kerugian dan atau bahaya terhadap fisik dan atau psikologis siswa. Oleh karena itu, kiranya sangat penting untuk memahami tentang apa yang dimaksud dengan kekerasann itu.
Kekerasan dimaknai sebagai perilaku tidak layak yang mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau financial, baik yang dialami individu maupun kelompok (Barker dalam Huraerah (2006) dari The Social Work Dictionary). Sedangkan kekerasan menurut Jack Dauglas dan Frances Chault Waksler (dalam Arif Rachman), istilah ini digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Jakarta 2006). Mencermati definisi diatas, manakala hal tersebut terjadi dalam peraktik pendidikan di sekolah; adalah sebuah keniscayaan yang menapikan kaidah-kaidah paedagogik yang sangat normative dalam memandu bagaimana sebuah pendidikan dan pembelajaran harus dilakukan oleh guru, hal ini seperti dikemukakan oleh Nana Syaodih (2004), “… proses pendidikan di sekolah terjadi interaksi pendidikan dan pengajaran antara pendidik (kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga pendidik lain) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan berfungsi membantu pengembangan seluruh potensi, kecakapan dan karakteristik peserta didik. Peranan pendidik lebih besar, karena kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih berpengalaman, lebih banyak menguasai nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan”. Persoalannya adalah, ketika kaidah-kaidah pendidikan harus dijunjung, praktek kekerasan baik yang terbuka ataupun yang tertutup, fisik maupun verbal masih sering terjadi di sekolah. Mengapa ?. Arif Rachman (2006), mengemukakan bahwa “ hal-hal yang mengakibatkan kekerasan itu adalah : 1) kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik, 2) kekerasan dalam pendidikan dapat diakibatkan oleh buruknya system dan kebijakan pendidikan yang berlaku,
3) kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan, 4) kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant solution maupun jalan pintas, 5) kekersan dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi pelaku”.
Apapun alasannya, kekerasan disekolah (dalam pendidikan) merupakan tindakan yang tidak dibenarkan baik oleh kaidah pendidikan, norma sekolah dan hukum positif yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sebagai bahan pemahaman (umum) tentang bentuk-bentuk seperti apa yang dikatagorikan sebagai kekerasan kepada anak (child abuse), Suharto (dalam Huraerah 2006), menghklasifikasikan kepada empat bentuk yaitu : pertama, kekerasan fisik, kedua kekerasan psikologis, ketiga kekersan seksual, dan keempat kekerasan sosial. Kekerasan fisik berbentuk penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian kepada anak. Kekerasan psikologis meliputi bentuk penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film porno pada anak. Kekerasan seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism), maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Kekerasan sosial, mencakup penelantaran anak , yaitu sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian layak terhadap proses tumbuhkembang anak, dan eksploitasi anak.
Bentuk kekerasan seperti diuraikan di atas secara implementatif dapat dikembangkan dalam praktek pendidikan (pembelajaran) di sekolah; yakni pimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan anggota komunitas sekolah lainnya, diproteksi oleh aturan yang memuat rambu-rambu yang melarang perbuatan kekerasan terhadap siswa (anak) baik fisik, psikologis, seksual, maupun sosial
Kekerasan di sekolah (dalam pembelajaran) adalah sebuah keniscayaan yang menapikan kaidah-kaidah pendidikan serta menapikan kearifan kompetensi pendidik maupun pimpinan sekolah. Oleh karena itu sikap anti kekerasan oleh seluruh anggota komunitas di sekolah tanpa kecuali perlu dikembangkan sebagai bentuk proteksi terhadap anak-anak bangsa ini. Arif Rachman, mengemukakan tentang bagaimana seharusnya yang dilakukan oleh sekolah ?; ia berpendapat bahwa sekolah perlu menciptakan suatu “kultur”. Kultur sekolah penting karena : 1) merupakan nyawa dari sekolah yang dapat menciptakan suasana pendidikan yang hidup dan akan membantu tercapainya cita-cita, visi dan misi sekolah, 2) tanpa kultur sekolah maka sekolah akan menjadi lembaga pengajaran yang bukan lembaga pendidikan. Hal lainnya, bahwa kultur sekolah dapai dikembangkan dan dicapai dengan cara : 1) pemahaman seluruh anggota sekolah terhadap kultur tersebut, 2) struktur organisasi sekolah yang mendukung. 3) manajemen sekolah yang sesuai dengan kultur tersebut, 4) kegiatan intra, ekstra dan co kurikuler yang bervariasi, dan 5) sember daya yang ada di sekolah diberdayakan secara optimal. Sebagai bahan acuan normatif , kiranya seluruh anggota komunitas sekolah (pimpinan, pendidik dan tenaga kependidikan, serta anggota komunitas sekolah lainnya penting memahami hak-hak anak dan penghapusan kekerasan bagi anak yang dilindungi oleh undang-undang. Pada klaosul menimbang (UURI N0. 23 Tahun 2002) dinyatakan : Bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia sutuhnya. Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa depan. Bahwa setiap anak agar kelak mampu memikul tanggungjawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempayan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perilaku tanpa diskriminasi. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat peerlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Ps. 1 Ayat (1 dan 2 UURI 23/2002), dan semua ini dalam rangka mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Perlindungan terhadap anak salah satunya adalah hak mendapat perlindungan dalam pendidikan. Pada pasal 49 (undang-undang yang sama) menegaskan bahwa Negara, pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan. Sedang pasal 50-nya menyebutkan bahwa pendidikan yang dimaksud diarahkan pada :
a.     Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak, bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
b.     Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia dan kebebasan atas hak asasi dan kebebsan asasi;
c.      Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional
d.     dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda dari peradaban sendirinya;
e.     Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggungjaawab; dan
f.      Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap lingkungan hidup.

Inilah rambu-rambu hukum yang kiranya dapat menjadi bahan pemahaman dan memprotek diri untuk memberikan perlindungan terhadap siswa dan anak-anak bangsa dan memprotek diri untuk tidak melakukan tindakan kekerasan, baik fisik, psikologis, seksual, maupun sosial. Namun demikian pada undang-undang ini juga dinyatakan mengenai kewajiban anak (pasal 19); yaitu setiap anak berkewajiban untuk :
a.       Menghormati orang tua, wali, dan guru
b.      Menghormati keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c.       Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
d.      Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e.      Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Sebagai bahan pertimbangan agar tidak melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadap anak (siswa), gambaran tentang sanksi, kiranya oatut menjadi pengetahuan yang harus dimiliki oleh semua anggota komunitas sekolah. Beberapa sanksi hukum yang kiranya relevan menjadi perhatian adalah Pasal 80, 81, 82. Pasal 80 Ayat (1,2,3,dan 4), menyatakan :
(1)      Setiap orang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuhpuluh juta rupiah);
(2)      Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
(3)      Error! Not a valid link. Pidana ditambah dari sepertiga ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan itu orang tuanya.

Sedangkan pada pasal 81 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa :
(1)       Setiap orang yang dengan senagaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2)       Ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, sertanghkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 82 menyatakan : Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Sangat dipahamai mengejawantahkan aturan normatif terlebih harus mengejawantahkan aturan hukum adalah sesuatu yang sangat sulit, namun memahami aturan ini artinya kita telah memproteksi diri untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang berakibat seperti disebutkan di atas.

Tidak ada komentar: